Tamparan di pipi Gita dari Nurdin tak mampu gadis itu hindari saat sang ayah tiri mengetahui bahwa suaminya baru saja meninggal.
Rasa pilu dan sedih karena baru saja ditinggal mati oleh sang suami, ditambah dengan tuduhan dari ayah tirinya membuat perasaan Anggita semakin hancur.
Plak ...
"Kau membunuh suamimu, Gita? Apa kau tidak waras? Kau mau masuk penjara, hah!" suara Nurdin menggelegar, membuat semua tetangganya mendengar dan mulai berbisik-bisik ada apa gerangan.
Seorang gadis yang tengah polos, tak berpakaian sama sekali dan hanya berbalut selimut, tengah menangis tersedu-sedu dan menggoyang-goyangkan tubuh seseorang yang tergeletak di sampingnya.
Lelaki itu setengah telanjang, ia tampak terkulai tak berdaya dengan memegangi dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya hingga tak dapat berkata-kata. Namun ia memaksakan diri untuk mengucapkan satu dua patah kata kepada gadis yang sedang menangis di sampingnya tersebut.
"Akh-ku ... men-cinta-imu, Ang-gita. Tap-i ak-u tak mam-pu lag-i men-jaga-mu. Ku-har-rap, kau bis apa baha-gi-a de-ngan le-laki la-in, " ucap lelaki muda itu dengan terputus-tupus dan nafas tersengal-sengal pada gadis yang bernama Anggita.
"Enggak, Mas... Mas nggak boleh ninggalin aku, ayo kita ke rumah sakit dan Mas Ridwan akan sembuh, " ajak Anggita.
"Ak-ku engh ... gak kuw-at lagi, Git-a. Ku-mohon rela-kan a-ku, raih-lah ke-bahagiaan-mu. A-ku sang...ngat men-cinta-imu... " Ridwan menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucapkan kalimat itu pada Gita, istrinya yang baru saja dinikahinya tadi pagi.
"Mas Ridwan...! " seru Anggita, "Mas Ridwan nggak boleh ninggalin aku!" Teriak Gita mulai meraung.
"Bukannya Mas Ridwan udah janji akan melindungi aku sama ibu dari bapak tiriku?"
"Mana janjimu, Mas?" Teriak gadis itu lagi.
"Bahkan Mas Ridwan baru menikahiku tadi pagi, apa Mas udah mau meninggalkanku dan menorehkan lebel janda padaku secepat ini? " Gita histeris, ia terus menggoyang-goyangkan raga Ridwan yang sudah tak bernyawa itu.
Ya, Anggita harus menjadi janda dalam waktu satu hari pernikahan. Bahkan KTP nya saja belum berganti status.
Anggita Dewi, Seorang gadis yang polos dan lugu. Ia hidup di sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani, ayahnya sudah meninggal saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Sehingga ibunya yang dulu masih muda memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang lelaki yang kaya dan datang melamarnya.
Dengan dalih agar Gita tetap mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Juga agar hidup mereka lebih berkecukupan, Nimas, ibunya Gita menerima pinangan tersebut dan menikah dengan lelaki itu.
Namun siapa yang menyangka, jika lelaki bernama Nurdin yang mengaku orang kaya tersebut ternyata hanya berbohong, ia hanya mengincar kecantikan Nimas saja. Bahkan ia adalah seorang pemalas yang hanya menjadi benalu dalam kehidupan Nimas dan Anggita.
Hingga Anggita pun terpaksa harus ikut bekerja membantu ibunya berjualan gorengan dan bekerja menggarap sawah meski ia masih kecil. Bahkan hasilnya hanya akan di hambur-hamburkan oleh Nurdin si ayah tiri tersebut.
Anggita yang semakin beranjak dewasa, mulai mencoba melawan saat ia melihat ibunya dipukul oleh ayah tirinya tersebut, namun justru dirinya ikut mendapatkan pukulan dari Nurdin.
Hari demi hari Gita lalui hidup dengan melihat kekejaman ayah tirinya. Bahkan saat ibunya mengandung pun, Nurdin tetap memaksa Nimas untuk bekerja mencarikan uang untuknya bersenang-senang di luar sana.
Disaat seperti itulah Ridwan datang bak pahlawan, ia yang memang menyayangi Gita, melamar gadis itu. Nurdin yang melihat Ridwan adalah anak dari lurah desa tersebut, tentu saja setuju dengan niat baik Ridwan.
