NovelToon NovelToon

Pesona Putri Sambungku

Kepergian Marisa

Pagi hari yang cerah, bunyi alarm membangunkan seorang pria yang masih tertidur. Pria itu sudah berumur 27 tahun dan belum menikah.

Tangannya merajalela mencari keberadaan jam weker di meja samping tempat tidurnya. Pria itu ingin mematikan suara yang telah membuat bising gendang telinganya. Jemari panjangnya menyentuh tombol off dengan mata yang masih terpejam.

Klik.

Setelah mematikan alarm pada jam weker, pria itu kembali tidur sambil memeluk guling kesayangannya. Gulingnya sejak kecil, yang tak bisa lepas sampai sekarang. Padahal warnanya telah pudar, isinya pun telah kempes. Namun Ia tak pernah bisa lepas karena guling tersebut adalah pemberian dari mendiang Mamanya.

Seorang pria yang sudah Sepuh, berjalan masuk ke dalam kamarnya. Tangannya membawa sebuah gelas berisi air, lantas ia menuangkannya begitu saja tepat di wajah pria yang masih tertidur.

Byur

"Awww! " teriak pria itu, yang tak lain adalah Jeno.

"Bangun! Sudah siang ini," ujar pria sepuh yang merupakan kakek dari Jeno.

Jeno langsung beranjak duduk dan melihat jam weker di nakas kemudian meletakkan posisinya kembali menjadi berdiri.

"Masih pagi ini kek, masih jam delapan. Yaudah Jeno mandi dulu," ucap Jeno yang kemudian bergegas ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi seperti biasa Jeno sikat gigi dahulu, kemudian ia mendengar suara keras yang berasal dari televisi, yang di nyalakan kakeknya.

Kakeknya yang telah sepuh tidak bisa mendengar dengan jelas jika volume suaranya kecil. Jeno samar-samar mendengar suara pembawa berita tersebut, jika telah terjadi bencana yang menyebabkan Tsunami di Aceh. Ia pun keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan pakaiannya.

Sesampainya di ruang tengah Jeno ikut melihat tayangan berita di televisi, sambil terus menggosok giginya.

"Astaghfirullah," ucapnya saat melihat kondisi yang menghancurkan kota Aceh.

Tak berapa lama ponselnya berdering, Jeno segera meraih ponselnya dan mengangkat teleponnya.

Rupanya telepon dari temannya yang mengabarkan jika beberapa dokter ditugaskan ke Aceh untuk membantu korban Tsunami, termasuk Jeno

Jeno yang masih menggosokkan sikat giginya tak langsung menjawab, dia enggan meninggalkan kota Jakarta saat itu karena dia hanya tinggal berdua dengan kakeknya yang sudah Sepuh.

"Aku gak bisa, kakek ku gimana? Siapa yang jaga dia. Toh pasti ada banyak dokter yang dekat dengan Aceh, pasti mereka ikut membantunya," jawab Jeno

"Ayolah, kita sekalian kirim bantuan dan makanan kesana. Kita pake pesawat, semua ditanggung rumah sakit. Soal kakekmu, bisa kamu titipkan di tetangga sebelah," ucap Marten

Akhirnya Jeno pun mengiyakan, meski dengan hati yang berat. Tapi hatinya sebagai dokter terpanggil juga, ia tak rela melihat korban gempa dan tsunami yang melanda kota Aceh.

Singkat cerita, setelah mandi, berpakaian dan mengemasi barangnya. Jeno meminta tetangganya untuk merawat kakeknya sementara saat dia tidak di rumah. Jeno pun memberikan kunci dan sejumlah uang untuk kebutuhan kakeknya nanti.

Beruntung, ia memiliki tetangga yang baik hati dan menyanggupi keinginan Jeno.

Perjalanan Jakarta ke Aceh membutuhkan waktu 2jam 50 menit. Sesampainya di sana, Jeno dan tiga rekannya sesama dokter, naik helikopter dengan barang-barang kelengkapan medis yang mereka bawa juga bahan pokok sembako , selimut, tenda dan lain sebagainya titipan perwakilan dari rumah sakit dan teman-teman kerjanya.

Jeno menangis pilu dalam hatinya melihat keadaan Banda Aceh, yang masih tergenang air. Ditakutkan gempa susulan terjadi lagi. Tim SAR terus mencari korban yang terjebak dalam reruntuhan, maupun banjir.

Tak berapa lama mereka tiba di posko pengungsian. Jeno memanggul satu karung beras dan berjalan pelan membawanya masuk ke dalam tenda posko satu.

Terlihat seorang wanita cantik yang tengah hamil, terlihat panik saat berbicara dengan salah satu tentang yang membantu pencarian korban. Setelah berbincang dengan tentara tersebut, ia pergi meninggalkan tentara dan berjalan cepat dengan kondisinya yang hamil. Sampai menabrak Jeno yang sedang memanggul beras.

"Ah... maaf," ucap wanita itu

"Tidak apa-apa, hati-hati ya bu, jalanan licin," sahur Jeno sambil tersenyum sementara di lubuk hatinya yang terdalam. Jantungnya terus berdetak cepat. Wanita tadi menjawab dengan anggukkan kepala lalu pergi meninggalkan Jeno

Duh kenapa nih. Masak iya sih aku jatuh cinta sama ibu-ibu itu, belum tua sih dia seperti seumuran dengan ku, batin Jeno

Jeno melanjutkan langkahnya dan membawa masuk kedalam tenda posko satu. Ia lalu memeriksa kondisi korban di sana. Banyak yang menangis karena kehilangan keluarganya. Wajah mereka sayu, sedih dan bahkan ada yang melamun. Namun ada pula beberapa anak kecil yang tertawa riang dengan temannya dan berlari kecil tanpa alas kaki.

