Pramudya dan Gita telah memutuskan untuk mengikat janji sebagai suami-istri. Mereka berkenalan singkat di perusahaan yang sama. Acara pernikahan di gelar tidak terlalu mewah. Karena, kebetulan Gita hidup sebatang kara.
Miranti, yang merupakan orang tua tunggal bagi Pramudya, menerima Gita sebagai menantunya dengan sebuah rencana tersimpan di hatinya. Karena itu, ia meminta agar sang putra tetap tinggal bersamanya. Ia takkan membiarkan Gita menguasai Pramudya. Anak yang telah ia besarkan mati-matian sepeninggal suaminya.
"Makasih ya, sayang. Kamu sudah mau menuruti kemauan mama," ucap Pram ketika keduanya telah selesai pada penyatuan panas yang kesekian kalinya. Namun, mereka masih saling berpelukan.
"Karena aku tau, Mas. Seorang istri itu ... harus ikut kemanapun suaminya pergi. Lagipula, mama kan tinggal sendirian. maksudku, Bik Sukma terkadang tidak pulang," sahut wanita muda yang merupakan kepala divisi keuangan di perusahaan, dimana Pram juga bekerja di sana sebagai staff.
Pram, menatap wajah wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu dalam, dan kembali melabuhkan ciuman di kening serta bibir Gita. Karena, pria yang lebih tua tujuh tahun dari istrinya itu bahagia atas jawaban dari wanita cantik nan seksi di hadapannya ini.
Gita berpikir tak ada buruknya jika, dia memutuskan untuk tinggal bersama dengan ibu mertuanya. Lagipula, dia sudah lama hidup seorang diri, maksudnya tanpa kedua orang tua. Mungkin, ia bisa menganggap Miranti sebagaimana ibunya sendiri.
"Mama senang kalian akhirnya memutuskan untuk tinggal di sini. Setidaknya, kini ... Mama tidak akan merasa kesepian lagi. Karena, Mama akan ada teman bicara setiap saat," ucap Miranti dengan senyum penuh arti. Bahkan, ada beberapa kalimat dari perkataan Miranti yang tidak Gita mengerti maksudnya.
Namun, Gita hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya itu. Pram senang, karena dua wanita yang ia cintai kini bersama dalam satu atap.
Selepas Pram berangkat kerja, Miranti mendekati Gita. Sudah tiga bulan anaknya menikah, akan tetapi wanita muda ini belum juga hamil. Miranti lelah dengan pertanyaan dari para tetangganya.
"Git!" panggil Miranti pada Gita yang sudah rapi dan siap berangkat kerja.
"Ya, Ma. Aku sudah masak makan siang dan membersihkan kamar, Mama," jawab Gita seraya menjelaskan pekerjaannya pagi ini sudah selesai.
"Anak temen mama yang baru sebulan menikah sudah hamil. Pasti sangat bahagia saat dia mendengar kabar itu. Terasa panas ketika mama mendengarkan racauannya disana." Mama mengatakan itu dengan begitu santai didepan mata menantunya, yang saat itu seketika diam seribu bahasa.
"Lalu, kapan kamu hamil dan beri Mama cucu!" tegas Miranti dengan segala pertanyaan yang terulang nyaris setiap hari. "Mama sudah bosan mendengar pertanyaan dan celotehan semua tetangga. Membandingkan kamu dengan anak mereka, yang bahkan baru saja menikah sudah hamil. Sedangkan kamu?" Miranti menatap tajam menantunya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Sebelum menjawab, Gita terlebih dulu menarik napas dalam. Karena, dadanya tiba-tiba sesak akibat ucapan Miranti. "Gita sama Mas Pram, masih menikmati masa pacaran setelah halal, Ma. Kami berdua--"
Belum selesai Gita menjelaskan, sang mama mertua sudah memotong ucapannya. "Bisa tidak, kalau saya ngomong itu jangan di bantah! Asal kamu tau, Gita. Saya paling tidak suka penolakan, paham kamu!" Miranti membentak sembari mencengkeram lengan menantunya itu.
Tentu saja hal itu membuat Gita, terkesiap.
Semakin hari sikap dan sifat ibu mertuanya ini semakin jelas terbuka. Miranti yang awalnya baik dan perhatian padanya. Kini, nampak kelihatan sifat aslinya.
