Desah nafas terdengar dari sebuah kamar. “Ah Mas, he-hentikan!,” Pekik suara seorang gadis dengan terbata-bata karna merasa takut dan terkejut dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Tanpa memperdulikan pekikan dan penolakan dari gadis itu, laki-laki itu terus melanjutkan aksinya ******* bibir mungil sang gadis dengan rakus. Di gigitnya bibir bawahnya dengan gemas hingga sang gadis membuka sedikit mulutnya karna merasa sakit.
Dengan cepat lidahnya melesat masuk mengabsen semua yang ada di dalamnya. Tangannya tak tinggal diam begitu saja, di telusurinya setiap lekukan tubuh gadis itu. Di remasnya benda kenyal yang menggodanya dengan gemas dan bermain di sana. Hingga akhirnya tangannya turun menjelajahi area di bawahnya.
“Ah Mas ... Ak-aku mo—mohon hentikan!,” ujar sang gadis dengan setengah kekuatannya yang masih berusaha menolak apa yang di lakukan laki-laki itu.
Bukaannya berhenti laki-laki itu terus melanjutkan aksinya. Di lumatnya bibir mungil itu kembali dengan perlahan dan dengan kasar tangannya merobek pakaian yang melekat pada tubuh gadis itu hingga telanjang bulat.
Pria itu melepas ciumannya dan membuka pakaiannya sendiri dengan kasar. Ia menyusuri setiap lekuk tubuh gadis itu dengan bibirnya. Tangannya tak tinggal diam. Ia meremas kembali benda kenyal yang membuatnya begitu tergoda.
Tersadar atas apa yang akan dilakukan laki-laki itu padanya, gadis itu tetap berusaha memberontak dan mendorongnya dari tubuhnya. Namun tubuh laki-laki itu sama sekali tak bergeming, justru di bawah sana berusaha untuk menyusup masuk.
“He - hentikan,” ujar gadis itu sambil menahan sedikit rasa sakit. Ia refleks menggigit bibir bagian bawahnya. Laki-laki itu memandang kedua bola mata sang gadis dengan tatapan berkabut gairah.
Laki-laki itu kembali ******* bibir gadis itu dengan mesra. Ia menggigit kecil telinga gadis itu sehingga membuatnya merasa geli. Laki-laki itu masih berusaha memasukkan miliknya dengan hati-hati.
“Ah ...” suara yang lolos dari bibir kecil gadis itu. Milik laki-laki itu berhasil menyusup ke dalam. Laki-laki itu berhenti sejenak, mengatur nafasnya yang terengah-engah.
“Tolong hentikan Mas!” ucap gadis itu sambil memukul dada laki-laki itu.
Gadis itu masih berusaha menghentikan laki-laki itu meskipun ia tahu itu hanya sia-sia belaka. Laki-laki itu justru mencium kembali bibirnya dan kini sambil memainkan miliknya. Malam itu menjadi saksi terenggutnya milik sang gadis yang paling berharga.
Hiks ... Hiks ...
Gadis itu menangis sesenggukan, ia tidak menyangka harta yang ia jaga selama dua puluh lima tahun untuk calon suaminya akhirnya telah ter renggut. Kini dirinya telah ternoda. Ia takut suatu saat nanti dirinya akan hamil akibat perbuatan laki-laki itu.
Laki-laki itu mengusap kepalanya dengan lembut saat mendengar suara tangisan lirih. Di lihatnya gadis yang ia renggut mahkotanya sedang menangis sambil memunggunginya. Di sibakkannya rambut yang menutupi wajah cantik gadis itu.
“Jangan menangis Sayang. Aku akan bertanggung jawab. Aku mencintaimu dan aku akan menikahi mu” ujar laki-laki itu sambil mengecup ubun-ubun kepala gadis itu dan merengkuhnya ke dalam pelukannya.
“Kenapa kamu tega melakukan ini Mas?! Apa salahku hingga semua ini harus terjadi? Bukan seperti ini caranya kalau kau memang mencintaiku!.”
“Karna aku tidak suka melihat kau dekat dengannya!,” bentak pria itu dengan nafas tersengal karna emosi.
“Apa urusanmu melarangku dekat dengannya?! Dia sahabat baikku dan calon suamiku!. Kami akan menikah sebentar lagi!.”
