SMA Nusa Bangsa
Tempat dimana beragam cerita anak muda dari pra remaja menjadi remaja. Niat utama orang tua untuk membuat anaknya belajar dan mencari ilmu pengetahuan tapi bagi seorang anak tujuan lain adalah menemukan pujaan hati dan mencari cinta monyet.
Angin berhembus kencang mengenai daun kering hingga banyak yang berguguran, suasana menjadi dingin tapi hati merasa hangat. Seorang gadis meletakkan salah satu tangannya di pundak, ia tersenyum seperti biasanya.
"Pagi-pagi udah adem nih, kayaknya bakal ada hal baik yang datang." Ujar Rani, teman sebangku Erin sejak kelas satu SMA dan sekarang dekat bahkan tak jarang juga mampir ke rumah.
"Biasanya juga ada hal baik, memangnya ada hari nggak baik." Erin mendongakkan wajahnya melihat pohon besar dengan bunga warna ungu yang mekar. Ia tidak tau apa nama pohon tersebut tapi ia suka.
"Tapi ya Rin insting gue tuh nggak pernah salah kalau emang ada hal baik itu gue udah ada firasat gitu." Rani kembali ngotot jika dirinya benar, gadis yang sebaya dengan Erin itu memang kadang ada-ada saja.
Tiing tiing
Bel tanda masuk kelas berbunyi, lapangan telah kosong dan murid sudah berada di dalam kelas semuanya menunggu guru masuk untuk mengajar. Hari ini bu Endang selaku guru matematika berjalan menuju ke kelasnya Erin, beliau di segani karena tegas dan jarang tersenyum hingga lebih banyak di takuti para siswa dan siswi di sekolah.
Ada seorang siswa yang berjalan di belakangnya mengikuti bu Endang, ia adalah murid baru pindahan dari luar kota dan hendak melanjutkan pendidikannya di sekolah ini. Mereka masuk di salah satu kelas IPA dan anak baru tersebut sangat mencuri perhatian.
"Selamat pagi anak-anak."
"Pagi bu."
"Siapa tuh bu ?." Seorang siswi di kelas tersebut bertanya, jelas saja wajah tampan nan rupawan siswa baru tersebut sangat menarik perhatian.
"Ini siswa baru, pindahan dari Bandung. Perkenalkan nama kamu."
"Nama gue Jonathan panggil aja Jo." Jonathan melirik salah satu siswa yang duduk di pojok sana, kursi sebelahnya kosong dan dia lansung tau jika kursi tersebut akan jadi tempat duduknya. Hanya saja teman sebangkunya tidak memiliki kesan ramah.
"Jadi Jonathan ini....."
Jo tidak terlalu mendengarkan penjelasan dari bu Endang, ia fokus memperhatikan teman-teman satu kelasnya. Ada yang cuek dan ada yang genit mengedipkan mata padahal mereka belum saling mengenal dan ada pula gadis yang memilih melihat ke jendela. Jo penasaran memangnya ada apa di jendela sampai melihat tak berkedip seperti itu.
"Baik Jonathan kamu silahkan duduk di sebelah Andika."
"Baik bu." Jonathan langsung tau kemana ia harus duduk dan siapa teman sebangkunya yang bernama Andika karena...
"Minggir lo."
"Dasar." Ucap Andika kesal.
Karena mereka adalah saudara sepupu dari Ayah Jonathan yang merupakan kakak dari Ibunya Andika tetapi kebetulan mereka sebaya dan satu angkatan juga.
Siswa dan siswi yang lain memperhatikan anak baru yang kasar, cukup tertegun bagaimana seorang anak baru memperlakukan Andika dengan kasar. Dan dapat di simpulkan jika mereka berdua akrab dilihat dari mereka langsung bicara seenaknya tanpa canggung.
Kelas di mulai, yang lain memperhatikan begitu pula Jonathan yang harus beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru juga pelajarannya yang berbeda di tiap sekolah. Apalagi cara mengajar bu Endang ini cukup keras, siapa tidak mampu untuk mengikuti arahannya maka ia tidak segan marah.
