Madeline Elana Marshall, wanita cantik dengan seragam Dokter yang membalut tubuhnya dan tak lupa dengan stetoskop yang mengalungi lehernya, berjalan menyusuri lorong rumah sakit.
Sepulangnya dari berlibur dari Lauterbrunen, ia kembali disibukkan dengan pekerjaannya sebagai dokter onkologi.
"Baru saja ngerasain indahnya liburan, justru harus disibukkan dengan segala realita yang begitu memusingkan," gerutu Madeline sambil melirik jam yang melingkar di tangan putih mulus miliknya.
Andai saja ia bisa mengajukan cuti dengan lama, pasti ia akan melakukan hal itu. Namun, semua itu hanya angan-angan Madeline saja. Di rumah sakit tempat ia bekerja membutuhkan tenaganya, membutuhkan dirinya untuk menangani pasien.
Baru saja ia membuka pintu ruangan, langsung dikejutkan dengan Suster yang berada di hadapannya.
"Bikin kaget saja." ucap Madeline sambil mengelus dada karena terkejut.
"Maaf, Dokter Maddy," cicit Suster Alesha.
"No problem, lain kali hati-hati." ucap Madeline yang kemudian memasuki ruangan miliknya.
Madeline langsung menaruh tas miliknya di atas meja kerjanya, merebahkan tubuh di sofa yang berada di dalam ruangan. efek jetlag masih begitu terasa, hingga membuatnya ingin merebahkan diri sejenak.
Untungnya, jadwal operasi akan di mulai dua jam lagi. ia masih memiliki waktu untuk mengistirahatkan diri.
Namun, istirahat kali ini kembali terganggu karena sebuah ketukan pintu.
"Masuk," jawab Madeline dengan suara keras.
Pintu terbuka, tampak Suster Alesha datang dengan tergopoh-gopoh.
"Dokter Maddy, waktu operasi di majukan jadi sekarang. anda di minta untuk bersiap dan segera ke ruang operasi." jelas Suster Alesha tanpa berani menatap wajah Madeline yang tengah menatapnya dengan tajam.
Madeline hanya bisa menghela napasnya dengan berat, ini yang paling ia tak sukai. Panggilan mendadak, hal itu juga yang nantinya bisa memicu Madeline tak bisa berkonsentrasi ketika sedang di meja operasi.
"Aku bersiap dulu, segera siapkan semua yang aku butuhkan." ucap Madeline sambil mengibaskan tangannya tanda mengusir Suster Alesha.
Tak pakai lama, suster Alesha pun keluar dari ruangan Madeline.
"Jika tahu seperti ini, lebih baik aku beli kopi sebelum ke rumah sakit." Memang pada dasarnya Madeline begitu banyak bicara. Jadi, hal tak penting sekalipun tetap ia ucapkan.
Madeline adalah coffee addict, ia tak bisa sehari saja lepas dari kopi. Pekerjaan yang ia lakoni menuntutnya harus tetap siaga. Tapi itu semua tak masalah baginya, ini adalah mimpi yang begitu ia idamkan. Ada alasan tersendiri mengapa ia lebih memilih untuk menjadi dokter onkologi, yang jelas ini berkaitan dengan masa lalunya.
Karena sudah ditunggu, membuat Madeline akhirnya segera bersiap. Berjalan menuju ruang operasi yang berada di lantai atas.
Hingga dirinya berpapasan dengan seorang Dokter yang begitu menyebalkan baginya. Pasalnya, Dokter itu selalu mengejeknya dengan sebutan Perawan tua.
Memang tak ada yang salah dengan ucapannya. Namun entah kenapa, Madeline begitu kesal jika harus dikatakan seperti itu.
"Dasar perawan tua," cibir Dokter Pierre, yang tak lain adalah anak dari pemilik rumah sakit tempat Madeline bekerja.
Benar bukan dugaannya, pria itu kembali mencibirnya. Tanpa melihat ke arah Pierre, Madeline langsung berlalu begitu saja, tak mendengar ucapan pria itu.
"Sok tampan! Semoga saja dapat balasan karena telah mencibirku," Madeline terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju ruang operasi.
Dokter Pierre menatap kepergian Madeline dengan puas. Entah kenapa, ada kepuasan tersendiri baginya ketika mencibir Madeline.
Pierre Cardin Spencer, adalah anak dari pemilik rumah sakit tempat Madeline bekerja. Disana, pria itu juga menjabat sebagai wakil direktur sekaligus Dokter onkologi. Bedanya dengan Madeline, Dokter Pierre adalah senior dari Madeline.
