NovelToon NovelToon

Kebebasanku Terenggut Akibat Kesalahpahaman

Sebuah Amanah

Valeycia terus berlari tak tentu arah. Tak memperdulikan napas yang sudah berada diujung tanduk, pun tak peduli dengan kaki yang beberapa kali sempat tersandung batu dan hampir membuatnya terjungkal. Rasa takut, marah, benci, menjadi kekuatan agar ia segera menjauh dari rumah sederhana yang selama ini dia tempati bersama mendiang ibunya.

Mungkin sudah lebih dari satu kilo meter ia berlari menjauhi rumah, ia rasa ayah tirinya tak lagi mengejarnya. Valey bersembunyi di sebuah bangunan tua yang sudah tidak ditempati demi melepas lelah.

Sejenak mengatur napas dan mengistirahatkan kaki sebelum ia melanjutkan perjalanan untuk meninggalkan desanya. Ia akan pergi jauh supaya ayah tiri yang durjana tak dapat menemukannya.

Sungguh tragis nasib yang menimpanya, mendiang sang ibu baru meninggal satu bulan lalu dan meninggalkan kesedihan yang teramat. Belum tuntas dengan kesedihan itu, masalah baru muncul saat ayah tirinya masuk ke dalam kamarnya dan berusaha merenggut sesuatu berharga dari tubuhnya.

Beruntung Valey bisa kabur meski harus menghantam kepala ayah tirinya dengan sebuah vas bunga. Begitu ayah tiri itu terkapar, ia segera melarikan diri.

Dan, disinilah dia sekarang.

"Tolong ...!"

Valey baru duduk dan bersandar di tembok yang telah usang lalu mendengar suara lirih seseorang meminta tolong. Ia lebih menajamkan indera pendengaran demi memastikan agar ia tak salah dengar.

Dan untuk kedua kalinya ia kembali mendengar suara rintihan seseorang, cukup membuatnya merinding, akan tetapi rasa penasaran juga tak terelakan.

Meski takut, namun dengan kewaspadaan penuh, ia mulai mengintip lewat kaca jendela yang bolong. Sepertinya terkena lemparan batu.

Bola mata mulai sayup itu melotot tak percaya demi melihat sesosok wanita tengkurap dengan badan bersimbah darah.

Awalnya ia takut mendekat dan berniat untuk segera pergi dari bangunan tua itu, tapi lambaian tangan dari seorang yang terluka membuatnya mengurungkan niat.

"Nyonya, apa kau masih hidup?" tanyanya dengan suara bergetar karena takut. Sebuah luka seperti bekas tembakan terus mengeluarkan cairan merah pekat, hingga membanjiri lantai yang rusak.

Valey tak berani menyentuh sama sekali, ia benar-benar ngeri melihat pemandangan di depannya.

"Nak, to-long a-ku!" Suara itu terbata dan berat. Tiba-tiba membuka telapak tangan dan bergerak ke depannya. "Tolong berikan kunci ini pada putraku. Bilang padanya Uncle Ziat bukanlah orang yang baik, dia harus segera pindah dari kota ini. Menjauhi Uncle Ziat."

"Tapi, Nyonya, bertahanlah. Aku akan mencari bantuan untuk membawa Anda ke rumah sakit." Valey benar-benar khawatir melihat keadaan wanita itu.

"Per-cu-ma, a-ku su-dah ti-dak bi-sa ber-tahan. To-long te-mu-kan putra-ku Narendra dan sam-pai-kan wa-siat-ku ...." Wanita itu menyebutkan sebuah alamat agar Valey datang kesana.

"Baik Nyonya, aku akan menemui putramu. Tapi sekarang aku harus menolongmu," ujarnya.

"Ti-dak! To-long ja-ngan bu-ang wak-tu, karna nya-wa pu-tra-ku da-lam ba-ha-ya! Ku-mo-hon ce-pat-lah per-gi!" Wanita terbata itu mengibaskan tangan lemahnya untuk mengusir Valey.

Valey tidak ingin pergi, tapi wanita itu terus memohon agar dia segera menyelamatkan nyawa putranya.

Dengan jantung berdebar dan perasaan takut akhirnya Valey meninggalkan bangunan tua beserta wanita yang terluka.

Dua hari setelahnya, Valey baru bisa menemukan alamat yang disebutkan wanita itu.

"Permisi!"