“Tidak ada yang namanya persahabatan antara pria dan wanita, kau paham?! Dan aku tidak akan membiarkanmu menikah dengannya, aku tidak rela kau jadi miliknya! Cara apa pun akan aku tempuh untuk mendapatkanmu!” geram laki-laki itu.
“Kamu gila Mas!.”
“Ya aku gila karnamu!.”
Dengan rasa geram laki-laki itu langsung menerjang tubuh gadis itu dan menindihnya kembali. Di lumatnya bibir gadis itu dengan gairah yang menggebu. Meskipun di bawah sana gadis itu berusaha memberontak dari kungkungan nya.
Dengan mata berkabut gairah ia kembali menyusuri setiap lekuk tubuh indahnya. Ia melepaskan tautan bibirnya dan menyusuri leher jenjangnya.
“Hentikan Mas!” pekik gadis itu sambil terus memberontak dan menetaskan air matanya.
Laki-laki itu tetap tak bergeming ia malah menyusupkan miliknya ke dalam dan memainkannya kembali.
“Ah” suara gadis itu lolos kembali saat merasakan ada yang menyusup ke dalam miliknya. “Maafkan aku Mas Roni” ucap gadis itu dalam hati dengan air mata yang berderai.
Tak berapa lama keduanya terkulai lemas, di kecupnya kening gadis itu dengan lembut saat ia melihat gadis itu telah tertidur karna kelelahan akibat ulahnya dan akibat banyak menangis. Laki-laki itu pun akhirnya ikut tertidur sambil memeluknya.
Saat matahari terbit, gadis itu terbangun dilihatnya laki-laki itu masih tertidur pulas di sampingnya. Dengan perlahan ia beranjak dari tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya menuju kamar mandi sambil menahan rasa perih di bawah sana.
Ia membersihkan tubuhnya di bawah pancuran air shower dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ia tidak menyangka laki-laki itu akan melakukan cara seperti itu untuk mendapatkan dirinya, dengan cara merenggut satu-satunya miliknya yang paling berharga.
Gadis itu bernama Clarissa Ramadhani berusia 25 tahun. Ia biasa di panggil Ica dengan teman-temannya. Gadis berparas cantik jelita dengan hidung mancung dan mempunyai kulit putih seputih kapas. Seorang gadis berpenampilan sederhana tapi dengan kecantikannya yang jelita mengundang tatapan mata kaum adam untuk melihatnya dan ingin memilikinya.
Ica gadis sebatang kara, kedua orang tuanya telah lama tiada. Ia tinggal di sebuah rumah berukuran kecil peninggalan orang tuanya yang sudah tidak layak tinggal. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia bekerja di bagian Room Service di sebuah hotel di kotanya.
Ica gadis yang supel dan periang, kehidupannya yang keras tidak membuatnya menjadi gadis yang pemurung. Semua kerasnya kehidupan ia hadapi dengan senyuman. Teman-temannya sangat menyayangi Ica, tanpa kehadiran Ica, mereka merasa sepi. Ica gadis yang ringan tangan, suka membantu teman-temannya tanpa harus di minta.
Ica mempunyai sahabat bernama Roni berusia 30 tahun yang bekerja di perusahaan AD & Co di kotanya. Mereka sudah bersahabat selama 3 tahun. Semua kisah kehidupan Ica, ia tahu.
Hingga suatu hari pemilik perusahaan AD & Co bernama Agus Dewa berusia 35 tahun, pria berwajah tampan dengan tatapan tajam bagai mata elang, tanpa sengaja melihat Roni duduk bersama seorang gadis. Gadis berpenampilan sederhana yang berparas cantik jelita di sebuah Cafe.
Jantungnya berdetak kencang dan ia langsung jatuh hati pada pandangan pertama dengan gadis itu.
“Roni” tegur seorang pria saat melihat orang yang ia kenal.
“Eh Pak Agus” ujar Roni sambil bangkit dari duduknya dan menundukkan kepalanya memberi hormat terhadap orang di hadapannya.
“Ini kekasihmu, Ron?,” tanya Agus pada Roni sambil menatap dan menunjuk ke arah Clarissa.
“Oh bukan Pak. Ini Clarissa sahabat saya. Ica, kenalkan ini Pak Agus pemilik perusahaan tempat aku bekerja,” ujar Roni pada Pak Agus dan Clarissa.