Tak berapa lama ada seorang kepala desa yang masuk ke tenda itu, dia mengajak Jeno berbicara dan juga beberapa rekannya ikut bergabung di posko satu. Kemudian kepala desa itu memperkenalkan Dokter Jeno, Dokter Merten dan Dokter Haris kepada warga yang mengungsi.

Tak berapa lama seorang warga datang tergopoh-gopoh ke tenda posko satu.

"Tolong pak, anu... " seorang pemuda itu berhenti sejenak mengatur napasnya.

"Anu apa?" tanya pak kepala Desa

"Katanya disini ada dokter kandungan, beliau ada disini tidak ya. Itu ada ibu-ibu yang sepertinya mau melahirkan," ucap pemuda itu

"Oh iya ada disini, ini Dokter Jeno Alvaro," ucap kepala desa

"Ya saya Jeno, Dokter kandungan. Baik kalau begitu saya akan menyiapkan peralatan medisnya, " ucap Jeno

"Aku bantu bawa barangmu ya," sahut Marten

"Kayaknya perlu handuk sama kain, aku ambil handuk dulu di koperku," sahut Haris

"Makasih," ujar Jeno

Haris dan Marten bukanlah dokter kandungan, Haris dokter umum sedangkan Marten dokter ortopedi.

Sesampainya di tenda tiga yang berada agak jauh ke barat. Seorang Wanita sudah terbaring lemah dan kesakitan. Paras wajahnya sudah bergelimang peluh karena menahan sakit di area bawah.

"Permisi, saya Jeno, dokter kandungan. Saya akan membantu proses persalinan ibu," ucap Jeno

Wanita itu mendelikkan tanda ia berontak,

"Saya tidak mau dokter laki-laki. Tolong carikan bidan atau dokter wanita," pinta wanita itu dengan napas tersengal-sengal

"Tapi bu Marisa, disini tidak ada bidan apalagi dokter wanita," ucap salah satu ibu-ibu

"Ada dokter wanita di daerah sana tapi jauh dan itu pun dia tidak bisa menangani proses melahirkan karena tidak pengalaman," ucap ibu yang lain.

"Saya tidak mau! Nanti punya saya dilihat lagi. Gak mau, ya gak mau!...ahh sakitt," ucap Marisa yang kemudian mengeluh kesakitan

"Saya dokter kandungan yang sudah disumpah untuk tidak melecehkan. Tidak ada niatan untuk melihat itu atau apapun. Begini saja jika ibu tidak mau dilihat. Biar Ibu ini yang membantu melihat. Saya akan membantu menarik kepalanya. Saya janji tidak akan mengintip," ucap Jeno

Marisa pun terpaksa mengiyakan. Tidak ada jalan lain karena dia sudah kesakitan setengah mati.

Jeno mengambil oksigen kecil dan memasangkannya pada hidung Marisa. Wanita itu terlihat stres dan membutuhkan oksigen untuk berjaga-jaga. Setelah semua peralatan di siapkan, kain dibentang lalu punggung bawah diberi bantal tinggi. Marten dan Haris diminta duduk di samping kiri dan kanan gunanya untuk membantu Marisa mengejan.

Jeno perlahan memasukkan jari tangannya tanpa melihat, sementara seorang ibu menjadi matanya.

"Ini kepalanya sudah masuk panggul. Jangan ngeden sebelum saya beri aba-aba. Atur napasnya ya bu," ucap Jeno

Sementara Marisa memperhatikan. Dirinya benar-benar seperti mimpi. Satu keluarga besarnya hilang dan belum mendapatkan kabar. Ia terus melihat berita dan memantau perkembangan pencarian korban namun ia belum juga mendapatkan kabar.

"Ayo bu, ngeden ya satu... dua... tiga..., " perintah Jeno

"Hmpppphh," Marisa mengambil napas dalam kemudian menahannya untuk mendorong bayinya. Dia tidak mengeluarkan suara saat mengejan. Tidak seperti sinetron-sinetron ya karena kalau ada suaranya maka tidak akan maksimal.

Mata Marisa berkunang-kunang rasanya pandangannya gelap seketika. Jeno diam-diam mengintip sedikit, ia mengambil gunting dan menyobek sedikit agar jalur keluarnya sedikit gampang.

Kemudian aba-aba kedua Jeno perintahkan untuk mengejan lagi. Dan keluarlah bayi bertubuh montok dan besar, berkulit putih sehat dan menangis sangat kuat setelah ia keluar dari jalannya.

Marisa menangis mendengar suara tangisan bayinya. Namun disamping itu dia sangat sedih karena suaminya tidak menemaninya disana

Setelah bayi dibersihkan, kemudian bayi itu ditaruh di atas dada Marisa untuk menjalin kedekatan antara ibu dan anak.

Jeno meminta maaf karena dia menggunting sedikit jalan keluarnya. Terpaksa karena bayinya bertubuh besar.

"Hmm tidak apa-apa dok, jika itu yang terbaik. Terimakasih sudah membantu persalinan saya,"

"Iya, tapi... " ucapan Jeno terputus

Setelah menggunting sedikit dia perlu menjahit nya.

Duh gila senyumnya cantik banget, batin Jeno yang telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Marisa. Namun perasaannya salah.

"Tentu setelah mengguntingnya, saya perlu menjahitnya," ucap Jeno

Raut wajah Marisa menjadi tegang, dia terdiam sesaat. Kemudian membuang napas kasar sebelum menjawabnya.

"Baiklah lakukan, tapi ingat jangan macam-macam," ucap Marisa yang sangat takut dan tidak nyaman

Astaga, gini amat ya jadi dokter kandungan batin Jeno

Setelah mendapat persetujuan Jeno lantas menjahitnya dengan cepat.