Tak hanya itu, Dokter Pierre adalah salah satu orang yang begitu di gilai di rumah sakit miliknya. Hingga tak jarang, banyak pasien yang menjodohkan dirinya dengan anak mereka.
Namun Pierre menolak, karena pria itu telah memiliki seorang kekasih yang sangat ia cintai. Dan rencananya, mereka akan segera menikah tahun depan.
Dokter Pierre yang sedang memikirkan sang kekasih pun terganggu dengan ponsel miliknya yang terus berdering. Dari dalam saku jas putih yang ia kenakan, Pierre mengambil ponsel miliknya.
Yara is Calling
Dengan cepat, Dokter Pierre langsung mengangkat panggilan telepon itu. Ia tak ingin membuat kekasih yang begitu ia cintai menunggu lama.
"Hallo sayang," sapa Pierre dengan senang.
"Pierre," Panggil Yara.
Kedua mata Pierre sampai membola kala mendengar kekasihnya hanya memanggil dirinya dengan sebuah nama, tanpa embel-embel kata sayang.
"Sayang, are you okey?" tanya Pierre dengan nada Khawatir. Pasalnya, Yara begitu berbeda sejak pertemuan terakhir mereka.
Yara tak menjawab, ia hanya terdiam dan tak mampu berkata-kata.
"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu, Pierre," jawab Yara dengan suara tercekat.
"Tentang?"
"Hubungan kita,"
"Aku ingin mengakhiri hubungan kita, aku tak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku telah dijodohkan oleh kedua orang tuaku, dan aku tak bisa menolak itu." jelas Yara dengan sangat lirih, terdengar dengan jelas di telinga Pierre saat ini Yara tengah menangis.
Pierre terkejut, rasanya tak mampu lagi ia berdiri gagah hingga kini ia bersandar dengan pilar rumah sakit.
"Yara... Ini kamu hanya bercanda, bukan? tidak sedang serius?" tanya Pierre yang berusaha mengelak segala kenyataan yang menyakitkam baginya.
"Aku tidak bercanda, Pierre. aku serius!"
"Jika kau tak percaya, kau bisa cek melalui email undangan yang aku kirim."
Pierre tentu tidak menerima jika hubungan telah lama mereka jalani kandas hanya karena sebuah perjodohan,"Bersabarlah sebentar saja, Yara. Aku pasti akan meminangmu secepatnya."
"Aku sudah tidak bisa menunggu, Pierre. Ini adalah keputusan yang sudah tak bisa di tawar," Ucap Yara.
Pierre tak berhenti mencoba, pria itu terus membujuk Yara agar tidak memutuskan hubungan mereka. Sudah sepuluh menit lamanya Pierre berbincang melalui sambungan telepon, membujuk Yara agar tidak melakukan hal itu padanya.
Namun, Yara tetap pada keputusan awal. Wanita itu mengakhiri hubungan dengan Pierre dan menikah dengan pria pilihan orang tuanya.
"Terimakasih sudah mencintaiku setulus hati, aku memilih perjodohan ini," ucap Yara yang kemudian mengakhiri panggilan telepon dari Pierre.
Pierre yang sedang tak karuan pun langsung membanting ponsel mahal miliknya hingga hancur. Bentuk ponsel yang ia banting tak jauh berbeda dengan hatinya, sama-sama hancur dan tak terbentuk.
Dengan perasaan campur aduk, Pierre langsung berlari menuju lift. menaiki lift menuju lantai tertinggi dari rumah sakit miliknya, ia butuh pelampiasan untuk meluapkan segala yang ia rasakan hari ini.
"YARA!" teriak Pierre dengan frustasi.
Pierre begitu hancur saat ini. Kekasih yang begitu ia cintai lebih memilih menerima perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya, di bandingkan bersama dirinya.
"Kenapa bukan aku, kenapa harus dia yang menjadi pendampingmu," teriak Pierre, tak peduli saat ini ia jadi bahan perhatian orang.
Tetapi untungnya tak ada orang disana, hanya dirinya saja. Pikirannya yang tak bisa berpikir jernih, membuatnya berencana lebih memilih mengakhiri hidupnya dari pada harus merasakan sakit seperti ini.
Kurang lebih dua jam Pierre berada di lantai teratas rumah sakit, meluapkan segala yang menyesakkan dada. Sedih, marah, kecewa dirasakan oleh Pierre.
