Bug!
Kepala Yumi terkena meja usai memungut pena di lantai.
"Meja sialan!" omelnya sembari menekan pada bagian kepala yang sakit.
"Yumi, Bos memanggilmu." Tiba-tiba Erika datang menghampiri Yumi.
"Ada urusan apa Pak Jarwo memanggilku? apakah dia berencanakan menaikan gaji karyawan?" Yumi masih kesakitan. Ditambah lagi informasi Erika seolah menambah luka di hatinya.
"Semoga saja, tapi sepertinya bukan hanya kau yang dipanggil, melainkan seluruh karyawan," jelas Erika.
"Lalu mengapa seolah dia hanya memanggilku saja?" omel Yumi.
Yumi dikenal sebagai wanita emosional. Dia tak akan segan mengemukakan isi hatinya. Walau bersama Bosnya sekalipun.
"Itu kan hanya gayaku saja. Hehe." Sedangkan Erika, gadis bar-bar yang suka tebar pesona. Meski demikian, gadis berambut panjang tersebut sangat baik.
Sisi lain dari Erika adalah dia sangat gemar menguping, lalu menyampaikannya kepada Yumi.
Dua wanita itu bersahabat sejak lama. Tepatnya dua belas tahun.
"Dasar angsa! Ayo kita pergi, sebelum Pak Jarwo menceramahi kita."
Pak Jarwo adalah CEO dari perusahaan tempat Yumi bekerja. Pria tersebut berusia lima puluh dua tahun.
Wataknya yang pemarah membuat Yumi kewalahan. Selain dari pada itu, Pak Jarwo merupakan sosok yang perfektif. Inilah yang membuat seluruh karyawan mengutuknya.
Ada yang mendoakan Pak Jarwo segera pensiun dan digantikan oleh Bos muda dan tampan. Ada juga yang menginginkan Pak Jarwo dimutasi ke kantor cabang.
Namun, sayangnya semua doa dan harapan itu tak terkabulkan. Pak Jarwo masih bertahan sampai hari ini.
"Yumi! Kau telat lagi." Benar bukan? Bahkan terlambat satu detik, Pak Jarwo menjadikan persoalan.
"Bukan hanya saya yang telat, Pak. Tuh sana karyawan Bapak juga pada telat. Mengapa Bapak malah fokus ke saya?" Sementara Yumi yang tak mau kalah, selalu saja membantah pernyataan Pak Jarwo.
Sisi lain dari Pak Jarwo adalah meski tegas dan perfektif, tetapi dia masih terbuka dalam menerima kritik dan saran dari karyawan. Contohnya yang dilakukan Yumi saat ini.
"Kau memang selalu pandai memberi jawaban!" omel Pak Jarwo, tetapi tak membuat Yumi tersinggung.
"Itulah sebabnya Bapak menyayangi saya, kan?" goda Yumi sembari menaik turunkan alisnya.
Tiba-tiba Erika menyikut lengan Yumi. Lantas berbisik, "Jangan lupa, Pak Jarwo masih singel. Konon katanya dia sedang mencari istri."
Seketika Yumi merinding, membayangkan menjadi pengantin Pak Jarwo.
"Perhatian semuanya. Hari ini saya akan mengumumkan sebuah berita," ucap Pak Jarwo.
"Semoga saja berita bagus. Atau setidaknya Pak tua ini pensiun," bisik salah satu karyawan.
"Yaitu kita akan kedatangan orang penting. Dia adalah CEO dari perusahaan ini." Ucapan Pak Jarwo barusan membuat seluruh karyawan terkejut. Seketika ruangan itu menjadi riuh.
Betapa tidak, setahu mereka selama ini Pak Jarwo lah yang menjadi CEO di perusahaan tersebut. Lantas siapa CEO yang dimaksud?
"Sebentar, Pak. CEO perusahaan ini? bukankah Bapak CEO kita?" Fatir, kepala HRD perusahaan tersebut bahkan tidak tahu menahu perihal CEO yang dimaksud Pak Jarwo.
