NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Seorang Mafia

Chapter 1

"Apa 10 Miliyar!"

Katrin syok, mendengar hutang suaminya yang begitu besar. Bukan karena bangkrut atau gagal berbisnis, melainkan karena judi.

"Papa sudah gila apa! 10 milyar kamu habiskan untuk judi dan sekarang hasilnya apa? Dapat tidak, hutang yang ada." Kesal Katrin yang terus memukul suaminya.

"Berhenti Katrin jangan memukulku terus. lagi pula aku tidak tahu jika aku akan kalah. Kamu jangan lupakan uang dan perhiasan yang ku berikan semua itu hasil dari ku bermain judi."

Ya!

Jicko suami Katrin yang selalu menghabiskan waktunya untuk judi. Bahkan rela menghutang demi permainan haram itu.

"Sekarang yang kita pikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang. Mereka pasti mencariku."

"Siapa yang mencarimu?"

BRAKK!

Seorang pemuda mendobrak pintu sebuah ruangan VIP room di club. Pemuda itu bertubuh tinggi, kaki jenjang yang panjang, yang langkahnya begitu tegak dan cepat.

Mulut berbisa yang kapan saja bisa membuat orang celaka karena ucapannya. Tangan yang cekatan memukul dan membanting tubuh mereka yang mengancamnya.

Punggung tegap itu merunduk, jari tangan itu mencengkram kuat rahang seorang pria di hadapannya.

"A-ampun … ampun."

Mohon pria itu penuh ketakutan. Tidak ada sedikitpun rasa kasihan bagi si pria bermata elang itu.

Perlahan cengkraman itu di lepaskan. Pria itu sedikit lega akhirnya bisa bernafas dengan bebas. Namun, itu hanya beberapa detik saja sebelum akhirnya si mata elang mendaratkan pukulan pada wajahnya.

Bugh!

Brakk!

Seketika tubuhnya terjatuh, dengan mulut berlumuran darah. Tidak ada kesempatan bagi pria itu untuk terbangun, sang mata elang menginjak kuat punggung itu dengan keras hingga terdengar suara retakan pada tulang sumsumnya.

"Aaaahh!" jerit pria itu.

Miris, si mata elang hanya tersenyum smirk lalu pergi meninggalkan pria itu setelah tidak bernyawa.

"Bereskan mayatnya."

"Oke, Bos."

Hanya dengan sekali ucap, tidak ada yang bisa membantah mulut berbisa itu.

"Temukan Jicko, dia harus membayar hutangnya." Perintahnya yang di angguki para ajudan.

Sungguh mengerikan hanya dengan membayangkan nya saja. Nyawa Jicko terancam karena berurusan dengan Arsen mafia kejam yang dijuluki si mata elang.

"Apa mereka akan membunuh kita?" tanya Katrin yang sudah membayangkan perkataan suaminya.

"Mungkin saja." Dengan santainya Jicko menjawab seakan tidak ada rasa takut.

"Lalu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Katrin berpikir keras bagaimana caranya agar hidupnya aman dari serangan mafia itu.

Mereka berdua kini saling diam dengan pikirannya masing-masing. Seketika Katrin tersenyum, setelah mendapatkan ide yang cemerlang baginya. Entah itu ide buruk atau baik.

"Sayang!"

"Hm,"

"Bagaimana jika Gladys yang membayar hutang itu."

"Dari mana anak itu punya uang hah!"

"Dengarkan aku dulu." Katrin menarik bahu suaminya supaya menghadap dan menatapnya. Katrin pun mulai mengatakan ide busuk itu.

"Jadikan Gladys jaminan."

"Jaminan!"

"Jika Gladys tidak bisa membayar hutang itu dengan uang. Dia harus membayar semua hutang kita dengan tubuhnya."

"Maksud mu?"

Dengan tenangnya Karin berkata, berharap idenya ini akan menjadi penyelamat hidup suaminya.

"Nikahkan Gladys dengan mafia itu."

"Kamu akan menjualnya?"

