Byurr!
Suara ember berisi air, yang mengenai kepala dan tubuh Ahra Eriska. Kepalanya mendongak ke atas, lalu melihat orang-orang yang sama. Siapa lagi bila bukan tukang bully, yang diketuai oleh Zeyan.
"Aku benci kamu Zey, aku benci sikapmu." Ahra melihat semua orang, yang memperhatikannya sambil tertawa.
Ahra segera berlari menuju toilet, untuk membersihkan diri. Hari itu lagi musim hujan, betapa dinginnya tubuh mengenakan baju basah. Maka dia mengganti baju, dengan jaket yang ada dalam tasnya.
Zeyan, Eybo, Fras, Pramudy, dan Theo masih tertawa di emperan kelas. Mereka berencana akan mengerjai Ahra, supaya dia mendapatkan hukuman dari guru.
"Ayo kita kunci dia di dalam toilet." ajak Zeyan.
"Oke, siapa takut." jawab semuanya.
Mereka semua berlari, lalu mengunci pintu toilet. Ahra menggerakkan gagang pintu, namun pintu tetap tidak terbuka.
"Tolong! Tolong!" Ahra berteriak.
Beberapa menit kemudian, barulah ada orang yang datang. Dia ingin ke toilet, lalu mendengar suara teriakan Ahra. Siswi itu membantu membuka pintu toilet.
"Kenapa kamu bisa ada di dalam?" tanya seorang siswi.
"Aku dikunci dari luar, tidak tahu siapa yang melakukannya." jawab Ahra.
"Kamu kelas sepuluh jurusan Akuntansi itu 'kan. Cepat sana masuk kelas, guru sudah ada di dalam." titahnya.
Ahra menepuk lembut pundaknya. "Terima kasih."
Saat sampai ke kelas, Ahra dilempar kertas oleh Zeyan. Tidak lupa pula terdengar sorakan, dari mulut-mulut yang lainnya.
"Huu... terlambat masuk kelas." ucap Zeyan spontan.
"Zeyan diam, jangan membuat kerusuhan." Ibu Indri memberi peringatan.
"Gara-gara menunggu dia masuk kelas, jadi kita terlambat belajar. Pasti dia bolos Bu, lihatlah mengenakan baju biasa. Mana baju sekolahnya, tidak ada tuh." jelas Zeyan.
"Iya Bu, tadi aku melihat dia memanjat gerbang sekolah. Sengaja dia Bu keluar, mengenakan jaket itu." Eybo ikut menyudutkan.
"Tidak Bu, aku mengganti dengan jaket karena bajuku basah." jawab Ahra.
"Memangnya tadi kehujanan?" tanya ibu Indri.
"Cari alasan saja Ahra itu Bu." Pramudy menyudutkan.
"Sungguh Bu, aku terlambat karena terkunci dalam toilet. Aku tidak bolos Bu, aku mempunyai saksi. Ada seorang siswi, yang membantu aku keluar dari toilet." ujar Ahra jujur.
"Bawa saksinya ke sini." jawab ibu Indri.
Dengan rasa deg-degan, Ahra keluar kelas menuju kelas siswi tadi. Beberapa menit kemudian, Ahra telah kembali.
"Feni, apa benar kamu membantu Ahra keluar dari toilet?" tanya ibu Indri.
Zeyan menggebrak meja, hingga mengejutkan semua penghuni kelas. Sorot matanya sangat tajam, seolah ingin membunuh saksi yang dibawa Ahra.
"Zeyan, kamu tidak sopan sekali. Kamu tahu 'kan ada guru, mengapa kamu menggebrak meja." Ibu Indri menoleh ke arahnya.
"Ada lalat Bu, sungguh membuat resah." Zeyan tersenyum santai.
Ibu Indri kembali menoleh ke arah Feni, dan dengan lantang mengulang pertanyaan. Feni menggelengkan kepalanya, karena takut dengan ancaman Zeyan.
"Aku tidak menolong Ahra di dalam toilet. Sepertinya, dia hanya beralasan saja." ujar Feni.
"Astaghfirullah, kamu ini pintar sekali berdusta. Sudahlah tidak mematuhi aturan sekolah, dengan mengenakan jaket. Ditambah lagi bolos, lalu membawa saksi palsu." Ibu Indri menatap Ahra, dengan tatapan tidak suka.
"Sungguh Bu, Feni tadi yang menolongku. Feni, kamu pasti diancam mereka 'kan." Ahra menggenggam tangan Feni, berharap perempuan itu berterus-terang.
"Sudahlah, kamu jangan banyak alasan. Cepat berdiri di lapangan upacara, sambil mengangkat kaki sebelah." titah ibu Indri.