"Gita ... akan bicarakan lagi sama Mas Pram ya, Ma. Kapan, kita akan mulai program hamil. Karena, pekerjaanku hingga setahun kedepan akan sering keluar kota. Tidak mungkin jika aku hamil, maka--"
Miranti terus saja memotong ucapan menantunya. "Ya sudah berhenti kerja. Tugas istri kan melayani suami dan melahirkan!" Terlihat Gita semakin gelisah, bukan hanya karena waktu yang terus berjalan. Akan tetapi, karena tuntutan mendadak dari Miranti. Wanita cantik yang sangat elegan kala mengenakan pakaian kerjanya ini berusaha kalem menghadapi sifat keras sang mama mertua.
"Iya Ma. Nanti, Gita akan bicarakan ini ke Mas Pram. Mama sabar ya, jangan terlalu mendengar perkataan orang," saran Gita berusaha bicara pelan dan santun. Akan tetapi, tidak dengan Miranti. Wanita paruh baya itu semakin emosi.
"Ingat Gita! Perempuan yang sudah menikah itu harus mengabdi pada keluarganya. Lebih baik, kamu kasih jabatan kamu itu ke Pram. Lalu kamu berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga seutuhnya, biar bisa cepat hamil!" ketus Miranti semakin menjadi. Bahkan, cekalan di lengan menantunya semakin erat. Gita hanya bisa meringis kecil dan menghela napas.
Ternyata tinggal bersama ibu mertua tak seindah bayangan Gita. Miranti terus saja memerintahkannya mengerjakan pekerjaan berat, bahkan yang biasa di kerjakan oleh ART.
Namun, Gita berusaha untuk memaklumi. Ia mencoba berbakti pada pintu surga suaminya itu. Karena, Gita sangat tau jika Pram, sangat menyayangi ibunya.
Gita mengangguk patuh sebelum ia pamit pergi. Karena takkan pernah selesai jika menanggapi keegoisan Ibu mertuanya itu. Dia sudah mencoba untuk menerima segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya sebelum berangkat kerja.
Seperti memasak serta mencuci pakaian Miranti dan juga Pramudya. Padahal, mereka bisa saja meletakkan pakaian kotor di laundry. Akan tetapi, Miranti melarang dan mengatakan bahwa itu adalah jalan bakti bagi seorang istri dan juga menantu.
Malam harinya Gita menyampaikan keinginan Miranti pada, Pram. "Aku setuju dengan ide dari Mama. Jika kau mau, aku bisa menghandle semua kebutuhan kita. Jika memang kamu mau menyerahkan kursi jabatanmu pada Mas. Fokuslah menjadi istri dan ibu dari anak-anak kita," tutur Pramudya. Gita sudah menduga, jika suaminya ini pasti akan selalu setuju dengan apapun keinginan dari mamanya.
"Baiklah, Mas. Aku akan bicarakan ini pada atasan. Karena selama ini juga ku perhatikan kinerjamu sudah semakin bagus. Lagipula, terlihat sangat tidak adil jika sepasang suami istri bekerja di perusahaan yang sama," ucap Gita dengan senyum ikhlas.
Setidaknya, ia juga butuh istirahat. Ia ingin menjalani profesi barunya sebagai seorang istri yang bisa sedikit lebih santai menikmati hari-harinya di rumah menunggu hingga sang suami pulang. Begitulah, bayangan indah nan manis yang ada di pikiran Gita.
Singkatnya, proses pemindahan jabatan telah selesai. Pram kini menduduki jabatan sebagai kepala divisi staf keuangan.
Gita kini telah menjalani peran full sebagai ibu rumah tangga. Namun, bayangan indah dan manis yang ada di dalam benaknya ternyata jauh dari kenyataan.
Sikap Miranti semakin menunjukkan bahwa wanita paruh baya itu seperti menaruh kebencian padanya. Karena mereka masih tinggal bersama maka, Miranti yang memegang semua uang gaji Pramudya. Putranya itu, hanya boleh memberi uang jajan ala kadarnya untuk Gita.
Gita diam dan menerima itu semua. Toh memang benar ia tidak memerlukan uang untuk belanja keperluan. Setidaknya ia masih memiliki simpanan di tabungannya sendiri yang tidak diketahui oleh orang lain termasuk Pramudya.
Pram sebelum memberikan uang gaji kepada sang mama telah lebih dulu membelanjakan segala kebutuhan Gita dan kebutuhan di rumah itu untuk satu bulan ke depan.
Didepan putranya, Miranti akan terlihat perhatian sekali pada Gita. Namun, perlakuannya berubah seketika, setelah Pram berangkat bekerja. Miranti, bahkan sengaja memberikan pekerjaan rumah tangga yang banyak dan berat pada Gita dengan alasan bahwa itu adalah bakti dari seorang istri dan menantu. Hingga, Miranti sengaja meliburkan asisten rumah tangga untuk sementara.