Ya, mereka akan menjual anak angkatnya untuk menebus hutang. Karena tidak mungkin jika mereka menjual anak kandungnya sendiri.

"Bagaimana jika dia menolak."

"Tidak akan, Gladys gadis yang cantik banyak lelaki yang menginginkannya. Kamu pastikan memberikan foto ini padanya dia pasti setuju jika melihat wajah Gladys."

Katrin memberikan sebuah foto, memasukannya ke dalam saku kemeja suaminya.

*****

Dengan wajah penuh lebam Jicko di dorong oleh sekelompok pria menghadap Arsen yang terduduk di atas kursi kebesarannya.

Pria si mata elang yang terkenal sangat kejam. Telapak kakinya bergerak membuat irama yang berbunyi sebuah ketukan dansa. Dengan santainya Arsen mendengarkan alunan musik tanpa melihat seorang pria di bawah kakinya.

Musik itupun berhenti. Bersamaan dengan sepasang mata elang itu menatap Jicko di hadapannya. Baru saja menatap matanya tubuh Jicko sudah bergetar, seolah sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa.

Entah kenapa tatapan itu sangat menakutkan, mungkin itulah kenapa Arsen di juluki si mata elang.

Arsen menghentakkan kedua kakinya yang membuat Jicko takut dan semakin gemetar. Jicko semakin meringis saat kaki itu menginjak jari jemarinya.

"Aaahh!"

Arsen tidak peduli dengan ringisan itu. Tatapannya masih tajam, menuntun tangannya mencengkram kuat rahang Jicko.

"A-ampun Tuan."

"Ampun! Sekarang kamu bilang ampun setelah membuang waktu ku hah! Kamu pikir kamu siapa? Berani membuat ku menunggu."

Dengan kasar Arsen melepaskan cengkramannya. Jicko hanya bisa menunduk seraya meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Arsen berdiri membelakangi Jicko. Kakinya melangkah mendekati jendela kaca, yang memperlihatkan pemandangan indah taman di luar sana.

Namun, terlihat seekor macan yang menunggu taman itu. Mata yang tajam, menakutkan, gigi taring yang seram, seperti dirinya membuat siapapun yang melihatnya merasa takut.

Dengan santainya Arsen berkata, "Kembalikan uang ku."

"Maaf Tuan, tapi saya tidak bisa membayarnya sekarang."

Arsen berdecak kesal.

"Kamu mau mempermainkan ku?"

Jicko bersujud di hadapannya, memohon untuk di kasihani. Jicko meyakinkan Arsen jika ucapannya benar. Jika dirinya tidak memiliki uang sepersen pun. Namun, Arsen tidak peduli baginya perjanjian adalah perjanjian yang harus di bayar.

"Kembalikan uangku atau jadi santapan macan ku."

"Tidak! Jangan Tuan jangan. Aku masih ingin hidup, jangan biarkan macan itu memakan ku."

Dalam satu jentikan jari, pasukan pria hitam itu segera mengangkat tubuh Jicko untuk di bawanya ke dalam kandang macan. Namun, kali ini Jicko mengatakan apa yang di perintahkan istrinya, membuat Arsen menahan pasukannya untuk memasukkan Jicko ke dalam kandang itu.

"Tunggu! Aku punya jaminan untuk mu. Aku akan membayarnya bukan dengan uang tapi dengan putri ku."

Sedetik tubuh Jicko berbalik.

"Kamu akan menjual putrimu?"

"Kamu bisa menikahinya, kamu bisa melakukan apapun terhadapnya. Dia putriku aku yakin kamu pasti menyukainya karena dia sangat cantik."

"Gladys!"

"Iya, Ma?"

"Cepat ke mari."

Gladys Juana Jean, seorang gadis cantik yang mereka angkat yang kini sudah berusia 25 tahun. Baik, polos dan pekerja keras yang selalu diandalkan oleh keluarganya.

"Ada apa Ma?" tanya Gladys saat sudah menghadap Katrin. Terlihat juga Jicko dan Lorenz duduk di sana

"Duduk!" Gladys langsung menurut apa yang ibunya katakan, walaupun perlakuan mereka tidak sebaik yang orang kira.

