Visual Nuri Dwiyanti - Zara Adishty pemain film Mariposa.
Visual Devan Steven - Angga Aldi Yunanda pemain film Mariposa.
Namaku adalah Nuri Dwiyanti dan ini adalah kisahku.
Mari ikuti perjalanan hidup dan kisah cintaku!
Ini adalah awal kehidupan baruku setelah aku menikah dengan sahabatku sendiri. Pernikahan tanpa cinta mungkin merupakan mimpi buruk bagi sebagian orang, begitupun untukku.
Aku bersama sahabatku yang kini sudah menjadi suamiku mulai memasuki rumah baru kami. Rumah ini dibeli oleh mertuaku, meski mereka tidak ingin mengakui kami sebagai anak lagi tapi mereka masih berbaik hati kepada kami demi cucu mereka yang tidak berdosa ini, yang sekarang sedang aku kandung. Aku terima kami memang pantas dibuang dari keluarga karna kami sudah membuat mereka kecewa dan ikut menanggung malu. Seharusnya remaja seusia kami meneruskan pendidikkan sampai kejenjang kualiah minimal tamat SLTA tapi kami malah bermain api yang pada akhirnya kami harus terluka dan menderita kehilangan segalanya.
Aku menatap dari samping wajah penuh amarah itu dan mata sendu suamiku yang hanya lurus ke depan. Dulu aku mengenalnya sebagai orang yang peduli padaku karna dia beberapa kali menolongku dari orang-orang yang suka menggangguku, tapi hari ini dia tidak pernah lagi tersenyum padaku. Aku tau hatinya sangat terluka, begitupun dengan yang aku rasakan bahkan aku lebih hancur darinya, tapi aku tidak bisa mengatakan apa yang tengah aku rasakan kepadanya, karna dia selalu acuh tak acuh kepadaku.
Aku mulai melangkah mencari kamar kami sendirian setelah sampai di kamar aku mulai berkemas-kemas memasukkan pakaian ke dalam almari yang sudah tersedia di dalam kamar kami, sementara suamiku hanya bersantai di sofa ruang tamu sambil bermain game di ponselnya. Semenjak menikah sikap suamiku jauh berubah, dia sangat dingin dan pendiam bahkan dia bisa saja berlaku kasar padaku.
Aku ingin menangis saat suamiku yang dulunya adalah temanku, kini tidak mau lagi bicara padaku tapi aku tidak bisa menangis, aku sadar siapa aku. Pernikahan kami memang tidak seharusnya terjadi namun apa boleh buat, semua khilafan menjijikkan yang sudah kami lakukan beberapa bulan lalu kini harus kami tanggung. Kami hanyalah anak bodoh yang sempat terlelap dan terbuai dalam dinginnya malam kala itu. Aku bisa menerima situasi pahit ini, tapi aku rasa berat bagi suamiku untuk menerima kenyataan.
Selesai berkemas aku ingin mendekati suamiku yang duduk sendirian tapi ponselnya tiba-tiba saja berbunyi membuat pandangannya teralihkan. Suamiku mendapat telepon dari teman SMA yang membuatnya merasa bahagia. Telepon itu dari Albi teman satu kelasnya yang ingin mengajaknya kumpul-kumpul di cafe.
Suamiku ingin pergi begitu saja dari rumah tanpa meminta izin dariku terlebih dahulu, dia memang tidak peduli apakah aku mengizinkan atau melarangnya, yang dia inginkan hanyalah aku-aku dan kamu-kamu. Kami harus bersikap masa bodoh, anggap saja pernikahan ini hanya cara untuk menutupi aib bukan atas dasar kemauan kami, dia selalu berkata seperti itu padaku.
"Devan..." teriakku memanggilnya. Dia hanya menoleh sedikit ke arahku lalu segera mengeluarkan motornya dari dalam garasi dan dia pun melaju pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.
Ya Allah apa begini rasanya menikah diusia muda?