"Ya, kamu siapa, Nona?" Seorang penjaga gerbang menanyai Valey, tanpa berniat membuka gerbang besi yang menjulang tinggi.

"Apa benar ini rumah Tuan Na- ... eng ... Narenda?"

"Apa yang Nona maksud Tuan Narendra?" tanya penjaga gerbang itu dengan kening berkerut.

"Mungkin iya," jawab Veley ragu sambil menganggukkan kepala.

"Ada keperluan apa? Dan apakah sudah ada janji temu dengan Tuan Narendra sebelumnya?" Penjaga gerbang itu mengular banyak pertanyaan sedari awal.

"Tidak, tapi aku ada pesan penting dari ibunya yang harus segera aku sampaikan."

"Pesan dari Nyonya Besar?" Penjaga gerbang itu menautkan alis karena terkejut.

"Baiklah, tunggu sebentar aku akan bilang pada Tuan dulu." Dan setelahnya berjalan menuju rumah megah di dalam sana.

Cukup lama Valey berdiri didepan gerbang sampai si penjaga tadi sudah kembali dan menyuruhnya masuk.

Dalam setiap langkah, mulut Valey tak henti memuji bangunan megah di depannya. Siapapun pasti menganggumi bangunan bergaya arsitektur eropa itu.

Dan ketika memasuki rumah, ia terdiam sejenak begitu melihat sesosok pria dengan aura tajam tengah menyorot padanya. Ia meneguk ludah susah payah. Tiba-tiba udara panas menjadi terasa dingin.

"Siapa kamu?" Pertama bibir sensual itu bersuara membuatnya tersentak takut.

"Aku, Valey. Kedatanganku kemari karena benda ini." Valey mengusurkan satu buah kunci ke hadapan pria beraura dingin itu.

"Ibumu berpesan kepadaku agar kamu menjauhi Uncle Ziat, dia sangat berbahaya," lanjutnya.

Pria dengan rahang kokoh itu mengerut, bahkan ekspresi wajahnya cukup terkejut. "Dimana kamu bertemu dengan ibuku?" Nada suaranya berubah panik bercampur khawatir.

"Aku menemukan ibumu di dalam bangunan tua tak berpenghuni. Tubuhnya ...." Suara Valey mendadak tercekat.

"Tubuhnya kenapa?!" tanya pria itu setengah membentak.

"Tubuhnya tertembak dan penuh darah."

"Ibu ...," gumam pria itu berubah lemas. Mengusap wajah dengan mata terpejam. Valey tahu sesedih apa pria itu sekarang.

Namun, sejurus kemudian pria itu membuka mata dan melotot ke arah Valey. "Lalu, dimana kakakku?"

"Kakak?" Valey bingung, malam itu ia hanya melihat seorang wanita terluka, tanpa melihat siapapun lagi.

"Aku tidak tau," jawab Valey.

"Bagaimana kamu tidak tau! Ibuku pergi bersama kakakku, mereka sedang melakukan perjalanan bisnis ke kota lain. Dimana ada ibuku, pasti ada kakakku? Lalu bagaimana keadaanya?!"

"Selain ibuku, aku benar-benar tidak melihat siapapun lagi," yakin Valey.

Hanya karena kesalahpahaman, Uncle Ziat tega menghancurkan keluarganya tanpa ampun. Mulanya dari sang ayah yang mengalami kecelakaan hebat hingga merenggut nyawanya saat itu juga. Bahkan nenek yang melahirkan uncle ke dunia turut dilenyapkan hanya karena motif sakit hati.

Narendra sebenarnya sudah tahu topeng sang paman, tapi dia kurang yakin karena sampai detik ini sikap Uncle Ziat begitu baik. Hingga, siapapun tak akan menyangka jika paman yang selalu bersikap hangat ternyata memiliki jiwa monster mengerikan.

Dan, ditemukannya sang ibu dalam keadaan tak bernyawa dengan luka mengerikan membuat hati Narendra sedih bercampur marah.

Entah bagaimana, pria itu malah menyalahkan Valey yang tidak langsung menolong ibunya. Padahal, jika Valey menolong dan membawa ibunya ke rumah sakit, mungkin saja nyawanya masih bisa terselamatkan.

Prasangka

Dalam pemakaman, pria bernama Uncle Ziat turut hadir menyaksikan proses pemakaman ibu Naren. Narendra hampir tak bisa mengontrol diri dan rasanya ingin menghajar sang paman sampai sekarat.