*****
"Yuk Rin ke kanton, laper nih." Rani memegang perutnya, ia hobi makan makanya tidak betah jika lapar lama-lama.
"Aku belum lapar, titip batagor aja nanti kalau kamu masuk kelas, aku mau ke perpustakaan dulu."
Rani menyerah, Erin lebih suka ke perpustakaan daripada ke kanton dan percakapan kedua gadis itu di dengar oleh Jo yang merupakan satu-satunya lelaki di kelas saat itu karena yang lain sedang ke kantin.
Perginya Rani ke kantin dan juga kepergian Rani membuat Jo penasaran akan gadis itu, padahal tidak ada kacamata yang bertengger di wajahnya dan tidak menampilkan kesan cupu juga. Bahkan sebaliknya Erin terlihat cantik dengan rambut hitam panjang yang di gerai.
Jo seolah kurang kerjaan, ia ke bangku Erin yang berada di dekat jendela dan memastikan apa yang tadi Erin lihat, jawabnya tidak ada selain beberapa pohon yang tinggi sampai menjulang dan terlihat di lantai dua ini. Setelah menjawab rasa penasaran ia ke kantin. Lapar juga seperti yang lain.
Jus jeruk dan nasi goreng yang merupakan menu umum cukup menjadi pilihan Jo, ia duduk menyempit diantara Andika dan bangku di ujung yang tersisa.
"Maju sana." Ucap Andika.
"Hobi banget elo di sebelah gue, kangen ya ?." Goda Andika.
"Dih najis." Jawab Jonathan dengan spontan dan di tertawakan dua siswa teman Andika.
Sembari makan Jo memperhatikan percakapan Andika dengan teman-temannya, sesekali ia ikut bicara hingga mereka berempat cepat akrab. Dan Andika juga menjelaskan jika ia dan Jo adalah saudara sepupu makanya sudah saling mengenal.
Dalam percakapan itu Jo kurang fokus, ia teringat gadis yang duduk dekat jendela. " Kalian tau cewek di kelas yang duduk paling depan pojok sebelah jendela ?."
Dan pertanyaan Jo mengalihkan tatapan semua, seketika diam sejenak sampai Andika menyahut. " Taulah orang satu kelas, kenapa emang ? Naksir sama Erin ya ?." Dan pertanyaan Jo malah di jawab pertanyaan juga oleh Andika.
"Mending jangan Erin, cantik emang anaknya tapi yang lain aja." Siswa sekelas yang terkenal dengan julukan yayan itu memberi saran, merasa telah akrab dengan Jo yang baru di kenalnya satu hari.
"Kenapa ?." Langsung pertanyaan itu terlontar dari mulut Jo.
"Mending tanya aja sama sebelah elo, dia udah pernah deketin tapi gagal."
Sorotan mata langsung tertuju kepada Andika, seolah merasa terusik kenyamanannya hingga berhenti makan. Ia menaruh garpu berisikan mie ayam dan menjawab pertanyaan itu. "Kaku plus dingin banget kayak kulkas dua pintu, nggak bisa mencair." Ujarnya.
"Kirain Erin kenapa, ternyata gitu doang." Dan respon Jo selanjutnya malah membuat temannya mengelus dada.
PLETAK
Satu sentilan di kepala namun cukup keras membuat Jo mengelus kepalanya, semua terpaku melihat pelaku yang berani melakukan itu kepada anak baru. Tidak bukan dan tidak lain adalah Rani, teman sebangku Erin yang sudah seperti saudara beda ibu dan beda ayah.
"Gue denger nama sahabat gue di panggil, awas elo berani ganggu Erin." Tangan mengepal siap menonjok ia perlihatkan lalu pergi setelah memberi ancaman.
"Itu Rani, ya sebelas dua belas anehnya sama Erin. Bedanya Erin mode kalem kalau Rani mode brutal." Jelas Andika.
"Teman sebangku sama-sama unik, kayaknya gue bakal betah sekolah disini." Jonathan tersenyum smirk.
