NovelToon NovelToon

Menggenggam Mentari

Takdir

🌿Selamat membaca.

🌿Semoga suka dan terus ikuti kisahnya.

🌿Like dan komen baiknya selalu dinanti 🤗.

...----------------...

"Tidak.. ini tidak mungkin, Tidaaaakkk...!"

.

.

.

Wanita itu menangis, bahkan ia berteriak. Ia tak mengerti dengan takdir yang sedang menghampirinya saat ini. Dengan gaun pengantin yang menyelimuti tubuhnya. Dengan bibir merah yang memucat akhirnya. Suaranya bergetar, air mata tak henti-hentinya turun membasahi ke dua pipi merah milik wanita itu.

Bagaikan disambar petir, sebuah kabar buruk menghampirinya. Seketika bibirnya menjadi kelu, hanya satu kata yang terucap dari bibir tipisnya, memangil sebuah nama dan berulang.

"Mas Bintang." ucapnya pelan dengan wajah yang penuh dengan air mata.

Tubuhnya menjadi lemas dalam seketika. Ke dua kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya. Menjadi begitu berat untuk berdiri. Begitupun dengan napasnya, terasa berat dan begitu berat.

"Mas Bintang.." panggil wanita itu lagi dan lagi, dalam seketika tubuhnya tumbang dan tak sadarkan diri.

Mentari adalah nama wanita itu. Beberapa tahun yang lalu, Mentari masih seorang mahasiswi di salah satu universitas ternama di kotanya. Di sanalah ia bertemu dengan Bintang yang merupakan seniornya. Seorang pria yang rencananya akan menikahinya saat ini.

Namun, takdir berkata lain. Hari yang dinantikan akhirnya pun tiba. Berharap membawa kebahagian bagi Mentari dan Bintang. Namun sebuah kabar yang mengejutkan telah menghapus dalam sekejap impian keduanya.

Bintang mengalami kecelakaan saat dirinya hendak menghalalkan hubungan mereka berdua dan entah bagaimana keadaannya saat ini.

"Mas Bintang.." ucap Mentari saat dirinya tersadar.

Matanya masih begitu sendu, pipinya masih begitu basah, hatinya masih begitu rapuh. Namun ia mencoba membuka ke dua matanya, menatap kenyataan yang tengah menghampirinya.

Terlihat sosok wanita paruh baya yang berada di sampingnya, menggenggam ke dua tangannya, mencoba menguatkannya.

"Bu.. Mas Bintang Bu.."

Senja, yang merupakan ibunya Mentari hanya bisa mengangguk, mengusap lembut bahu anaknya saat itu. Mencoba menenangkan hati anaknya.

"Ya.. Tuhan.. Apakah ini takdir yang kau berikan untuk anakku?" bisiknya dengan tatapan sendu ke Mentari.

"Sabar ya nak.."

"Mentari mau liat Mas Bintang Bu, bagaimana keadaannya sekarang? Antar Tari ke tempatnya Mas Bintang ya Bu." Rengek Mentari terus dan bangkit begitu cepat dari tidurnya.

"Iya nak.. kita ke tempatnya Bintang, kita pasti ke tempat Bintang." ucap Senja dan kembali menenangkan Mentari.

.

.

.

.

"Bodoh.. aku memang bodoh." ucap seorang pria dan tampak kesal dan begitu menyesal.

Pria itu duduk dengan wajah yang penuh dengan air mata. Ingin rasanya ia memukul dirinya sendiri, saat mengetahui kenyataanya seperti ini.

Bintang yang merupakan sahabatnya harus mengalami kecelakaan disaat hari yang begitu dinantikannya tiba.

"Seharusnya aku yang menemanimu tadi, seharunya aku yang mengendarai mobilnya. Mungkin saja jika aku yang membawa mobil itu. Kecelakaan ini tak akan pernah terjadi." Keluhnya tak henti-henti.

Rasa bersalah menumpuk hingga meninggi. Saat pintu besar di hadapannya tak kunjung terbuka. Berharap seseorang membukanya membawa kabar baik akan Bintang yang merupakan sahabatnya yang kini tengah menjalani operasi.

Langit, nama pria itu. Ia adalah sahabat dari Bintang dan akhirnya menjadi sahabat buat Mentari. Mereka kenal dan akhirnya bersahabat hingga saat ini.

"Apa yang harus ku katakan nanti pada Mentari." ucapnya penuh dengan sesal.

Disaat kecemasan yang kian menghampiri, seseorang memanggil namanya. Langit tau betul pemilik suara itu. Suara yang kini tengah ia takutkan.

"Mas Langit..." panggil Mentari.

Langit pun menatap kehadirannya. Ia melangkah begitu cepat menghampirinya. Sama halnya dengan apa yang dirasakannya saat ini, tersirat kesedihan di wajah cantik miliknya.