Pernikahan ini terasa berat kami jalani karna kami menikah berlandaskan rasa terpaksa akibat ulah kami sendiri, mungkin jika kami saling mencintai pernikahan ini akan terasa mudah dijalani namun kami terlanjur berbuat tanpa ada rasa cinta.
Aku baru menyadari jika ego diusia yang masih sama-sama muda itu sangat besar. Tetapi, walau aku masih muda aku bisa menerima Devan sebagai suamiku karna aku mengandung anaknya. Aku hanya memikirkan anakku tanpa peduli perasaanku sendiri, aku hanya ingin Devan mengakui anaknya.
Aku berusaha untuk membuat Devan menerima pernikahan kami dan mengakui anak di kandunganku sebagai anaknya karna aku yakin kelak ada masanya usahaku tidak akan membuatku kecewa.
Hingga malam hari aku masih menunggu suamiku di ruang makan. Aku baru saja pulang ke rumah setelah membeli makan malam untukku dan Devan. Maklum saja aku tidak pandai memasak karna memang seharusnya aku masih belajar di sekolah bukan mengurus suami, tapi mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur inilah akibat dari kebodohan kami. Tidak ada gunanya menyesal karna begitulah yang namanya penyesalan selalu ada diakhir, sekarang tidak ada pilihan lain selain menghadapinya.
Dari tadi sore Devan masih belum pulang sementara jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku masih terduduk sendirian di atas kusir dengan makanan di atas meja. Aku ingin meneleponnya tapi ponselku tidak ada kartu sim karna Devan sudah membuangnya agar aku tidak bisa menghubunginya.
Walaupun tidak saling cinta tapi aku tetap gelisah sampai tidak bisa tidur sebelum dia pulang, aku takut dia akan meninggalkan dan mencampakanku bersama anaknya begitu saja. Mengingat kami hanya menikah siri karna kami memang belum cukup umur untuk menikah secara hukum dan agama.
Perih dan sakit sekali disaat sedang hamil muda aku harus berjuang sendirian, mempertahankan rumah tangga kami yang baru kami bangun ini. Padahal aku sendiri tidak tau banyak tentang dunia pernikahan itu seperti apa, aku hanya berusaha semampuku untuk menjadi istri yang baik dan aku tidak mau membuat Devan kecewa.
Hampir jam setengah sebelas akhirnya Devan pulang ke rumah. Dia membuka pintu sendiri karna aku sengaja tidak mengunci pintu. Aku mendengar suara langkah kakinya, dia berjalan ke arah dapur dimana aku masih berada di sana. Devan melihatku sekilas lalu kembali memasang ekspresi masam di wajahnya. Aku bangkit dari kursi dia pun langsung berbalik sepertinya dia sengaja ingin menghindariku.
"Devan mari kita makan, aku belum makan karna menunggumu." panggilku seketika Devan pun berhenti kembali menoleh ke arahku.
Dia menggelengkan kepalanya pertanda menolak ajakkanku lalu dia berlalu ke kamar. Sambil menangis aku makan sendirian untuk menelan sesuap nasi rasanya itu sangat sulit betapa sakitnya perasaanku sekarang tapi tidak ada tempat untuk berbagi. Aku ingin menyerah dengan pernikahan ini tapi jika aku menyerah bagaimana nasib anakku, haruskah dia terlahir tanpa seorang ayah? lalu dimana aku akan tinggal sementara keluargaku juga malu untuk menerimaku kembali, terpaksa aku harus menguatkan diriku sendiri dan tetap sadar beginilah risikonya hamil di luar nikah.
Setelah makan aku berlalu ke dalam kamar dengan maksud untuk ikut tidur bersama suamiku. Tapi apa yang ku dapat, aku melihat suamiku masih berdiri di depan tempat tidur dengan memegang satu bantal di tangannya segeralah aku mendekatinya.
"Kenapa belum tidur?"
Saat aku bertanya, Devan malah berbalik melihatku dan menatapku.