"Baiklah Bu." Ahra keluar kelas, sambil meneteskan air mata.
Zeyan tertawa puas, bersama teman-temannya. Mereka berencana, akan menyiksa batin Ahra lagi.
Ting! Ting!
Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa keluar kelas. Ada yang ke kantin, ada yang menonton Ahra dihukum, ada juga yang bermain bola.
"Hei, pinjam bola kamu." Zeyan menunjuk seorang laki-laki.
"Tidak mau ah." jawab Yoyok.
"Kamu berani melawan aku, tidak tahu siapa aku." Zeyan membenarkan dasinya sendiri, berlagak berkuasa.
Yoyok memberikan bola, lalu Zeyan tersenyum jahat. Zeyan sengaja menendang bola, hingga mengenai kepala Ahra. Kepala Ahra kesakitan, karena pukulannya kuat.
"Aduh, kepalaku sakit. Ya Allah, kuatkan aku." Ahra memegangi kepala belakangnya.
Zeyan melakukannya lagi, selama berulang-ulang. Ahra jadi tontonan seluruh siswa dan siswi, yang berada di emperan tingkat atas. Zeyan mendekat ke arah Ahra, dan mendorongnya hingga jatuh tersungkur.
"Hukuman ini belum seberapa, aku bisa berbuat sesuka hatiku. Apa lagi, bila kamu terus melakukan perlawanan." ancam Zeyan.
"Beraninya tadi mengadu ke Ibu Indri." Eybo menendang betis Ahra.
"Kalian jahat, kalian manusia dzalim. Terutama kamu Zeyan, yang menggunakan harta di jalan kesesatan." Ahra menatap Zeyan, dengan seluruh rasa benci.
Zeyan mendorong pundak Ahra. "Apa kamu ha, di sekolah ini siapa temanmu? Berani-beraninya melawan aku, yang jelas banyak teman. Bilang saja kamu iri, karena tidak bisa membayar banyak orang untuk menolong. Hahah... hahah..."
Ahra berdiri dari posisi duduknya, yang sembarangan itu. "Kamu kira dengan seperti ini, kamu akan kekal bahagia. Justru, ini membuatmu terlihat krisis moral."
Tiba-tiba saja muncul kepala sekolah, yang baru keluar dari ruangan. Dia memanggil Zeyan, dan teman-temannya.
"Mengapa siswi satu itu berada di lapangan?" tanya kepala sekolah.
"Si Ahra ini dihukum Ibu Indri. Namun malah santai-santai, lihatlah sengaja lesehan di lapangan. Aku tadi menegurnya, malah dia marah-marah." Zeyan pura-pura baik.
"Terima kasih Zeyan, Bapak akan panggil Ibu Indri." Bapak kepala sekolah langsung pergi.
"Sama-sama Pak." Zeyan tersenyum, sambil melambaikan tangan.
Mereka segera berlari ke kelas, membuka tas Ahra diam-diam. Mereka menggunting tugas karya seni, yang telah dibuat susah payah oleh Ahra. Lalu setelahnya, membuang ke dalam tong sampah.
"Ahra, kamu kalau main-main hukumannya akan Ibu tambah." teriak ibu Indri di kejauhan.
"Tidak Bu, aku tidak sengaja terjatuh." Ahra berusaha sabar, meski kenyataannya tidak begitu.
Kini dia berdiri lagi, dengan kaki sebelah. Ahra terus melakukannya, sampai pelajaran Seni Budaya tiba.
Ahra menghela nafas lega, setelah sampai ke dalam kelas. Ibu Thanti menanyakan perihal tugas, dan mereka semua mengumpulkan di meja guru. Hanya Ahra yang mondar-mandir tidak tentu arah.
"Ahra, mana tugasmu?" tanya ibu Thanti.
"Tadi ada Bu di dalam tas." jawab Ahra.
"Alasan saja itu Bu." sahut Zeyan.
"Sungguh, aku sudah mengerjakannya." jawab Ahra.
"Ibu tidak percaya, kamu pasti bohong. Pada pelajaran Ibu Indri tadi, kamu sudah dihukum 'kan?" tanya ibu Thanti.
"Tolong percaya sama aku Bu." Ahra memohon.
"Silakan kamu keluar, dan jangan mengikuti pelajaran Ibu. Pokoknya, sampai orangtua kamu dipanggil ke sekolahan." jelas ibu Thanti.
Zeyan menginjak tali sepatu Ahra, hingga gadis itu hampir terjatuh. Cukup lama, baru dilepaskan olehnya.
Ahra yang sedang berada di luar, melihat ke arah tong sampah. Ada karya seninya di sana, namun sudah robek halus.