Malam harinya, Marisa semakin khawatir ia terus menerus menanyakan kabar pada tim penolong. Disaat itu Jeno masuk untuk mengecek keadaan bayi. Ia juga memberikan Marisa sebuah kelambu kecil untuk sang Bayi, begitu perhatiannya pada Marisa dan bayinya.

Jeno juga memberikan nasihat untuk Marisa agar fokus pada Bayinya dahulu. Dia tahu keadaan Marisa yang masih mencari kabar sang suami namun yang terpenting saat ini adalah si Bayi. Setelah memberikan nasihat, kemudian Jeno pamit pergi meninggalkan Marisa.

"Dokter... tunggu," panggil Marisa menghentikan langkah Jeno

"Ya..." Jeno berbalik dan kembali mendekat

"Tolong adzan kan putri saya, suami saya belum juga ditemukan," ucap Marisa dengan rasa getir. Pahit dan pilu karena seharusnya suaminya lah yang mengadzankan putrinya

Jeno tidak keberatan, dia lalu melantunkan adzan di telinga kiri dan kanan putrinya Marisa yang belum diberikan nama.

Masya Allah lantunan Adzan nya membuat hatiku bergidik batin Marisa yang meneteskan air mata bahagia serta sedih di saat bersamaan.

.

.

.

Selang tiga hari dari tragedi tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 Banjir sudah surut, yang nampak hanyalah puing puing reruntuhan. Di mana ada beberapa bangunan yang tetapi bersih dan rata dengan tanah lalu ditengahnya masih berdiri kokoh sebuah masjid yang besar.

Marisa mendapatkan kabar jika satu persatu keluarga nya ditemukan tewas. Namun dia masih belum mendapatkan kabar tentang suaminya. Marisa terus dirundung kesedihan. Dan itu berpengaruh pada ASI-nya yang hanya keluar sedikit.

Pemerintah sudah mengupayakan tempat layak untuk korban bencana alam yang pastinya lebih baik dari posko tenda sementara tersebut. Tempat tersebut dalam tahap pembuatan dan rencananya akan gratis untuk mereka tinggali.

Jeno belum juga meninggalkan Aceh, dia dan kawannya ikut membantu memeriksa kondisi korban yang masih selamat. Marisa berharap suaminya adalah salah satu korban yang selamat.

Hari demi hari terlewati. Negara tetangga ikut membantu Indonesia mencari keberadaan korban. Tak mudah menemukan korban dan kemudian mencocokkan dengan DNA yang mereka miliki.

Empat hari kemudian, Ahmad suami Marisa ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Satu kakinya tidak utuh, di perkirakan saat itu ia hanyut terseret jauh dan tertimpa sesuatu.

Marisa menangis namun setelah itu dia lebih tertekan. Jiwanya terguncang dan belum siap menerima kenyataan. Beruntung dia mengenal ibu-ibu dan bapak-bapak yang baik yang juga korban bencana alam seperti dirinya yang selalu memberikan semangat untuk melanjutkan hidup. Jeno salah satunya yang kerap memberikan perhatian lebih kepada Marisa.

Setelah suaminya dimakamkan, Marisa lebih banyak diam sambil duduk menggendong putrinya yang sampai saat itu belum diberi nama.

"Ehemm..." sahut Jeno saat masuk menghampiri Marisa yang berada di tenda satu.

Marisa menoleh melihat Jeno yang membawakan makanan untuknya.

"Hari sudah malam, saya lihat ibu Marisa belum makan. Ini makanlah biar ada asupan gizi untuk si kecil," ucap Jeno seraya memberikan satu nampan berisi makanan seadanya nasi, tahu tempe dan segelas air putih.

Marisa hanya tersenyum kemudian meletakkan bayinya diatas busa tipis lalu menyelimutinya. Ia menerima satu nampan berisi makanan pemberian Jeno.

"Terimakasih Dokter, Anda begitu perhatian,"

"Saya hanya tidak tega melihat kondisi si kecil jika ibunya terus melamun seperti itu," ucap Jeno

"Saya bahkan belum memberinya nama, saya terlalu fokus untuk....," Marisa terdiam, terlihat genangan air mata sudah berada di pelupuk matanya kemudian mulai mengalir.

Jeno menyentuh pundak Marisa

"Ibu Marisa harus kuat, harus tegar demi buah hatinya," ucap Jeno yang baru sadar jika dirinya menyentuh pundak Marisa, ia takut jika dirinya telah melampaui batas. Segera ia menarik tangannya kembali

Marisa mendengar perkataan Jeno, dia mengusap air matanya. Mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya kasar.

"Dokter Jeno benar, saya harus kuat, harus tegar,"

"Arti nama Marisa itu adalah Lautan. Maka dari itu tegarlah seperti lautan yang membentang luas. Yang tahan terhadap hantaman riuh ombak,"

Marisa mulai nyaman dengan pembicaraannya dengan Jeno. Kemudian ia meminta Jeno untuk memberikan sebuah nama untuk anaknya.

"Kira-kira nama apa yang cocok untuk putriku," tanya Marisa

Jeno melirik ke arah bayi yang tertidur pulas itu. Kemudian tersenyum.

"Dia lucu, menggemaskan dan cantik seperti bulan bagaimana kalau Luna. Haha itu sih kalau Ibu Marisa setuju, saya hanya menyaran..."

"Nama itu juga bagus, Luna. Hai cantik nama kamu Luna," ucap Marisa sambil menatap putrinya dan seolah-olah mengajak bicara bayinya. Marisa kemudian tersenyum, terlihat pancaran keceriaan dari wajahnya meski hanya sedikit.

Jeno menatapnya tanpa kedip, kemudian Marisa menoleh dan menangkap tatapan Jeno yang terus memperhatikan dirinya. Jeno pun menjadi salah tingkah dibuatnya.