"Aku akan tidur di kamar tamu dan aku sudah mengemas pakaianku, kamu tidur saja di sini." ujarnya sambil menunjuk koper, benar dugaanku dia perlahan-lahan ingin menjauh dariku.
"Ini kamar kita, kamu berhak tidur di sini bersama denganku, bukankah saat di rumah papa kita tidur bersama lalu kenapa kamu ingin pindah?"
"Aku tidak bisa tidur denganmu sekarang, saat di rumah papa aku hanya menghargai perasaan orang tuaku." jawabnya.
"Lalu bagaimana dengan perasaanku, sekarang aku resmi menjadi istrimu meski kita menikah siri tapi itu resmi secara agama tidak ada larangan untuk tidur bersama."
"Kamu tau apa tentang pernikahan, ingat pernikahan kita hanya permainan yang tidak ku sengaja, setelah anak ini lahir aku akan menalakmu, aku ingin melanjutkan sekolahku menikah denganmu hanya menambah rumit masa depanku."
"Bukan hanya kamu yang kehilangan masa depan, tapi aku juga kehilangan masa depanku, aku ingin menjadi dokter namun impianku pupus di tengah jalan, aku tidak pernah menyalahkan siapa-siapa karna ini memang kesalahan kita berdua, sadarlah Dev tidak ada yang perlu disesali."
"Sudahlah aku tidak peduli padamu, aku menikahimu demi diriku sendiri agar aku diterima kembali sebagai anak mereka."
Suamiku pergi dari kamar kami, dia lebih memilih tidur di kamar yang berbeda. Begitu bencikah dia kepadaku? Jika bukan karna status istri mungkin aku sudah mengatakan aku menyesal pernah mengenalnya. Benar kata orang, hati-hati dalam bergaul sekalipun itu teman dekatmu sendiri karna terkadang teman yang paling dekatlah yang bisa membuatmu celaka.
Jika suka ceritanya tolong biasakan like dan favoritkan😊 sebagai tanda kalian menghargai karya author, asal kalian tau 1 like itu sangat berharga untuk kami para author, kami sangat berterima kasih untuk itu. Jadi tolong jangan pelit-pelit jempol🙏
Pagi-pagi aku bangun sendirian, aku menyadari aku tidur terpisah dengan suamiku. Setelan mencuci muka aku mulai pergi ke dapur mencoba untuk membuat sarapan. Devan masih tidur, aku sengaja tidak membangunkannya karna aku pikir aku hanya akan mengganggunya.
Saat di dapur aku terpaku melihat kulkas yang ternyata isinya kosong. Aku kembali ke dalam kamar mengambil beberapa lembar uang dari dompetku, kulihat di luar tidak jauh dari rumah ada penjual sayuran dan di sana sudah banyak ibu-ibu sedang mengantri.
Aku putuskan untuk menjauhkan rasa malu, kuberanikan diriku untuk bertatap muka langsung dengan ibu-ibu itu.
Aku merasa lega setelah mereka menyapaku sehingga aku bisa melanjutkan memilih sayuran.
"Adek, pasangan muda itu yang kemarin sore pindah ke kompleks sini?" tanya mereka.
"Iya benar bibi." jawabku mengangguk ragu-ragu tanpa tersenyum.
"Wah! Sayang ya masih sangat muda tapi sudah menikah, apa kalian tidak menyesal meninggalkan dunia pendidikkan? jaman sekarang pendidikkan itu jadi prioritas terutama untuk mendapatkan pekerjaan."
Kudengar ibu-ibu itu sepertinya semakin tajam berbicara padaku sampai aku bingung untuk menjawabnya.
"Paman, daging ayamnya berapa?" tanyaku tanpa memperdulikan ibu-ibu tadi. Setelah belanjaanku dihitung jumlahnya aku langsung membayarnya dan tanpa menoleh lagi aku pergi dari ke ramaian itu.