Enam tahun dia mengabdikan diri, tetapi tak pernah mengetahui perihal CEO tempatnya bekerja.
Pun Yumi dan Erika yang baru tiga tahun bergabung.
Sementara itu, di area parkir. Seorang pria gagah mengenakan setelan jas hitam. Keluar dari mobil sedan sembari membenahi kacamata.
Perawakannya yang tinggi serta berkulit putih nan bersih. Belum lagi gayanya yang dingin, seketika menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di sana.
Lelaki itu berjalan dengan gagahnya. Tangan sebelah kiri berada dalam saku celana. Seakan menambah kesan dingin pada dirinya.
Dia berjalan tanpa melirik kiri dan kanan. Sedangkan di belakang ada dua asisten yang mengawalinya.
"Saya hanyalah karyawan di sini, sama seperti kalian. Namun, sebentar lagi CEO yang sebenarnya akan hadir."
Lagi-lagi ruangan itu kembali riuh. Ada yang merasa senang atas informasi Pak Jarwo, ada pula yang masih pada keterkejutannya.
"Jadi Pak Jarwo bukan CEO yang sebenarnya? Kirain Pak tua ini pemilik perusahaan ini." Pun Erika, gadis bar-bar itu tak kalah terkejutnya.
Namun, berbeda dengan Yumi. Wanita itu diam tertunduk, meski merasa terkejut seperti yang lain.
Entah mengapa hatinya seolah merasakan sesuatu yang aneh. Seperti hendak melihat sesuatu yang hilang.
"Hei, mengapa kau diam saja? Apa kau tidak merasa terkejut?" bisik Erika.
Sedetik kemudian, pintu pun terbuka. Sehingga menunjukan sosok pria di sana.
Seluruh karyawan itu merasa terkejut sekaligus kagum, karena ketampanannya.
Ada yang memujinya setinggi langit. Hingga membandingkan dengan Pak Jarwo.
Terutama karyawan wanita, mereka saling mebisik satu sama lain. "Wah, apakah dia CEO kita? rupanya sangat tampan. Beruntung kemarin kita tidak jadi mengundurkan diri."
Ada juga yang berkata, "Aku harus menjadi sekretarisnya. Dengan begitu kami bisa akrab."
Dan ada juga yang mengatakan, "Apakah dia adalah suamiku di masa depan?"
"Dia semakin tampan." Pun Erika, gadis itu juga seolah terpana akan ketampanan lelaki yang masih belum diketahui namanya itu.
Namun, tidak dengan Yumi. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dalam keterkejutannya.
Jika seluruh karyawan wanita menyanjung pria tersebut, maka lain halnya dengan Yumi. Wanita cantik itu seakan hendak memuntahkan isi perutnya. Kebetulan dia baru saja menghabiskan lima buah pisang goreng.
"Dia?" ucap Yumi di dalam hati.
"Perkenalkan, dia lah CEO kita yang sebenarnya. Fabian Abdullah." Pak Jarwo pun memperkenalkan lelaki itu sebagai CEO perusahaan.
Alih-alih memperkenalkan diri, tatapan Fabian justru tertuju pada sosok Yumi. Tatapan itu seperti menyiratkan sesuatu. Namun, tak terbaca.
"Mengapa lelaki bedebah ini bisa ada di sini? Dan mengapa harus dia? Sejak kapan dia menyukai dunia bisnis? Bukankah dia hanya seorang dosen?" batin Yumi.
"Tuan Fabian, apakah Anda tidak ingin mengatakan sesuatu?" Kemudian Pak Jarwo mebisik Fabian.
"Terimakasih atas sambutan kalian. Harap kerjasamanya. " Hanya satu kalimat sederhana ini yang disampaikan oleh Fabian.
Kemudian lelaki itu membisik Pak Jarwo.
"Baik, Tuan. Saya paham." Sehingga menyebabkan pria setengah abad itu mengangguk paham.
Kemudian Fabian berlalu pergi. Tentu saja menuju ruangannya.