“Clarissa!—Agus!” ucap mereka saat berkenalan sambil bersalaman.
“Boleh saya gabung di sini bersama kalian?,” tanya Agus pada mereka.
“Oh silakan Pak Agus” jawab Roni memberi izin.
Agus pun menarik kursi kosong yang tersedia di antara mereka dan duduk bergabung bersama Roni dan Ica.
Di meja, mereka bertiga terlibat obrolan seru yang diiringi dengan gurauan. Tak ada rasa canggung pada Clarissa, karna pembawaannya yang supel, ia mudah bergaul dengan siapa saja yang baru di kenalnya.
“O ya, Clarissa kerja di mana?,” Tanya Agus saat ada kesempatan untuk bertanya.
“Aku kerja di hotel Pangrango, Pak Agus. Di bagian Room Service,” jawab Clarissa.
“Jangan panggil saya, Pak!. Panggil saja saya, Mas. Seperti kamu panggil Roni, Mas. Kalau panggil Pak, kesannya kaya umur saya sudah tua sekali. Lagi pula kamu bukan bawahan saya kan ?,” seloroh Agus pada Clarissa.
Mendengar perkataan Agus, Clarissa terkekeh, “ Kalau begitu Mas Agus juga cukup panggil saya, Ica. Sama seperti Mas Roni panggil saya, Ica,” ujar Ica pada Agus.
“Oke Deal” sahut Agus sambil mengedipkan sebelah matanya pada Ica.
“Sudah berapa lama kamu bekerja di sana? Kamu tinggal dengan orang tua?,” tanya Agus kembali pada Ica.
“Saya sudah bekerja selama 3 tahun di sana dan saya hidup sebatang kara. Kedua orang tua saya sudah lama tiada,” jawab Ica dengan raut muka berubah sedih karna teringat dengan kedua orang tuanya.
“Oh maaf. Sekali lagi maafkan saya. Saya tidak tahu kalau kedua orang tuamu sudah tiada. Dan saya turut berdukacita. Kalau begitu nasib kita sama, kedua orang tua saya juga telah lama tiada karna kecelakaan pesawat terbang dan saya hanya anak tunggal,” sahut Agus dengan raut wajah merasa bersalah karna telah membuat Ica sedih.
“Tidak apa-apa Mas Agus, tidak perlu minta maaf. Hanya memang kalau saya di tanya soal orang tua pasti akan teringat dengan mereka. Dan saya juga turut berdukacita atas kepergian kedua orang tua Mas Agus yang tragis.”
“Ya sudah, kalau begitu kita ganti topik pembicaraan supaya kita sama-sama tidak bersedih,” ujar Agus sambil tersenyum.
“O ya Ron, kamu dan Ica sudah berapa lama bersahabat?,” tanya Agus pada Roni, karyawannya.
“Kami sudah bersahabat selama 3 tahun, Pak. Kebetulan dulu rumah orang tua saya dekat dengan rumah orang tua Ica, hanya beda beberapa rumah saja. Karna kedua orang tua kami dekat, akhirnya kami bersahabat sampai sekarang. Walaupun kedua orang tua saya sudah pindah, tidak tinggal di situ lagi,” jelas Roni pada Agus, atasannya.
“Oh begitu ceritanya. Makanya saya heran, kamu kerja di perusahaan saya sedangkan Ica kerja di hotel dan yang pasti usia kalian juga tidak sepantaran seperti teman satu sekolah. Ternyata kalian tetanggaan toh,” ujar Agus sambil memanggutkan kepalanya tanda mengerti.
Ica dan Roni pun tertawa melihat ekspresi Agus saat mendengar penjelasan Roni asal mula persahabatan mereka berdua.
“Kalau begitu kami pamit dulu Pak,” pamit Roni.
“Oh ok. Biar Bil nanti saya yang bayar. Ica pulang naik apa?,” sahut Agus.
“Eh Ngga usah Pak, biar saya yang bayar saja. Ica, saya antar pulang Pak,” jawab Roni.
“Kamu sekarang antar Ica saja biar tidak kemalaman. Urusan Bil saya yang bayar. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih saya karna sudah di temani mengobrol di Cafe.”