Jujur saja hatiku ingin berteriak sekencang-kencangnya, tidak ada anak seusiaku yang tidak mau bersekolah, mereka dengan sengajanya bertanya seperti itu kepadaku seolah mereka tidak tau alasan dibalik pernikahan kami. Namun, apa daya diriku, aku bahkan tidak punya siapa-siapa sekarang. Aku diasingkan oleh keluargaku bahkan suamiku tidak peduli padaku, untuk menangis pun rasanya sudah tiada gunanya tidak akan ada yang mendengar tangisanku, tidak ada yang peduli dan mau menyeka air mataku.
Aku melanjutkan aktivitasku setelah membeli beberapa sayuran seperti wortel, kentang, tomat, sawi, kol, daging ayam dan udang. Aku pun membersihkan sayuran yang ku beli lalu menyimpannya ke dalam kulkas.
Aku melihat sisi kiri dan kananku, aku benar-benar sendiri tidak ada ayah dan ibu di sisiku. Sekarang aku harus belajar mandiri mengurus rumah tanggaku, tidak akan ada yang bisa membantuku.
Apa yang harus aku masak sekarang?
Bahkan untuk memasak saja aku tidak mampu, tapi aku ingin segera memasak sarapan untuk suamiku sebelum dia bangun atau dia akan memarahiku jika tidak ada sarapan di meja.
Kak Nana sangat beruntung di saat kakak tidak bisa memasak apapun tapi suaminya mau mengajarinya sampai kakak bisa, di saat kakak sedih suaminya selalu mendukungnya tapi aku, nasibku tidak seberuntung kakakku.
Aku pun memaksakan diriku untuk memotong daging ayam yang ku beli, aku tidak tau cara memotongnya sampai akhirnya malah jariku yang terluka. Luka perih di jari telunjukku menambah rasa perih di hatiku. Jariku mengeluarkan banyak darah, aku kesakitan dan mataku mengeluarkan air mata karna menahan begitu banyak rasa sakit.
"Devan... tolong aku Dev." seruku meminta pertolongannya, aku sudah mencari kotak p3k dimana-mana tapi tidak menemukannya makanya aku meminta bantuan Devan untuk mencarinya.
Aku melihat Devan keluar dari kamar setelah aku memanggilnya.
"Apa yang kau lakukan pagi-pagi sudah berisik, menggangguku saja." ketusnya tanpa peduli pada darah yang menetes di jariku.
"Dev, apa rumah ini tidak ada obat-obatan?"
"Aku tidak tau, kau cari saja sendiri." Dia tetap ketus kepadaku. Devan ingin masuk ke kamarnya lagi tapi aku menahannya.
"Dev, aku sudah mencarinya dimana-mana tapi obatnya tidak ada sepertinya kita tidak punya persediaan obat-obatan."
"Ya sudah kau beli saja sana, apa susahnya." bentaknya kepadaku lalu dia masuk ke kamar dengan kasar menutup pintunya sampai membuat mataku terpejam sendiri dan tubuhku ikut terperanjat kaget.
"Dev, tapi jariku terluka bagaimana aku bisa keluar?" ucapku masih di depan kamarnya tapi tidak ada jawaban darinya.
Ya Allah begitu kejamkah suamiku? aku tidak tau harus dengan cara apa melunakkan hatinya, bahkan untuk memandangku saja dia seolah tidak sudi.
Aku kembali ke dapur lalu mengambil pisau dan merobek sedikit pakaianku untuk membuat perban menutupi luka di jariku. Aku menangis sendirian sambil mengikat jariku dengan sobekkan bajuku, baju yang terlanjur di penuhi noda darah itu aku jadikan pelindung luka di jari. Luka di jariku saja ada yang melindunginya sementara aku hanya sendirian tidak ada yang melindungi.
Aku menyeka air mata yang menggenang di kedua pelupuk mataku. Ku coba untuk kembali tersenyum, aku harus kuat demi anakku, jika aku lemah maka janin yang aku kandung juga bisa ikut melemah.