Pernikahan pun dilangsungkan dengan mewah di desa Gita, tamu-tamu undangan berdatangan hingga membuat kedua mempelai kewalahan hingga kelelahan.
Tanpa ada yang tau jika Ridwan mempunyai riwayat penyakit jantung yang ia simpan sendiri selama ini. Hingga pada malam harinya saat mereka akan melakukan ritual malam pertama, tiba-tiba saja penyakit Ridwan kambuh karena efek dari kelelahan, hingga Ridwan pun harus menghembuskan nafas terakhirnya saat malam pertamanya dengan Anggita.
"Tidak, Pak! Gita tidak membunuh Mas Ridwan, Gita mencitai Mas Ridwan, mana mungkin Gita membunuhnya! Mas Ridwan kena serangan jantung, Pak ... Buk ... percaya sama Gita, " Gita meyakinkan semua orang dengan air mata berderai.
"Kalau kamu tidak mau ditangkap polisi, pergi dari kampung ini sekarang juga! Jangan pernah lagi menampakkan batang hidungmu disini! " Gita merasa bagai disambar petir mendengar perkataan Nurdin.
Mau kemana ia pergi, selama ini ia tak pernah keluar dari desa itu. Dan ia juga tidak sanggup kalau harus meninggalkan ibunya bersama lelaki jahat seperti Nurdin.
Tetapi tetangganya yang malah terprovokasi oleh ucapan Nurdin, ikut mengusir Anggita. Bahkan Anggita tak diperbolehkan untuk melihat wajah suaminya untuk yang terakhir kalinya.
Gita meronta ketika Nurdin menyeretnya keluar rumah, ia berteriak ingin melihat jenazah suaminya untuk kali terakhir, sebagai salam perpisahan darinya.
"Izinkan aku melihat Mas Ridwan untuk terakhir kalinya, Pak. " ucap Gita memohon seraya bersimpuh di kaki Nurdin.
"Pergi kamu sekarang juga! Sebelum warga ada yang menghubungi polisi, " bentak Nurdin pada anak tirinya tersebut.
Sang ibu hanya bisa turut menangis tersedu melihat anak yang sangat dikasihinya selama ini harus pergi meninggalkannya dengan keadaan yang kacau, juga dengan penyebab pengusiran pula.
Gita terpaksa membawa langkahnya pergi meninggalkan desa itu tak berbekal apapun. Masih untung ia tadi sempat mengenakan pakaiannya meski hanya berupa sebuah daster panjang.
Wanita itu menyusuri jalanan tak tentu arah karena dia memang tak tau mau kemana dan sedang berada dimana. Sampai pagi menjelang Gita masih saja terluntang lantung di jalanan dengan keadaan tubuh yang mulai lelah dan perut yang keroncongan.
Hingga ia melihat sesosok lelaki paruh baya yang duduk di kursi roda. Kursi roda itu melaju ke jalanan dan si lelaki paruh baya itu meminta tolong dengan suara lirih.
"Tolong..."
"Tolong... "
Tanpa berfikir panjang dan seakan mendapatkan tenaga kembali, Gita berlari semampunya dan menangkap kursi roda tersebut. Gita langsung mendorongnya dengan cepat hingga ke tepi jalan dan berputar ke depan kursi roda untuk menghentikannya agar si lelaki paruh baya yang duduk di atasnya tidak terjatuh. Alhasil tubuh Anggita lah yang jatuh terjengkang.
Dari belakang kursi roda, tampak dua orang pria berpakaian formal dan rapi berlari mendekat, satu pria memegang kursi roda dan satu lagi membantu Anggita untuk duduk.
"Anda tidak apa-apa, Nona? " tanya salah seorang laki-laki muda itu.
"Saya nggak papa, " jawab Anggita singkat pada lelaki itu dan beralih menatap lelaki paruh baya yang di tolong nya tadi.
"Apa Bapak tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" tanyanya pada lelaki paruh baya yang duduk diatas kursi roda tanpa memperdulikan kedua lengannya yang terluka dan mengeluarkan darah.
Hal tersebut mampu membuat ketiga lelaki itu tertegun. Dalam fikiran mereka bagaimana bisa ada seorang gadis sebaik itu di zaman yang sudah seperti saat ini. Kemudian mereka pun mengajak Gita pulang untuk mengobati lukanya.
"Siapa dia? " Tanya seorang wanita paruh baya berpenampilan elegan dengan raut wajah tidak suka. Penampilan Anggita yang seperti gembel membuatnya merasa jijik.