"Dengarkan baik-baik perkataan Mama. Kamu sudah dewasa, sudah waktunya untukmu menikah."

"Menikah!" Tidak hanya Gladys, Lorenz pun ikut terkejut.

"Mama mau menikahkan anak ini?" tunjuknya pada Gladys.

"Jangan potong pembicaraan Mama Lorenz!" tungkas Katrin. Lorenz langsung mencebik.

Katrin pun menjelaskan permasalahan yang sedang di hadapinya saat ini. Memaksa Gladys untuk menikah dengan seorang mafia. Tentu saja Gladys menolak karena dia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak dia kenal.

"Tidak mau Ma. Kenapa harus Gladys? Kenapa tidak kak Lorenz saja."

Plak!

Satu tamparan mendarat pada wajahnya.

"Kamu harus sadar diri siapa kamu di rumah ini. Sudah sepantasnya kamu menurut padaku. Karena aku sudah merawat dan membesarkanmu. Kurang baik apa aku selama ini."

Baik!

Ya, karena kebaikan itu Gladys selalu di tuntut untuk membalas jasa mereka. Hingga rela menanggung setiap penderitaan.

"Tapi Ma …."

"Jika kamu tidak mau, kamu harus bayar hutang papa 10 milyar."

Mata bulat itu terbelalak seketika. 10 milyar, apa semurah itu harga tubuhnya. Yang harus rela menikah dengan pria yang tidak dia kenal demi menebus hutang.

"Kenapa Mama tidak meminta kak Lorenz saja untuk menikah? Aku sudah sering kali membayar hutang papa."

Katrin tidak bodoh, yang akan memberikan putrinya pada seorang mafia.

"Beraninya kamu membantah ku!" Katrin mencengkram kuat dagunya membuat Gladys kesakitan.

"Ingat! Siapa yang merawatmu selama ini hah! Jika tidak ada aku dan suamiku kamu sudah menjadi gelandangan sekarang. Lihat papa mu! Kamu ingin dia mati?"

Sedetik Gladys menatap wajah Jicko yang penuh dengan lebam. Sudah bisa dibayangkan seperti apa lelaki yang akan dinikahkan dengannya.

*****

"Tidak Ma! Aku tidak mau."

"Bawa saja dia."

Katrin benar-benar tidak punya hati, tidak peduli dengan tangisan Gladys yang di bawa oleh para ajudan berseragam hitam. Gladys ingin berontak tapi, tidak bisa.

Tidak ada setetespun air mata yang mereka keluarkan. Kepergian Gladys, seakan meringankan beban mereka.

Gladys terus menangis tidak ada sedikitpun senyuman yang Gladys pancarkan hingga tiba di hadapan Arsen. Melihat tatapan Arsen saja membuatnya takut.

...----------------...

Hai redaer, terimakasih yang sudah mampir di karya ku yang baru. Berikan dukungan like dan votenya 🙏. Tinggalkan coretan kalian di kolom komentar. Semoga kalian suka dengan ceritanya.

Salam orang sunda ❤

Chapter 2

"Diam!" Suara bariton itu begitu menggema. Bentakan Arsen menggetarkan tubuh gadis di hadapannya. 

"Aku tidak suka mendengar wanita menangis. Jadi jangan menangis di hadapanku." Tatapannya begitu membunuh.

Sungguh pernikahan yang membawanya ke dalam neraka. Harapannya ingin sekali menikah bersama pria yang di cintai dengan harap akan membawakan kebahagiaan melepas dirinya dari penderitaan. 

Namun, pernikahan itu bagai malapetaka baginya.  

Mungkin Gladys bisa lari karena pernikahan itu belum terjadi. Tapi, semua itu tidak mungkin dirinya lepas dari cengkraman Arsenio Gavin Alvaro. Memperlakukan wanita begitu kejam, laki-laki yang tidak memiliki hati nurani.

"Bawa dia." 