Saat aku hendak memulai aktivitas memasakku, sangat tidak disangka Devan datang menemuiku di dapur dengan membawa obat-obatan. Ada sedikit rasa senang di dalam hatiku saat dia datang.
"Kemarilah." Dia memanggilku setelah dia duduk di kursi makan.
Aku masih takut untuk mendekatinya, tapi ternyata dia memanggilku lagi dan menyuruhku untuk duduk di kursi. Dengan rasa ragu-ragu secara perlahan aku mendekatinya dan ikut duduk seperti yang dia perintahkan.
Dia tidak menatapku tapi aku melihat dia sedang menuang alkohol ke atas kapas lalu mengeluarkan beberapa obat luka.
"Berikan tanganmu!" ucapnya meski tanpa melihatku dia mencoba meraih tanganku lalu di bukanya perban kain yang aku ikat tadi.
Aku hanya mampu diam dan membisu, tanpa berkedip aku terpaku menatapnya. Dia memang sangat dingin tapi aku yakin dia punya sisi yang lembut. Buktinya sejak aku berteman dengannya, dia adalah orang yang ceria dan mudah tersenyum hanya saja masalah yang menimpa kami membuat dirinya jauh berubah. Devan seperti sudah kehilangan jati dirinya dan adanya aku bersamanya aku akan membuatnya menjadi Devan yang dulu.
Setelah perbannya terbuka dia pun membersihkan lukaku dengan sedikit kasar yang membuatku sedikit meringis kesakitan.
Saat aku kesakitan aku bisa merasakan Devan juga ikut menahan sakit, sehingga dia memperhalus sentuhannya di jariku. Aku yakin Devan pasti melihat bagaimana aku menahan sakit itu hanya saja dia terlalu angkuh sampai tidak ingin menunjukkannya padaku.
"Kau obati saja sendiri." ketusnya tiba-tiba bangkit dari duduknya dan melepas genggaman tangannya di tanganku.
"Ada apa?" Aku menatapnya heran dengan perasaan sedikit takut, apakah aku melakukan kesalahan lagi? yang membuatnya marah.
"Aku mau mandi, Albi mengajakku keluar." ucapnya dengan nada datar.
"Tapi Dev, kemarin kalian sudah keluar bahkan sampai malam, apa kamu tidak khawatir padaku, aku sendirian di rumah dan aku tidak kenal siapa-siapa di sini, bagaimana jika ada orang jahat yang menggangguku pada siapa aku akan minta bantuan."
"Banyak bicara sekali kamu, ingat baik-baik kamu tidak berhak mengaturku apalagi sampai melarangku bertemu teman-temanku atau aku tidak akan segan-segan meninggalkanmu."
Devan tiba-tiba menarik tanganku dan membawaku cukup dekat bersentuhan dengan tubuhnya. Dia begitu dalam menatap mataku tapi matanya mengatakan kebencian, lalu dia menghempas tanganku dengan kasar hingga tubuhku ikut terdorong ke belakang.
Air mataku seketika itu langsung menetes tapi Devan malah pergi dariku. Sekalipun aku memanggilnya, dia tidak mau menoleh kembali.
Hiks... hiks...
Sambil menangis aku melakukan apa yang aku bisa lakukan. Dari pada aku memikirkan Devan terus-menerus aku memilih untuk memasak nasi goreng, aku ingin mengajaknya sarapan terlebih dulu sebelum dia pergi bersama teman-temannya.
Saat nasi goreng yang kubuat sudah matang bersamaan dengan itu Devan juga keluar dari kamarnya. Dia sekilas seperti milirik ke arahku tapi begitu aku melihatnya, dia langsung berkilas seolah tidak terjadi apa-apa.
"Dev, sarapan dulu sebelum pergi, tapi maaf aku hanya bisa memasak nasi goreng untukmu." kataku memanggilnya, dia berhenti sejenak mendengarkanku.
"Kau sarapan saja sendiri, Albi memintaku menjemputnya." kata Devan datar tanpa melihatku.