Sementara para karyawan masih ada di sana.
"Wah, tidak disangka. Rupanya CEO kita seorang pria tampan yang masih muda. Aku jadi membayangkan menjadi istrinya." Rohani, wanita yang tak kalah bar-barnya dari Erika. Berhayal menjadi pendamping Fabian.
"Tapi sayangnya kau bukan tipenya," ledek Erika.
"Kau--"
Dua wanita bar-bar itu pun saling meledek satu sama lain. Sedangkan Yumi masih terdiam.
Wanita itu seperti tenggelam dalam khayalan. Dia sibuk dengan dunianya, seakan kegaduhan yang terjadi tak mempengaruhi psikisnya.
Dan tanpa bisa dicegah lagi, tiba-tiba air mata Yumi jatuh menetes. Hatinya seperti terusik akan sesuatu yang menyakitkan.
Jiwanya seolah berkelana pada masa-masa sulit yang telah ia lalui selama ini.
Statusnya sebagai janda, mengharuskan ia menutup diri dari semua orang. Kini lelaki yang menjadikannya janda itu telah berdiri di depannya.
Sialnya, dia justru menjadi Bos di tempatnya bekerja.
Adalah Fabian Abdullah, mantan suami Yumi.
Yumi masih diam dalam keterkejutannya. Sedangkan karyawan yang lain sibuk dengan kehadiran Fabian, CEO baru.
Mereka benar-benar terpanah akan ketampanan pria berusia tiga puluh enam tahun tersebut.
Garis matanya yang bulat, hidungnya yang mancung, berkulit putih bersih, serta cambang tipis yang menghiasi wajah Fabian, seolah menambah poin ketampanannya.
Semua ciri fisik itu persis seperti penduduk Turki. Padahal Fabian tidak memiliki garis keturunan di sana.
Wajar saja bila hampir semua kaum Hawa tergila-gila pada Fabian, termasuk Yumi pada sepuluh tahun silam.
"Anda memanggil saya, Pak?" Yumi berdiri di depan meja Fabian. Sementara pria itu tengah membelakanginya.
Fabian pun tersenyum tipis, lantas memutar tubuhnya menghadap Yumi.
"Silahkan duduk!" titahnya.
Dengan wajah dingin, Yumi pun duduk. Keduanya tampak seperti dua orang asing yang tak pernah saling mengenal satu sama lain.
"Mulai sekarang kau akan menjadi sekretarisku." Seketika mata Yumi membeliak sempurnah.
Fabian menjadikannya sekretaris. Itu artinya mereka akan selalu bersama. Ibarat prangko yang saling menempel satu sama lain, mengingat tugas seorang sekretaris adalah mendampingi Sang bos di manapun ia berada. Bahkan tak jarang sekretaris menemani Bosnya dua puluh empat jam.
Yumi sama sekali tidak ingin berada di dekat Fabian. Sedetik pun tidak. Delapan tahun lalu sudah cukup baginya untuk mengecapi penderitaan.
Dicemooh sebagai janda kembang membuat Yumi malu sekaligus sedih. Hal inilah yang membuatnya harus menutup diri dari orang-orang di sekitar selama bertahun-tahun.
Kini Fabian kembali dan hendak menjadikannya sekretaris. Artinya kebersamaan mereka akan terjalin setiap hari.
"Tidak! Aku tidak mau menjadi sekretarismu!" tolak Yumi secara lugas sembari berdiri.
Kemudian Fabian menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
"Ah, maksudnya saya tidak siap untuk menjadi sekretaris, Bapak." Sedetik kemudian, Yumi meralat kalimatnya menjadi lebih halus.
Namun, hal itu justru membuat Fabian tersenyum. Akan tetapi, bukan senyuman manis. Melainkan senyuman mengejek. Sehingga Yumi berkerut kening.
"Apa hakmu menolak permintaanku? Bukankah kau hanya seorang karyawan di sini? Jangan lupa, bahwa aku lah Bosnya. Sedangkan kau hanyalah bawahan." Hati Yumi semakin teriris.