Semua badan yang terasa sakit, membuat Gita mengadu pada Pram. "Sudahlah, kamu jangan manja. Memang aku tau selama ini kami hidup enak. Tapi benar kata mama. Kamu harus bisa membiasakan diri. Lagipula, mana mungkin mama memberhentikan Mbok Sumi," timpal Pram.
"Kamu kok gitu, Mas. Kerjaan ini terlalu berat buat aku. Mama tuh sengaja memecat ART kita. Agar aku tersiksa. Gimana aku bisa hamil coba," rajuk Gita berharap, Pram mendengar keluhannya.
"Mana ada! Mama bilang padaku jika dia masih bekerja. Hanya saja sekarang tidak lagi menginap di sini, semenjak suaminya kena stroke," kilah Pram.
Mendengar penuturan Pram yang selalu dan selalu akan membela sang mama, Gita hanya bisa pasrah. Ia hanya bisa mengelus dada karena Miranti sering memutar balikkan fakta. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain cepat hamil. Agar pekerjaannya di rumah itu tidak terlalu banyak. Siapa tau juga, Pram bisa memanjakannya. Karena, Gita tak mau juga hubungan antar ibu dan anak ini jadi renggang.
Pagi ini, Miranti kembali marah-marah lantaran pekerjaan Gita berantakan. Wanita paruh baya itu sengaja menyiksa istri dari Pram. Karena, dia sangat membenci menantunya itu.
Gita seharian itu muntah-muntah terus. Ternyata ia hamil. Gita menyembunyikan testpack untuk mengejutkan suaminya nanti. Melihat kesempatan itu, Miranti kembali memiliki rencana.
"Jadi dia hamil. Hemm ...?" Miranti menampilkan seringai di wajahnya. Lalu ia meletakkan ponsel di dekat dapur. Setelah itu ia memanggil Gita dan menyerahkan gelas berisikan minuman.
Karena ia tau bahwa sang putra sangat berharap sekali segera memiliki anak. Dan, Miranti pun menyusun rencana agar Gita dibenci oleh putranya itu.
"Gita! Minum ini!"
...Bersambung...
"Tunggu, Ma!" Gita menahan gelas yang di sodorkan oleh Miranti ke depan wajahnya. "Apa ini?" tanya Gita penuh selidik.
"Ini vitamin. Kamu kan lagi hamil muda. Harus minum vitamin racikan orang tua jaman dulu. Ini herbal, kamu tidak perlu khawatir," jelas Miranti seraya memasang senyum membuat keibuannya agar Gita percaya ucapannya. Memang itu hasil racikannya barusan. Tapi, bukan untuk kesehatan janin, justru sebaliknya.
"Tapi, Ma ... aku mau periksa dulu nanti ke dokter kandungan," tolak Gita halus. Ia bahkan menepis pelan dan hendak berlalu dari hadapan mama mertuanya itu.
Akan tetapi, Miranti mencekal lengannya dan menarik Gita kembali ke hadapannya. "Kau tidak percaya, Mama?" tuding Miranti dengan tatapan tajamnya. "Kau pikir aku ingin mencelakai mu! Pakai logikamu, Gita. Mama adalah orang pertama yang ingin kau hamil!" tekan Miranti membuat Gita di lema.
Antara percaya atau tidak. Satu sisi dia belum berpengalaman. Tapi menurut apa yang pernah dia dengar dari teman-teman kantornya dulu, para wanita hamil tidak boleh mengkonsumsi minuman herbal apapun sebelum mendapat ijin dari dokter kandungan maupun bidan.
"Tapi, Ma ... aku pernah dengar kalau--"
"Orang lain kau dengar !" sela Miranti. " Kau anggap aku apa Gita!" Miranti terus membentak Gita dengan nada penuh emosi tinggi.
Membuat, wanita yang di duga tengah hamil muda itu menahan tangis hingga dadanya sesak. Sejak awal, Gita yang ingin mencari kasih sayang dari seorang ibu, akan tetapi yang ia dapat dan rasakan justru kebalikannya. Semua harapannya terasa jauh dari kenyataan.
Apalagi, saat ini hormon kehamilan membuatnya sedikit lebih mudah merasa sedih dan rapuh.
Gita terus menggelengkan kepala ketika Miranti terus menjejalkan minuman itu ke depan wajahnya. Akan tetapi, Gita terus menolak dengan memundurkan tubuhnya hingga terbentur meja di sudut dapur. Akan tetapi, Miranti justru terlihat semakin memaksa agar Gita meminum ramuan tersebut.