"Dev, kita sudah menikah, kita punya kehidupan baru bisa tidak jangan prioritaskan temanmu, aku minta tolong sama kamu Dev, jika kamu mau memprioritaskan keluarga kecil kita maka aku juga akan berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu."
Aku berusaha membujuk Devan semampu yang aku bisa karna aku sadar pernikahan bukanlah suatu babak yang dimulai lalu diakhiri begitu saja.
"Jika kau mau keluar bersama teman-temanmu maka silakan saja aku tidak akan melarangmu, asalkan kau tidak melarangku." jawabnya masih dengan suara yang sama.
Devan melangkah keluar tanpa sedikitpun mau melihatku. Aku benar-benar istri yang tidak dianggap, dia sangat membenciku bagaimana aku bisa bertahan bersama orang yang sama sekali tidak menganggap ada keberadaanku.
BERSAMBUNG...
Devan bersenang-senang di cafe bersama teman-temannya sampai dia lupa diri kalau dirinya bukan pria bujangan lagi. Teman-teman sekolah Devan juga tidak ada yang mengingatkan Devan untuk menyuruhnya pulang mereka sengaja membuat Devan lupa waktu.
"Dev, apa istrimu tidak marah kau pulang malam setiap hari? kita pergi dari pagi tadi aku merasa tidak enak dengan istrimu." tanya Albi. Hanya Albi satu-satunya orang yang berani menanyai dan mengingatkan Devan.
"Hei Dev, menikah hanya buang-buang waktu, bikin pikiran kita rumit, tapi jika bersenang-senang seperti ini kita akan selalu merasa gembira tidak akan ada beban yang kita tanggung." kata Denis salah satu teman Devan.
"Benar sekali hanya menambah beban hidupku, aku tidak peduli padanya biarkan saja dia marah aku tidak akan mendengarkannya." jawab Devan.
"Kau keterlaluan Dev, kau juga yang menghamilinya bisa-bisanya kau mencampakannya sekarang." kata Albi.
"Siapa suruh dia mau, aku juga tidak memaksanya untuk hamil." sahut Devan. Albi tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Sekitar jam 7 malam, Riki datang ke cafe tersebut. Riki sudah 2 tahun bekerja di cafe itu karna dia sosok pekerja keras, setiap hari dia bekerja part time. Siang bekerja di pabrik sepatu malam bekerja di cafe. Saat Devan dan teman-temannya akan keluar dari cafe itu mereka berpapasan dengan Riki.
Semua teman Devan menyapanya dengan ramah, terkecuali Devan yang tidak pernah mau akur dengan Riki entah apa sebabnya.
"Kak Riki, kerja di sini?" tanya Albi.
"Sudah 2 tahun saya bekerja di cafe ini, kalian sudah mau pulang?"
"Iya kak, kita semua mau mampir ke tempat lain lagi."
"Baiklah tapi jangan biasakan pulang larut malam, besokkan sudah masuk sekolah."
"Beberapa hari ini saya tidak melihatmu di sekolah, kamu kemana saja Dev?" tanya Riki baik-baik.
"Bukan urusan Anda." ketus Devan kasar.
"Dia sudah meni..." hampir saja Albi keceplosan bicara untung teman Devan yang lainnya segera menetup mulutnya.
"Maksud dia, Devan sudah meninggalkan sekolah kita karna dia dipindahkan begitu kak." ucap Leo teman Devan yang menyumpal mulut Albi.
Riki pun meninggalkan mereka karna dia harus segera bekerja. Devan bersama teman-temannya pergi ke parkiran.
"Aku dengar-dengar kak Riki itu suka sama istrimu Dev, hati-hati kamu Dev nanti dia malah merebut hati istrimu, kamu lihatkan kak Riki punya pekerjaan, dia laki-laki yang bekerja keras sedangkan kamu tidak bisa apa-apa, aku tidak bermaksud membandingkan kalian tapi..."