Kata-kata Fabian sungguh tajam, persis menggambarkan pria yang angkuh.
"Maaf," lirih Yumi sembari menundukan kepala.
Wanita itu meremas kesepuluh jemarinya. Ada raut kecemasan di sana. Dia tidak suka situasi seperti ini. Duduk di depan mantan suami bukanlah bagian dari rencana hidupnya.
Namun, sepertinya Tuhan berkata lain. Dia kembali mempertemukan mereka setelah sekian lama.
Tidak sekalipun Yumi berharap untuk bertemu Fabian, apa lagi kembali padanya. Luka yang dulu sengaja ia torehkan masih sangat jelas terasa.
Setelah sekian lama berusaha sembuh dari luka itu, kini Fabian hadir kembali dalam hidupnya. Seolah membuka luka lama yang mulai mengering.
"Catat semua jadwal hari ini." Kemudian Fabian menjulurkan sebuah buku catatan kepada Yumi.
"Siapa Klien yang akan aku temui, di mana lokasinya, jam berapa, dan proyek apa yang akan dikerjakan," imbuh Fabian.
Kemudian lelaki itu sedikit memajukan kepala dengan ekspresi tak terbaca. Lantas ia pun berbisik, "Sekalian catat menu sarapan yang akan kau masak untuku setiap hari."
Seketika wajah Yumi memerah. Antara ingin marah dan menampar wajah Fabian.
Betapa tidak, lelaki dengan kemeja putih itu memintanya untuk menyiapkan sarapan setiap hari. Sedangkan dahulu, ia dengan sengaja membuang bekal yang dibuat Yumi dengan susah payah hanya karena merasa tertekan pada pernikahannya.
Kini, setelah semua yang terjadi, ia memintanya untuk membuatkan sarapan. Tidakah Fabian sudah keterlaluan? Mempermainkan perasaan Yumi dengan teganya.
Jika dia menginginkan sarapan, mengapa tidak sekalian saja menikah? gampang, bukan?
Namun, tampaknya Fabian sedang menggoda Yumi, atau ada hal lain yang sedang ia rencanakan. Entahlah.
"Apa kau sudah gila?! Mengapa aku harus membuat sarapan untukmu?" Yumi kembali berdiri sembari menatap kesal Fabian.
Namun, pria itu membalasnya dengan raut yang sulit untuk diartikan.
"Maksud saya, mengapa Anda tidak membawa sarapan dari rumah?" Sehingga membuat Yumi kembali duduk dan meralat kalimatnya.
Entah mengapa tatapan Fabian selalu sukses meluluh lantakan pertahanan diri Yumi. Padahal wanita itu sudah bersusah payah untuk menolak.
Tampaknya pesona Fabian masih melekat dalam jiwa wanita bermata indah tersebut.
"Bukankah kau tahu, bahwa aku tidak memiliki asisten rumah tangga?" Mendengar itu, seketika hati Yumi merasa iba.
"Ternyata dia tidak berubah. Dia masih sendiri sampai saat ini. Apakah itu artinya Fabian belum menikah lagi?" ucap Yumi di dalam hati.
"Delapan tahun lalu aku memiliki asisten, tapi dia sudah pergi." Sedetik kemudian, rasa simpatik itu pun lenyap, tergantikan dengan kekesalan.
Betapa tidak, Yumi merasa Fabian tengah menyindirnya. "Sialan! Apakah itu artinya dulu aku adalah asisten rumah tangganya? Benar-benar tidak bisa dipercaya!" Yumi kembali membatin.
"Mengapa Anda tidak menikah saja? Setidaknya ada yang membuat sarapan setiap hari. Mengapa tugas ini justru dialihkan kepada sekretaris? Merepotkan saja!" Yumi memelankan suara di akhir kalimat, agar tak didengar oleh Fabian.
Namun, sayangnya pria itu tidak bodoh. Dia menangkap semua kata-kata Yumi.