"Minum. Agar kandunganmu kuat, Gita!" Melihat sang menantu yang sudah terpojok dan tidak bisa bergerak lagi, Miranti mencengkeram dagu Gita agar wajah wanita itu mendongak. Miranti, semakin menekan pipi agar mulut Gita terbuka.
Ingin rasanya Gita mendorong tubuh mama mertuanya itu. Tapi, kalau diingat dari tuntutan Miranti setiap hari, Gita kembali percaya jika memang mertuanya itu menginginkan yang terbaik baginya. Karena, itulah sampai memaksanya seperti ini.
"Aku akan meminumnya sendiri, Ma," cicit Gita. Maka, Miranti pun melepaskan cekalannya dengan senyum kemenangan.
Gita meraih gelas itu dengan tangan gemetar. Ia benar-benar tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk memastikan apakah minuman ini aman atau tidak. Satu hal yang dia yakini adalah, mama mertuanya tidak mungkin ingin mencelakai dirinya dan juga janin yang kemungkinan besar ada di dalam rahimnya.
Glek ... glek.
Gita menenggak minuman tersebut hingga tandas. Rasanya, ternyata tidaklah terlalu buruk. Gita menyeka cairan dari minuman yang masih tercecer di pinggir bibirnya. Melihat itu, senyum di wajah Miranti semakin lebar saja. Mungkin, senyuman itu sampai ke telinganya.
Menjelang sore Gita sudah menyiapkan makan malam spesial. Bahkan, calon ibu muda ini sampai melihat tutorial di media sosial. Bagaimana cara memberi kejutan kepada sang suami, ketika sang istri ingin memberitahu tentang kehamilannya.
Pada akhirnya, Gita memutuskan untuk membungkus alat tes kehamilan tersebut menggunakan kotak kado dengan pita di atasnya. Gita merapikan kamar serta memasang sprei baru. Juga, menyalakan lilin aromaterapi yang wangi. Bahkan Gita mengenakan pakaian baru. Gita, sungguh ingin tampil sesempurna mungkin. Demi, menyambut hari yang merupakan, keajaiban untuknya ini.
Gita, sungguh sudah tidak sabar menerima perlakuan manis dari suaminya. Karena itu, bibirnya terus menyunggingkan senyum, ketika membayangkan, Pramudya memanjakannya. Seperti, cerita yang pernah ia dengar dari beberapa teman kantornya dulu. Hal, yang paling menyenangkan dari wanita hamil adalah ketika sang suami bersikap lebih manis dari sebelumnya. Gita, hanya ingin sesekali menjadi prioritas bagi suaminya itu.
Gita yang sudah rapi dan wangi hendak melangkah keluar kamar. Sekali lagi ia menoleh ke atas tempat tidurnya dan terus tersenyum. Karena, Gita meletakkan kado di tengah pembaringan mereka.
Baru selangkah setelah menutup pintu, tiba-tiba Gita merasakan nyeri di bawah perutnya. Tak lama rasa itu pun hilang. Ia mengira jika rasa itu adalah wajar. Karena, sejak tadi siang dia sudah tidak bisa diam. Menyiapkan ini dan itu demi kejutan besar untuk suaminya itu.
"Huh, pasti rasa sakit ini karena aku terlalu kelelahan. Iya, pasti karena itu," gumam Gita dan kembali melangkah menuruni tangga untuk menuju lantai bawah.
Saking antusiasnya bahkan Gita menunggu kepulangan Pram di teras rumah. Ia terus mengabaikan rasa sakit yang sesekali datang meremas perutnya.
"Mas, kamu ini kemana sih. Kenapa lama sekali. Sepertinya perutku sakit karena menahan lapar. Ayo dong, Mas ... cepatlah pulang," gumam Gita seorang diri. Ia bahkan berjalan mondar-mandir tak sabaran. Sementara di balik tirai ruang tamu, Miranti kembali memasang seringainya.
"Kejutan malam ini akan sangat besar sekali," gumam Miranti, dengan tatapan sinis ke arah sang menantu di luar sana. Ia tahu jika ramuannya mulai bereaksi.
Tak lama, mobil Pram terlihat memasuki pekarangan. Ingin rasanya Gita melonjak gembira. Tapi, sekali lagi ia ingat akan keberadaan calon bayi yang ada di dalam perutnya.
"Hei, sayang. Kamu cantik sekali sore ini. Ada apa nih? Sampai menungguku di sini?" cecar Pramudya setelah memberikan beberapa ciuman pada Gita.