"Ceritanya panjang, Ma. Lebih baik aku antar papa ke dalam dulu buat istirahat, biar dia diobatin sama Ambar, " jawab lelaki yang merupakan anak dari si pria paruh baya tersebut.
Rega Harsono, lelaki berusia 30 tahun. Ialah seorang lelaki yang memiliki sikap baik, hal itu menurun dari ayahnya. Ia juga merupakan anak yang penurut bagi kedua orangtuanya, termasuk pada ibunya yang notabene hanya seorang ibu tiri.
Ia merupakan CEO Harsono Grup. Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang mall dan hotel. Semenjak ayahnya lumpuh, ia menjalankan perusahaan itu menggantikan ayahnya. Hal tersebut memicu kecemburuan pada Raka yang merupakan adik tirinya, dan kemarahan Siska sang ibu tiri. Karena Siska ingin jika anak kandungnya lah yang memimpin perusahaan tersebut.
Saat di dalam kamar, ayah Rega yang bernama Refan Harsono menyampaikan sesuatu yang membuat seisi rumah cukup terkejut.
"Rega, Anggita adalah gadis yang baik dan tulus. Papa sangat ingin memiliki menantu seperti Anggita. Tolong, menikahlah dengannya. Papa yakin dia akan menjadi istri yang baik untukmu dan ibu yang baik untuk anak-anak mu."
"Apa?! Jangan mengatakan yang tidak-tidak. Dia gadis kampung, tidak berpendidikan dan dekil. wanita kampung ini tidak mungkin menikah dengan Rega yang tampan dan mapan. Lagi pula, Mama sudah mempersiapkan calon istri untuknya. Mama tidak setuju!" tolak mama Siska yang sudah merasa tak suka pada Anggita sejak melihatnya pertama kali.
Tentu saja calon yang dipersiapkan olehnya adalah yang bisa ia ajak bekerjasama untuk mengeruk harta kekayaan keluarga Harsono.
Memang ini bukan kali pertamanya papa Refan menyuruh sang putra untuk menikah, karena memang umur Rega sudah pantas untuk membina rumah tangga. Dan juga usianya yang sudah tua serta kondisinya yang sudah lumpuh dan sakit-sakitan membuatnya ingin sekali melihat putra sulungnya itu menikah dan membina rumah tangga yang bahagia.
"Bukannya Rega menolak permintaan Papa untuk menikah, tapi Rega ingin fokus pada kesembuhan Papa dan juga pertumbuhan perusahaan dulu. Lagipula Rega belum punya calon istri, dengan siapa Rega mau menikah? " tolak Rega secara halus pada waktu itu saat sang ayah mengutarakan keinginannya di depan seluruh keluarga nya.
Mama Siska sang ibu tiri justru setuju dengan keinginan yang diutarakan oleh suaminya, karena ia memiliki rencana dibalik persetujuannya itu. Ia segera mencari dan mempersiapkan seorang gadis yang akan ia ajak bekerja sama untuk melancarkan segala rencana jahatnya.
Makanya saat Papa Refan menyuruh Rega menikahi Anggita, mama Siska tentu saja menolak mentah-mentah niat dari suaminya itu. Sebab ia sudah merasa tak suka pada Anggita sejak melihatnya pertama kali, gadis yang menurutnya jelek, kampungan dan dekil.
Ia berdalih jika Anggita tidak cocok dengan Rega yang tampan dan mapan, dan dia sudah memiliki calon yang tepat untuk Rega. Calon yang sudah ia training sedemikian rupa dan akan bekerjasama dengannya dalam mengeruk harta kekayaan keluarga Harsono.
"Baiklah kalau memang itu mau Papa, Rega akan menikahinya, " pada akhirnya Rega menerima permintaan ayahnya karena baktinya sebagai anak. Ia pun tak tega jika harus terus menolak permintaan ayahnya tersebut.
Apalagi papa Refan yang meyakinkan dirinya jika Anggita bisa mengurus ayahnya itu dengan baik setelah mereka menikah nanti sehingga Rega bisa fokus pada perusahaan.
"Terserah! Bahkan kalian tidak mengenal siapa gadis itu, bagaimana kalau dia hanya seorang anak penipu? " Seru mama Siska marah, namun berusaha mengendalikan nya karena tak ingin Rega tau niat hatinya yang sesungguhnya.