Pierre merasa kalut saat ini. Otaknya tak dapat berpikir dengan jernih, hingga sebuah pilihan untuk mengakhiri hidup terlintas di pikirannya.
"Mungkin aku lebih baik mati, daripada melihatmu berjalan di altar dengan pria lain." lirih Pierre yang mengambil kepingan kaca yang rencananya akan ia gunakan untuk memotong nadinya.
Pierre bersiap menggoreskan tangan dengan pecahan kaca yang tajam, bahkan ujung kacanya sudah mulai mengenai kulit bersih miliknya. Saat Pierre ingin melanjutkan aksi b*nuh dirinya, tiba-tiba ada tangan yang berusaha merebut pecahan kaca itu dan membuangnya jauh.
"Apa otakmu sudah tak waras, ingin mengakhiri hidup dengan cara seperti ini? Apa tidak sekalian saja kau melompat dari gedung tinggi ini." ucapnya.
Ya, orang yang menghentikan aksi b*nuh diri Pierre adalah Madeline. Setelah 2 jam berada di ruang operasi untuk melakukan bedah biopsi pada pasiennya, Madeline memilih menyugarkan pikiran di lantai teratas rumah sakit tempat ia bekerja.
Namun, hal lain justru terjadi. Madeline melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika Pierre sedang emosi. Awalnya Madeline tak peduli, tetapi saat melihat Pierre yang sedang melakukan percobaan bunuh diri. Membuatnya harus menghentikan aksi g*la itu. Ia tak ingin sampai terlibat hal se-meng*rikan itu, tidak, ia tidak akan mau.
"Daripada kau bunuh diri dengan cara seperti ini, lebih baik kau terjun saja agar tubuhmu ikut hancur." ucap Madeline sambil melempar jauh kepingan kaca.
Kedua mata Pierre yang berwarna biru langsung melotot, ide Madeline sungguh membuatnya bergidik ngeri. Bayangan tubuhnya yang tak utuh, di tambah nantinya ia akan menjadi arwah penasaran.
"Kau sudah g*la, bagaimana bisa kau menyuruhku terjun dari gedung setinggi ini," cetus Pierre dengan kesal.
"Daripada kau harus menyakiti dirimu dengan cara seperti itu, kurasa dengan kau terjun dari rumah sakit ini adalah pilihan terbaik. Selain kau akan mati dengan cepat, kau juga bisa di pastikan akan menjadi arwah penasaran di rumah sakit ini." ucap Madeline sambil tertawa keras.
Pierre yang kesal langsung menoyor kepala Madeline,"Dasar bodoh, kau tak pernah tahu rasanya jatuh cinta seperti apa. Makanya, kau tak tahu se-fr*stasi apa diriku saat ini."
"Memang, hidupku terlalu sibuk dengan meniti karir hingga namaku bisa sebesar ini." ujar Madeline dengan sombong sambil melipat tangan di dada.
"Terlalu kuno," cibir Pierre.
"I don't care." ucap Madeline dengan santai.
"Oh iya, aku sampai lupa. Kau sedang di cari oleh Direktur Spencer untuk segera menghadapnya." pesan Madeline lalu kemudian wanita cantik itu berlalu meninggalkan Pierre seorang diri.
Pierre menatap kepergian orang yang selalu ia cibir dengan sebal. Pasalnya, wanita itu menggagalkan rencananya.
"****! Aku tak sadar, pecahan kaca itu menggores tanganku." umpat Pierre sambil mengelap darah segar yang mengalir dengan sapu tangan miliknya.
Ucapan Madeline benar adanya, jika bun*h diri dengan cara seperti ini akan mengalami sakit lebih dari sekali. Seperti yang saat ini Pierre rasakan, namun apa daya, otak cerdasnya tak mampu berpikir jernih saat ini.
Ingatan tentang berakhirnya hubungan yang telah ia jalani dengan Yara begitu nyata, hingga Pierre sendiri begitu sulit untuk menerimanya.
Tetapi tunggu! Terakhir Yara bilang padanya untuk mengecek email masuk di ponsel miliknya.
Dengan segera, Pierre langsung mengambil ponselnya dan mengecek email masuk. Dan benar saja, email undangan pernikahan Yara dengan pria yang begitu ia kenali.
Alois Jordan.
Ya, Alois adalah adik dari Tuan Spencer. Yang artinya, Yara akan menikah dengan paman nya.