"Mentari.." panggil Langit pelan.

Langit bangkit dari duduknya, ia berdiri menghampiri kehadiran Mentari yang kian mendekat. Mentari menangis, ia menangis tepat di hadapan Langit.

Langit pun memeluknya. Mengusap punggung Mentari perlahan. Menenangkan Mentari yang begitu rapuh.

"Mas Bintang.." ucap Mentari terbata dan kembali menangis dan terus menangis hingga kedua tangan memeluk erat tubuh Langit yang sudah memeluknya sejak tadi.

"Maafkan aku.. maaf.." bisik Langit dalam hati.

Sejam telah berlalu dengan kesunyian namun hati begitu bergemuruh. Saat-saat yang diharapkan pun tiba. Pintu besar di hadapan mereka akhirnya terbuka lebar.

Seorang dokter dengan beberapa perawat yang mendampingi keluar satu persatu. Membawa ranjang besar dengan Bintang berada di atasnya.

"Bagaimana hasilnya Dok?" tanya Langit cepat dan begitu cemas.

"Operasinya sudah berjalan baik, namun kondisi pasien begitu lemah." ucap dokter terhenti dan berhasil membuat Langit maupun Mentari menatap tak percaya.

"Tapi masih bisa sembuhkan Dok?"

"Bersabarlah dan berdoa, mungkin itu satu-satunya jalan yang terbaik saat ini."

Mentari kembali diam, tak dapat mengucapkan kata apapun. Rasanya ini begitu menyakitkan. Ia kembali menangis.. menangis dan menangis dengan Langit yang berada di sisinya dan mencoba tetap kuat walau sebenarnya dia juga begitu lemah saat ini.

Dan akhirnya, Mentari kembali tumbang dan tak sadarkan diri.

.

.

.

.

Langit masuk perlahan menghampiri Bintang yang kini tengah terbaring lemah. Bintang tersenyum kala itu. Mungkin ini senyum terakhirnya untuk sahabatnya Langit.

"Hai.." Sapa Langit dengan air mata yang kembali turun membasahi pipinya.

Langit duduk tepat di samping Bintang, menatap sahabatnya, menahan tangisnya.

"Aku baik-baik saja." ucap Bintang menenangkan.

"Tidak.. kau tidak baik-baik saja, jangan membohongiku." ucap Langit dan tangisnya pun pecah.

Bintang hanya tersenyum, sesekali ia terlihat menahan rasa sakit yang menghampiri dirinya.

"Bagaimana keadaan Mentari? Ku harap dia baik-baik saja."

"Kau harus kuat, dia akan baik-baik saja jika kau kuat."

"Maafkan aku, sepertinya waktuku tak banyak."

"Kenapa kau berkata seperti itu." ucap Langit kecewa mendengar ucapan Bintang.

"Aku punya satu permintaan, bisakah kamu berjanji untuk memenuhinya." pinta Bintang dengan kata perkata ke luar begitu lambat dari mulutnya dan Langit pun mengangguk cepat.

Langit tak mungkin menolaknya, dengan kondisi Bintang yang begitu memprihatinkan, Ia terlihat memohon dan begitu berharap. Mungkin ini salah satu cara untuk dirinya menghapus rasa bersalahnya. Penyesalan yang selalu datang menghantuinya.

"Katakan, apa yang ingin kau minta."

"Aku menyayangi Mentari, aku pun menyayangi mu Langit."

"Aku tau itu."

"Aku telah mengecewakan kalian, aku telah menyakiti Mentari."

"Tidak.. jangan berkata seperti itu."

"Maukah kau membahagiakan Mentari."

"Aku pasti akan membahagiakannya." angguk Langit cepat.

"Nikahilah dia. Jadikan dia istrimu." ucap Bintang dan membuat Langit terdiam.

"Maksudmu.." ucap Langit ragu, rasanya ini tidak mungkin.

"Nikahilah Mentari, buat dia bahagia."

Deg...

.

.

.

.

Tadaaaa Author bawa cerita baru nih.

Kisah antara Mentari dan Langit

Semoga kalian suka dan betah di cerita ini.

berikut visualnya ya.. moga sesuai.. kalau enggak sesuai ya berimajinasilah masing-masing🤭

Foto pertama: Mentari

Foto ke dua: Langit

Foto ke tiga: Bintang

Jadikan Dia Istrimu

🌿Selamat membaca.

🌿Semoga suka dan terus ikuti kisahnya.

🌿Like dan komen baiknya selalu dinanti🤗.

...----------------...

"Nikahilah Mentari, buat dia bahagia."

Deg...

Jantung Langit seakan melompat mendengar permintaan konyol sahabatnya itu. Langit menggeleng, mulutnya berulang mengucap kata tidak.