"Aku sangat bahagia, hari ini. Dan, aku sudah menyiapkan kejutan besar yang sangat manis untukmu," jawab Gita, seraya bergelayut manja di lengan suaminya.
"Lihatlah, aku bahkan memasak semua makanan kesukaanmu," tunjuk Gita ketika mereka berdua melewati meja makan.
"Wah, aku jadi semakin penasaran ada apa sebenarnya," bisik Pram di samping wajah istrinya itu.
"Ih, kamu harus mandi dulu, Mas. Ayo, aku antar ke kamar," tuntun Gita yang telah merangkul lengan suaminya itu. Pramudya pun menurut saja. Karena sebenarnya ia sudah tak tahan untuk mencumbu Gita yang berdandan sangat cantik.
Miranti terus perhatikan gerak-gerik keduanya dari balik dinding. Hingga, wanita paruh baya itu mengikuti anak dan menantunya hingga ke lantai atas. Padahal, dia baru saja kembali dari kamar anaknya tersebut untuk mengambil kejutan yang telah disiapkan oleh Gita 'Sebentar lagi, efek ramuan itu benar-benar akan bereaksi total.' batin Miranti seraya menampilkan seringai jahat.
Benar saja, belum juga Pram membuka pintu kamar. Tiba-tiba, Gita menjerit kesakitan sambil membungkukkan tubuhnya. Kedua tangannya melingkar di depan perut.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Pram heran. Karena wajah istrinya tiba-tiba memucat.
Tak lama dari itu, terlihat darah menetes dari bawah gaun sebatas lutut yang dikenakan oleh Gita.
"Da–darah!" pekik Pram kaget. Tanpa masuk ke kamar lebih dulu. Ia sudah membopong tubuh istrinya itu turun ke bawah. Meneriakkan pada sopir yang kebetulan belum pulang, agar kembali mengantarnya ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit. Pram dikagetkan dengan diagnosa dokter. Mencengkeram kepalanya, lantaran terkejut yang kini berubah menjadi rasa khawatir.
Miranti menghampiri Pramudya yang tengah berdiri di depan pintu, ruang unit gawat darurat. Miranti, menepuk bahu sang putra hingga Pram menoleh dan berakhir memeluknya.
"Maaf," lirih Miranti. Membuat Pram sontak melepas pelukannya.
"Kamu liat aja videonya. Mama gak kuat buat cerita ke kamu," lirih Miranti dengan air mata berlinang. Wanita paruh baya itu pun menyodorkan ponsel, ke tangan Pramudya.
"Apa ini, Ma?" Kedua mata Pramudya memerah. Ia kembali di kagetkan dengan kejutan lainnya.
Tak lama dokter keluar dan mengabarkan bahwa ...
"Istri dan calon bayi anda selamat, Tuan. Tapi, kami harus menyedot ramuan yang telah istri anda minum melalui selang yang dimasukkan ke lambungnya," jelas sang dokter.
"Apakah, minuman itu berbahaya Dok?" tanya Pram.
"Benar, Tuan. Karena itu kami harus segera menyedotnya. Bagus saja, kandungan istri anda cukup kuat. Anda bisa tanyakan nanti kepada istri anda, apa alasannya meminum ramuan tersebut?tambah sang dokter lagi. Hingga akhirnya pria berjubah serba putih itu kembali kedalam.
"Mama sudah mengingatkannya," lirih Miranti. Membuat kedua tangan Pram mengepal erat.
"Kau kan tau jika aku menginginkannya. Kenapa kau lakukan itu pada calon bayi kita, Gita? Apa yang ada di dalam pikiranmu?" cecar Pram, dengan emosi yang masih ia tahan. Kini, ia telah berada di kamar perawatan istrinya.
Gita yang baru sadar dari pengaruh obat bius merasa heran dan terkejut melihat kemarahan Pram di matanya. "Apa yang membuatmu marah, Mas? Aku adalah korban. Bahkan, bayiku hampir tiada," cicit Gita yang masih dalam keadaan lemah.
"Jujur saja. Kalau kau belum siap hamil. Sehingga, melakukan tindakan bodoh yang hampir membahayakan dirimu dan juga calon anak kita!" ujar Pram kali ini penuh penekanan. "Kau keterlaluan, Gita!"
"Mas! Bukan begitu kejadiannya!" pekik Gita dari balik punggung sama suami yang meninggalkannya keluar kamar. Sayang, keadaan yang lemah membuat Gita tak bisa turun dari tempat tidur.