Pierre terkejut, ia tak menyangka wanita yang sangat ia cintai akan menikah dengan pamannya. Artinya, Yara adalah aunty-nya.
"Dari sekian banyak wanita di dunia ini, kenapa kau harus memilih wanitaku." Geram Pierre hingga akhirnya ia memukul tembok. Tetapi itu semua tidak berlangsung lama, karena bekas luka di pergelangan tangan nya masih terasa begitu nyeri hingga berdesis kesakitan.
Dengan langkah lebar, Pierre berjalan dengan cepat menghampiri Daddy-nya yang berada 2 lantai di bawahnya.
Tanpa ba-bi-bu, Pierre langsung masuk ke dalam ruangan tuan Spencer. Tak peduli dengan tatapan tajamnya yang kini menatap.
"Kenapa, Dad?" tanya Pierre yang langsung medaratkan bokongnya di kursi kosong yang berada di hadapan tuan Spencer.
Tuan Spencer tak menjawab, namun ia memberikan sebuah undangan yang bisa Pierre pastikan itu dari paman nya.
"Aku sudah tahu, Dad. Yara baru saja mengakhiri hubungan denganku." ucapnya dengan sangat lirih.
"Lupakan dia, bukankah dari awal Dad tidak menyetujui hubunganmu dengannya." ungkap Tuan Spencer. Bukan tanpa sebab Tuan Spencer tidak merestui hubungan putra tunggalnya dengan Yara, ada alasan tersendiri melakukan itu semua. Mengingat, keluarga Yara adalah orang yang begitu materialistis.
Sebenarnya hal itu juga tidak salah. Hanya saja keluarga Yara adalah orang yang serakah dan tamak, ia tak ingin putranya di manfaatkan secara materi oleh keluarga Yara.
"Setelah bertahun-tahun aku menjalin hubungan dengannya, lalu dengan entengnya aku harus melupakan? Tak semudah itu, Dad." ucap Pierre yang tak setuju akan perkataan tuan Spencer.
"Kau terlalu di butakan oleh cinta, Pierre. Datanglah jika kau ingin tahu semuanya." Tuan Spencer hanya bisa mengatakan itu saja, jika berhubungan dengan Yara. Otak cerdas Pierre terkadang sedikit lama untuk memproses, entah racun apa yang diberikan oleh Yara hingga membuat putranya menjadi orang Denial seperti ini.
Baiklah, demi mengobati rasa penasaran akan ucapan Daddy-nya, Pierre mengesampingkan rasa sakitnya terlebih dahulu demi menuntaskan rasa penasaran yang mendera dirinya. Rasa sakit yang Pierre bisa pastikan tak ada obatnya, namun sebisa mungkin Pierre harus menghilangkan rasa itu.
"Setelah ini, kau tak bisa kemana-mana. Ada pasien bedah biopsi yang membutuhkan tenaga." Tuan Spencer mengingatkan pada Pierre. Ia khawatir, jika putranya melupakan jadwal hari ini karena patah hati.
Pierre tentu paham,"Tak perlu khawatir, Dad. Aku bisa menempati diriku."
"Aku takkan mengecewakan dirimu." sambung Pierre yang kemudian beranjak dari kursinya dan berlalu meninggalkan tuan Spencer yang terus menatapnya.
...****************...
Setelah selesai bertugas, Madeline memutuskan untuk kembali pulang. Tak ada kegiatan yang Madeline setelah pulang bekerja, tubuhnya terus meronta-ronta untuk meminta istirahat.
Ditambah, ia mendengar kabar dari sepupunya. Jika Reine telah menghembuskan napas terakhirnya di sel tahanan. Ia tak begitu peduli, toh, Reine tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Baginya, itu adalah balasan dari segala perbuatan yang Reine lakukan pada sahabatnya yang kini resmi menjadi iparnya.
Madeline melangkahkan kakinya memasuki Mansion Eduardo, mansion yang ia tinggali sejak masa anak-anak. Semenjak ibunya telah tiada, Daddy Garry membawanya untuk tinggal di tempat Unclenya yang bernama Betrand Eduardo.
"Aku datang," Sapa Madeline saat melihat seluruh keluarga tengah berkumpul di ruang tengah.
Sementara netranya terus menatap ke arah sepupunya yang tengah bermesraan dengan sang istri.
"Dunia serasa milik berdua ya aunty, yang lain serasa ngontrak." Celetuk Madeline sambil menatap Saviero dan Abella yang tengah bermesraan.
Yang disinggung pun langsung menoleh, menatap ke arah Madeline dengan meledek.