Papa Refan tersenyum penuh arti, "aku juga dulu menikahimu saat baru beberapa hari mengenalmu 'kan? Karena kau menyelamatkan Rega waktu itu, dan dia mendesaakku untuk menikah denganmu, "
Mama Siska melengos, ia masih sangat ingat sandiwara yang ia buat beberapa puluh tahun silam. Untuk menutupi hal itu, ia terpaksa menerima pernikahan Rega dengan Anggita.
"Aku tetap tidak akan menerima gadis itu sebagai menantu di rumah ini. Aku dan dia berbeda, aku berkelas dan dia sangat kampungan, "
Siska tak bisa mengakui jika Anggita mengingatkannya akan masa lalunya.
🥀🥀🥀
Pernikahan pun terjadi setelah Anggita menyetujui nya. Persiapan demi persiapan dilakukan dengan cepat atas perintah sang ayah, karena Papa Refan khawatir akan meninggal terlebih dahulu sebelum menyaksikan putra pertamanya menikah.
Sedangkan Anggita, gadis itu terpaksa menerima pernikahan itu juga demi melanjutkan hidupnya, ia berfikir dengan menikah dengan Rega ia akan mendapat kan seorang pelindung. Untuk melindungi dirinya dan juga ibunya nanti dari Nurdin sang ayah tiri.
Anggita tidak tau saja jika neraka yang lebih menyeramkan sudah menunggu di depan mata. Mungkin sampai ia merasa tak sanggup untuk hidup lagi.
Siska sudah mendengar cerita dari Robin, asisten Rega yang kemarin membantu Anggita. Sejenak ia teringat akan dirinya di masa lalu. Tapi melihat kepolosan dan kejujuran Anggita, ia berfikir jika mereka berbeda.
Ia tak sudi mengakui jika Anggita mengingatkan masa lalunya. Siska menepis jauh-jauh kenyataan itu. Hingga pada akhirnya hanya sikap buruk lah yang ia berikan pada Anggita.
Anggita bisa menikah dengan Rega dengan wali hakim, karena gadis itu mengaku jika ayahnya sudah meninggal. Memang kenyataannya begitulah adanya, karena ayahnya saat ini hanyalah ayah tiri yang tak pernah menganggapnya sebagai anak. Ayahnya itu hanya memperalat dirinya saja.
Apalagi dia juga sudah diusir oleh ayah tirinya itu, yang berarti dia memang sudah tak memiliki siapa-siapa lagi selain dirinya sendiri.
Pesta pernikahan telah usai, Rega memperlakukan Anggita sebagaimana istri yang selayaknya. Ia bersikap baik dan mencoba untuk mengenal lebih jauh istrinya itu. Hingga rasa sedih Anggita karena ditinggal mati oleh suaminya dulu sedikit terobati.
"Terimakasih sudah menyelamatkan papa waktu itu," ucap Rega pada Anggita, mereka saat ini tengah duduk bersama di tepi ranjang.
Anggita tersenyum tulus, "tidak perlu berterimakasih, Tuan. Saya ikhlas menolong tuan besar, "
"Tuan? Siapa yang menyuruhmu memanggilku Tuan, dan papa tuan besar? " tanya Rega heran dengan mengerutkan kening.
Anggita terdiam, ia melipat bibirnya. Tak mungkin ia menjawab jika mama Siska yang menyuruhnya memanggil Rega dan Raka dengan sebutan tuan, Papa Refan dengan sebutan tuan besar, sedangkan dirinya sendiri dipanggil nyonya.
Tapi Siska juga mengancam atas apapun yang ia lakukan dan katakan, tidak boleh Anggita beritahukan kepada Rega jika ia masih ingin terus tinggal disana. Memang sejak tinggal di rumah itu, Anggita selalu diperlakukan seperti pembantu oleh Siska.
Bagi Siska, Anggita sama seperti pembantunya yang lain, bahkan gadis itu lebih menjijikkan dimatanya. Ia selalu disuruh mengerjakan ini dan itu, sedangkan pembantu lain yang semula ada beberapa orang, kini hanya disisakan dua orang saja, sedangkan yang lainnya dipecat oleh Siska.
Siska memang sengaja melakukan hal itu agar punya alasan untuk menyuruh-nyuruh Anggita, tentu saja saat Rega pergi bekerja dan papa Refan sedang istirahat di kamarnya.
"Bukan siapa-siapa, Tuan. Itu inisiatif saya sendiri, karena Tuan adalah majikan saya, " jawab Anggita tertunduk.