"Hemm maaf, kalau begitu saya permisi," ucap Jeno yang langsung pergi meninggalkan Marisa dengan debaran jantung yang tak menentu.

Waktu terus berputar dua Minggu kemudian Marisa mulai terbiasa sendiri dan berbaur ramah dengan warga pengungsi di tenda posko, sementara pencarian korban hilang terus mengalami peningkatan. Semakin hari banyak nama-nama korban yang ditemukan. Meski ada beberapa nama yang hilang.

Jeno terus menghampiri Marisa, mendekatinya, mengajak ngobrol hingga ia mulai memberanikan diri. Jeno akan melamar Marisa sebelum dirinya pergi meninggalkan Aceh.

Keesokannya Jeno mengajak Marisa berjalan di dekat posko pengungsian untuk mencari udara pagi yang bagus untuk bayi ( Istilahnya dijemur).

"Disini cukup mendapatkan sinar matahari pagi. bagus untuk pernapasan si kecil. Kalau didalam tenda terus tidak akan baik Bu Marisa," ucap Jeno

"Iya, Dokter benar. Terimakasih ya sudah membawa saya kesini," ucap Marisa sambil membuka sedikit pakaian bayinya guna agar kulit si bayi yang mulai mengelupas mendapatkan sinar matahari pagi.

"Hemm Bu-Bu Marisa,"

"Iya?"

"Saya, Hem maaf sebelumnya jika ini bukanlah waktu yang tepat. Tapi saya jatuh cinta dengan Ibu Marisa saat pertama kali kita bertemu. Saat Ibu Marisa tak sengaja menabrak saya. Bukan itu inti yang ingin saya bicarakan. Namun saya ingin menikahi Ibu Marisa dan menjadi orang tua sambung untuk putri ibu," ucap Jeno dengan gentle

Marisa terkejut dengan apa yang dikatakan Jeno. Memang dirinya belum siap jika harus menikah lagi karena baru saja ditinggalkan bahkan belum ada sebulan. Dan lagi ia belum memiliki perasaan apapun pada Jeno, namun putrinya perlu memiliki sosok Papa.

"Jangan menjawabnya sekarang, saya akan menunggu sampai Ibu Marisa siap dan menerima saya," ucap Jeno

Marisa terkekeh sedikit, "Itu sama artinya dengan Dokter tidak menerima kata penolakan,"

"Haha bu-bukan begitu..." ucap Jeno yang mulai gugup

"Saya terima niat baik Dokter, namun saya perlu waktu jika harus menikah dengan dokter,"

"Hah...itu artinya Ibu Marisa menerima lamaran saya?" tanya Jeno memastikan

"Sepertinya begitu," Marisa tersenyum, "Panggil saja Marisa, usia saya lebih muda dari dokter,"

Jeno merasa senang, dan itulah tahap awal perkenalan mereka menjadi lebih dekat.

Selang seminggu rumah susun layak huni jadi, Marisa dan pengungsi lain meninggalkan tenda Posko dan tinggal ditempat itu. Jeno pun mulai kembali ke Jakarta dan berniat akan menikahi Marisa secepatnya. Setelah masa idahnya selesai.

Singkat cerita, Jeno menikahi Marisa dan membawanya untuk tinggal di Jakarta. Marisa tidak memiliki keluarga lain lagi. Kini dia hanya memiliki putrinya dan Jeno. Yang membuat Marisa menerima Jeno adalah sikap Jeno yang sangat sayang terhadap putrinya.

"Mas ini teh hangatnya," ucap Marisa memberikan segelas teh di meja makan.

"Terimakasih ya sayang," ucap Jeno seraya mengecup pipi Marisa, "Luna masih tidur ya?" tanya Jeno

"Iya mas, habis makan dan dede, dia tidur. Nanti pulangnya jangan malam-malam ya Mas," ucap Marisa

"Iya, Mas ada jadwal praktek jam 9 sampai jam tiga, setelah itu Mas pulang cepat. Tapi kalau ada sesar atau ada yang melahirkan ya Mas terpaksa lembur,"

"Ya pokoknya jangan malam-malam, hujan deres kalau malam, aku kan takut hehe," ucap Marisa

Ada rasa trauma saat saat dia mendengar suara gemuruh hujan seakan ingatan masa silam kembali menerpa.

"Iya sayang, mas usahakan pulang cepat," Jeno mengusap pipi Marisa dengan lembut.

Setelah menghabiskan roti dan teh hangatnya, Jeno pamit berangkat kerja. Tak lupa ia mengecup kening Marisa dengan sayang.

"Tolong jaga kakek juga ya sayang," pinta Jeno yang masih memiliki tanggungan merawat kakeknya. Meski usia sepuh Namun kakeknya masih sehat dan kuat berjalan tanpa tongkat

"Iya Mas, hati-hati dijalan ya?" ucap Marisa mengantar kepergian Jeno hingga depan rumah.

Setelah Jeno pergi, Marisa masuk kedalam rumah. Kemudian kepalanya pening dan terasa berputar. Marisa teringat saat ia diterjang Tsunami, kepalanya terkena lemari yang besar. Sejak saat itu ia sering merasakan pusing namun tidak pernah diperiksakan.

Aduh sakit banget kepalaku, batin Marisa kemudian ia duduk lalu berbaring sebentar di kursi sofa ruang tamu. Selang beberapa menit kepalanya sudah tidak sakit lagi.

Marisa kemudian ke dapur dan membuatkan teh hangat tanpa gula untuk kakeknya Jeno yang sedang duduk menonton televisi.

"Kepalamu itu sering pusing, kenapa tidak diperiksakan saja," ucap sang kakek yang diam-diam memperhatikan tingkah Marisa.