“Ta-“
“Sudah ... Sudah ... Saya tidak mau mendengar penolakan. Toh tidak setiap hari juga saya yang bayar,” ucap Agus memotong perkataan Roni.
“Kalau begitu kami ucapkan terima kasih banyak Pak Agus dan kami permisi. Selamat sore,” tutur Roni kepada Agus atasannya yang di ikuti dengan ucapan terima kasih Ica pada Agus.
Mereka berdua pun berlalu meninggalkan Cafe yang diiringi dengan tatapan tajam Agus dari belakang, yang memandang punggung Ica hingga mereka berdua keluar dari Cafe. “Cantik” ucap Agus dengan lirih.
Di dalam mobil.
“Ca, sepertinya Pak Agus naksir elu deh.”
Plak ...
Refleks telapak tangan kanan Ica memukul pundak kiri Roni.
“Aduh” pekik Roni sambil mengusap-usap pundak kirinya dengan telapak tangan kanannya.
“Jangan ngadi-ngadi deh Mas!. Mana ada seorang Boss yang naksir sama wanita seperti Gue. Kalaupun ada mungkin lagi sakit mata. Apa coba yang di lihat dari diri Gue, seorang wanita sebatang kara, miskin dan buruk rupa. Yang status dan penampilannya jauh ke mana-mana di bandingkan dengan teman-teman wanita di sekitar Boss elu,” ujar Ica dengan kesal karna mendengar asumsi sahabatnya.
“Eits ... Siapa bilang elu itu buruk rupa Ca? Elu itu cantik. Dan tidak semua pria memandang status. Gue aja mau kok jadi kekasih elu kalau elu izinkan,” sahut Roni dan langsung diam tertegun karna menyadari ia telah kelepasan bicara secara tidak langsung mengungkapkan isi hatinya pada Ica.
“Ngga usah bercanda deh Mas. Mana mungkin Mas Roni mau jadi kekasih Ica, di kantor Mas kan banyak tuh wanita cantik dan seksi yang pasti suka sama Mas Roni,” balas Ica sambil terkekeh karna mengira Roni hanya bercanda.
“Gue serius Ca. Gue ingin hubungan kita lebih dari pada sahabat. Gue ingin elu jadi kekasih Gue. Keluarga kita sudah lama saling kenal dan kedua orang tua Gue juga menyukai elu.”
Ica pun terdiam. Ia bingung harus mengatakan apa pada Roni. Ia tidak mengira diam-diam Roni menaruh hati padanya. Ada rasa senang dirinya di cintai Roni tapi ia takut persahabatan mereka akan hancur bila menjadi sepasang kekasih dan akhirnya menjadi musuh bila suatu saat nanti hubungan mereka kandas di tengah jalan.
“Gimana Ca?” Tanya Roni menyadarkan Ica dari ke terdiamannya.
“Hm ... Kasih Ica waktu untuk berpikir ya Mas,” jawab Ica pada akhirnya.
“Iya, elu santai aja. Gue juga Ngga buru-buru kok,” sahut Roni sambil mengacak-acak rambut Ica dengan lembut. Mereka berdua pun kembali mengobrol dan bercanda seperti semula tanpa mengingat obrolan serius yang sempat terjadi di antara mereka tadi.
Tak lama mobil yang di kendarai Roni tiba di depan sebuah rumah bercat putih kusam yang terlihat sudah ada yang terkelupas dan plafon yang rusak di sana sini.
“Terima kasih Mas untuk hari ini dan terima kasih juga sudah antar Gue pulang. Mampir dulu yuk,” ucap Ica saat keluar dari dalam mobil.
“Sama-sama Ca. Next Time deh mampirnya, sudah malam. Ngga enak sama tetangga, nanti yang ada kita di gerebek warga dan di suruh nikah. Kalau Gue sih mau-mau aja di suruh nikah in elu,” ujar Roni sambil bercanda dan tertawa.
“Ish ... Mana mungkin tetangga gerebek kita, Mas. Mereka kan juga kenal sama elu. Mantan warga di sini!,” balas Ica dengan tertawa juga karna mendengar perkataan sahabatnya yang mengada-ada.
“Iya ya ... Mana mungkin mereka lupa sama Mas yang mukanya ganteng begini.”