"Hey, siapa yang bilang aku ini tuanmu? Bukankah aku ini suamimu, apa kau lupa jika kita sudah menikah tadi pagi? " Rega memegang dagu Anggita agar wajah istrinya itu menghadap dirinya.
Wajah Anggita bersemu merah, ia sangat malu di tatap sedemikian rupa oleh lelaki se-tampan Rega, meskipun Rega saat ini sudah menjadi suaminya.
"Panggil aku Mas, atau Bang. Emm, tidak.. tidak. Suamiku juga boleh. Dan panggil Papa Refan dengan sebutan papa, Mama Siska dan juga Raka, adikku, "
Anggita terkekeh, rupanya Rega tak sedingin yang ia lihat selama ini, selama ia belum menikah dengan Rega, mereka memang jarang berbicara, bahkan bertemu saja jarang karena Rega selalu sibuk di kantornya yang sedang dalam proses membuat kantor cabang baru.
Rencana Rega, kantor cabang itulah yang nantinya akan ia serahkan pada Raka adiknya. Bahkan Rega tak pernah sekalipun menganggap Raka sebagai adik tiri. Ia sangat memperhatikan seluruh keluarganya, karena ia menyayangi mereka semua.
Tidak tau saja dia kalau dibelakangnya mama Siska dan Raka selalu melakukan tindakan jahat kepadanya.
Anggita dan Rega paling hanya bertemu saat sarapan dan makan malam saja, selebihnya Anggita berada dibawah kekuasaan Siska.
"Kau tertawa? Kau cantik juga saat tertawa," Rega mendekatkan dirinya pada Anggita yang sudah berganti pakaian dengan gaun tidur sexy yang tersedia.
Jantung Anggita berdegup kencang, fikirannya kembali dipenuhi dengan bayang-bayang saat malam pertamanya dengan Ridwan yang belum sempat terjadi karena sebuah tragedi, Ridwan harus meninggal terlebih dahulu sebelum lelaki itu merasakan kenikmatan surga dunia.
Rega memperlakukan Anggita dengan lembut, ia menatap kedua manik istrinya itu dengan tatapan mendamba. Hingga Anggita merasa terhipnotis dan perlahan bayangan Ridwan hilang dari ingatannya. Sepasang pengantin baru itupun menikmati malam panjang mereka.
Beberapa hari pun berlalu dengan indah, dan Anggita merasakan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Hingga pada suatu pagi Rega tiba-tiba mendapatkan telfon jika ada suatu masalah pada proyek yang tengah di garapnya, sehingga ia terpaksa meninggalkan istrinya itu untuk bekerja diluar kota sampai masalah pekerjaan nya teratasi.
"Anggi, aku berangkat dulu ya, kamu baik-baik di rumah sama papa, dan mama Siska. Kalau ada apa-apa bilang aja sama mama, mama orangnya baik kok, ya 'kan, Ma? " Rega menoleh pada mama Siska yang berdiri tak jauh dari dirinya dan Anggita.
Mama Siska tersenyum palsu dan mengangguk, "Aku memang orang yang sangat baik, Rega. Bahkan saking baiknya diriku, aku akan menjadi malaikat pencabut nyawa bagi kalian semua, "
"Rega titip Anggita dan papa ya, Ma. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Rega, " pamit Rega pada mama Siska.
"Kamu tenang aja, Sayang. Kan masih ada Raka juga yang bisa menjaga kami semua, " Siska mendekat pada Anggita, lalu merangkul menantunya itu.
Rega mengecup kening Anggita dan Mama Siska sebelum benar-benar masuk kedalam mobil yang di dalamnya sudah terdapat Robin.
Tubuh Anggi seketika membeku, ia merasakan rangkulan ibu mertuanya itu begitu erat hingga ia kesulitan bernafas. Ia menunduk, tak berani menatap wajah mama Siska.
"Huh! Menjijikkan, " Siska menghempaskan tubuh Anggi dengan kasar, hingga menantunya itu terjatuh dan meringis, tapi ia tidak peduli dan langsung berbalik masuk kedalam rumah.
Siska menuju kamar papa Refan, ia memberikan beberapa butir obat pada suaminya yang baru saja menyelesaikan sarapan. Papa Refan menerimanya dan meminumnya seperti biasa, setelah itu ia akan beristirahat.
Anggita yang baru saja masuk melihat mama Siska keluar dari kamarnya dan membuang botol obat kedalam tempat sampah sambil menggumamkan sesuatu.