"Kau tenang saja, setelah ini aku ada kencan buta. Tapi untuk sementara waktu, kau lah yang membuat sarapan untuku setiap hari." Entah mengapa kata-kata Fabian kali ini sukses mempengaruhi Yumi.
Hatinya terasa ngilu, seperti terkena cubitan. Seketika raut wajah Yumi pun berubah. "Dasar pria tukang pamer!" bisiknya.
"Apa kau sedang mengatakan sesuatu?" ucap Fabian sembari tersenyum meledek.
"Apapun itu, aku tidak mau membuat sarapan untukmu!" tandas Yumi setelah beberapa saat tenggelam dalam dunianya.
"Apakah itu artinya kau siap mencatat semua schaduleku? Dengan kata lain kau bersedia menjadi sekretarisku." Yumi termakan umpan Fabian.
Rupanya pria itu hanya mengerjai Yumi. Memang Fabian merindukan masakan mantan istrinya tersebut, tapi bukan itu poin pentingnya. Fabian menginginkan Yumi berada di sisinya setiap hari. Hanya dengan menjadi sekretaris lah mereka bisa kembali dekat.
Fabian sadar, bahwa tidak akan mudah berada di sisi Yumi. Namun, bukan Fabian namanya jika tak berhasil memenangkan pertempuran.
Buktinya, kini Yumi terjebak dalam permainan. Wanita itu tak dapat berkutik lagi.
"Kau benar-benar--"
"Tuan Fabian, aku ingin menanyakan sesuatu." Yumi hendak menampar pipi Fabian, tapi tiba-tiba Rohani masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seketika Yumi menurunkan tangannya.
"Silahkan!" titah Fabian datar.
"Mengapa Tuan justru menginginkan Yumi untuk menjadi sekretaris Anda? Mengapa Tuan tidak memilihku?" tanya Rohani tanpa ragu.
"Bukankah kau sekretaris Fatir? Kau bekerja padanya selama bertahun-tahun. Lantas mengapa aku harus merebut yang bukan milikku?" sahut Fabian datar. Namun, penuh penekanan.
Seketika Rohani tercengang. Tidak mengira jawaban Fabian akan selugas itu.
Rohani adalah Putri dari salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut. Itulah sebabnya dia sedikit lebih berani mengungkapkan perasaan.
Berbeda dengan Yumi yang hanya karyawan biasa. Dia bukanlah siapa-siapa di perusahaan itu, selain mantan istri Fabian.
Dengan berbekal jabatan Sang Ayah, Rohani berharap Fabian tertarik padanya. Namun, sepertinya hal itu sulit terjadi. Sebab, Fabian tidak menginginkan gadis bar-bar tersebut.
"Yumi, buatkan aku kopi!" titah Fabian kemudian.
Dan tanpa sadar, Yumi pun mengiyakan ucapan pria tersebut. "Baik, Pak." Secara tidak langsung, Yumi menerima tawaran Sang mantan suami.
Di pantry, Yumi memaki Fabian. "Pria itu benar-benar keterlaluan! Dia menjebaku dengan mengatas namakan sekretaris. Awas saja kalau dia berulah, akan aku potong hidungnya!" omel Yumi.
"Ini juga, mengapa aku setuju membuatkan kopi? Ini semua karena Rohani Si wanita bar-bar itu!" Kemudian Yumi membanting sendok gula ke dalam cangkir dengan penuh kekesalan.
"Cie... yang jadi sekretaris mantan suami." Mendadak Erika datang dan menggoda Yumi.
"Sstt... jangan kenceng-kenceng suaranya. Apa kau mau semua orang kantor tahu hubunganku bersama pria menyebalkan itu?!" Yumi menutup mulut cerewet Erika.
Saat melamar di perusahaan itu, Yumi mencantumkan statusnya sebagai janda. Pun Fabian, status pria tersebut telah diketahui sebagai duda hanya dalam hitungan menit. Maka bukan hal mustahil bila seluruh karyawan akan curiga pada keduanya hanya karena mulut bar-bar Erika.