"Iya Kek, nanti kalau Mas Jeno pulang, Marisa periksakan," ucap Marisa

Kemudian terdengar tangisan Luna, yang sepertinya meminta susu, Marisa kemudian pamit ke kamar untuk mengurus putrinya.

Sore harinya, Jeno pulang tepat waktu seperti yang di pinta Marisa. Namun saat Marisa membukakan pintu untuk Jeno, Marisa kembali pusing dan pingsan.

Jeno langsung membawa Marisa ke rumah sakit. Dan sekaligus meminta sang kakek ikut serta untuk menggendong Luna. Tidak mungkin Luna ditinggalkan begitu saja.

Sesampainya di rumah sakit, Kakeknya menceritakan kepada Jeno jika Marisa kerap sakit kepala. Jeno pun menginginkan pemeriksaan yang lengkap.

"Pak Jeno, istri bapak mengidap kanker, itulah kenapa dia kerap kali mengalami pusing. Salah satunya cara adalah operasi,"

Jeno terkejut dengan hasil pemeriksaannya. Setelah pembicaraan detail akhirnya Jeno memutuskan untuk melakukan tindakan operasi. Tetapi begitu Marisa sadar dia menolaknya. Akhirnya Jeno pun mengalah, namun Marisa harus berobat secara rutin dan mengkonsumsi obat-obatan.

.

.

Waktu terus berputar, Marisa mulai mengalami kerontokan pada rambutnya, namun dia menyembunyikannya dari Jeno. Jujur saja mendengar kata operasi dia sudah sangat takut dan terus membayangkan hal yang bukan-bukan. Marisa juga kerap pingsan, dan tangisan bayi selalu membangunkannya. Marisa terus menyembunyikan kondisi fisiknya yang semakin parah.

Suatu hari, saat sedang mengangkat jemuran. Marisa kembali pingsan untuk kesekian kalinya. Tetangga rumah yang kebetulan melihatnya langsung menolong Marisa dan menghubungi suami Marisa. Jeno pun meminta tetangganya untuk mengantar Marisa ke rumah sakit.

Kondisi fisiknya yang semakin buruk membuat Jeno terpaksa mengambil keputusan sendiri untuk melakukan tindakan operasi.

Sementara Operasi berlangsung Jeno kembali ke rumah dan meminta salah satu tetangganya untuk merawat putrinya sementara. Dia tidak bisa terlalu sering membawa Luna yang masih bayi ke rumah sakit.

Setelah menitipkan Luna kepada tetangganya, Jeno kembali ke rumah sakit. Operasi berhasil dilakukan, dan Marisa telah masuk ke dalam ruang perawatan.

Kepala Marisa terpaksa di gundul, karena tekhnologi saat itu belum canggih, tidak seperti di luar negri yang segala operasi bisa dilakukan dengan laser.

Saat Marisa sadar, dia melihat Jeno yang duduk disamping ranjangnya.

"Aku dimana mas?" tanya Marisa lirih

"Sayang syukurlah kamu sudah sadar, bagaimana keadaanmu hemm? Aku terpaksa mengambil tindakan operasi, karena kondisimu yang terus memburuk. Maafkan aku," ucap Jeno

Marisa menyentuh kepalanya yang sedikit sakit karena bekas operasi. Namun dia sedikit merasa lebih enteng dari pada sebelum.

"Sudah terjadi mau dikata apa Mas, sejujurnya aku masih kesal denganmu," ucap Marisa yang kemudian tersenyum kecil, "Kepalaku masih sakit tapi sepertinya lebih membaik dari pada sebelumnya mas. Luna dimana?" tanya Marisa

"Syukurlah jika kondisimu jauh lebih baik, Luna ku titipkan bersama Bu Indro, tetangga sebelah," ucap Jeno

"Owh aku pikir dia dibawa kemari,"

"Waktu itu Luna sudah pernah dibawa ke rumah sakit saat kamu pingsan itu, jadi Mas rasa jika membawanya lagi akan tidak bagus dengan kondisinya yang masih bayi. Udara di rumah sakit ini kan tidak begitu bagus sayang,"

"Mas, kamu sangat sayang sama Luna ya, aku beruntung memiliki kamu yang menjadi Papa sambungnya. Jika aku tidak lagi di dunia ini. Tolong selalu sayangi dia dan rawat dia ya mas,"

"Tentu Mas akan selalu menyayanginya, Mas sudah menganggapnya sebagai putri kandung, tapi jangan pernah berkata seperti itu seolah-olah kamu akan pergi, jangan ulangi lagi ya, Mas akan sedih mendengarnya,"

"Iya, maaf mas," ucap Marisa.

Perkataan Marisa seperti memberi pesan terhadap Jeno dan memang betul. Keesokan paginya, Marisa tidak kunjung bangun. Dia tidur untuk selamanya.

Jeno menangis sejadi-jadinya, ia harus kehilangan wanita yang amat di cintainya meski baru menikah selama dua bulan, namun rasanya dia sudah mengenal Marisa sangat lama.

.

.

.

Pesan terakhir Marisa akan dia ingat selamanya.

"Aku akan selalu menyayangi Luna, putri mu yang juga sudah ku anggap putri ku sendiri. Tenanglah di alam sana Marisa. Aku mencintaimu," ucap Jeno saat mengantar jenazah Marisa ke kuburan.

Perasaan Lain

Jeno membuat ruangan khusus di rumah sakit, lebih tepatnya di samping ruang prakteknya. Ruangan tersebut akan ia pergunakan untuk kamar tidur putrinya yang masih bayi.

Dengan begitu Jeno akan tenang jika harus meninggalkan putrinya saat bekerja. Jeno memakai alat yang tersambung ke ruangan prakteknya. Jika sang bayi menangis, maka akan terdengar di ruang kerjanya. Sesekali juga ia menengok sang putri dan memberinya susu formula.