"Rese banget." Rani kembali ke kelas sambil menggebrak meja hingga membuat Erin terkejut, kembali nya Rani disertai amarah yang tidak jelas sambil menggerutu
"Ada apa sih Ran ?." Tanya Erin sambil menarik pelan tangan sahabatnya agar duduk, setelah lebih tenang Erin kembali meminta jawaban.
"Si anak baru di kelas kita tadi itu ngomongin kamu, pasti ya itu cowok nggak ada etika ngomongin orang seenaknya, untung aku dateng Rin kalau nggak pasti udah macem-macem."
Kedua alis Erin berkerut, ia masih mencerna apa yang Rani katakan karena yang ia tanggap hanya membicarakan tapi inti dari masalah hingga membuat Rani marah belum ketemu. "Terus kmu marahnya karena apa ?." Lanjut Erin bertanya lagi.
"Ya karena si anak baru itu ngomongin kamu Rin." Jelasnya.
"Ngomongin tentang apa ?." Erin masih menunggu jawaban, tapi yang ia dapatkan Rani hanya berfikir sambil mengingat kejadian tadi.
"Em nggak denger apa-apa sih, cuma denger nama kamu di sebut aja, tapi kamu harus lebih hati-hati Rin, kayaknya tuh anak nggak beres." Rani mengatakan itu sambil melihat ke kanan-kiri untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar.
Erin menggelengkan kepala, ia tak ambil pusing dengan apa yang baru saja Rani katakan. Meski begitu Erin tau bahwa niatnya baik memberi saran atas apa yang baru saja Rani dengar, cukup aneh mengingat anak yang baru pindah dan belum ada satu hari bertemu malah membicarakannya.
Di kantin Jo tersedak oleh makanannya, padahal tadi fokus tapi entah mengapa bisa tersedak. "Uhuk uhuk."
"Makannya kalau lagi makan pelan-pelan, gue nggak akan minta." Ucap Andika seraya mengambilkan minuman jo tapi yang diambil jo malah minuman milik Andika yang masih banyak.
"Asem minuman gue." Ucapnya spontan.
Jo menaruh minuman itu pada tempatnya, tinggal sedikit dan ia tidak merasa bersalah. "Katanya asem makanya gue baik bantu habisin."
"Nih anak semena-mena mulu ama gue."
******
Bu Endang menggambar sekaligus menerangkan menggunakan spidol kepada seluruh murid. Di harapkan semuanya memperhatikan dan bisa mengikuti apa yang di arahkan, tapi tentu cukup sulit mengatur semuanya agar pandai.
"Sebelum mencari y terlebih dulu mencari x dengan rumus yang pernah ibu ajarkan, siapa yang tau pakai rumus apa ?." Bu Endang mengedarkan matanya tidak ada yang bisa menjawab, ada beberapa yang menghindari tatapan tapi kemudian saat yang bersamaan Jo dan Erin mengangkat tangan.
Beliau terlalu bingung memilih apakah Erin yang merupakan langganan juara kelas untuk menjawab ataukah Jo yang merupakan anak baru. Untuk mengetahui kemampuannya maka Jo terpilih untuk menjawab.
"Pakai rumus phytagoras bu baru setelah itu hasilnya bisa di gunakan untuk mencari nilai 'y' ." Jawab Jo.
"Iya benar, sekalian isi jawaban di papan tulis."
Jo berdiri menuliskan rumus sekalian mengerjakan soal tersebut tanpa kesulitan, yang lain hanya memperhatikan, ia kembali duduk setelah selesai.
Lainnya terheran oleh anak baru yang berhasil menyaingi kemapuan Erin, sebelumnya belum pernah ada dan bahkan jika peringkat di bawah Erin saja jaraknya masih jauh. Mungkin kali ini akan berbeda dengan adanya Jonathan.
"Nggak usah kagum, gue tau gue ganteng dan pinter." Jo memegang dagu Andika dan mengangkatnya hingga mulutnya tadi yang terbuka kini tertutup.