"Jangan pura-pura bersimpati padahal semua duka ini adalah ulah mu, Uncle!" Naren mencengkram kerah meja Uncle Ziat dengan erat. Sampai urat-urat nadinya mencuat kepermukaan kulit. Wajahnya memerah dipenuhi kabut kemarahan.

Siapapun ketakutan melihat Narendra, tapi Uncle Ziat malah terkekeh. "Oh keponakanku tersayang, apa maksudmu ini adalah ulahku?" Pria itu pura-pura tidak tahu.

Satu pukulan telak mengenai rahang sang paman. Barulah pria itu membalas tatapan dingin Naren. "Kau berani memukul uncle mu sendiri, Naren!" tekan pria itu.

"Kenapa tidak?! Bahkan setelah ini aku akan mengirim mu ke penjara!" Naren menggebu-gebu.

"Atas alasan apa kamu ingin mengirim uncle ke penjara?!"

Naren tersenyum remeh. "Aku sudah mengetahui kebusukanmu. Kamu yang sudah membunuh Nenek, Kakek, dan juga menjadi dalang kecelakaan ayah. Dan sekarang ibuku kamu lenyapkan dengan keji. Biadab! Kamu sungguh manusia biadab!" teriak Naren dengan mata memerah.

Jika ia tak harus mencari kakaknya, ia pastikan akan membunuh pria tua itu dengan tangannya sendiri. Namun, saat ini mencari kakaknya jauh lebih penting.

"Naren, kamu tega sekali menuduh uncle. Mana mungkin uncle bisa melakukan itu!" Yang disebut uncle Ziat itu tetap mengelak.

"Apa kamu masih bisa mengelak setelah ku beri tau buktinya?" Naren kembali tersenyum remeh. "Aku punya semua buktinya."

Mendengar itu, Ziat mengerut takut. "Bukti apa?"

"Bukti rekaman CCTV yang disimpan oleh ibu. Naren tidak menyangka, kamu tega melakukan itu semua? Melenyapkan saudara demi sebuah harta warisan. Cuih, menjijikan!"

Ziat melepas cengkraman tangan Naren, memberi pukulan dan tendangan hingga Naren jatuh tersungkur. Setelahnya berlari menjauh.

Meski Naren meneriaki para pengawal untuk mengejar, tapi Ziat sudah melesat dengan kecepatan penuh.

"Tuan, ku bantu berdiri." Valey mendekati Naren dan memberi bantuan. Tapi pria itu justru membentak.

"Diam! Sialan!" Naren berdiri sendiri. Memegangi tulang pipi yang memanas akibat pukulan Ziat.

"Kenapa kamu tidak kabur bersamanya, hah?!" bentak Naren.

Valey menatap bingung. "Kabur bersama siapa, Tuan?"

"Bersama sekutumu! Kamu bersekongkol dengan baj*ngan itu untuk menghancurkan keluargaku! Katakan, dimana kakakku?!"

Dari pertama Valey menginjakkan kaki di rumah Naren dan berniat baik menyampaikan pesan wasiat dari ibunya, tapi pria itu justru menuduhnya yang tidak-tidak.

Terus berkata jika ia bersekongkol dengan pria bernama Ziat untuk merebut harta bendanya. Bahkan menuduhnya sebagai mata-mata.

"Tidak, Tuan. Aku tidak bersekutu dengan siapapun. Aku juga tidak mengenal siapa uncle Ziat."

"Kakak Anda sama sekali aku tidak tau!" Valey bergetar takut melihat tatapan berang dari Naren.

Tiba-tiba Naren mencengkram pergelangan tangannya dengan erat dan menyeret paksa tubuhnya keluar dari area pemakaman.

"Tuan, tolong lepaskan tanganku. Tanganku sakit, Tuan!" Valey berusaha menjauhkan tangan Naren dari pergelangan tangan kanannya, tapi cengkraman Naren malah lebih kencang dan semakin menyakitinya.

"Sakit?!" Naren menghentikan langkah, tersenyum remeh dan melanjutkan ucapannya, "tujuanku memang membuatmu sakit sampai kau mau mengatakan dimana baj*ngan itu menyembunyikan kakakku!"

Naren terus menyeret Valey sampai masuk ke dalam mobil. Lalu mengendarai mobil itu dengan kecepatan penuh. Amarah, kesedihan, dan kekalutan melingkupi diri. Hingga tak terpengaruh dengan wajah polos Valey.

