Seorang gadis menjerit dengan sisa tenaga yang ia miliki. Dua jam lebih dia digilir oleh sepuluh manusia buas yang datang sebagai turis di pulaunya. Mendiang orang tuanya, gadis itu diberi nama Bulan karena kulitnya seputih bulan di malam hari. Pulau Lukok ini adalah tanah kelahiran sekaligus tempatnya bekerja sebagai pemandu wisata. Bulan ditawari pekerjaan oleh salah satu hotel mewah di sana karena ia adalah penduduk lokal yang sangat paham tempat-tempat indah di pulau tersebut.
Hari ini dia mendapat tugas untuk mendampingi sepuluh turis VVIP dari hotel tempatnya bekerja. Sebagian dari mereka adalah turis domestik yang diketahui Bulan berasal dari ibu kota sedangkan yang lainnya terlihat berbeda dan Bulan yakin kalau mereka berasa dari luar negeri. Dari segi penampilan dan bahasa yang digunakan sudah menjadi petunjuk jelas untuk Bulan tanpa harus bertanya lebih dulu.
Bulan membawa mereka ke sejumlah tempat hingga tempat terakhir yang tidak kalah eksotis dan indah adalah Gua Hitam yang terletak di ujung barat pulau. Dari atas Gua, para turis langsung disuguhkan pemandangan pantai yang indah hingga banyak dari mereka memilih bersantai di atas gua sambil menikmati makanan yang mereka bawa.
Tapi tidak dengan sepuluh turis yang didampingi oleh Bulan kali ini. Sepuluh turis tersebut tidak datang ke Gue Hitam untuk menikmati pemandangan pantai melainkan menikmati tubuhnya di dalam Gua setelah menegak alkohol. Seolah piala bergilir, Bulan didorong dari satu pria ke pria lain sambil menarik-narik pakaiannya. Mereka tertawa sambil bersenda gurau seakan Bulan bukan manusia.
“Mister, please help me!” pinta Bulan tapi para turis itu semakin tertawa.
“Yes, Baby. Come to Daddy! I will help you.”
“No, come to me, Baby. I am so hot for you.”
“Sorry, Bro. She is mine!” ucap seorang turis domestik yang sejak tadi selalu menjadi penerjemah untuk para pria berambut pirang yang Bulan dampingi.
Salah satu turis domestik yang ikut dalam rombongan Bulan memulai aksinya dengan menarik tangan bulan sebelah kiri kemudian diikuti oleh temannya yang lain. Sementara pria lainnya memegang kaki Bulan hingga gadis mengangkang. Celananya dibuka paksa sementara bajunya ditarik dalam sekali tarikan hingga menampilkan tubuh Bulan yang terang seperti cahaya bulan di bawah lampu minyak yang ada di sana.
“Wow, it’s amazing.”
“Tentu! Aku tahu yang kalian mau. Jangan lupa perjanjian bisnis kita setelah ini harus goal.” Ucap pria yang dipanggill Don pada teman-temannya.
Bulan tidak bisa menggambarkan bagaimana rasa sakit yang dialaminya saat ini. Tubuhnya tergeletak di lantai gua lalu satu per satu dari mereka menggilirnya atas bawah beramai-ramai. Pucuk dadanya terasa sakit sampai nyawanya hampir melayang karena gigitan buas mereka dan di bagian bawahnya sudah tidak terasa lagi. Mereka lebih kejam dari binatang, hanya itu yang mampu menggambarkan kebrutalan mereka di atas tubuh Bulan.
“Akh-“ Suara Bulan tertahan saat bibir salah satu dari mereka mengginggit bibirnya.
“Hei, She’s virgin!” ucap salah satu dari mereka.
Seakan tidak habisnya, tubuh Bulan ditelungkupkan kemudian digilir melalui jalur belakang membuat gadis itu kembali menjerit mencengkram tanah. Tidak ada yang menolongnya karena saat itu adalah jadwalnya membawa turis di gua.
Di pulau Lukok hanya ada satu hotel dan setiap turis yang hendak mengelilingi Lukok akan mendapat jadwal masing-masing dari hotel hingga tidak ada turis yang lalu lalang di satu objek wisata selain turis yang memang sudah dijadwalkan di sana. Seperti saat ini, hanya turis yang didanpingi oleh Bulan yang akan menikmati suasana di Gua Hitam sampai dua jam ke depan.