"Lepas! Mau di bawa ke mana aku!" 

Percuma. Percuma saja kamu berteriak Gladys. 

Kedua ajudan itu membawanya ke dalam sebuah kamar. Entah itu kamar Arsen atau penjara baru untuknya. 

Dipandangnya setiap sudut kamar, yang berkesan dengan interior putih cerah dan terdapat balkon yang menghadap langsung ke arah taman yang terhampar luas di bawah sana. Rumah itu bagaikan surga juga neraka. 

Sungguh pemandangan yang indah. Tetapi tidak membuat Gladys bahagia karena bagaimanapun dirinya ada dalam sangkar seorang mafia. 

"Bos, apa anda benar-benar akan menikahi gadis itu?" 

Sangat tidak mungkin jika Arsen menikahi Gladys wanita penebus hutang. Mungkin saja Arsen hanya akan menjadikan Gladys sebagai budak atau pemuas nafsunya. 

Namun, nyatanya Arsen bersungguh-sungguh akan menikahinya.

"Tentu. Kamu pikir saya main-main? Persiapkan acara pernikahannya besok." 

Nicolas Alexander, seorang pria yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengabdi pada Arsen. Sangat mengenal seperti apa sifatnya.

Seperti julukannya 'PRIA BERMATA ELANG' tatapannya begitu tajam, hatinya begitu keras, tangannya seperti baja yang bisa melumpuhkan siapapun yang melawannya. Wanita, bagi Arsen hanyalah untuk bersenang-senang sebagai pemuas nafsv.

Namun, hari ini Nico, dibuat terkejut dengan keputusan Arsen yang akan menikah. Bahkan jika dibandingkan wanita-wanitanya Gladys tidak ada hebatnya. 

Hanya saja rupa Gladys yang menawan dan senyum yang mengesankan. Mungkinkah Arsen terhipnotis oleh semua itu? Sepertinya tidak. Pasti ada hal lain yang membuat Arsen menikahinya.

Hak warislah tujuan Arsen menikah. Keluarganya akan memberikan hak waris dengan syarat jika Arsen menikah. Walau warisan itu bukanlah haknya tetapi sang pemberi waris sudah menuliskan wasiat untuknya. Hanya saja para keluarga yang tidak terima karena Arsen bukanlah anggota keluarga. 

Pernikahannya dengan Gladys membuat Arsen memiliki segalanya. Hak waris itu jatuh padanya. 

"Sekarang anda sudah tenang Bos. Perusahaan Wilter adalah milikmu." 

"Tentu. Namun, aku belum puas jika dendamku belum terbalaskan. Mereka berdua harus membayar apa yang mereka lakukan pada keluargaku." 

Tatapan tajam itu mengingatkannya pada pandangan 20 tahun yang lalu. Sebuah pemandangan pahit, kelam, menyakiti hati dan menghancurkan hidupnya.

Tidak pernah terbayangkan bagi Arsen akan melihat jelas kematian ibu dan ayahnya. Siapa yang melakukannya? Tentu saja Arsen melihat siapa mereka. 

Arsen kecil hanya bisa sembunyi agar terhindar dari bahaya itu. Namun, bayangan menakutkan tidak pernah hilang dari benaknya. Hingga saat ini peristiwa itu masih terlihat jelas di matanya. 

Hingga menjadikan Arsen seseorang yang kejam. 

***** 

"Gladys!" 

Teriakan Arsen begitu menggema. Membangunkan tidurnya. Hingga tubuhnya gemetar hebat saking takutnya. 

"Turun!" tegas Arsen begitu menakutkan.

"Aku tidak menjadikanmu sebagai ratu. Sekarang turun dan buatkan aku sarapan." Katanya yang mencengkram kuat dagu Gladys.

Perlakuan Arsen jauh dari kata suami. Tidak memperlakukannya dengan lembut sebagaimana seorang suami pada istrinya. Dan Arsen hanya memanfaatkannya saja.