Bruk!

Naren menghempas tubuh Valey ke lantai di kamar gudang. Memang sejak Valey datang ke rumah Naren, yang mana menimbulkan kesalahpahaman, akhirnya Naren justru menyekap Valey. Juga memperlakukannya dengan buruk.

Naren bahkan mengancam Valey jika wanita itu berani kabur dari rumahnya. Takkan segan menghabisi nyawanya.

"Ibu, kenapa nasib Valey seperti ini?" Valey menangis disudut kamar gudang yang dipenuhi barang tidak terpakai. Debu yang tebal membuat pernapasannya sesak, tapi Naren seolah tak peduli. Ia terus dikurung entah sampai kapan.

Di ruang kerja Narendra, tak sedikitpun memiliki hasrat untuk membuka file-file penting. Pria itu justru melamun dengan pikiran kalut.

"Ibu sudah kutemukan, walau tanpa nyawa. Tapi kakak! Kamu dimana, kak?" Naren beralih melihat foto keluarga yang terpajang di atas meja kerjanya.

Setelah ayahnya meninggal, semua urusan kantor di handel oleh kakaknya. Ia yang hanya suka berfoya-foya tampak kaget dengan keadaan sekarang. Dimana mau tak mau dia yang harus mengambil alih pekerjaan kakaknya.

"Wanita itu, sialan! Sama sekali tidak mau membuka mulut! Harus ku apakan supaya dia mau memberitahuku dimana kakakku." Kedua bola mata Naren seolah memancarkan kebencian tingkat penuh. Terus berprasangka bahwa Valey adalah mata-mata yang dikirim Ziat.

Wanita yang disekap

Naren menggebrak lemari dengan kekuatan penuh, hingga kaca lemari itu sendiri pecah berserakan dilantai. Telapak tangan memerah dan mengalirkan darah segar dari selah jemari.

"Pelayan!" Bahkan berteriak penuh amarah memanggil pekerja di rumahnya.

"Ya, Tuan?" Wanita paruh baya mengenakan baju hitam dan putih itu tampak tergopoh-gopoh memasuki kamar tuannya.

"Siapa yang berani masuk ke kamar ku?!" sentak Naren. Semenjak keluarganya kacau, meninggal satu-per-satu, ia tak bisa mengontrol diri. Emosinya sering memuncak hanya gara-gara masalah kecil.

Namun, tatapan berang yang ditunjukan pria itu, sepertinya kali ini bukan karena ada masalah kecil. Tapi ada masalah besar yang sudah terjadi.

"Tidak ada, Tuan, selain dua pelayan yang membersihkan kamar Anda," jawab pelayan itu dengan sangat gugup.

"Panggil mereka kemari!"

"Baik!"

Tak berapa lama, pelayan tadi masuk ke kamar Naren bersama satu pelayan lagi yang mengekor dibelakangnya.

"Maaf, Tuan, pelayan yang satunya sedang ke pasar membeli keperluan dapur," ujar pelayan dengan kepala menunduk.

"Di antara kalian pasti ada yang berkhianat! Semua file penting ku hilang! Bahkan rekaman CCTV juga disabotase." Telapak tangan Naren terkepal.

"Aku tidak akan mengampuni yang berkhianat. Siapapun akan ku pastikan mendapat ganjaran setimpal. Jadi, lebih baik mengakui sekarang!" Nada Naren penuh penekanan. Mengintimidasi dua pelayan yang sedari tadi gemetar ketakutan.

"Maaf, Tuan, saya tidak mengambil apapun dari kamar Anda. Hanya mengambil pakaian kotor dan segera keluar. Tina, teman saya pun hanya merapikan tempat tidur Anda. Tapi ...." Wanita itu diam dan terlihat ragu.

"Tapi apa!" Naren menyentak.

"Ta-tadi malam sewaktu saya ke dapur untuk mengambil minum, saya melihat seorang wanita mengendap-endap keluar dari kamar Anda. Wanita itu memakai baju putih dan berambut panjang, saya pikir itu hantu, jadi saya buru-buru kembali ke kamar. Karena saya takut."

Keterangan itu membuat Naren semakin mendidih dan tak bisa berpikir jernih lagi.