Selama dua jam ke depan itu pula, Bulan menjadi piala bergilir bagi mereka. Bulan pendarahan, tubuhnya terkulai lemas, kulit putihnya tidak lagi putih melainkan memerah akibat gigitan dan pukulan yang diterimanya dari kesepuluh turis tersebut.
Air matanya tidak berhenti keluar, tenggorokannya kering tak mampu lagi bersuara. Bulan ingin mati, hatinya hancur bersamaan dengan hidupnya. Bulan ditinggal seorang diri tergelatak tak berdaya.
“Air-“ lirihnya pelan.
Tap…
Setetes air jatuh tepat ke dalam mulutnya. Bulan tersenyum getir di sisa tenaganya ia justru berseloroh, “Setetes air saja tidak mampu kukecap dengan benar lagi.” Bulan tidak merasakan air itu dengan benar karena rasa setetes air itu terasa berbeda di lidahnya. Bulan memejamkan mata, gadis itu sudah pasrah jika malaikat maut menjemputnya saat ini.
“Akhirnya kita bisa bersama lagi,” lirihnya sambil membayangkan wajah orang tua yang sudah lama meninggal.
Lambat laut mata Bulan terpejam, “Aku datang, Buk, Pak,” ucapnya sesaat kemudia matanya pun terpejam sempurna. Jika dia di bawa ke rumah sakit, mungkin saat ini mereka sedang menghidupkan alat pemacu jantung tapi ini berbeda. Jantung yang lemah serta beberapa luka ditubuhnya tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Tapi tidak dengan setetes air yang ia minum tadi. Setetes air yang dikira Bulan adalah air biasa nyatanya setetes air itu adalah darah. Darah beku yang mencair saat merasakan rasa marah, benci, kutukan dan sumpah serapah dari Bulan saat ia diperkosa. Setetes darah yang menyerap semua rasa benci dan keinginan untuk balas dendam terpancar dari teriakan dan sorot mata Bulan saat itu hingga menjelang ajalnya.
Denyut nadi Bulan yang semula lemah bahkan hampir hilang tiba-tiba mulai berdenyut perlahan hingga mendekati normal. Setetes darah itu telah berbaur dengan darah dan sel tubuh Bulan hingga memacu jantung dan otak Bulan untuk kembali bekerja. Mata bulan terbuka, semua rasa sakitnya hilang seketika. Memar bekas gigitan dan pukulan ikut menghilang dan kulit Bulan terlihat lebih bersinar. Dada Bulan yang semula berporsi sedang kini sedikit berisi. Celana yang telah digunting serta baju yang sudah tidak berbentuk kembali utuh ditubuhnya.
Seolah tidak terjadi apa-apa padanya, begitulah Bulan bangun dari tidurnya seolah sedang bermimpi buruk. Suara aneh menyita indra pendengaran Bulan, “Suara apa ini? Lalu kenapa aku seperti ini? Apa ini mimpi? Tidak mungkin,” Bulan menatap ke lantai gua dan dia langsung terkejut saat melihat darah yang begitu banyak di sana.
“Ini bukan mimpi tapi aku?” Bulan melihat kembali tapi suara aneh kembali menyita perhatiannya. Ia kembali berjalan unt mencari sumber suara aneh itu.
“Aaaaa….”
Bulan menjerit saat melihat tampilannya di genangan air tidak jauh dari gua. Tiba-tiba Bulan tersungkur ke tanah dalam keadaan tidak sadar.
“Siapa kamu?” tanya Bulan ketakutan melihat seorang wanita berkepala ular. Wanita itu tersenyum dengan sorot mata tajam memancarkan kebencian. Bola matanya merah bercahaya, ia terus mendekat sementara Bulan seolah tidak bisa bergerak.
“Bayi-bayi itu akan mengatakan padamu siapa aku.” Ucap wanita tersebut.
Kepala Bulan seketika berubah seperti wanita di depannya, “Medusa!” lirihnya menatap wanita yang tengah tersenyum itu. Bola matanya tiba-tiba berubah hitam pekat lalu bagian belakang tubuhnya mengeluarkan asap hitam.
“Kamu titisanku, Bulan!!!”
***
NOVEL HORROR THRILLER PERTAMAKU DI SINI.
Semoga kalian suka!!!