"Tuan, anda jangan terlalu kasar dengan istri anda. Sarapan sudah disajikan oleh Bi Je." Bi Je yang di maksud adalah kepala pelayan. 

"Diam kamu Nico. Aku tidak butuh nasehatmu." Nico, merasa kasihan pada Gladys yang diperlakukan kejam. 

Sesuai perintah, Gladys membuatkan sarapan untuk Arsen, yang dibantu Bi Je. Mungkin inilah alasan Arsen yang memecat semua pelayannya untuk menjadikan Gladys pelayan. 

"Sabar Nona, lama-lama Tuan Arsen akan memperlakukan mu selayaknya seorang istri." 

"Tidak apa Bi Je, mungkin sudah takdir ku seperti ini. Aku bukan istri sesungguhnya melainkan gadis penebus hutang." Senyum getir Gladys pancarkan yang langsung membawa sarapan-Nya pada Arsen. 

Prang! 

Entah apa maunya Arsen. Melempar makanan yang Gladys buat. Hingga pecahan piring berhamburan di bawah lantai. Bahkan mengenai jempol kaki Gladys. 

Nico dan Bi Je berlari untuk melihat apa yang terjadi. Mereka merasa kasihan saat Gladys memungut satu persatu pecahan piring itu. 

"Apa yang anda lakukan Bos?" Nico mendadak emosi melihat perlakuan Arsen pada Gladys, yang menurutnya tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk itu.

"Kenapa? Aku melakukan apa yang aku mau." 

"Dia gadis baik-baik. Tidak pantas diperlakukan seperti itu." 

"Nico!" bentak Arsen. Emosi saat Nico hendak membantu Gladys.

"Sejak kapan membantah perkataan ku? Jangan ada yang membantunya dan jangan kasihan padanya."  

Nico berdecak kesal. Merasa pecundang karena harus menarik tangannya kembali. Arsen pergi begitu saja meninggalkan Gladys. Tetapi tidak dengan Nico yang masih tetap berdiri. 

"Biar aku bantu." 

"Tidak perlu," tahan Gladys. "Nanti kamu akan dimarahi tuan Arsen." 

"Aku tidak peduli. Kakimu terluka harus segera diobati." 

"Aku bisa sendiri," tahan Gladys saat Nico akan menyentuh kakinya. 

Tanpa mereka tahu sepasang mata elang sedang memperhatikan. Tangan besi itu mengepal kuat seolah tidak terima saat Nico berdekatan dengan Gladys.

"Ah, pelan-pelan." 

"Sebentar lagi selesai." 

Dengan sabarnya Nico mengobati luka kakinya. Gladys tersenyum menatap Nico dihadapannya. Baginya Nico pria yang baik yang pernah ia temui. 

"Sudah selesai. Sebaiknya kamu istirahat." 

"Terimakasih. Aku pikir semua orang yang ada di rumah ini jahat. Ternyata masih ada orang baik seperti mu." 

"Apa aku terlihat menyeramkan?" Pertanyaan itu membuat Gladys tertawa renyah. Sedetik Nico terpesona untuk pertama kalinya melihat senyuman Gladys.

"Cantik." 

"Ya?" 

"Tidak, aku tidak bilang apa-apa." Malu rasanya jika Gladys tahu jika dia baru saja memujinya. 

"Aku harus kembali ke kamar. Terimakasih untuk perbannya." 

"Sama-sama." 

Ingin sekali Nico menggendong tubuh Gladys. Namun, Gladys melarangnya. Memilih berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Nico, hanya bisa menatap punggung Gladys yang semakin menjauh. 

"Nico!" 

Suara bariton itu mengalihkan pandangannya. Saat berbalik … 

Bukk! 

Satu hantaman mendarat dipipinya. Dengan penuh amarah dan mata menyala Arsen, memukulnya. Nico tidak bisa melawan karena Arsen menghajarnya tiba-tiba. 

"Sudah berani kamu mendekati wanita yang sudah menjadi milikku." Nico tersenyum sinis sambil menyeka cairan merah kental di sudut bibirnya. 