"Sebentar lagi kau akan mati tua bangka, dan aku akan mendapatkan semua yang aku inginkan, " Anggita terkejut mendengar ucapan ibu mertuanya itu, ia segera bersembunyi dibalik tembok saat mama Siska akan melewatinya.
Usai kepergian Siska, Anggi segera mengambil botol yang baru saja dibuang Mama Siska dan membacanya. Ia segera memfoto botol tersebut dan mencari tahunya di internet.
Betapa terkejutnya ia saat mengetahui obat itu adalah obat pelumpuh syaraf.
"Jadi ini yang bikin Papa Refan lumpuh? Bukan karena stroke? " gumam Anggita tak percaya.
Saat Anggita masih memegangi botol obat tadi dan ponselnya tiba-tiba ia merasa ada yang menjambak rambutnya dari belakang sampai kedua benda yang dipegangnya tadi terjatuh karena ia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
"A-ampun, Ma, " Anggita terdongak dan mendapatkan sang ibu mertua lah yang saat ini sedang menjambak rambutnya.
"Tidak akan ada ampun bagimu, karena kau sudah mengetahui rencanaku, gadis kampung! "
Air mata Anggita luruh tak tertahan saking sakitnya ia merasakan rambutnya yang ditarik dengan kencang oleh Siska, ia merasa kulit kepalanya akan ikut terkelupas bersama dengan rambutnya yang terjambak kasar.
Pov Anggita
"Aakh.. sakit, Ma.. " rintihku mengiba.
Tapi seakan tuli, ibu mertuaku malah menarik rambutku semakin kencang hingga tubuhku terseret. Aku meronta-ronta mencoba melepaskan cengkraman tangan Mama Siska, tapi tenagaku kalah dengannya. Tubuhku yang kurus dan mungil sangat tak seimbang dengan postur tubuhnya yang tinggi semampai.
"Aku bukan mamamu! Sudah kubilang, panggil aku nyonya! Kamu budeg, hah! " teriaknya tanpa melepas genggamannya pada rambutku.
Aku diseret ke kamar mandi dan mertuaku menghempaskan rambut dan kepalaku dengan kasar hingga terhantuk ke dinding. Aku mengerang tapi ia tak peduli, bahkan setiap erangan ku ia sambut dengan tawa.
"Ampun, Nyonya. Ampuni saya, saya tidak sengaja melihatnya saat ingin membuang sampah, " ucapku dengan sesenggukan.
Kepalaku terasa sangat nyeri, saat aku menyentuh keningku aku merasakan basah, ternyata keningku berdarah akibat terbentur dinding tadi.
Melihat hal itu bukannya merasa kasihan, Mama Siska justru malah menyiramku dengan shower berkecepatan tinggi. Rasa sakit, perih, pening dan pusing bercampur menjadi satu.
"Ampun, Nyonya. Tolong hentikan.. hiks.. tolong berhenti, Nyonya... " pintaku memohon belas kasihan.
Ia berhenti dan membanting shower ke lantai, dan tepat mengenai kakiku.
"Aww, " pekik ku reflek karena merasa sakit.
Lalu ia mencengkeram kedua pipiku, "jangan sampai Rega tau tentang semua ini, juga tentang apa yang telah aku lakukan terhadap Refan, " matanya melotot dan wajahnya sangat sadis.
"Kalau sampai kamu memberitahukan hal ini pada Rega, maka aku tidak akan segan-segan membunuhmu, juga mertua tersayangmu itu sekalian, " ancamnya dengan penuh penekanan.
"Ba-baik, Nyonya. Ampuni saya, " ucapku lirih.
Pandanganku mulai mengabur, aku merasa sangat lemah dan sekujur tubuhku terasa sakit. Hingga akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi.
"Dasar sampah! Nyusahin aja, "
Dalam ketidak sadaranku, aku samar-samar merasakan ada yang membelai kakiku. Bisik-bisik suara seseorang juga mulai masuk kedalam indera pendengaranku.
Aku seperti merasakan dan mendengar, tapi kenapa mataku enggan sekali terbuka, ada apa denganku?
Aku merasa belaian di betis ku tadi perlahan semakin keatas, hingga kurasakan ada yang meraba pahaku. Aku menggelinjang dan memberontak saat tangannya sudah mulai mendekati area sensitifku.