"Kau ini, iri saja. Makanya menikah biar tidak sendiri terus dan berteman dengan stetoskop yang terus setia bersamamu." Balas Saviero sambil mengelus surai sang istri.
Madeline langsung mendengus kesal, hingga mengacungkan jari tengah kearah sepupunya yang menyebalkan itu.
"Sombong sekali, kau tak ingat dulu meminta bantuan pada siapa?" tanya Madeline.
"Kau." ucapnya dengan santai.
"Harusnya kau berterimakasih padaku, belum saja kau kualat denganku," celetuk Madeline yang kini duduk di samping Abella yang tak lain adalah sahabat sekaligus iparnya.
"Belle, sesekali kau suruh suamimu tidur di ruang tamu jika dia membuatmu kesal." usul Madeline sambil berbisik di telinga Abella.
Abella hanya mengulas senyum, ia tidak berada di pihak manapun. Sebelum ia menjadi bagian keluarga Eduardo, sudah sering sekali melihat Madeline dan sang suami yang terus bertengkar.
"Daripada kau menghasut istriku, lebih baik kau segera menikah. Apa kau ingin aku jodohkan dengan rekan bisnisku di Milan?" tanya Saviero yang tak lain adalah sepupu Madeline.
Madeline tentu saja langsung menolak,"Terima kasih atas tawaranmu, aku menolak." jawabnya.
"Sombong sekali, memang kau tak ingin menikah?" tanya Saviero dengan heran. Pasalnya, sulit sekali membujuk Madeline. Bukan tanpa sebab, Sering kali Uncle Garry yang tak lain ayah Madeline mengeluh tentang putrinya yang belum juga memiliki pendamping.
Sebagai orang tua tunggal, tentu hal itu membuat nya khawatir.
"Ingin, hanya saja belum ada yang cocok untukku." jawab Madeline sekenanya.
Daddy Garry langsung memberikan undangan pada putri.
"Minggu depan kau harus luangkan waktu. Dad akan mengajakmu menghadiri pernikahan rekan bisnis unclemu." pinta Daddy Garry.
"Ta-tapi... Dad...," Madeline ingin menolak, namun langsung di potong dengan ucapan Daddy Garry.
"Dad tak butuh penolakan, kau harus ikut." ucap Daddy Garry dengan final. Lalu pria paruh baya itu meninggalkan ruang tengah dan berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Madeline hanya menatap kepergian Daddy-nya. Ia tak ingin membuat cinta pertamanya semakin kesal karena penolakan yang ia berikan.
Sudah sering kali ia menolak ajakan Daddy-nya, tak terhitung berapa banyak penolakan yang Madeline lakukan dengan dalih kelelahan karena padatnya jadwal operasi, serta beberapa alasan lain.
Baiklah, mungkin memang untuk saat ini Madeline akan mengikuti ucapan Daddy-nya. Toh, gak ada salahnya bukan? Siapa tahu disana ia bisa bertemu dengan jodohnya.
Madeline berbincang sebentar dengan Abella sebelum akhirnya ia kembali ke kamarnya. Kegiatan hari ini begitu melelahkan, ditambah dengan Pierre yang selalu membuatnya emosi.
...****************...
Hari yang di tunggu akhirnya datang juga, Madeline kini telah siap dengan gaun pesta yang ia kenakan. Pakaian yang terlihat begitu sederhana namun tetap terlihat elegant.
Sedangkan Daddy-nya, meski di umurnya yang tak lagi muda masih terlihat tampan dan gagah. Ah, betapa beruntungnya Madeline memiliki Daddy yang begitu hebat. Bisa menjadi orang tua tunggal yang menghidupinya hingga menjadi seperti ini, di kenal banyak orang karena kepiawaiannya dalam dunia kedokteran.
"Ayo," ucap Daddy Garry.
Madeline melangkahkan kakinya memasuki mobil yang akan membawanya dan Daddy Garry sampai ke pesta pernikahan rekan kerja dari keluarga Eduardo.
Sementara Abella, ia lebih memilih untuk tidak ikut hadir. Mengingat saat ini ia sedang jauh dari sang suami yang berada di Milan. Ditambah, dengan kondisi yang sedang tidak kondusif.
Membutuhkan waktu sekitar 45 untuk sampai ke tempat pesta. Berjalan beriringan dengan Daddy Garry, hingga sepasang mata yang begitu ia kenali berpapasan dengan nya.