“Nah, mulai deh penyakit percaya dirinya kumat,” sahut Ica sambil menepuk jidatnya dan menggelengkan kepalanya.
Roni tertawa terbahak-bahak melihat tingkah sahabatnya.
“Ya sudah, masuk sana! Gue tunggu in sampai elu masuk dari sini. Ntar elu di culik orang lagi kalau Ngga Gue liat in,” ujar Roni sambil mengibas-mengibaskan telapak tangan kirinya seolah-olah mengusir Ica.
“Huh ... Bye Mas Roni. Hati-hati di jalan,” gerutu Ica sambil melangkah pergi masuk ke dalam rumah dan melambaikan tangannya.
Esok harinya tepat jam 22.⁰⁰ malam, jam kerja Ica berakhir. Saat ia keluar dari pintu karyawan dan akan melangkah menuju jalan raya, ia di kejutkan dengan kehadiran dua orang laki-laki di pelataran parkir hotel.
“Mas Roni—Mas Agus?! Kalian kok ada di sini?” tanya Ica dengan raut wajah bertanya-tanya.
Roni dan Agus saling menatap saat mendengar perkataan Ica, Agus tidak tahu ada Roni di situ begitu pun sebaliknya, Roni tidak tahu ada Agus di situ juga. Mereka bertanya-tanya dalam hati “ Kenapa ada Agus di situ?”, begitu pun dengan Roni, “ Kenapa ada Bosnya di situ?.” Tatapan mereka kembali melihat pada Ica.
“Gue jemput elu, Cha” —“Mas jemput kamu, Cha,” ucap Roni dan Agus bersamaan.
Mendengar perkataan mereka berdua, Ica hanya bisa menggaruk keningnya yang tidak gatal karna bingung ada dua pria yang menjemputnya.
“Mm ... Maaf Mas Agus, Ica pulang sama Mas Roni aja,” ucap Ica dengan perasaan tidak enak hati karna harus menolak salah satu di antara mereka berdua. Ia memilih Roni karna mereka bersahabat sedangkan dengan Agus, ia baru saja kenal.
“Oke Cha, tidak apa-apa. Kalau begitu Mas pamit dan kalian hati-hati di jalan,” ujar Agus dengan wajah terlihat kecewa karna Ica memilih pulang bersama Roni.
Ketika Agus pergi, Ica menghampiri Roni.
“Mas Roni kok tumben jemput Ica? Biasanya juga Ngga jemput. Terus itu kenapa Bos Mas Roni jemput Ica juga?,” tanya Ica dengan bingung.
“Memang salah kalau Gue jemput elu? Kan Gue sahabat dan calon kekasih elu, malah bukan calon kekasih lagi tapi calon suami!. Tinggal tunggu elu jawab iya, langsung deh kita ke KUA. Kalau Bos Gue jemput elu, mana Gue tempe,” gurau Roni pada Ica sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ye ... Tempe lagi, elu kira jualan gorengan apa! Kumat nih penyakit gilanya. Obatnya sudah di minum Mas?,” balas Ica,” sambil memutar bola matanya dengan jengah dan menoyor kening Roni sahabatnya.
Roni pun langsung merangkul Ica berjalan menuju mobilnya yang terparkir sambil mengacak-acak rambutnya dengan gemas.
“Ih Mas, kusut nih rambut Gue!,” gerutu Ica dengan muka cemberut dan mengenyakkan tubuhnya duduk di jok kursi mobil.
“Maaf ya calon istriku Sayang ... Habis Gue gemas liat elu. Makanya kita nikah yuk, biar Gue bisa unyel-unyel elu tiap hari.”
“Ya elah ... Makin malam makin jadi aja nih penyakit gilanya. Udah buruan jalan! Yang ada Ngga pulang-pulang Gue,” ucap Ica sambil menggelengkan kepalanya.
“Oke My Love! Tapi kita mampir makan nasi goreng dulu ya. Gue lapar, cacing-cacing di perut pada demo nih,” sahut Roni sambil menstater mobilnya dan menjalankannya keluar dari pelataran parkir hotel.
“Wah kalau itu sih Gue Ngga nolak. Kebetulan perut Gue juga lapar. Kita makan di tempat nasi goreng langganan kita kan?,” balas Ica sambil nyengir.
“Yoi Ca” timpal Roni.