'Sial benar. Ternyata janin itu kuat. Tapi tak apa. Pram, putraku semakin tidak mempercayainya. Aku akan menggosok perasaan dan ketidakpercayaan Pram terhadap Gita. Agar dia semakin membenci dan Gita pun tersiksa. Ini, belum seberapa wahai menantuku.' batin Miranti ketika melihat punggung Pramudya keluar tergesa-gesa dari kamar perawatan Gita.
Rencana Miranti yang gagal meski tidak sepenuhnya. Membuat wanita licik itu banyak rencana yang lain untuk menyiksa batin Gita.
Beberapa pekan kemudian. Miranti sengaja memerintahkan Gita untuk mengantarkan minuman pada tamu yang datang kerumahnya. Karena sore itu Miranti ketempatan arisan sosialita wanita seumuran dirinya.
"Sabar aja ya, Ranti. Untung saja masih bisa diselamatkan. Kamu itu dosa apa sih sampai punya menantu kayak gitu?" Salah satu teman Miranti mengoceh sambil menatap sinis ke arah Gita yang tengah meletakkan minuman di atas meja.
Deg!
Gita merasa seakan ada benda keras dan berat yang di tekan ke dalam dadanya. Ia mencoba abai dan berniat pergi.
"Hai kamu! Jaga tuh baik-baik calon cucu sahabat kami ini!" ujar salah satu kawan Miranti yang lain.
"Iya, harusnya kamu tuh bersyukur di kasih kepercayaan di saat banyak wanita lain, justru terancam mandul!" sindir wanita paruh baya yang lain lagi.
'Apa yang telah mama ceritakan pada mereka? Kenapa mama jahat sekali padaku. Teganya memutar balikkan fakta di depan suamiku sendiri dan juga kawan-kawannya? Kenapa mama tega melakukan ini padaku? Apa salahku padanya?' batin Gita penuh sesak di dadanya. Karena ia tak habis mengerti. Miranti nampak begitu membencinya, tapi karena apa?
Tanpa berniat menjawab apapun karena di rasa percuma saja. Maka Gita berjalan cepat meninggalkan ruang tamu dan menangis sejadi-jadinya di dapur. Menumpahkan apa yang ia rasakan agar dadanya tidak terlalu sesak.
"Gita!" Terdengar Miranti kembali meneriakkan namanya.
...Bersambung ...
Semenjak kejadian itu, Pram tidak pernah lagi mempercayai Gita Karena bukti dari sang mama sudah akurat. Gita pun tidak bisa membantah bukti yang ada. Ia hanya berupaya menunjukkan betapa ia menyayangi calon bayi yang bersemayam di dalam perutnya itu.
Namun, Miranti tak berhenti menganggu. Wanita paruh baya itu terus mengipasi Pram agar terus menekan Gita. Mendoktrin putranya itu tentang beberapa hal yang bisa membahayakan janin, sekalipun itu tidak benar. Sehingga, Pram selalu melarang Gita melakukan ini dan itu, serta jenis makanan pun di batasi. Miranti membatasi semua hal yang ia sukai, termasuk jalan-jalan ke luar bersama sahabatnya Amel.
Miranti sengaja membatasi semua agar Gita tertekan dan tersiksa dengan kehamilannya. Termasuk membatasi pihak luar yang sekiranya bisa memberikan bounding maupun support sistem bagi Gita.
"Mas, berangkat ya," pamit Pramudya pagi ini seraya melabuhkan kecupan singkat di kening Gita. Segera wanita yang tengah hamil itu meraih tangan suaminya dan menciumnya takzim. Gita tetap berlaku sopan, meskipun harapannya yang akan di manja saat hamil pupus sudah.
"Mas, bisa tidak pulangnya jangan terlalu larut?" pinta Gita. Karena, ia ingin bisa bersantai di kamar lebih cepat. Karena, sebelum Pram pulang, mama mertua akan terus memerintahkannya untuk mengerjakan ini dan itu, meskipun Gita sudah kelelahan.
"Semoga saja. Karena pekerjaan banyak hari ini. Tim audit akan datang ke kantor memeriksa pembukuan. Kamu jangan terlalu lelah di rumah. Dengar apa kata, mama. Jangan terlalu sering membantah," pesan Pram, sontak membuat Gita kesal.
"Aku selalu menurut, Mas. Apapun yang mama katakan pasti akan aku kerjakan. Bagian mana yang tidak menurutnya?" protes Gita. Hal itu membuat Pram mengeratkan gigi gerahamnya.