"Atas perintah siapa kamu mengobati lukanya?" Entah Arsen marah atau cemburu. Yang melihat Gladys diperhatikan lelaki lain. 

"Aku hanya melakukan tugas kemanusiawian." 

"Cuihh! Sejak kapan kamu mengenal sifat kemanusiawian. Aku ingatkan jangan pernah mendekati wanitaku lagi mengerti!" 

Nico, hanya diam tidak mengangguk ataupun menjawab. Arsen berlalu pergi meninggalkan Nico yang terbaring lemah di atas lantai.

*****

Brakk! 

Gladys terkejut saat Arsen membuka pintu kamarnya dengan keras. Belum hilang rasa nyeri di kakinya. Kini dia harus berhadapan lagi dengan laki-laki arogan seperti Arsen. 

"Ah," ringis Gladys saat tangan besi itu mencengkram kuat dagunya.

"Tu-tuan. Apa sa-salahku." 

"Salahmu? Karena sudah berani berdekatan dengan pria lain." Tegas Arsen yang membuat Gladys melongo. 

"Pria lain?" Seketika Gladys teringat perlakuan Nico tadi. Apa karena itu Arsen marah?

"Dia hanya mengobati lukaku. Ah …." jerit Gladys saat luka itu Arsen injak.

"Tu-tuan. Lepas Tuan sa-sakit." 

Tidak peduli. Arsen tidak peduli yang Gladys rasakan. 

"Ingat! Kamu sudah menjadi milikku tidak ada siapapun yang boleh mendekat atau menyentuhmu selain aku mengerti!" 

"I-iya." 

Gladys sudah tidak bisa lagi menahan bendungan air matanya. Rasa sakit pada kakinya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Ingin rasanya Gladys menjerit dan teriak tetapi tidak bisa. Karena Gladys tahu Arsen tidak suka mendengar suara tangisan. 

Luka pada jempol kakinya kembali berdarah. Arsen melihat itu yang mengingatkannya kembali pada peristiwa 20 tahun lalu. Bayangan darah kembali terlintas di benakknya. 

"Duduklah!" Gladys tercengang saat mendapat perintah itu. 

"Duduk! Aku bilang duduk." Segera Gladys mendaratkan bokong pada sisi ranjang. Entah apa yang akan Arsen lakukan. Mungkinkah memotong kakinya? Entahlah. Namun, pikiran buruk itu yang terlintas pada benaknya.

Gladys hanya bisa pasrah jika Arsen akan melukai tubuhnya. Dipejamkannya mata itu, seolah tidak ingin melihat perlakuan kasar lagi yang Arsen berikan. Namun, tanpa diduga Arsen membalut lukanya dengan perban. 

Chapter 3

Benarkah yang dilihatnya saat ini adalah Arsen? Apakah matanya yang rabun. Sangat sulit dipercaya seorang Arsen mengulurkan tangannya hanya untuk mengobati lukanya.

Mungkin saja karena tidak ada yang boleh menyentuhnya. Sehingga Arsen rela melakukannya.

"Terimakasih."

Jangankan menjawab ungkapan rasa terimakasihnya. Sepertinya Arsen tidak peduli yang acuh dan berlalu pergi. Gladys sangat tidak mengerti seperti apa Arsen sebenarnya? Kejam kadang terlihat baik.

*****

"Nona?"

"Eh, Bi Je." Panggilan Bi Je mengalihkan pandangannya pada taman bunga. Wanita paruh baya itu berlari ke arahnya.

"Di luar ada tamu. Katanya ingin bertemu Nona."

"Bertemu saya?" Gladys merasa heran karena tidak ada seorangpun yang tahu tempat tinggalnya. Tapi siapa yang ingin bertemu dengannya.

"Kak Lorenz." Panggil Gladys pada seorang wanita berambut pirang yang duduk santai di sofa yang besar.

Gracia Lorenza kakak angkatnya, yang entah kenapa datang ke tempat Arsen, yang sama sekali tidak diketahui alamatnya. Bukan senang, melainkan gelisah yang Gladys rasakan apalagi Arsen tidak ada di rumah.