Aku benar-benar sadar sekarang, mataku terbuka dan aku mendapati Raka, adik tiri suamiku yang sedang tersenyum memandangiku. Aku mencoba mendudukkan diriku meski rasa sakit di kepala dan sekujur tubuhku masih terasa. Bahkan kini tubuhku menggigil karena kedinginan.
"Kamu sudah bangun, Kakak ipar? Apa tidurmu nyenyak? " raut wajah Raka terlihat sangat menakutkan, ia seperti harimau yang sudah siap menerkam mangsanya.
Aku menoleh sekeliling, dan baru tersadar jika aku bukan sedang berada di kamar, tapi di dalam ruangan yang penuh dengan barang-barang rusak dan banyak sarang laba-laba disini. Ternyata tempat ini adalah gudang. Siapa yang membawaku kesini? Apakah Raka?
"Apa mau kamu, Raka? Kenapa aku bisa ada disini? " tanyaku ketakutan.
Aku menyilangkan tangan di dada, daerah yang sejak tadi ditatap oleh Raka. Aku menjerit dalam hati, berharap ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyataku.
"Kamu bertanya apa mauku, Kakak Ipar? Maka jawabanku adalah, aku mau kamu, " bisiknya mendekat ke sebelah telingaku, membuat bulu kudukku meremang.
"Tidak! Aku harus bisa pergi dari sini. Aku harus bisa terlepas dari iblis berwujud manusia ini, tolong aku, Tuhan... " ratapku dalam hati.
Aku menggeleng, "jangan, Raka. Aku ini istri kakakmu, aku kakak iparmu sendiri, Raka, "
"Lebih tepatnya tiri, Anggita. Kuharap kamu tau itu, " balas Raka.
"Kamu orang yang baik, Raka. Aku mohon lepaskan aku, " ucapku memohon.
"Bahkan aku tidak mengikatmu, kenapa kamu memohon seperti itu padaku, Anggita?" mulutnya berkata begitu, tapi tubuhnya semakin mendekat padaku.
"Kamu sangat cantik, Anggita. Apalagi saat kamu habis keramas di pagi hari, aku semakin terpesona denganmu. Tapi saat membayangkan apa yang kamu lakukan dengan Rega saat malamnya, hatiku merasa sakit, " ucap Raka.
"Tolong sadar, Raka. Aku ini istri orang, "
"Ya, dan istri orang memang lebih menantang, " Raka menyeringai.
"Kenapa, Anggita? Kenapa harus Rega yang menikah denganmu? Kenapa semuanya harus Rega yang memilikinya? aku juga mau, Nggi! " teriak Raka di depan wajahku.
Tangisku pecah, apa yang dimaksud Raka sebenarnya.
Raka menciumku dengan paksa, aku menolak dan memberontak, tapi ia mengunci kedua tanganku, tenaganya sangat kuat. Raka menggigit bibirku hingga terbuka, ia memaksa mengeksplor seluruh isi mulutku.
Air mataku terus berjatuhan, sama sekali tak menyangka kehidupanku akan seperti di neraka untuk kedua kalinya.
Raka melepaskan cengkeraman tangannya pada lenganku, tapi dengan cepat berpindah pada buah dadaku. Aku menjerit sekuat tenaga, memintanya untuk berhenti, dan meminta tolong pada siapapun untuk menolongku.
Lelaki itu juga sudah membuka kedua kakiku, aku terus menjerit dengan tenaga yang tersisa meski tenggorokanku sudah terasa sangat kering dan perih.
Tiba-tiba pintu terbuka, aku merasa sedikit lega karena merasa ada yang menolongku dari upaya pemerkosaan yang akan dilakukan oleh Raka.
"Apa yang kamu lakukan, Raka? " hardik ibu mertuaku pada Raka.
"Ah, Mama ganggu kesenangan ku aja sih, " Raka beranjak dari atas tubuhku.
"Mama memang tidak menyukai wanita gembel ini, Raka. Tapi Mama juga nggak sudi kalau kamu bergaul dengannya, apalagi menyentuhnya, " mama Siska terlihat sangat murka atas perlakuan Raka terhadapku.
Meskipun alasannya adalah karena merasa jijik terhadapku, tapi aku tetap bersyukur karena terlepas dari pelecehan yang Raka lakukan.
"Tapi aku suka dia, Ma, " ucap Raka membuat kemarahan mama mertuaku semakin menjadi. Tapi aneh saat kulihat ibu mertuaku tiba-tkba berubah tersenyum.
"Kalau begitu, Mama punya penawaran buat kamu, " Kedua orang itu pergi dan meninggalkanku sendirian di dalam gudang yang pengap dan dingin.