Tanpa Jo sadari bahwa Erin mulai gelisah, ia senang jika ada teman sekelasnya yang juga pintar tapi di lain sisi jika orang tersebut bisa menggeser kedudukannya sebagai langganan juara 1 maka otomatis beasiswa yang selama ini di dapat bisa di cabut oleh sekolah.
Bel berbunyi jam istirahat telah tiba, mereka senang akhirnya bisa bebas dari pelajaran matematika yang tidak di sukai. Terlalu rumit dan terllau membosankan bagi sebagian besar siswa.
Jo mengamati Erin yang tak bergeming di tempatnya, semua telah pergi dan tinggal mereka berdua tapi Erin masih belum menyadari keberadaan Jo disana dan hanya lewat ke perpustakaan. Jo mengikuti dari belakang, ia sudah seperti penguntit Erin.
Mengamati dari balik rak buku, hanya melihat dan memperhatikan. Gadis itu benar-benar tenang dengan pembawaan santai. Itu hanya perkiraan tapi sebenarnya Jo tidak tau bahkan apa yang mendorongnya sampai sejauh ini juga ia masih penasaran.
Memberanikan diri, ia berdiri di depan Erin yang sedang konsentrasi membaca buku dan tanpa di persilahkan duduk di depan. Cukup menganggu bagi Erin yang sudah terbiasa sendiri hingga bukunya di tutup dulu.
"Ada apa ?." Tanya Erin to the point.
"Nggak apa-apa, gue cuma mau kenalan aja.
"Aku udah tau nama kamu Jonathan kan." Erin kembali memegang bukunya, mencari halaman di mana ia terakhir membaca dan diam membiarkan Jo bosan sendiri sampai pergi tapi nyatanya susah untuk di usir secara halus.
"Baru kali ini ada cewek cuek banget ke gue, rau nggak biasanya malah pada ngejar. Harusnya elo merasa terhormat karena gue ngajak kenalan."
"Maaf tapi sayangnya aku bukan seperti yang kamu pikirkan." Merasa tidak tahan lagi untuk tetap berada di sana. Erin memutuskan untuk pergi dari sana karena tidak akan mungkin Jo pergi.
Kepergian Erin membuat Jo berpikir keras, ia melihat cermin yang terpajang di dinding perpustakaan sebagai hiasan. Jawabnya tampan di atas rata-rata, lebih dari cukup untuk mendapatkan simpati siswi di sekolah manapun yang ia mau. Soal uang apalagi tidak perlu di ragukan karena ia berkecukupan tapi baru saja dirinya di tolak secara langsung bahkan sebelum Jo mengajak berkenalan.
"Itu cewek unik banget, kok gue malah tambah penasaran ya ?."
"Mas kalau mau yang lain aja jangan sama yang itu." Penjaga perpustakaan dengan name tag pak Budi memberi saran, kebetulan ia mendengar apa yang baru saja Jo katakan.
"Kenapa memangnya pak ?." Tanya Jonathan penasaran.
"Kayaknya dia nggak tertarik sama cowok manapun, bahkan nih ya kelihatan ketua OSIS yang lagi ngejar saja di cuekin, nggak dianggap mungkin buku lebih ganteng daripada manusia." Pak Budi tertawa kecil, membayangkan betapa banyaknya yang mengejar Erin sampai ke perpustakaan tapi hanya dianggap angin lalu.
"Justru yang gampang nggak menarik tapi yang susah dapatnya bikin hidup lebih asik." Jo melipat tangannya di atas perut, ia meyakini Erin sama seperti gadis lainnya hanya sedikit lebih susah untuk didapatkan.
"Anak muda zaman sekarang aneh-aneh aja cara pikirnya."
Hari dimana waktunya untuk menunjukkan ilmu yang telah di pelajari mereka kini telah tiba, kerta ulangan berisikan 15 soal yang harus di jawab dan di jelaskan. Beberapa dari merega gugup dan ada pula yang berusaha dantai sambil menyembunyikan kertas kecil berisikan tulisan keramat menggunakan bahasa korea, jepang ataupun arab agar di kira sebagai doa.