"Kalian jahat, kalian benar-benar berhati iblis. Mengapa kalian lakukan ini padaku." Ahra menangis tersedu-sedu, sambil terduduk di lantai.
Keesokkan harinya, Ahra kembali ke sekolah. Setelah semalam dipijat oleh ibunya, tubuh Ahra yang capek menjadi sedikit pulih. Kali ini dia tidak akan bebas begitu saja, Zeyan pasti akan mengganggunya lagi. Ahra sekarang berada di tengah-tengah, dikelilingi oleh para laki-laki.
"Cupu, hei cupu!" teriak Zeyan.
"Muka jerawatan, tampang pas-pasan." ledek Pramudy.
"Najis lihatnya, grrhgh...!" Eybo mengangkat kedua pundaknya, sambil menatap jijik.
"Awas, aku mau lewat." jawab Ahra, dengan tegas.
"Lewat saja, ngapain harus laporan ke kita." ujar Zeyan.
"Kamu tuh menghalangi jalan tau gak!" jawab Ahra.
Ahra hendak lewat pada sela-sela yang kosong. Namun, Zeyan malah menahan tangannya. Ahra sibuk ingin melepaskan, namun tenaga Zeyan lebih kuat darinya. Eybo, Pramudy, Theo, dan Fras sibuk tertawa, dengan mengelilingi Ahra.
"Aku paling tidak suka, bila ada yang melawanku." ucap Zeyan.
"Kamu siapa, sehingga aku harus patuh." jawab Ahra.
"Berani dia iya sama kita, padahal berasal dari rakyat jelata." Theo mencekik leher Ahra.
Ahra melakukan perlawanan, namun apalah daya dia perempuan. Fras menjambak jilbab Ahra, hingga rambutnya ikut tertarik. Pramudy dan Eybo tegak pinggang, sambil tertawa-tawa. Siswa dan siswi yang lewat segera berlari kabur.
"Kami adalah Geng Kapak Kece, yang ditakuti oleh penduduk sekolah. Orangtua kami bukan dari kalangan biasa, pejabat yang sangat kaya dalam negeri ini." Zeyan memamerkan kekuasaan, dengan wajah sombongnya.
Tiba-tiba saja ada ibu Zasty dan ibu Thanti, yang berjalan di kejauhan. Theo segera berhenti mencekik Ahra, saat disenggol oleh Pramudy.
"Gawat, kita harus segera kabur. Jangan sampai perbuatan kita dipergoki." Zeyan berlari duluan, disusul oleh teman-temannya.
Ahra memegangi lehernya yang memar, nafasnya terasa tercekat. Benar-benar sesak, dan akan menjadi trauma tersendiri. "Uhuk... uhuk..."
Pelajaran dimulai dengan Ibu Zasty, dan sekarang dia memberikan tugas pengungkapan sepenggal kalimat. Selaku guru bahasa Indonesia, dia menjelaskan secara detail.
Seluruh siswa dan siswi dipanggil satu-satu, untuk membacakan apa yang ditulis pada buku. Sekarang tiba giliran Ahra, yang maju ke depan kelas.
"Bully itu benar-benar ada, penindasan itu benar-benar nyata. Namun mengapa dunia acuh, seolah mengingkari apa yang dilihat." Ahra membacakan ungkapannya, sambil menahan air mata.
Setelah selesai, dia duduk di kursi. Rasanya itu sudah cukup melegakan, meski hanya sebuah ungkapan lewat tulisan. Dia tidak bisa menjelaskan lagi, bila tidak dipercaya. Mau menuntut, orangtuanya dari kalangan tidak mampu. Ahra hanya mampu menangis dan menangis, dalam diam berusaha tegar.
"Di dunia ini, siapa yang lemah akan tertindas. Biasanya tidak menerima kenyataan, adalah luka paling sengaja." Zeyan membacakan ungkapannya, sambil tersenyum mengejek ke arah Ahra.
Jam pelajaran berakhir, berganti dengan jam kosong. Ahra mengambil botol air minum, lalu meneguknya beberapa kali. Tiba-tiba saja lidahnya kepahitan, seperti merasakan air tersebut ditukar. Ahra
"Hahah... hahah... mampus kamu." teriak Zeyan.
"Hahah... hahah...." Suara tawa dari teman-temannya.
Ada seorang perempuan mendekati meja Ahra, lalu memberikan sebotol air putih. Ahra segera berkumur dan memuntahkannya di jendela.
"Kamu sudah agak mendingan?" tanya Rembulan.
"Iya, terima kasih Embul." jawab Ahra.
Rembulan melihat botol Ahra, yang airnya berwarna hijau. "Kelihatannya, ini diberi tetesan empedu."
"Ya Allah, pantas saja pahit sekali." jawab Ahra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!