"Tutup mulutmu Al, aku bisa saja memukulmu di sini jika kau masih membahasnya." ancam Devan sambil menutup mulut Albi dengan tangannya.
"Kau antar Albi pulang." Devan menyuruh Leo untuk mengantar Albi pulang karna dia merasa Albi hanya akan merusak suasana hatinya.
"Tega banget kamu Dev, kamu izin sama Nuri pergi bersamaku itu berarti kita harus pulang bersama-sama juga." ucap Albi.
"Aku mau pergi sama Denis, dan kamu jangan bilang-bilang sama Nuri kalau aku akan bertemu dengan Keysa." ancam Devan lagi. Albi bahkan merasa seperti tidak mengenal Devan yang kini berubah jadi orang yang angkuh dan penuh amarah padahal sebelumnya mereka berdua sangat dekat.
*****
Aku sedang tidur di kamarku tiba-tiba aku mendengar suara bel rumah berbunyi yang membuatku terbangun dan bergegas membukakan pintu.
Begitu aku membuka pintu prakkk... Devan terjatuh di muka pintu dan langsung memuntahkan cairan kental yang baunya sangat menyengat.
Bau apa itu, aku tidak terlalu mengenalinya tapi aku pikir suamiku baru saja minum sehingga membuatnya mabuk seperti ini.
"Devan sadarlah, apa yang terjadi?" ucapku sambil menguncang tubuhnya dan menampar pelan kedua wajahnya.
"Ambilkan air... panas... air... cepat ambilkan... arghhh panas sekali." lenguhnya dengan mata terpejam tapi mulutnya berbicara dan tubuhnya menggeliat ke sana kemari.
Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil seember air lalu ku siramkan ke sekujur tubuhnya yang membuat Devan langsung sadar dan memarahiku.
"Apa kau sudah gila?" bentaknya sambil berusaha berdiri.
"Aku waras, aku masih ingat segala hal."
"Kenapa menyiramku dengan air dingin?" bentaknya lagi.
"Kau memintaku mengambil air, itu aku sudah mengambilnya, kau kepanasan bukan?" Aku tidak tau kupikir dia meminta seember air.
"Kau sangat bodoh! tidak berguna!" bentaknya lagi tapi aku hanya diam berada di depannya.
"Minggir, aku mau lewat!"
Devan menolak tubuhku ke samping, dia pergi ke kamarnya dan aku mengikutinya dari belakang dengan jalan menjinjit agar dia tidak mendengar langkah kakiku.
"Kenapa mengikutiku?" Devan langsung melihat kebelakang setelah dia sadar aku sedang mengikutinya.
"Kau mau mandikan, ayo aku akan memandikanmu." Aku tersenyum menatapnya sejenak dan dia juga menatapku. Secepat mungkin aku menangkap tangannya lalu menyeretnya ke dalam kamar mandi.
"Bagaimana cara menghidupkan showernya?" Aku tidak tau menghidupkan shower karna di rumahku tidak ada tempat mandi seperti di tv-tv ini. Tanpa berbicara kepadaku Devan memencet tombolnya dan aku langsung mengerti bagaimana cara menghidupkannya.
Air shower langsung mengalir membasahi tubuh Devan dan membasahiku juga. Aku melihat ke atas sambil tersenyum dan berputar-putar menikmati guyuran air itu. Lalu aku berhenti dari kesenanganku sendiri dan kembali fokus mengurus Devan.
"Hentikan Nuri airnya sangat dingin." ucap Devan berusaha menghindar dari bawah shower tapi aku berusaha menghalanginya. Kata orang jika seseorang mabuk tubuhnya akan terasa panas dan kepalanya akan pusing, cara untung menghilangkannya adalah dengan cara menyiramkan air dingin ketubuhnya dan aku ingin melakukan itu pada suamiku.
"Apa kau akan membunuhku?" pekiknya sambil mencengkram tanganku dengan kasar dan segera kutarik tanganku hingga terlepas darinya.