Bulan memasuki hotel dengan raut wajah yang sulit diartikan. Senyumnya cerah tapi sorot matanya terlihat berbeda. Ada kengerian yang terpancar di sana.
“Bulan, dari mana saja kamu? Para turis tadi protes karena kamu pergi begitu saja. Mereka langsung check out setelah kembali dari Gua tanpa kamu. Setelah ini, bagian pariwisata pasti akan memanggilmu. Mudah-mudahan kamu tidak dipecat, ya!” Bulan tersenyum kecil kemudian pergi dari sana.
Ia meraih tasnya lalu memeriksa daftar nama para turis yang ia dampingi tadi. Wanita itu menyeringai lalu pergi meninggalkan hotel. Apa yang dikatakan oleh resepsionis tadi memang benar karena keesokan harinya, Bulan dipanggil ke bagian pariwisata dan atas keluhan para turis kemarin, Bulan terpaksa dipecat.
“Kenapa kamu meninggalkan mereka, Bulan? Mereka itu tamu VVIP, kamu tahu kan maksudnya apa? Ucapan mereka mampu menarik para turis atau juga bisa sebaliknya. Maaf, Bulan. Kami tidak bisa mempekerjakanmu lagi di sini.”
Wanita itu tersenyum miring kemudian berdiri dari duduknya lalu keluar tanpa sepatah katapun. Bos Bulan hanya melongo melihat kepergian Bulan dari ruangannya.
“Aneh, dia tidak seperti biasanya!” bulu kuduk sang bos tiba-tiba meremang seolang ada yang meniup tengkuknya.
Bulan kembali ke rumah tua peninggalan orang tuanya di kaki bukit. Perilakunya berubah drastis setelah kejadian tadi siang di Gua Hitam. Ia tidak lagi menyapa orang-orang yang ditemuinya di jalan seperti sebelumnya. Wanita itu berdiri di depan cermin lalu menutup mata sesaat kemudian membukanya kembali. Bola matanya berubah merah dan berambut ular. Bulan mengambil daftar nama tersebut kemudian terlihatlah satu persatu wajah mereka.
“Aku datang!”
Jiwa Bulan sudah sepunuhnya mati setelah menelan darah Medusa, kini hanya raganya saja yang utuh tapi jiwanya sudah berganti dengan jiwa Medusa. Bulan bukan iblis yang bisa menghilang, ia memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas lalu pergi meninggalkan rumah tua itu.
“Pak, tolong antarkan saya ke pulau kota!”
“Lho, Neng Bulan mau ke mana, sebentar lagi gelap? Apa tidak besok saja?” Bulan menatap pria itu dan seolah tersihir, pria tua itu menghidupkan boatnya lalu membawa Bulan ke pulau seberang. Pulau yang lebih besar dan tempat di mana ibu kota berada.
Boat mesin itu berhenti di dermaga kemudian Bulan turun dari sana tanpa sepata katapun. Ia memasukkan beberapa lembar uang merah ke dalam saku pria tua itu. Sepuluh menita setelah Bulan pergi, pria tua itu tersadar dan betapa terkejutnya ia saat melihat ke sekililingnya.
“Lha, ini di pulau kota. Kapan aku kemari? Terus Neng Bulan kemana yak?”
Bulan terus berjalan, kulitnya yang bercahaya membuat setiap mata terpana akan kecantikannya yang terang di bawah cahaya bulan. Bulan melewati pos di mana banyak pria mabuk tengah bermain judi. Mereka bersiul senang memanggil Bulan tapi sayangnya, gadis itu justru mengabaikan mereka.
“Eit, gadis pulau Lukok kayaknya itu!” ucap salah satu penjudi. Jalan yang dilewati Bulan saat ini merupakan jalan satu arah yang berujung di dermaga. Mereka pun mengabaikan lapak judi lalu berjalan menghampiri Bulan yang saat itu berjalan kaki menuju jalan utama.
Mereka mengelilingi Bulan dengan tatapan lapar seperti binatang buas yang sudah memperkosanya kemarin. Bulan berdiri lalu tersenyum, “Bang, bisa antar saya ke kota?” tanya Bulan pada salah satu penjudi yang kelihatan sangat sadar dari yang lain.