Banyak perawat dan dokter wanita kagum pada Jeno. Tak banyak laki-laki yang merawat anaknya dengan begitu sayang padahal bukan putri kandungnya. Jika pun ada, mereka pasti memakai jasa perawat, sementara Jeno tidak sepenuhnya percaya pada perawat. Baginya mengurus bayinya sendiri lebih baik.

Satu tahun berlalu, semakin lama sang bayi berubah menjadi balita yang super aktif l, tidak bisa diam dan terus meminta keluar dari tempatnya. Jeno pun tak bisa lagi menggunakan ruangan kecil itu, terpaksa ia berhenti bekerja di rumah sakit itu, mengundurkan diri sebagai dokter kandungan disana.

Jeno membuka klinik kecil dekat rumahnya. Ia menjadi dokter umum sekaligus merangkap sebagai dokter kandungan.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, Luna sudah bisa berjalan dan bahkan berlari di usia 13 bulannya. Jeno juga belajar membuat makanan sehat untuk putri tercintanya. Dia baru mengerti bagaimana susahnya menjadi seorang ibu yang harus telaten merawat anak. Mengajarinya apa yang boleh dan tidak boleh. Ikut bermain, menyuapi makan dan memandikan. Semua diperlukan kesabaran ekstra serta taktik agar anak itu menurut, tanpa suara hentakan.

Jeno tahu betul suara keras dan membentak yang keluar dari suara orang tua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh. Sekali membentak, maka milyaran sel otak anak akan rusak. Maka dari itu Jeno akan berhati-hati dalam merawat karena alasan ini juga dia tidak bisa menyerahkan anaknya pada seorang perawat.

Hasil didikan Jeno tanpa bentakan dan teriakan menjadikan Luna tumbuh sebagai anak yang cerdas, aktif dan penurut.

Saat memasuki usia PAUD, Jeno pun rajin mengantarkan putri sambungnya sekolah.

"Sekarang Luna sudah wangi, habis itu pakai seragam yang warna apa ini sayang?" tanya sang papa yang sudah mengajarkan warna-warna kepada putrinya.

"Warna Bilu," ucap Luna cepat

"Betul, ini warna biru dan warna apa ini sayang?" tanya Jeno lagi

"Putih," jawab Luna lagi

Setelah itu Jeno bertepuk tangan agar sang putri merasa senang. Setelah memakaikan seragam PAUD putrinya, Jeno menyisir rambut Luna yang tebal, lurus dan panjang.

"Jeno, kamu kenapa gak nikah lagi?" ucap sang kakek yang terlihat semakin tua. Ia berdiri di depan pintu dan melihat keakraban Jeno dan Luna

"Hemm Jeno belum berpikir akan mencari penggantinya Marisa. Belum ada yang bisa mengambil hatiku Kek," ucap Jeno tersenyum

"Halah jangan kebanyakan milih kamu, nanti keburu tua,"

"Haha kakek-kakek,"Jeno terkekeh mendengar ucapan kakeknya yang tidak bisa dibantah. Makannya Jeno hanya tersenyum saja menanggapinya.

"Luna gak mau mama lain, Mama Luna itu mama Marisa," berontak Luna yang diam-diam mendengar pembicaraan Jeno dan kakek buyutnya

"Iya sayang, Mama Luna itu Mama Marisa yang sekarang sudah ada di surga. Yuk berangkat sekolah nanti terlambat," ujar Jeno kemudian pergi meninggalkan kakeknya di rumah untuk mengantar Luna ke sekolah

Sesampainya di sekolah, Luna masuk sementara Jeno menunggu di luar hingga Luna selesai pelajaran.

"Papa...!" panggil Luna yang langsung menghamburkan dirinya memeluk papa sambungnya ketika sekolah telah usai.

"Eh anak papa, gimana sekolahnya sayang?" ucap Jeno yang merentangkan tangan kemudian memeluk putri kecilnya.

"Luna udah celecai cekolahnya, tadi Luna mewalnai pantai Pa...., Luna pinter ya Pa," ucap Luna

"Wah pinter ya putri Papa, tos dulu dong. Luna hebat! Dan juga pintar," ucap Jeno memuji sang anak lalu mengecup pipi gembulnya.

Anaknya tumbuh sangat subur, gemuk dan menggemaskan. Banyak para Wanita yang memuji Jeno karena merawat dan mendidik anaknya dengan baik.

Jeno pulang ke rumahnya dan memanjakan Luna dengan ikut belajar dan bermain. Setelah itu Luna di berikan sebuah mainan dan Jeno mulai bekerja di ruangannya. Waktunya membuka klinik kecilnya.

Tak berapa lama ada suara benda terjatuh keras hingga terdengar dari ruang kliniknya. Jeno segera menghampiri asal suara, tak lupa dia mengajak Luna sekaligus untuk masuk kedalam rumah.

Jika didengar dari bunyi jatuhnya, Jeno khawatir sang kakek-lah yang terjatuh.

Benar saja, setibanya di sana, sang Kakek sudah terlentang dan kesulitan berdiri. Di samping tempatnya terjatuh ada sebuah tumpukan berkas-berkas dan buku tebal.

"Kakek, aduh kenapa bisa jatuh kek. Kakek mana yang sakit. Kita ke dokter ya?" ucap Jeno seraya menurunkan Luna yang di gendongnya kemudian membantu sang kakek bangun. Jeno mengantarnya ke kamar kakek.

"Kakek cuma capek aja Jeno trus pandangan Kakek tiba-tiba gelap dan pusing. Kamu ambilkan berkas-berkas itu ya," ucap Kakek nya

"Iya, nanti Jeno ambilkan. Kakek rebahan dulu di tempat tidur,"

Setelah merebahkan kakek di tempat tidur, Jeno mengambil tumpukan berkas yang tadi di bawa sang kakek. Kemudian ia masuk kembali ke kamar Kakek.