Kegugupan nyata di rasakan oleh Andika yang belajar menggunakan SKS atau sistem kebut semalam, otanya yang telah lama tak terpakai ia gunakan dengan keras untuk berfikir kali ini, serasa antara hidup dan mati berada dalam kertas ulangan dengan waktu 60 menit.
"Jo ntar gue kasih tau jawabannya, baca soal udah pusing duluan otak gue." Bisiknya kepada Jo yang acuh.
"Ogah." Jawabnya, ia membaca soal masih berada dalam batas kemampuannya bahkan ia sudah pernah membaca dan mempelajari apa saja materi yang kebetulan sama dengan soal.
"Jangan ada yang mencontek, waktu mengerjakan 60 menit dan jika ada yang mencontek bapak suruh mengerjakan di sebelah bapak, faham ?!."
"Faham pak." Para siswa menjawab dan mulai mengerjakan dengan tenang, Pak Wisnu adalah salah satu guru yang terkenal killer tapi bukan arti sesungguhnya hanya saja apa yang di katakan Pak Wisnu selalu di tepati dan setiap kata yang terlontar bagaikan sebuah ultimatum.
Andika menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal, ia menoleh kanan dan kiri mencari sumber dari segala sumber informasi. Yang ia dapatkan nihil, semua terlalu takut untuk menoleh bahkan Jonathan juga pelit, menutup lembar jawabnya agar tidak terlihat oleh siapapun.
Waktu berlalu, ulangan telah usai dan kertas jawaban Andika telah penuh oleh coretan hasil pikirannya sendiri, ia meratapi nasib berdoa dalam hati nilainya lebih yinggi dari pada bebek berenang di kali.
"Gimana tadi, gampang kan ?." Pertanyaan terlontar dari mulut Jonathan.
Rasa ingin menggeplak kepalanya sangat tinggi tapi ia berusaha meredam dan tersenyum sambil berkata. "Gampang kok." Andika tersenyum penuh kebencian.
"Ok gue paham." Lelaki ia langsung memutar kepalanya, agak ngeri melihat wajah saura sepupunya yang seperti ingin mengamuk, dan tanpa Jo duga bahwa ia tak sengaja melihat Erin yang buru-buru memalingkan muka ketika mereka saling bertatapan.
Sungguh aneh tapi nyata, bahwa gadis yang ia sangka cuek ternyata diam-diam memperhatikan tapi anggap saja kali ini Jo pura-pura tidak tau. Karena bisa saja ia salah lihat tadi karena hanya terjadi beberapa detik saja.
*****
Hari berlalu, pembagian kertas dan nilai hasil ulangan telah tiba. Satu persatu nama siswa di panggil untuk maju ke depan dan nama Andika adalah yang pertama, sungguh ia merasa nama yang terlalu depan dalam huruf alfabet ini kadang menyusahkan.
Andika maju ke depan, ia tak berani melihat angka yang berada di atas pojok kertas, seperti melihat jumscare dan ia memilih untuk langsung duduk saja.
"Dapat berapa ?." Tanya Jo penasaran akan tingkat kepintaran sang sepupu. Maklum saja ini kali pertama mereka satu sekolah bahkan satu kelas dan melihat tingkah Andika yang seperti itu, rasanya seru untuk melihat langsung nilai yang Andika peroleh.
"Gue nggak berani lihat." Ujarnya berusaha menutupi agar Jo juga tidak bisa melihat.
Dengan pemaksaan, Jo berusaha merebut kertas tersebut, tetapi tidak bisa namun kalau tangan Andika berhasil bergeser hingga terlihat nilainya.
"Eh gila, nilai elo estetik banget kayak kursi." Spontan Jo mengatakan itu untuk membuat Andika tambah penasaran hingga akhirnya melihat.
Nilai empat yang ia peroleh dengan hasil berpikirnya sendiri tanpa mencobtek siapapun. Bukannya malu atau merasa rendah diri tapi Andika malah merasa bangga. Nilai yang ia pikir akan di dapat adalah 2 tapi nilai 4 sudah di atas ekspektasi dan kegembiraan itu membuat Jo juga lainnya heran.