Pria itu menyeringai mesum seraya menatap Bulan dari atas hingga bawah, “Bisa, Neng. Ayo!” Bulan menyeringai saat anak-anak di kepalanya memberitahukan tentang rencana jahat para pemabuk itu. Ia duduk lalu melingkarkan tangannya di pinggang si penjudi membuat para pemabuk berseloroh ria lalu menyusul mereka dengan motor masing-masing.
“Mau ke mana, Neng?”
“Ke jalan Permata Indah, Bang.”
Si penjudi terkejut, “Neng mau ngapain ke sana? Di sana tidak ada yang indah seperti namanya. Mending ikut Abang ke tempat indah, mau?”
“Boleh deh, Bang.” Tangan si penjudi sudah mulai berani memegang tangan Bulan.
“Neng, jande ape perawan?”
“Perawan, Bang. Kenapa?”
Penjudi itu tertawa kecil kemudian melajukan motornya dalam kecepatan tinggi hingga sampailah mereka ke sebuah area sepi. Motor memasuki bangunan bertingkat setengah jadi yang sudah lama mangkrak.
“Kok ke sini, Bang?” pria itu mematikan deru motornya lalu menyuruh Bulan turun lebih dulu. Beberapa motor kembali memasuki area gedung yang gelap dan hanya diterangi sinar bulan pada malam itu.
“Neng, goyang dulu yok!” Pria itu berkata mesum sambil membuka celana dan bajunya.
“Ih, Abang. Kenapa tidak nyari hotel saja sih?” ucapan Bulan membuat mereka tertawa lalu merangkul Bulan dan membawanya menuju ke dalam gedung yang lebih jauh.
“Buka bajunya, Neng!”
“Abang-abang aja lebih dulu. Siapa yang paling besar akan mendapat giliran pertama.” Mereka tertantang lalu bergegas membuka celana masing-masing.
Bulan mendekat lalu menunduk di depan ******** pria itu sampai sesaat kemudian mereka dibuat tidak percaya dengan apa yang terjadi. Rambut Bulan berubah menjadi ular kemudian memakan semua pisang milik mereka. Suara jerit kesakitan serta erangan saling bersahutan bagai melodi yang mengalun indah di telinga Bulan sesaat setelah memasuki gedung bersama para pria tadi.
Bulan berdiri menatap mereka satu persatu yang sedang menahan sakit di area intimnya setelah disedot oleh mulut ular di kepalanya. “Racun itu akan membuat kalian berhenti berbuat kotor pada wanita.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan mereka dalam kondisi kesakitan.
Bulan menghentikan sebuah taksi lalu ia kembali menghipnotis supir taksi tersebut dengan tatapan matanya. “Antarkan aku ke hotel Grandrose!” ucapnya dengan nada dingin. Supir itu mengangguk lalu melajukan mobil menuju hotel yang dipinta Bulan.
Bulan memasuki hotel setelah menyalipkan beberapa lembar uang merah di saku si supir. Suara ketukan kaca pintu dari petugas keamana hotel mengejutkan si supir. Ia melihat sekeliling dan terkejut saat mendapati dirinya sedang berada di depan sebuah hotel.
Bulan memesan sebuah kamar. Setelah mendapat kunci dan berganti pakaian, wanita itu kembali meninggalkan hotel. Tujuannya kali ini adalah sebuah klub malam terkenal di bagian bawah hotel yang sangat privasi karena yang masuk ke sana hanya orang-orang tertentu. Dengan mata Medusa, ia bisa melihat sesuatu yang tersimpan di balik dinding seseorang. Termasuk saat ia melihat siapa yang ada di dalam klub malam tersebut.
Bulan menggunakan gaun malam seksi yang di dapatnya di tempat pencucian baju hotel di pulau Lukok. “Maaf, Nona! Klub ini tidak menerima orang umum. Anda harus punya kartu khusus untuk para anggota setelah itu baru kami bisa menginzinkan anda masuk.”
Bulan tersenyum kemudian menatap dua pria berbadan kekar lalu dalam hitungan detik, Bulan berhasil masuk ke dalam dengan mudah. Wanita itu terus berjalan hingga tidak jauh dari sana ia melihat seorang pria yang menjadi salah satu target balas dendamnya sedang bahagia bersama para wanita.
“Hai, Don! Apa kabar?”
***
Gimana, ada yang mau ngasih kritikan??? Aku terima dengan sepenuh hati....