"Jeno, ini surat tanah dan sawah milik Kakek. Juga ada peninggalan tanah dari orang tua kamu. Kamu jual dan bangun rumah sakit impian kamu ya. Jual bertahap karena harga tanah semakin lama itu semakin naik," ucap sang kakek

"Kek, sayang kalau dijual semua. Sudah nanti saja dibicarakan. Jeno tadi periksa denyut jantung dan jadi kakek tidak stabil, kita ke rumah sakit ya. Sebentar Jeno tutup klinik dulu," ucap Jeno setelah ia memeriksa dengan stetoskop yang tergantung di lehernya.

Sang kakek ingin mencegah Jeno agar tidak usah dibawa ke rumah sakit. Tapi Jeno sudah pergi. Tak lama setelah itu Kakek menghembuskan napas terakhirnya.

Untuk sekian kalinya Jeno kehilangan orang yang disayanginya.

.

.

.

Waktu semakin cepat tak terasa klinik kecilnya kini menjadi sebuah rumah sakit. Hingga ia mempekerjakan Lima dokter dan beberapa perawat. Juga ada ruang inapnya meski baru memiliki enam kamar. Semua ia dapatkan dari hasil penjualan beberapa tanah milik Kakek nya, sesuai pesan terakhir Kakeknya

Meski pekerjaannya sudah semakin membaik dan usahanya sudah lebih maju, tetap saja perhatian Jeno terhadap anaknya tidak pernah lekang. Apalagi saat ini Luna telah tumbuh menjadi gadis remaja yang butuh pengawasan orang tua

Saat ini pun Jeno sedang mengantar putrinya ke sekolah SMA.

"Pa..., kapan Luna boleh bawa mobil," tanya Luna saat perjalanan menuju sekolahannya.

"Nanti ya kalau sudah 18 tahun, sekarang kan kamu baru 16 tahun," ujar Jeno

"Yah... Gak asik ah," protes Luna yang kemudian cemberut.

"Hehe biar aman. Udah sampe nih, nanti pulang jam berapa?" tanya Jeno sambil menepikan mobilnya.

"Nanti Luna pulang sama Arya aja soalnya nanti ada kerja kelompok,"

"Arya siapa? Kamu belum boleh pacaran loh ya? Masih kecil," ucap Jeno yang langsung protektif

"Hiih temen Pa...cuma temen kok, udah ah. Assalamu'alaikum," ucap Luna yang langsung ingin mengecup pipi Papanya

Jeno yang sedang membaca pesan di layar ponselnya langsung melengos ke kiri dan membuat bibir mereka bersentuhan.

Ingin cium pipi jadinya cium bibir. Bagi Luna itu hal biasa karena ia menganggap Jeno adalah Papanya. Tapi bagi Jeno ada perasaan lain yang membuatnya bergetar seperti ada setruman kecil menyerang jantung hatinya.

Jeno terdiam sesaat sampai akhirnya menjawab salam, "Wa'alaikumsalam,"

Luna meraih tangan Jeno kemudian mencium punggung tangannya.

"Bye Papa, Hati-hati di jalan ya," ucap Luna kemudian turun dari mobil.

Astaga perasaan apa ini, gak mungkin kan aku jatuh hati pada putriku sendiri, batin Jeno

Terpesona

Jeno adalah pemilik rumah sakit, namun dia tetap bekerja sebagai dokter kandungan disana. Meskipun sibuk, ia tetap memberikan waktu untuk putrinya.

Saat Jeno bertugas, bayangan akan Luna selalu hadir. Semua dimulai saat Luna tak sengaja mengecup bibirnya. Ada perasaan aneh yang datang tiba-tiba, sekian lama dia menduda perasaan itu muncul kembali.

Sementara disekolahan Luna, gadis itu sama sekali tidak menanggapi apa yang ia lakukan pagi tadi. Luna juga tidak tahu siapa ayah kandungnya, Jeno belum siap mengatakan terlebih saat sang kakek meninggalkannya. Ia takut jika Luna juga akan meninggalkan dirinya, ia berencana akan mengatakan semuanya saat usia Luna 17 tahun.

"Luna," panggil Arya dari bangku belakang. Sedangkan Luna duduk di bangku depan.

Luna menoleh dan berkata, "Hemm apa?"

"Nanti jadi nonton gak?"

"Eh aku bilangnya kita kerja kelompok ya, jadi nanti kita bikin tugas kelompok dulu, baru deh jalan-jalan," ucap Luna

"Gampang sih itu, tugasnya cuma kliping doang kan? Aku udah nempelin, tinggal bawa ke Abang fotokopian trus di jilid deh," sahut Azkha teman sebangkunya, dia perempuan namun memiliki sifat sedikit tomboy.

"Wah keren si Azkha, tapi kalau bisa cepetan ya keburu bioskopnya dimulai," sahut Dinduts yang duduk tepat di depan bangku Arya

"Eh cowoknya siapa lagi yang ikut, masak cuma aku?" protes Arya

"Ya kan yang pasangan cuma kamu ma Luna," goda Dinduts yang sebenarnya memiliki nama Dina, namun karena dia memiliki body yang gendut sehingga nama panggilannya menjadi Dinduts.

"Ih sorry ya kita bukan pasangan," sahut Luna

"Duh belum apa-apa udah di tolak," ucap Arya yang kemudian semuanya terkekeh.

Tak berapa lama sang guru pun datang memasuki kelas dan menyuruh semuanya untuk tenang.

Hemm Papa marah gak ya kalau tahu kita mau ke bioskop bukannya kerja kelompok, batin Luna seraya berpikir

"Ah semoga Papa gak marah, sekali-kali nonton bareng temen hehe," gumam Luna.