"Lihat saja ini, kau bahkan berani membantah, Mas. Mau jadi apa anak kita kalau kamu, ibunya ini selalu keras kepala," debat Pram. Ia selalu percaya apa yang Miranti katakan ketimbang istrinya. Karena bagi, Pram, Miranti adalah wanita yang baik dan menyayangi menantunya. Tanpa Gita tau, jika Miranti selalu mengadu pada sang putra sambil berlinang air mata.
"Terserah, Mas. Kau takkan pernah mau mendengar ucapanku. Kau selalu menganggap benar setiap ucapan mamamu!"
"Dia mamamu juga, Gita!" tegas Pram. Mau berangkat kerja justru jadi bersitegang. Pram, mengusap wajahnya kasar. Berusaha meredam emosinya. Setidaknya ia masih memikirkan keadaan Gita yang berbadan dua.
"Sudahlah, aku berangkat." Pram pun meninggalkan Gita terpaku di depan rumah, sambil menatap nanar ke arah punggung suaminya. Tak ada kecupan atau pelukan untuk meredakan kemarahan di hati Gita.
Sering waktu, kehamilan Gita semakin besar. Namun, masa mengidamnya belum lagi usai. Hari ini dia ingin sekali makan bakso yang pedas. Siapa tau bisa mengurangi kesal dan lelah pada hati serta fisiknya juga.
"Tidak usah berpikir untuk makan enak Gita!" sarkas Miranti seraya meraih mangkok bakso yang ada di hadapan menantunya itu. Padahal, Gita sengaja makan di dapur. Pikirnya, sang mama tengah pergi keluar.
"Kok, Mama sudah pulang? Kembalikan baksoku, Ma. Gita lapar," pintanya memelas.
"Oh, jadi ... ketika aku tak ada di rumah, kau akan melakukan hal sesukamu. Benar begitu, menantuku yang cantik!" sarkas Miranti seraya mencengkeram dagu Gita dan melepaskannya kasar.
"Semua itu karena, Mama selalu membatasi keinginanku. Bahkan, hal yang di perbolehkan oleh dokter sekalipun," jawab Gita dengan segenap keberaniannya. Dan, hal itu pun kembali memancing eskpresi bengis dari Miranti.
"Hei. Aku melakukannya demi kebaikan dan kesehatan bayimu. Cucu kesayanganku!" tekan Miranti seraya mendekatkan wajahnya pada Gita dengan senyum miring.
"Sudahlah, Mama ambil ini! Kau, sebaiknya pergi belanja sayuran ke warung. Cepat sana!" titah Miranti. Kemudian dia berlalu setelah meletakkan uang dan kertas catatan.
"Tega sekali. Siang terik gini aku di suruh ke warung yang lumayan jauh. Padahal, tadi pagi aku sudah belanja kan," keluh Gita dalam hati
Miranti sengaja melakukannya hanya untuk menyiksa Gita. Kini, ia yang duduk santai sambil menikmati bakso panas dengan kuah pedas milik menantunya itu. Sementara, Gita hanya bisa menelan liurnya.
Di warung.
"Wah, Mbak Gita udah gede aja ya perutnya," celetuk salah satu warga yang jarang melihat Gita keluar rumah. Gita, hanya menimpali dengan senyum. Kemudian menyerahkan daftar belanjaan pada yang punya warung.
"Gak nyangka ya. Anak yang niatnya di buat tiada ternyata panjang umur," tambahnya lagi, tentu dengan senyum mengejek dan tatapan penuh tuduhan.
"Saya, tidak pernah sekalipun berniat untuk membunuh bayi saya!" ujar Gita membela diri. Sambil mengusap perut, berharap bayi di dalam sana tidak mendengar tuduhan keji terhadapnya itu.
"Ya, Mbak. Maling mana ada yang mau ngaku. Lagipula yang cerita juga mertua Mbak sendiri. Kasian loh, sambil nangis curhat sama kita," ungkap ibu yang mengenakan daster pendek, kemudian diangguki oleh pengunjung warung yang lain.
''Astaga, Ma! Cerita apa yang sudah mama rekayasa. Hingga mereka semua menyudutkan aku?'
Gita mencengkeram ujung dress-nya. Ia berusaha menahan setiap emosi dalam dada. Karena percuma juga membantah. Namanya sudah terlanjur jelek di mata para tetangga. Gita pun pamit setelah mendapat jatah belanjaannya. Sepanjang jalan menuju rumah. Ia hanya bisa melampiaskannya dengan menangis.
Bulan berganti bulan.
Bik Sukma, kebetulan sudah menginap lebih dari tujuh hari. Hal itu, tentu saja menambah porsi tekanan batin untuk Gita. Ketika keberadaan satu wanita kolot saja sudah membuatnya tersiksa, kini harus ada dua orang.