Makasih...
“Kau telah melanggar sumpah untuk menjaga keperawananmu. Kau berhubungan badan dengan Posaidon di kuil suci milikku. Terkutuk kau, Medusa!!!” Lalu Athena merubah rambut Medusa menjadi ular membuat wanita itu menjerit.
“Siapapun yang melihat matamu setelah ini akan berubah menjadi batu!” ucap Athena penuh amarah.
Athena sangat murka hingga tidak memberikan waktu bagi Medusa untuk menjelaskan jika Posaidonlah yang memperkosanya, seharusnya Posaidon lah yang menerima kebencian Athena bukan dirinya. Medusa ditinggal sendiri di sebuah pulau setelah dikutuk Dewi Athena. Tidak ada lagi pria yang mengagumi kecantikan Medusa seperti sebelumnya. Bahkan kecantikan Medusa seolah menjadi tantangan bagi para Dewa termasuk Posaidon yang terkenal suka bermain wanita untuk berlomba menjadikan wanita itu miliknya seorang.
Di tangan anak Zeus yang bernama Perseus, hidup Medusa berakhir. Berbekal perisai dari Athena, Perseus berhasil memenggal kepala Medusa yang saat itu bersembunyi di rumah keluarganya. Tanpa melihat mata Medusa, Perseus berhasil mengakhiri hidup Medusa sekaligus menjalankan tugas yang diberikan oleh para dewa untuknya. Pegasus dan Shrysaor muncul dari leher Medusa yang terpenggal.
Tetesan darah dari kepala Medusa berubah menjadi ular dan dari banyak tetes darah yang keluar, satu tetes darah milik Medusa turun ke bumi lalu membeku hingga masuk ke dalam mulut Bulan akibat kemarahan dan balas dendam yang terpancar dari Bulan saat diperkosa.
***
Para wanita penghibur menatap iri pada Bulan yang baru datang tapi sudah mendapat tempat istimewa di sisi Don. Orang yang dikenal Bulan sebagai juru bicara para turis di Pulau Lukok. Kelebihan darah Medusa dalam tubuh Bulan adalah jiwa Medusa dapat mengatur kutukan dari Athena hingga siapa pun yang menatap mata Bulan maka orang tersebut tidak akan menjadi batu melainkan menjadi seperti orang terhipnotis.
Begitu juga dengan Don, pria itu menjadi pesuruh dari ular-ular tak kasat mata di kepala Bulan. Don melakukan semua hal yang diminta oleh ular-ular tersebut termasuk seperti saat ini. Don membawa Bulan menuju mobilnya. Pukul satu dini hari, mobil yang dikemudikan oleh Don berhenti di pinggir pantai.
Dalam sekali tatapan, Don tersadar kemudian terkejut saat melihat pemandangan di depannya. Don lebih terkejut lagi bahkan kini suaranya tidak keluar. Pintu mobil terkunci otomatis bahkan saat Don ingin membukanya, pintu tersebut tetap tidak terbuka.
“S-siapa kamu?” tanya Don panik.
Kepala Bulan yang dipenuhi ular mulai menampakkan diri di mata Don. Bulan menyeringai, “Apa kabar, Don?”
“S-siapa kamu? Lepaskan aku!” tangan Don masih mengedor-ngedor pintu penuh ketakutan.
Don bisa bersuara dan terdengar oleh Bulan tapi tidak dengan orang di luar sana. “Kamu masih mengingatku, Don? Kalian sangat menikmati tubuhku di dalam Gua Hitam, bukan? Sekarang aku di sini, Don. Ayo, kita main lagi!” Bulan mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu tapi Don malah menghindar ke belakang. Dia takut dengan mulut ular-ular yang hendak mematuknya. Dia juga ketakutan melihat mata Bulan yang berubah merah menyala.
“Itu bukan salahku! Mereka yang minta dicarikan perempuan lokal yang masih suci. La-lalu saat melihatmu, mereka langsung setuju.” Ujar Don terbata-bata.
“Baiklah! Berikan alamat mereka kalau kau mau hidup!” titah Bulan.
Don mengambil ponsel lalu menuliskan alamat mereka satu persatu. “Kamu sudah janji tidak akan membunuhku.” Bulan menyeringai, “Apa kamu cukup kaya?” Don mengangguk cepat.