"Alhamdulillah terima kasih Ya Allah." Ucap Andika.
"Dasar aneh." Gumam Jonathan dan yang lain dalam hati.
Satu persatu nama di panggil hingga semua telah selesai dan memegang kertas berisikan nilai masing-masing, Andika sekali lagi ternganga karena nilai Jonathan yang nyaris sempurna dan Pak Wisnu mengatakan bahwa nilai tertinggi di peroleh Jonathan dan urutan kedua adalah Erin.
Hari demi hari berlalu, nyatanya Jo mampu untuk beradaptadi dengan sekolah yang baru bahkan juga mampu menarik siswi dari kelas maupun kelas lainnya. Tidak hanya itu bahkan junior dan juga senior pun mempu terpikat oleh ketampanan jyga kepintarannya yang saat ini menjadi bahan perbincangan.
"Gue tadi lihat ada serior ngintip elo pas lewat kelas kita, untuk kita duduk di pojokan jadi nggak kelihatan." Ucap Andika yang sekarang mulai heran akan popularitas Jo yang semakin meledak bahkan pernah terdengar bahwa Jonathan menjadi siswa paling populer setelah ketua OSIS atau mungkin bahkan kini sudah bergeser pada tingat pertama.
"Terserah mereka mau ngintip atau nggak, selama nggak ganggu." Jawabnya dan Andika menggendikan bahu, ia antara peduli dan tidak tapi melihat berbagai siswi mengidolakan juga memberi hadiah Jo tiap hari dan bahkan Andika juga kecipratan hadiahnya, maka ia ikut senang.
Kepintaran Jo semakin lama semakin meningkat, dia tidak seperti Erin yang terlihat belajar terus dan kerap kali membaca. Bahkan waktu istirahat yang seharusnya di gunakan untuk makan atau bermain bersama yang lain ia gunakan untuk ke perpustakaan.
Waktu Jonathan belajar terkesan hanya sebentar dan barangkali kepintarannya adalah bakat alami yang ia miliki tanpa bersusah payah. Bahkan saat pembagian rapot semester ganjil ia mampu menggeser peringkat Erin hingga menjadi posisi kedua sementara ia yang anak baru malah di posisi pertama.
"Selamat Jo telah jadi juara kelas, Ibu tidak menyangka kamu akan menjadi juara pertama." Bu Endang selaku wali kelas juga merangkap guru matematika memberikan selamat kepada anak didiknya yang bahkan tanpa di sangka sangat pintar.
"Terima kasih bu." Jonathan kembali ke tempat duduknya.
Tanpa ia sadari bahwa dirinya diperhatikan oleh Erin, jujur ada kekesalan saat dirinya bergeser pada posisi kedua dan Erin harus menerima kenyataan bahwa nanti beasiswa yang ia dapat akan di berikan kepada Jonathan.
Jam pulang sekolah telah tiba, semua telah pulang tinggal Erin dan Jonathan yang berada di sana. Erin menunggu waktu ini dimana ia ingin bicara berdua dengan Jonathan. Melangkah dengan rasa bimbang, kedatangannya membuat Jo melihat Erin. Mereka saling menatap satu sama lain sebelum Erin tepat berada di depan.
"Selamat ya." Itu adalah kata pertama yang mampu Erin katakan, jujur saja dirinya tidak tau harus bilang apa ."
"Makasih." Jonathan masih bingung, dulu ia mengejar Erin tapi bukan dirinya sekali jika mengejar wanita terus-menerus dan anehnya kini Erin malah datang sendiri.
"Sekarang kamu yang ranking 1, akan ada beasiswa untuk yang mendapat rankin satu, dulu aku sekarang kamu." Erin pergi dengan segala ketakutan yang ia rasakan, ingin menarik ucapannya tapi telah di katakan dan ia malu.
Sementara Jo masih duduk terpaku di sana, tidak sulit mencerna ucapan Erin tadi dan ia ke tempat tata usaha untuk mencoba menyelesaikan apa yang sebenarnya Erin sampaikan, benarkah ada beasiswa bagi rankin 1 atau tidak ?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!