"Tuan Marshall," sapa pria itu dengan sopan.
Daddy Garry yang merasa terpanggil pun langsung menoleh, berbeda sekali dengan Madeline yang terlihat jengah dengan kedatangan pria itu.
"Pierre," jawabnya sambil menerima jabatan tangan dari pria yang usianya tak jauh berbeda dengan putrinya.
Perangai Pierre memang di kenal ramah oleh setiap orang, namun berbeda dengan Madeline yang menobatkan dirinya sebagai manusia paling menyebalkan di tata surya, tepatnya di planet bumi.
"Saya kira anda akan datang seorang diri, mengingat putri anda kerap kali jarang ikut menghadiri acara seperti ini," ucap Pierre sambil basa-basi.
Daddy Garry terkekeh,"Kau begitu memperhatikan diriku rupanya, anak muda. Perlu kau ketahui, putriku tidak memiliki seorang kekasih. Maka dari itu ia ikut bersamaku." ungkapnya.
Pierre hanya mengangguk, netranya terus menatap kearah Madeline yang terlihat lebih cantik dari biasanya. Riasan wajah yang tak terlalu mencolok namun terkesan elegant di matanya.
"Harusnya kau yang bersanding disana, kenapa jadi Unclemu yang disana." Tunjuk Daddy Garry yang mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk ke arah pengantin yang terlihat berbahagia.
Pierre langsung tersenyum kecut, hingga membuat Madeline yang melihatnya ingin tertawa. Melihat wajah Pierre yang tak enak dipandang, membuat Daddy Garry merasa bersalah.
"Maaf, bukan maksud uncle...," belum juga Daddy Garry menyelesaikan pembicaraan, Pierre sudah memotongnya.
"Mungkin kita memang tidak berjodoh, Uncle," ucap Pierre dengan senyuman tipis.
Bohong jika Pierre tak sakit hati, Bohong jika ia tidak merasa kecewa. Jika memang Yara terpaksa, kena berbeda dengan raut wajahnya yang terlihat begitu bahagia? Sungguh, jika tahu seperti ini lebih baik Pierre menghabiskan waktu di rumah sakit.
"Kasihan sekali, ngatain aku perawan tua. Justru, malah kena tikung paman sendiri," cibir Madeline yang begitu puas, setelah lama ia menunggu kesempatan membalas cibiran Pierre, akhirnya kesampaian juga.
Mulut Pierre sampai membisu, tak dapat membalas cibiran Madeline. Namun, Pierre adalah orang yang tak mau kalah. Ia membalas ucapan Madeline.
"Tak masalah, daripada dirimu. Tak pernah merasakan jatuh cinta, seperti orang kuno saja. Kalah sama anak sekolah jaman sekarang." ucapnya tak mau kalah.
Madeline sampai mengepal kedua tangannya, menahan emosi agar tidak meledak. Andai saja ini bukan tempat ramai, bisa Madeline pastikan ia membalas segala ucapan Pierre.
"Kau," geram Madeline.
"Untung saja saat ini tengah banyak orang, kalau tidak sudah ku telan kau hidup-hidup." sambungnya, kemudian Madeline pergi meninggal Pierre seorang diri.
Pierre hanya menatap kepergian Madeline sambil mengulas senyum.
"Dia begitu cantik dan mempesona. Tetapi bagaimana bisa ia tak memiliki seorang kekasih? Rasanya terdengar mustahil." Pierre bermonolog, ia tak peduli dengan pesta pernikahan mantan kekasihnya.
Ditambah, dengan ucapan orang tuanya yang seakan meremehkan Pierre yang hanya seorang dokter. Tanpa mereka ketahui, bahwa Pierre adalah pewaris rumah sakit tempat ia bekerja.
"Tetapi, aku rasa itu semua wajar. Mengingat wanita kuno itu adalah orang yang terlalu berambisi."
"Tidak jauh berbeda denganku, aku tampan dan kaya raya. Namun di tinggal menikah oleh kekasihku, dan sialnya yang menjadi suaminya adalah pamanku." Oh tuhan, kenapa takdir harus selucu ini.
"Tetapi, jika melihat raut wajah Yara tak sekalipun aku melihat raut wajah sedih dan tertekan. Justru menikmatinya." Pierre terus berbicara seorang diri tak peduli jika orang terus menatap ke arahnya.
Pierre sudah datang sejak tadi, hanya saja ia memilih untuk berada di keramaian. Perkataan keluarga Yara tentang dirinya membuat ia begitu terluka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!