Bagaimana jika Arsen tahu dan marah padanya?

"Hai adikku yang cantik. Kamu tidak bilang jika tinggal di rumah mewah seperti ini?"

"Ini bukan rumahku. Dan apa tujuanmu datang ke sini?"

"Ini bukan rumahmu tapi rumah suamimu." Tatap Lorenz dengan tajam. Lalu melangkah mendekati Gladys.

"Apa kamu tidak senang? Melihat ku datang? Ah, nyaman sekali," ucap Lorenz setelah melemparkan tubuhnya ke atas sofa. "Aku jadi ingin tinggal di sini," lanjutnya.

"Lebih baik sekarang kamu pergi!" tegas Gladys yang tidak ingin mendapat masalah karena ulah kakaknya.

"Kamu mengusirku?"

"Kenapa? Bukankah kalian menjualku? Untuk apa aku menerima tamu sepertimu."

"Sombong sekali." Lorenz tersenyum sinis.

Sepasang netranya menatap ke bawah kaki Gladys yang di perban.

"Kenapa dengan kakimu?"

"Kamu pikir aku senang tinggal di sini? Aku bukanlah ratu yang bisa menerima tamu kapan saja," jawaban Gladys membuat lorenz tersungging tipis. Lorenz yakin jika Gladys tidak diperlakukan dengan baik oleh Arsen.

"Apa mafia itu yang melakukannya? Mungkinkah dia juga akan marah jika aku melakukan ini."

Prang!

"Kak Lorenz!" teriak Gladys saat Lorenz dengan sengaja menjatuhkan sebuah guci hias yang terpajang di ruang tengah.

Masalah. Benar-benar mencari masalah.

"Opss, sorry." Bisa-bisanya Lorenz pura-pura terkejut padahal dia yang melakukannya.

"Kak Lorenz lebih baik pergi dari sini dan jangan membuat kekacauan."

"Uhh … adikku terlihat sangat takut," cibir Lorenz dengan ekspresi mengasihani. "Percayalah mafia itu tidak akan marah."

Prang!

"Kak Lorenz!"

Lagi-lagi Lorenz menjatuhkan sebuah pajangan yang dinilai sangat berharga. Mungkin jika dijual akan sangat menguntungkan.

Keadaan semakin kacau berantakan. Lorenz pergi begitu saja setelah membuat kekacauan. Gladys segera membereskan semua itu tetapi sayang, Arsen sudah kembali.

"Gladys! Apa yang kamu lakukan dengan semua barang-barang ku?"

Mata elang itu menatap dengan tajam. Suaranya melengking, menghentikan tangan Gladys yang sedang memungut satu persatu pecahan guci itu.

Tubuh Gladys mulai gemetar, menatap Arsen begitu menakutkan. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Arsen sangat marah, tetapi apa Arsen tidak akan marah jika Gladys mengatakan yang sebenarnya?

"Ini bukan perbuatanku Tuan."

"Lalu perbuatan siapa? Apa ada hantu di sini."

"Tidak! Tadi kakak ku datang dan membuat kekacauan."

"Sejak kapan kamu berani mengundang keluargamu?"

"Ma-maaf …."

Plak!

Ah … ringis Gladys yang merasakan panas pada pipinya yang baru saja ditampar Arsen. Tidak hanya tamparan, Arsen dengan kejam menyeret tubuh Gladys entah mau dibawa kemana.

"Tuan tolong lepaskan, aku tidak bersalah," mohon Gladys yang tidak didengar. Dengan penuh amarah Arsen menarik tubuh Gladys yang menyedihkan.

Tidak adakah seseorang yang menolong? Sangat Gladys harapkan.

"Tuan berhenti!" Nico datang di waktu yang tepat. Entah kenapa Gladys bahagia melihat kedatangannya. Mungkinkah Nico akan menjadi penolongnya lagi.

"Tuan! Apa yang kamu lakukan!"