"Kau tau, sekarang kau terlihat seperti orang bodoh yang tidak tau caranya mandi." kataku sambil cekikikan memperhatikan ekspresi Devan.
"Bisa-bisanya kau menyebutku bodoh, kau ingat siapa yang menjadi peringkat pertama saat di kelas dulu, itu aku sementara kau tidak dapat apa-apa." ucapnya. Aku tersenyum ternyata Devan masih mau mengingatnya yang membuatku merasa ada sedikit harapan untuk membuatnya menjadi orang baik seperti dulu.
"Cepat matikan showernya aku tidak tahan lagi." Devan terus saja mengoceh padaku sementara aku tidak peduli padanya dan tetap fokus dengan apa yang sedang aku kerjakan.
"Nuri, apa yang mau kamu lakukan, aku bisa mati membeku jika begini terus." teriak Devan saat aku mengunci pintu kamar mandi lalu mendekatinya lagi.
"Kau tidak akan mati membeku, percaya padaku." Aku menahan tubuh Devan sambil membersihkan baju yang di pakainya dengan sabun.
"Jangan menyentuhku, aku tidak memberi kamu hak." tapi Devan malah mendorongku, aku sedikit terkejut tapi langsung ku dekati dia lagi.
"Kau bisa menghindari perdebatan kita tapi untuk yang satu ini kau tidak akan bisa menghindarinya, kau habis mabukkan?" ucapku menarik tubuhnya lalu aku mengenduskan hidungku mencium aroma alkohol di tubuhnya.
"Apa pedulimu, aku tidak mabuk." Aku tau Devan masih mengelak dariku tapi naluri seorang istri tidak bisa dibohongi meski sekeras apapun dia mencoba menyebunyikannya.
Aku menuang shampoo ketanganku lalu kutarik kepala Devan dan mengacak-ngacak rambutnya dengan shampoo. Aku mengkeramas rambut Devan sekuat tenagaku, aku tidak peduli dengan ocehannya yang penting mabuknya bisa hilang.
Lalu ku raih shower di atas kepala Devan, setelah berhasil ku dapatkan aku menyiram pelan-pelan kepalanya lalu menyiram tubuh Devan secara bergantian sampai buih shampoonya hilang.
Devan benar-benar kedinginan terlihat dari tubuhnya yang menggigil tapi sekarang dia terlihat lebih baik. Aku segera membuka pintu kamar mandi untuk mengambilkannya handuk.
"Keringkan tubuhmu, setelah itu ganti pakaianmu." Aku menyerahkan handuk itu dengan membelakangi Devan. Dia mengambilnya secara kasar dan aku menerima sikapnya itu.
"Keluar dari kamarku." ucapnya membentakku. Aku keluar dari sana dan kembali ke ruang tamu untuk membersihkan kotoran tadi.
Aku tidak habis pikir bagaimana suamiku bisa merusak dirinya sendiri dengan minum-minum alkohol, tapi aku juga tidak mau menyalahkan diriku dengan beranggapan dia minum semua karna dia merasa terbebani dengan kehadiranku. Aku tidak mau berpikir seperti itu meski aku sempat berpikir demikian.
Devan hendak pergi tidur tapi begitu memejamkan mata dia malah melihat bayangan Nuri yang membuatnya terbangun dan sulit untuk tidur.
Ternyata dia belum puas menyiksaku seperti tadi sampai bayangannya ikut membuatku menderita.
Devan tidak habis pikir bagaimana dirinya bisa membayangkan Nuri sementara dia sangat membenci Nuri dan pernikahan mereka.
Tapi kenapa aku tidak menolak saat dia menyiksaku di kamar mandi seperti tadi, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhku lagi, awas saja jika dia berani masuk ke kamarku lagi, biar aku beri dia pelajaran.
Tok... tok... tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk sontak depan masuk ke dalam selimut.
BERSAMBUNG...
Janga lupa like, komen, fav dan vote yaaa 👍😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!