"Ehem! ini kopi untuk Pak Fabian, ya?" Sengaja Erika menekan nama Fabian untuk menggoda Sang sahabat.
"Is, kau ini. Jangan aneh-aneh deh! Aku sedang kesal ni!" omel Yumi memanyunkan bibir.
"Tapi, Ngomong-ngomong Fabian semakin tampan, ya? Apa kamu gak nyesel menceraikan dia?" Lagi-lagi mulut bar-bar Erika tak terkontrol. Gadis itu berceloteh seakan meledek Yumi.
"Mengapa tidak sekalian kau mengumumkan kepada ketua RT di lingkungan ini, bahwa kami adalah mantan suami istri?!" omel Yumi lagi dan lagi.
"Siapa yang mantan suami istri?" Tiba-tiba Rohani datang dan berdiri di belakang Yumi.
Kedua wanita itu pun terkejut. Yumi dan Erika menelan salivanya secara bersamaan. Mereka takut pembicaraan tadi didengar oleh Rohani.
"Suami istri? Siapa yang suami istri? Kamu salah dengar kali. Apa tadi kita sedang membahas tentang hubungan suami istri?" Erika dan Yumi saling memandang satu sama lain. Sebelum akhirnya mengelabui Rohani.
"Tidak, aku tadi tidak salah dengar. Aku yakin itu," ucap Rohani penuh keyakinan.
"Hei! Mengapa kau menguping pembicaraan orang lain? Kau benar-benar wanita kepo!" Erika mulai kesal karena Rohani. Gadis itu tetap kekeh pada pendiriannya.
"Bukankah kau juga sama? Sering menguping pembicaraan orang!" Seakan tak mau kalah, Rohani membalas Erika dengan entengnya.
"Kau--"
"Ada apa ini?" Beruntung Fabian datang ke pantry itu. Sehingga menyudahi perdebatan dua gadis bar-bar tersebut.
"Yumi, mengapa kau belum membawakan kopi untuku? Apa kau ingin gajimu dipotong?" lanjut Fabian.
"Baik, Pak." Fabian dan Yumi pun meninggalkan pantry. Sementara Erika dan Rohani masih berada di sana. Kedua wanita itu melempar tatapan sengit, seakan hendak menyakiti satu sama lain.
Sejak dulu hubungan keduanya tak pernah akur. Erika yang tahu status Rohani di perusahaan itu tak pernah merasa takut bila suatu waktu dipecat. Baginya kebenaran tetaplah harga mati.
"Ikut aku menemui klien sekarang," titah Fabian begitu sampai di dalam ruangan.
"Lalu kopinya?" Yumi tak habis pikir, capek-capek membuat kopi untuk Fabian, lelaki itu justru tak menyentuhnya sama sekali.
"Apa kau lupa, bahwa aku tidak mengkonsumsi kafein?" Seketika Yumi terdiam. Sejenak dia lupa kebiasaan mantan suaminya itu.
Dahulu Fabian memang tidak mengkonsumsi kafein. Saat lelaki itu meminta kopi, Yumi pun tak bertanya. Sebab, ia pikir kebiasaan mantan suaminya itu telah berubah setelah sekian lama.
"Apa aku mengikuti jejak hidupmu selama ini? Aku bahkan tidak tahu, bahwa kau seorang CEO." Yumi memelankan suaranya di akhir kalimat. Lirih sekali, serta mengandung makna tersirat.
Yumi merasa tertipu oleh Fabian. Janda itu tak pernah tahu asal-usul mantan suaminya. Sewaktu menikah, mereka menjadi sepasang suami istri sederhana. Fabian hanyalah seorang dosen, sedangkan Yumi mahasiswanya.
Keduanya memutuskan menikah setelah dua minggu Fabian putus dari mantan kekasihnya. Selayaknya pelarian, Fabian menjadikan Yumi istrinya.
Fabian sadar, bahwa mahasiswanya itu menaruh hati padanya. Dia pun memanfaatkan perasaan Yumi. Namun, meski demikian Fabian tetap bertanggung jawab sebagai suami.