"Berhenti!" teriak Arsen, menghentikan langkah Nico. "Jika kamu berani menyelamatkannya, aku tidak akan segan-segan memasukkan mu ke dalam kandang."

Kandang yang di maksud Arsen adalah kandang macan yang dia punya. Arsen berniat melemparkan Gladys ke dalamnya. Wajah menyedihkan Gladys membuat Nico iba. Namun, Nico tidak bisa melakukan apapun.

Hati Nico semakin teriris saat melihat tatapan dan air mata Gladys, seolah memohon padanya.

"Apa bedanya kamu dengan mereka? Mereka yang sudah membunuh orangtua mu. Gadis yang tidak bersalah harus menjadi korban keegoisan mu."

"Apa maksud mu." Perkataan Nico membuat Arsen terdiam.

"Bukankah hanya karena guci itu kamu menyiksanya seperti ini. Tidak bisakah kamu melihat kejujuran di matanya? Dia sudah mengatakan tidak. Tapi kamu tidak peduli dan tetap menyeretnya. Siapapun yang menjatuhkan guci itu tidak sebanding dengan Gladys. Guci hanya sebuah barang yang akan rusak kapan saja. Gladys adalah manusia yang jika rusak tidak akan ada gantinya. Tidak akan bisa dibeli dimana pun."

"Aku tidak butuh nasehatmu. Apa kamu menyukainya?" Tatapan dengan bibir menyeringai Arsen pancarkan. Namun, Nico tetap tenang.

"Menyukai? Bukankah kamu yang bilang menyentuh saja tidak boleh apalagi menyukai wanitamu. Jika kamu memperlakukannya dengan buruk tidak akan segan-segan ku bawa Gladys pergi darimu."

Tangan Arsen mengepal kuat. Dia sangat marah karena Nico terlalu ikut campur dalam urusannya. Namun, Nico tidak pernah main-main dengan perkataannya. Nico, seorang asisten yang sangat tegas, berpendirian.

Akhirnya perkataan itu membuat Arsen tersadar. Melepaskan Gladys dan berlalu pergi. Nico, menatapnya dalam diam. Dia tahu pasti Arsen sedang menghadapi hari yang buruk karena tidak menemukan orang yang dia cari. Dan melanpiaskannya pada Gladys.

Segera Nico berlari pada Gladys yang sedang terisak.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Terimakasih telah menolongku."

"Sudah tugasku."

Nico, membawa Gladys ke atas sofa. Mendudukkannya, lalu mengobati lukanya.

Dengan perlahan tangan itu menghapus moda merah pada sudut bibir Gladys. Tamparan Arsen sangat menyakitkan.

"Aku tidak tahu. Sampai kapan aku akan bertahan. Jika seperti ini lebih baik aku mati."

"Jangan katakan itu. Aku akan melindungimu."

"Siapa aku? Kenapa kamu begitu baik padaku?" Gladys tidak mengerti kenapa Nico sangat peduli. Padahal mereka baru saja mengenal.

"Kamu bisa menganggapku sebagai temanmu," ucap Nico dengan tenang lalu mengobati lukanya lagi.

Seandainya Arsen adalah Nico, mungkin Gladys akan menerima dengan ikhlas pernikahannya walau terpaksa.

****

Di dalam kamar Arsen berbaring di atas ranjang empuknya dengan kedua tangan yang dijadikan sandaran. Mata elang itu menatap fokus ke langit-langit kamar. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkinkah Arsen menyesal?

Sedetik tubuhnya terbangun, lalu turun dari ranjang dan melangkah ke arah meja yang terdapat sebuah laci. Ditariknya laci itu lalu mengambil sebuah potret di dalamnya.

Potret seorang gadis kecil, yang tersenyum lebar. Gadis itulah yang selalu membuatnya tenang. Tatapan tajam itu berubah jadi sendu. Entah siapa gadis itu.

"Aku akan menemukannya. Aku janji ayah … aku akan menemukannya," ucapnya dengan yakin.

...----------------...

Sebelum lanjut beri like, vote dan komentarnya dulu ya jangan lupa 🤗.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!