"Aku tidak mau, kau jangan berkata seperti itu."

"Aku serius dengan kata-kataku. Aku tahu kamu juga mencintainya." ucap Bintang dan kali ini membuat langit diam membisu.

Langit tak mengira bahwa sahabatnya mengetahui apa yang ada di hatinya selama ini. Ya.. Langit memang menyukai Mentari. Jauh sebelum Bintang mengenal Mentari. Tapi perasaan itu telah Langit coba kikis perlahan, mencoba menghapus perasaan yang tak semestinya ia rasakan.

"Apa arti dari semua ini, apakah ini yang seharusnya terjadi." bisik Langit dan terlihat sukar untuk memahami.

"Aku tak mau, kau jangan asal bicara." tolak Langit lagi dan lagi.

"Aku akan merasa tenang, jika Mentari bersamamu. Aku yakin kamu pasti akan menjaganya. Aku yakin kamu memang pria yang tepat untuknya. Dia pasti akan bahagia bersamamu." ucap Bintang lagi dengan rasa sakit yang ditahannya.

"Cukup aku tak mau dengar permintaan konyol mu itu. Jelas Mentari akan bahagia bersamamu, bukan aku."

Bintang meraih pergelangan tangan Langit. Pandangannya tak lepas dari Langit yang ada di hadapannya saat ini. Matanya berkaca-kaca dan penuh harapan.

"Aku sudah tidak ada waktu lagi, aku akan pergi selamanya, aku tak bisa membuatnya bahagia."

"Jangan bicara sembarangan, kau pasti sembuh. Demi Mentari kau harus sembuh."

Bintang menggeleng, air matanya turun perlahan. Sekali lagi ia memohon pada Langit.

"Ku mohon, nikahi Mentari, jadikan dia istrimu. Itu permohonan terakhirku."

Belum sampai langit menolaknya lagi, sebuah pintu terbuka tiba-tiba. Seseorang masuk dengan tergesa.

Mentari hadir dengan Senja menemani. Ia menghampiri Bintang dan menangis tepat di hadapannya saat ini.

"Mas kau harus kuat." pinta Mentari, lagi dan lagi Bintang menggeleng.

"Maafkan aku.."

"Tidak Mas.. kamu tidak salah apapun."

"Boleh ku pinta satu hal darimu."

"Katakan, aku pasti akan mengabulkannya Mas." ucap Mentari dan terisak.

"Menikahlah dengan Langit." pinta Bintang dan membuat Mentari yang tadinya terus menatap Bintang beralih menatap Langit.

"Mas.." panggil Mentari tertahan, bagaimana bisa permintaan seperti itu keluar dari mulut mas Bintang.

"Kamu jangan asal bicara Mas."

"Aku ingin membuatmu bahagia." ucap Bintang terbata-bata.

"Kamu sembuh, itu bisa membuatku bahagia mas, jangan meminta hal yang konyol." ucap Mentari lagi dan menghapus kasar air mata yang terus turun di pipinya.

"Ku mohon menikahlah dengan Langit." ucap Bintang dan makin terdengar lemah suaranya.

Mentari terus menggeleng, ia terus menolak.

"Aku enggak mau Mas. Kamu jangan berkata seperti itu, kamu pasti sembuh."

"Aku sudah tidak kuat lagi.. Ahhh.." ucap Bintang dan berteriak keras menahan rasa sakitnya.

Mentari yang mendengarnya makin terisak. Hatinya bimbang dengan apa yang harus diputuskannya saat ini.

"Langit.. berjanjilah, kau akan menikahi Mentari."

Mendengar rintihan rasa sakit yang dirasakan Bintang, mendengar ia terus memohon. Berhasil menggoyahkan pendirian Langit kala itu. Ia mengangguk setelah sekian banyak ia menggeleng.

"Aku janji, aku janji akan menikahinya..aku janji.." ucap Langit pasrah dengan air mati kembali menetes di pipinya.

Mentari pun tak tahu harus berkata apa saat itu, dia pun terus menangis, menatap Langit, menatap Bintang dan keduanya saling bergantian.

Mendengar ucapan Langit, mengukir senyum kecil terlihat dari bibir pucat milik Bintang. Setidaknya ia merasa tenang saat ini, permohonannya akan dikabulkan.

Bintang beralih pandangannya ke arah Mentari, menunggu jawaban keluar dari mulut Mentari. Menanti jawaban yang sama yang seperti Langit berikan untuknya.

"Mas.." panggil Mentari dan masih tetap menggeleng.

"Ku.. mohon.."

"Tapi.. Mas.."

"Aghhhhhh.." teriak Bintang kembali.

"Oke.. aku akan menikah dengan Mas Langit.. Ku mohon kau harus kuat Mas.." ucap Mentari pasrah akhirnya.