Aku menangis dalam diam meratapi nasib hidupku. Hingga aku lelah dan akhirnya tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur, tapi saat aku bangun, aku sudah mendapati diriku ada di dalam kamarku dan juga Rega. Aku hanya memakai gaun tidur tipis, padahal seingatku aku masih memakai bajuku kemarin.
Senyumku mengembang saat melihat Rega mendekat kearahku, ternyata dia sudah pulang.
"Kamu sudah pulang, Mas? " tanyaku padanya.
"Kenapa? kamu nggak suka aku pulang, biar kamu bisa tidur dengan lelaki lain? " Aku terkejut mendengar jawaban darinya.
"Apa maksud kamu, Mas? Bahkan aku tidak pernah kemana-mana, jadi mana mungkin aku bisa bersama dengan orang lain? " wajahku sudah kembali berderai air mata, sakit rasanya dituduh seperti itu oleh suamiku sendiri.
Rega melemparkan beberapa lembar foto ke wajahku, "lihat itu! "
Aku tersentak kaget, terlebih saat melihat yang ada di dalam foto tersebut adalah aku yang tengah tertidur dengan seorang pria, tapi wajah pria itu tidak terlihat.
"Ini nggak mungkin, Mas. Aku berani bersumpah atas langit dan bumi, aku tidak pernah berselingkuh di belakangmu, " ucapku meyakinkannya, aku mencoba meraih tangannya, namun ia menepisnya.
"Jangan-jangan, anak yang ada dalam kandungan mu itu juga bukan anakku? Apa memang saat aku tak dirumah kamu selalu membawa lelaki lain seperti ini? " aku bisa melihat kesedihan yang mendalam pada sorot matanya.
Tapi kenapa dia tega mengucapkan nya dan melukai perasaanku.
"An-anak? Aku hamil, Mas? " tanyaku menyentuh perutku yang rata.
"Cih! Memang benar ternyata yang Mama bilang, bahwa asal usulmu yang tidak jelas itu mencerminkan apa adanya dirimu, " ungkap Rega menunjuk-nunjuk wajahku.
Jleb.
Aku luruh ke lantai mendengar perkataan nya, begitu hina aku dimatanya. Hancur hatiku sudah tak tergambarkan lagi, satu-satunya orang yang kuharap akan menjadi pelindungku, kini juga turut membenciku.
"Kamu nggak percaya aku, Mas?" Rega bergeming di tempat, dia diam membisu.
Aku bangkit perlahan, ku seret langkah dan mencoba menatap wajahnya. Ingin kupastikan sekali lagi bahwa ia memang tak percaya padaku dan membenciku, untuk menentukan langkahku.
"Tatap mataku, Mas. Apa kamu benar-benar tak percaya padaku? " Rega terdiam di tempatnya berdiri.
"Apa kamu benar-benar membenciku? " hening, sama sekali tak ada pergerakan darinya.
"Baiklah, akan kuterima fitnah ini dengan lapang dada. Tapi asal kamu tau, ibu tirimu itu yang sudah memfitnahku. Dia ibu mertua yang kejam, bukan ibu mertua baik seperti yang kamu lihat selama ini, " kepalanya yang semula tertunduk kini mendongak.
"Kamu jangan coba-coba memfitnah Mama Siska, dia itu wanita yang mulia. Dia orang yang rela menyelamatkan ku dulu, " Rega berteriak padaku, dan ini adalah pertama kalinya, demi membela ibu tirinya.
"Baiklah jika itu yang kamu percaya, biarkan aku pergi bersama anak yang kamu bilang bukan anakmu. Hanya Tuhan yang tau semua kebenarannya, kuharap kamu segera sadar. Aku menyayangimu, Mas Rega, " perlahan-lahan aku berjalan mundur hingga sampai pada pembatas besi balkon.
Hatiku sudah mantap, tak ada gunanya lagi aku hidup. Selama ini hanya ada penderitaan dalam hidupku, terutama siksaan dan fitnah yang diberikan oleh ibu mertuaku yang berhasil membuat suamiku turut membenciku. Membuatku tak ingin lagi melanjutkan hidup.
Aku tau akan ada yang tertawa bahagia melihat keterpurukan ku, dan keputusasaan ku, tapi biarlah mereka merasakan kebahagian semua itu.
"Selamat tinggal dunia fana, " kupejamkan mata dan menjatuhkan diri dari atas balkon.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!