“Kamu yang membawa mereka ke pulauku jadi kamu juga yang harus membawaku ke tempat mereka, bagaimana?” Don mengangguk cepat.
“Tapi kamu jangan membunuhku!”
Bulan kembali menyeringai. Keesokan harinya, Bulan turun dari kamar utama apartment milik Don yang sudah dipengaruhi oleh cahaya dari mata Medusa. Saat Bulan turun, Don masih tertidur di sofa ruang tamu. Sampai suara ular-ular dari kepala Medusa berteriak baru lah Don terbangun ketakutan.
“Aku ingin menemui Tora terlebih dahulu!” Don tersentak saat ia kembali tersadar dari pengaruh Medusa.
“Tora bersama teman-temannya sedang berada di luar negeri. Mereka akan menghadiri pernikahan salah satu temannya.” Bulan menatap lekat ke arah Don.
“Aaaaa… ampun. Aku tidak bohong! Pria berkaos abu-abu dan celana pendek hitam yang ikut melakukan itu sama kamu akan menikah sepuluh hari lagi di Pulau Karibia. Kemungkinan besar, semua yang kamu pandu saat itu ada di sana termasuk aku.” Lirih Don.
“Tenang saja, bagianmu paling terakhir.” Ucap Bulan tajam.
Hari ini, Don membawa Bulan ke kantor imigrasi, membuat pasport dan visa serta memesan tiket pesawat untuk mereka. Banya dokumen yang harus Don siapkan untuk membawa Bulan hingga mau tidak mau dia harus memakai jasa orang dalam yang sudah dikenalnya untuk mempercepat karena dia akan membawa Bulan tiga hari lagi.
“Gawat, aku di datangi wanita pulau itu. Dia mengancam akan membunuhku jika tidak membawanya menemui kalian. Dia berubah jadi iblis, berhati-hatilah kalian. Mungkin ini pesan terakhir dariku sebelum wanita itu membunuhku dan juga kalian. Aku membawanya ke Karibia tiga hari lagi, jadi siapkan semuanya.”
Don mengirimkan sebuah foto yang di dapatnya di internet ke teman-teman grupnya. “Wanita itu berubah jadi moster persis seperti ini!” Don sudah pasrah karena wanita itu sudah menjadikannya target. Don sudah memastikan jika dirinya akan mati setelah ini.
Tiga hari kemudian…
Pesawat membawa Don dan Bulan ke Karibia, tentu saja mereka tidak langsung sampai karena pesawat akan transit di beberapa negara terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, Don diam tanpa kata bahkan saat pramugari yang biasa menggodanya atau digodanya datang membawa minuman. Berkali-kali melirik ke arah ular-ular di kepala Bulan, Don bergidik ngeri, ia memilih memakai kacamata hitam lalu tidur sampai pesawat mendarat.
Mereka sampai di Karibia setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan. Sebuah mobil sudah menunggu kedatangan mereka, seorang pria mendekat lalu bersalaman dengan Don dan Bulan lalu memasukkan koper mereka ke bagasi.
“Selamat datang di Karibia, Tuan dan Nona.” Don mengbaikan itu. Dia langsung masuk menyusul Bulan tapi kedipan mata dari sang sopir membuat Don bernafas lega.
Mobil melaju sedang lalu setelah setengah jam, mereka tiba di dermaga. Di sana sudah ada kapal yang menjemput. Don membawa Bulan menaiki kapal tanpa banyak bicara. Don bahkan mengabaikan rasa takutnya saat melirik ular-ular yang seperti hendak menggigitnya. Kapal tersebut berhenti di sebuah pulau yang lebih kecil. Dari dalam kapal, penumpang bisa melihat jika di sana ada bangunan besar dan mewah yang berdiri tegak menghadap laut.
“Itu kediaman keluarga Alex, mereka akan mengadakan pernikahan sepuluh hari dari sekarang!” ujar Don mencoba mendekat tapi Bulan terlanjut jijik apalagi saat ini bukan jiwa Bulan di dalamnya.
Bulan tersenyum sinis, “Aku pastikan pernikahan itu tidak akan terjadi!” ucap Bulan lalu menatap Don dengan warna mata merah menyala membuat Don hampir terjatuh apalagi saat seekor ular tiba-tiba hampir menerkamnya.
“Aku tahu apa yang kau rencanakan, Don!”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!