Semalam memang ia ketiduran di ruang kerja, hingga pagi ini baru memasuki kamar dan telah mendapati brankar yang berisi file penting tentang bukti kejahatan Ziat telah raib. Hal itu menyulut emosionalnya begitu meluap-luap.

Dengan langkah lebar, Naren pergi ke gudang. Ciri-ciri yang disebutkan tadi mengarah pada seseorang yang tengah ia kurung selama beberapa hari.

Naren sempat terhenyak sesaat begitu mengetahui kunci gudang masih tersimpan di kotak kecil dekat pintu masuk. Mungkinkah wanita yang ia sekap bisa keluar jika kuncinya saja masih tersimpan ditempat penyimpanan.

Namun, lagi-lagi prasangka buruk dan kesalahpahaman semakin membuatnya tak bisa berpikir jernih. Hingga, akal sehat tertutup dengan kecurigaan.

Setelah membuka pintu, mata tajamnya langsung disuguhi pemandangan miris. Seorang wanita berpakaian putih lusuh itu tampak meringkuk kedinginan karena tidur hanya beralaskan kardus.

Tapi, lagi-lagi nurani seorang Naren jauh meninggalkan hati. Hingga yang ada hanya kobaran api kebencian dan dendam yang sulit diredam.

Byur!

Tanpa ampun, Naren mengguyur tubuh Valey dengan seember air yang diberikan oleh pengawal.

Valey yang baru terlelap dini hari begitu terkejut dan bangun dengan paksa. Seluruh tubuhnya basah kuyup.

"Tu-tuan ...." Bibirnya bergetar ketakutan. Bukan hanya karena wajah Naren yang penuh kemarahan, tapi luka di punggung tangan pria itu yang masih mengeluarkan darah membuatnya ngilu dan takut.

Tiba-tiba Naren mendekat dan langsung mengapit dagunya dengan kuat. Membuatnya meringis tertahan.

"Dari awal aku benar-benar tidak mempercayaimu!" desis Naren penuh penekanan. Kedua bola matanya tampak menyala.

"Kamu bersekongkol dengan baj*ngan itu untuk melenyapkan semua bukti kejahatannya. Kamu menculik dan menembak ibuku, lalu datang ke rumahku berpura-pura baik padahal niatmu untuk menghancurkan bukti kejahatan Ziat! Jika kakakku sudah ditemukan, ku pastikan aku langsung membunuhmu!" gertak Naren membara.

Mata sayu Valey hanya bisa melesakkan air mata. Mulutnya kesulitan untuk menyanggah segala perkataan Naren yang sama sekali tidak benar.

Ia berusaha menggeleng, tapi cengkeraman Naren semakin menyakiti dagu dan pipinya.

"Kamu pasti tau dimana persembunyian pria bi*dab itu. Cepat katakan, dimana Ziat menyekap kakakku!" Suara Naren menggelegar bagai petir ditengah-tengah hujan badai. Sangat menakutkan!

Valey memejamkan mata saat Naren berteriak tepat di depan wajahnya.

"A-aku ... ti-tidak ... tau ... tu-tuan." Suara Valey tak bisa maksimal. Cengkeraman Naren seolah sudah terkunci mengapit rahangnya, hingga ia kesulitan mengeluarkan suara.

"Harus ku apakan agar kamu mau membuka mulut, hah?!"

Naren menyentak wajah Valey dengan kekuatan penuh, hingga kening wanita itu terbentur tembok dan seketika membentuk luka yang mengeluarkan darah.

Valey memegangi kepala yang berdenyut. Pandangannya berkunang dan semakin menggelap. Hitam, pekat. Ia pingsan.

Naren menendang-nendang kaki Valey, namun Valey bergeming. Ia membuang napas panjang dan berlalu keluar.

"Mulai malam ini, kalian berjaga di depan gudang. Jangan biarkan ada yang masuk. Atau, kalian laporkan padaku!"

"Baik, Tuan." Dua pengawal menyanggupi perintah Naren.

"Jangan ada yang memberi makanan sampai besok pagi!"

Dua pengawal itu saling melirik. Terhitung satu hari dua malam wanita tahanan itu tidak mengkonsumsi makanan, sanggupkah bertahan hidup?

Tanpa merasa bersalah, Naren meninggalkan gudang tempat penyekapan Valey begitu saja. Padahal Valey terluka karena dirinya, bahkan masih pingsan. Namun Naren tak iba sedikitpun. Dendam dan kemarahan menutup nurani.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!