Fabian menafkahi Yumi secara lahir dan batin. Memperlakukan kedua orang tua Yumi selayaknya mertua. Fabian tak pernah lupa akan kewajibannya.
Lelaki itu pula berusaha untuk menerima Yumi, meski setengah hati. Namun, menjelang dua tahun pernikahan, entah mengapa Fabian berubah. Dia mendadak diam dan tak menyentuh Yumi selayaknya suami.
Hal itu membuat Yumi bertanya-tanya. Akan tetapi, Yumi tak putus asa. Dia berharap suaminya itu bersedia menerima dirinya sebagai istri, bukan sebagai pelarian semata.
"Halo, baiklah. Aku akan segera datang." Suara ponsel Fabian memecah keheningan di antara keduanya.
"Kita berangkat sekarang," ucap pria tersebut.
Yumi tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia pun mengikuti Fabian sesuai dengan perintah.
**
Sementara itu, di lain tempat. Sepasang suami istri paruh baya tengah berdebat. "Biarkan dia menikmati hidupnya. Kita jangan memaksakan kehendak."
"Tapi aku kasihan pada Putri kita. Sudah delapan tahun dia hidup dalam kesendirian. Aku takut suatu saat nanti kita berdua pergi untuk selamanya, tidak akan ada yang menemaninya. Yumi harus menikah lagi."
Mereka adalah kedua orang tua Yumi. Sepasang suami istri tersebut tengah memperdebatkan status Yumi yang tetap memilih menjanda.
Namun, Ibunya khawatir bila kelak ia meninggal, maka tak akan ada yang menjaganya. Bila Yumi menikah, setidaknya masih ada suami yang menjadi tempatnya mengadu.
"Kau berpikir terlalu jauh, Sayang. Kita tidak akan pergi sekarang," kata Gautam, Ayah Yumi.
"Apa kau tahu kapan ajalmu datang?" omel Zara, Ibu Yumi.
"Sayang, aku memahami kekhawatiranmu. Namun, kita tidak bisa memaksakan kehendak. Biarkan Yumi yang memutuskan kapan dan dengan siapa dia menikah."
Berbeda dari Sang istri yang emosional, Gautam lebih rasional. Logikanya berjalan sesuai naluri. Gautam tidak berencana memaksa Putri semata wayangnya itu untuk segera menikah.
Gautam paham, bahwa Yumi masih menutup diri pada kaum Adam. Sebab, gagalnya pernikahan delapan tahun silam.
Dahulu, sewaktu Yumi memutuskan mengakhiri pernikahannya, Gautam menyaksikan kehancuran Putrinya itu. Selama bertahun-tahun dia hidup, tapi seperti tak bernyawa.
Memang Yumi yang memutuskan untuk berpisah, tetapi Fabian lah yang menyebabkan perpisahan itu terjadi.
Gautam memahami hati Yumi yang patah. Seperti merasa trauma pada pria dan pernikahan, Yumi pun menutup diri.
Gautam yang tak ingin melihat Putrinya kembali hancur, tak pernah memaksa untuk kembali menikah, atau memperkenalkannya kepada seorang pria.
"Sayang--"
"Dengar, aku sudah pernah melihat Yumi hancur. Dan aku tidak ingin hal itu terulang kembali. Baginya pernikahan bukanlah satu-satunya yang penting di dunia ini. Atau setidaknya biarkan dia memahami arti sebuah hubungan terlebih dahulu sampai akhirnya ada seorang pria yang berhasil membuka pintu hatinya," jelas Gautam lebih jauh lagi.
Dibanding dengan Zara, Yumi lebih dekat kepada Sang Ayah. Bersamanya, Yumi leluasa mengungkapkan isi hati. Sebab, pria bertubuh tinggi gemuk tersebut tak pernah memaksakan kehendak.
Bahkan ketika Yumi memutuskan untuk menikahi pria yang tak pernah dikenalinya, Gautam memberi dukungan penuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!