"Gita jangan makan dengan piring! Nanti muka anak kamu lebar! Kamu itu mau buat keturunan dari keponakanku jelek ya !" hardik Sukma. Membuat Miranti tertawa tanpa suara di balik dinding dapur.
"Gita, kalau mau pel lantai jangan gunakan lap bertangkai. Nih, gunakan ini, dan berjongkoklah!" titah Sukma sambil melempar lap kain. Gita menatap nanar kain basah yang ada di tengahnya.
'Yang benar saja. Rumah seluas ini. Harus aku pel dengan cara begitu dan dalam keadaan seperti ini. Apa mereka semua gila? Dasar wanita tak punya hati!' batin Gita penuh emosi.
Gita meletakkan kembali kain dari tangannya kedalam ember. "Tidak begini, Bik, cara agar aku bisa lahiran normal. Aku hanya perlu yoga dan senam ibu hamil, sebagai ikhtiar," jelas Gita. Mencoba membuka mata hati wanita kolot di hadapannya. Karena, sejauh informasi yang ia cari di internet tak ada hal semacam itu.
"Hei, itu cara kami jaman dulu. Liat saja, tak ada istilah secar atau apalah itu!" sambar Miranti, tentu saja dengan kedua matanya yang melotot. "Awas saja kalau kau sampai operasi!" kecamnya kemudian.
Tekanan seperti itu bukan sekali dua kali. Mertua dan juga bibi dari suaminya itu selalu saja mengatur apapun yang ingin Gita lakukan. Hal itu membuatnya sering menangis dalam diam. Di tambah lagi, Pram tidak mau mengerti dan membelanya. Hingga, menjelang waktu melahirkan, Gita tetap mendapat tekanan dari berbagai larangan.
Tibalah masa itu.
Pram yang panik karena Gita sudah kontraksi masih di tahan oleh Miranti. "Nanti saja kerumah sakitnya. Paling juga baru pembukaan awal," ucap Miranti. Ia enggan ikut mengantar sekarang. Meskipun dia tau jika keadaan Gita sudah mendekati proses melahirkan. Ia ingin menyiksa menantunya itu sampai puas.
"Mas! Sakit!" teriak Gita seraya mencengkeram lengan suaminya.
"Jangan teriak-teriak, Gita. Dulu, Mama waktu melahirkan Pram tidak seperti kamu. Makanya menurut apa kata orang tua. Lah kamu, selalu saja membantah. Selalu menolak niat baik Mama dan juga Bibimu itu," ungkap Miranti, sengaja di depan Pramudya.
"Aakhh! Sakit, Mas! Aku tidak tahan lagi!" teriak Gita dengan keringat sebesar biji jagung yang mengalir di pelipisnya.
"Sudah jangan teriak. Dengar kata, Mama. Nanti tenaga kamu habis untuk mengejan," ucap Pram membuat Gita merasa semakin kesal sekaligus sedih. Bahkan di saat genting begini, Pram masih tidak memikirkan perasaannya.
____________
Di rumah sakit.
Dokter keluar dari ruang bersalin. Pram langsung menghampiri.
"Selamat, Tuan. Istri anda telah berhasil berjuang untuk melahirkan secara normal. Meskipun, tadi ... istri anda sempat pendarahan lalu pingsan. Untung saja, mereka berdua bisa diselamatkan. Keadaannya terlalu lemah, mungkin karena kelelahan dan juga kurang asupan makanan bergizi," jelas sang dokter, yang sontak membuat Pramudya heran. Sebab, ia selalu mencukupi kebutuhan Gita.
Pramudya menoleh ke arah sang mama. "Itu karena kau terlalu memanjakannya, Pram," ucap Miranti datar. Pram menghela napas. Setidaknya, Gita dan bayi mereka selamat.
Miranti pulang lebih dulu ke kediamannya. Sukma sang adik sudah ijin pergi lagi.
"Aku, pasti kembali untuk membantumu menyiksa, Gita. Menantu kesayanganmu itu," ucap Sukma, terkekeh kemudian.
Setelah melepas kepergian Sukma dengan memberinya uang. Miranti masuk kedalam kamarnya.
Miranti cukup puas melakukan tindakan jahat kepada Gita. Ia pun melihat dan mengambil foto mendiang suaminya yang tersimpan di atas nakas. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendamku, mas. Aku pastikan kamu tenang dengan kehancuran orang itu.” gumam wanita paruh baya itu dengan sinar mata semerah darah.
...Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!