Tak lama mobil yang mereka kendarai sampai di kios nasi goreng Lapak 3B langganan mereka. Mereka berdua turun dari mobil berjalan memasuki kios mencari tempat duduk dan meja yang masih kosong. Mereka pun langsung memesan nasi goreng favorit masing-masing dan juga dua gelas es jeruk kesukaan mereka.
Setelah pesanan mereka datang, mereka langsung menyantapnya.
“O ya Ca. Gue yakin Bos Gue suka sama elu deh. Soalnya kalau Ngga ada perasaan sama elu, ngapain juga dia datang ke tempat kerja, jemput elu?. Gue jadi khawatir Bos Gue mau rebut elu dari Gue. Nikah yuk Ca sama Gue, sumpah Gue benar-benar sayang sama elu. Gue janji bakal bahagia in elu,” ucap Roni dengan wajah khawatir Ica akan di rebut oleh Bosnya.
“Apa sih Mas. Memangnya nikah itu gampang?. Nikah itu bukan untuk satu atau dua hari aja loh, nikah itu untuk seumur hidup. Gue hanya ingin menikah sekali dalam hidup Gue. Meskipun Gue tahu nikah itu gambling, bisa awet sampai maut memisahkan atau pun berpisah karna perceraian. Lagian kan kemarin-kemarin Gue udah bilang sama elu, mana mungkin Bos elu suka sama Gue. Suka aneh-aneh aja lu mikirnya. Tapi yang Gue heran Bos elu tahu jadwal kerja Gue dari mana ya?,” balas Ica pada Roni panjang lebar dengan wajah bertanya-tanya dari mana Agus bisa tahu jam kerjanya.
“Ya elah Ca, Gue yakin kita bisa menjalani biduk rumah tangga dengan baik. Apalagi kita itu sudah saling mengenal sifat masing-masing selama 3 tahun dan kita mempunyai banyak kesamaan, mulai dari makanan, minuman dan hal lainnya. Kalau Bos Gue, apa sih yang Ngga dia tahu. Dia mah gampang tinggal suruh anak buahnya cari informasi, dapat deh apa yang dia inginkan.”
“Betul sih Mas, tapi apa semua itu akan menjamin rumah tangga kita akan baik-baik saja? Buktinya banyak tuh yang sudah lama saling mengenal sifat masing-masing dan menikah akhirnya berpisah juga kan. Sudahlah Ngga usah bahas soal menikah atau Bos elu lagi, bikin kepala Gue pusing aja.”
Roni menghela nafas berat saat mendengar perkataan Ica dan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Udah malam Ca, besok kan elu masuk pagi, ayo kita pulang,” ujar Roni sambil berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri penjual nasi goreng membayar apa yang mereka makan dan minum.
Di dalam perjalanan menuju rumah Ica.
“Ca ... Tolong elu pikir-pikir lagi permintaan Gue. Ngga papa elu Ngga cinta sama Gue saat ini, yang penting Gue cinta sama elu. Dan Gue yakin cinta akan datang karna terbiasa. Gue ingin hubungan kita lebih dari pada sahabat. Walaupun kita dalam ikatan pernikahan, kita juga tetap bisa menjadi sahabat. Sahabat dalam suka dan duka hingga maut memisahkan kita,” ucap Roni penuh harap pada Ica.
“Kasih Gue waktu ya Mas. Karna Gue tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Semuanya harus Gue pikirkan matang-matang. Gue harap jangan karna permasalahan ini hubungan persahabatan kita jadi retak apa pun nanti keputusannya. Janji?.”
“Oke Gue janji. Dan Gue akan kasih elu waktu selama dua bulan. Deal?,” ucap Roni.
“Oke Deal” sahut Ica sambil tersenyum manis pada Roni.
Setelah 30 menit menempuh perjalanan, mereka berdua pun sampai di depan rumah Ica.
“Makasih Mas sudah antar Gue pulang dan traktir makan nasi goreng. Hati-hati di jalan.”
”Sama-sama Ca. Elu juga hati-hati di rumah ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon Gue,” ujar Roni sambil mengacak-acak rambut Ica dengan gemas.
“Sip” sahut Ica sambil mengangkat jari jempolnya dan berlalu keluar dari dalam mobil Roni.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!