Beberapa jam kemudian, tanpa terasa bel pulang sekolah berbunyi. Luna dan teman-temannya segera mengemasi buku dan peralatan menulisnya dan memasukkan ya kedalam tas.

Setelah berdoa dengan keyakinan masing-masing, mereka segera keluar menuju tempat fotokopian. Tepatnya ada di seberang sekolahnya.

Tak berapa lama selang beberapa menit, Jeno sudah berada di sekolah Luna untuk menjemput putrinya, dia berencana akan mengantarkan Luna ke tempat temannya untuk kerja kelompok. Namun yang terjadi, Jeno melihat Luna dan teman-temannya ada di seberang sekolah. Dan mereka hendak meninggalkan tempat fotokopian.

Yang lebih membuat Jeno khawatir adalah Luna berboncengan dengan seorang pria. Mereka terlihat tertawa riang.

"Sebaiknya aku ikutin Luna," gumam Jeno yang melihat Luna dari kejauhan.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, Luna dan teman-temannya memasuki kawasan mall. Jeno pun menggelengkan kepala merasa anaknya sudah pandai berbohong.

"Jadi Luna sekarang sudah pandai berbohong ya, katanya mau kerja kelompok dirumah temen tapi malah ke mall," gerutu Jeno didalam mobil dan sedang mencari tempat parkir

Jeno memarkirkan dengan cepat lalu terus mengikuti Luna dan temannya dari kejauhan. Dia sempat kehilangan jejak, namun bertemu lagi saat Luna dan teman-temannya sedang melangkah masuk kedalam bioskop.

Jeno pun segera memotret Luna saat memasuki bioskop. Dia tidak ingin mencegahnya sekarang karena kemungkinan tiket sudah dipesan. Jadi Jeno akan menghampirinya saat gadis kecil itu selesai menonton.

Dua jam berlalu, Luna dan teman-temannya keluar dari bioskop, mereka membicarakan alur cerita yang tadi mereka tonton.

"Seru banget ya, aku berasa kayak tokohnya gitu," ucap Dinduts

"Ahh bedalah tokohnya langsing," protes Arya

"Ih Arya nyebelin," Dinduts tidak terima dia pun menggelitik perut Arya.

Tak berapa lama Jeno pura-pura lewat dan melihat Luna berada di depan bioskop.

"Duh itu kan Papa," Luna kemudian bersembunyi di belakang Arya yang bertubuh tinggi

"Loh kalian teman-temannya Luna ya," sapa Jeno

"I-iya om," ucap Dinduts dan Azkha bersamaan, sementara Jeno berpura-pura mencari keberadaan Luna.

"Luna, kamu ngapain ngumpet hah? Ayo sini," ucap Jeno

Kemudian Luna keluar dari persembunyiannya dan terkekeh kecil

"Eh ada papa hehehe," ucap Luna

"Katanya kerja kelompok? Trus kenapa disini?" tanya Jeno

"Anu om, tadi kita ngerjain dulu di sekolah trus setelah selesai kami main kemari," jawab Arya

"Iya om kita udah selesai bikinnya kok, ini tugasnya," ucap Azkha membenarkan dan memperlihatkan tugas kliping mereka

Jeno mengambilnya dan melihat tugasnya yang diisi beberapa nama salah satunya Luna.

Oh jadi ini tugas yang tadi mereka jilid di fotokopian, batin Jeno

"Ya sudah, kalau begitu gimana kalau kita makan siang bareng ya," ajak Jeno

"Wah bener nih om, yuk yuk , makasih ya om," ucap Dinduts yang nomer satu kalau soal makan, semuanya pun tertawa.

Jeno mentraktir teman-teman Luna makan siang di sebuah restoran cepat saji. Yang gambarnya orang tua berjanggut hehe.

Saat makan, Jeno memperhatikan Luna entah kenapa putri sambungnya itu semakin lama semakin cantik. Bahkan saat makan dan melahap makanan pun terlihat imut baginya. Segera Jeno menepis pikiran aneh yang bersarang dikepalanya.

Setelah menghabiskan makanannya, teman-teman Luna pamit pulang. Sementara Luna masih di mall dengan Papanya.

"Makasih ya Pa udah traktir temen-temen Luna," ucap Luna

"Iya, sama-sama kan jarang-jarang juga,"

"Habis ini jangan pulang ya Pa, Luna mau beli baju buat pesta ulang tahun nanti. Baju Luna udah pada gak muat soalnya,"

"Masak sih, bukannya masih ada ya yang muat?"

"Ih Papa, muat sih muat tapi udah kependekan roknya. Emangnya Papa mau Luna keluar pamerin paha Luna?" tanya Luna

"Gak terasa ya kamu cepet tinggi, yaudah kita cari yang panjang sekalian jangan dibawah lutut," ucap Jeno

"Tergantung modelnya lah," ucap Luna yang tidak mau kalah.

Mereka pun masuk ke sebuah butik ternama, Luna langsung mencari pakaian yang dia mau sementara Jeno duduk di sofa lobby. Jujur saja dia tidak tahu kalau soal Fashion yang dia tahu apakah pakaian itu cocok dikenakan atau tidak.

Pakaian pertama yang Luna coba, langsung di perlihatkan pada sang Papa.

"Pa...lihat ini, bagus gak?" tanya Luna memperlihatkan gaunnya dan berputar kemudian tersenyum centil

Seketika itu juga jantung Jeno mendadak berhenti, pesona putri sambungnya telah mencuri hatinya. Jeno menelan salivanya. Sungguh dia tidak tahan melihat kecantikan yang terpancar dari paras Luna yang beranjak dewasa.

"Cantik," satu kata yang keluar dari mulut sang Papa, ia melihat Luna tanpa berkedip dan sangat terpesona

Astaga dia sangat mempesona...batin Jeno

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!