Bintang pun tersenyum kala itu, matanya tertutup dengan tetesan air mata yang turun perlahan. Jantungnya berhenti berdetak kemudian. Bintang bahagia dan ini adalah kebahagian yang terakhir kalinya Bintang rasakan.

Menyatukan Mentari dengan Langit.

"Tidaaaaakkkkkk..... Mas Bintang.. bangun Mas." teriak Mentari dan menggoyangkan tubuh Bintang berulang kali.

Tangisnya pecah begitupun dengan Langit saat itu.

.

.

.

.

Siang itu, matahari tampak bersinar terang sekali. Seorang wanita sedang duduk sendiri. Menikmati secangkir kopi hangat dengan sebuah novel di genggamannya.

Kadang ia tersenyum sendiri, lalu ia tertawa kemudian. Hemm.. manis sekali.

Itulah pertama kali Langit bertemu dengan Mentari. Sesuai dengan namanya ia terlihat bersinar dan sikapnya begitu hangat.

"Hey apa yang sedang kau lihat?" tanya Bintang kala itu.

"Tidak.. tidak ada."

"Ah.. kau pasti berbohong." tebak Bintang dan pandangannya beralih dengan cepat ke arah Langit memandang.

"Sudah.. sudah.. ayo kita lanjut bahas ini." ucap Langit dan dengan cepat menutup pandangan Bintang saat itu.

Langit tersenyum sendiri melihat sikapnya. Rasanya ia menjadi egois dalam seketika. Ia tak mau kebahagian menatap Mentari harus ia bagi ke Bintang.

Biarkan Mentari bersinar hanya untuknya, cukup senyum miliknya terlihat oleh Langit, tidak dengan yang lain.

Namun saat ini, Mentari tengah menangis dalam pelukannya, ia tak menampakan senyumnya yang selalu Langit harapkan sejak dulu.

"Mas Bintang, Mas..." ucap Mentari berulang sambil menepuk dada Langit berulang."

Rasanya ia masih belum siap menghadapi kenyataan ini.

"Aku enggak mau Mas Bintang pergi Mas.." ucap Mentari lagi dan terisak begitu kuat.

Langit diam, hanya air mata yang turun di pipinya. Ia tak tahu harus berkata apa. Mungkin ini sudah takdirnya, begitupun dengan takdir dirinya.

Ia hanya memeluk Mentari dengan kuat saat itu, tak membiarkannya terjatuh untuk kesekian kali.

"Kuatkan hatimu." bisik Bintang dengan menepuk lembut punggung Mentari.

"Mas katakan kalau ini tidak nyata, katakan Mas.." ucap Mentari lagi namun Langit menggeleng membuat Mentari terus menangis.

"Maafkan aku, maaf.." ucap Langit akhirnya.

"Apakah aku sanggup membuat Mentari bahagia, Kenapa kau harus memintaku untuk menikahinya." bisik Langit dalam hati.

Lagi dan lagi Mentari harus tumbang, ia begitu rapuh, tak kuat menghadapi semuanya.

"Mentari.. Tari.." panggil Langit mencoba menyadarkannya.

Langit raih tubuhnya, ia angkat tubuh Mentari dengan cepat, ia menggendongnya dalam pelukannya.

.

.

.

.

hiks 🤧, author tega.. Bintang baru muncul dah dibuat meninggal.🤭

Hari Berkabung

🌿Selamat membaca.

🌿Semoga suka dan terus ikuti kisahnya.

🌿Like dan komen baiknya selalu dinanti 🤗.

...----------------...

Setelah mengurus kepulangan Bintang, Kini Langit tengah berada di samping Mentari yang masih tak sadarkan diri.

Rasanya ini begitu melelahkan bagi Mentari maupun Langit.

Langit tatap wajah Mentari saat itu, ia genggam salah satu tangannya, ia usap perlahan kepalanya.

"Mas Bintang, Mas.." teriak Mentari tiba-tiba.

Air matanya kembali menetes, pandangannya tak lepas dari Langit yang sudah ada di sampingnya.

"Kenapa kita ada di sini, gimana Mas Bintang?" tanya Mentari setelah dirinya menatap sekeliling.

Sebuah ruang yak tak asing baginya, ia sudah kembali ke rumah dan berada di kamarnya.

"Orang tuaku sudah mengurus kepulangannya."

Lagi dan lagi Mentari menangis, ia bangkit dari tidurnya dan duduk kemudian.

"Maaf, aku sudah merepotkan mu Mas.." ucap Mentari dan Langit kembali menggenggam jemarinya.

"Tidak.. jangan berkata seperti itu."

"Tapi kenyataannya memang seperti itu, aku begitu lemah, aku begitu rapuh.. aku selalu merepotkan banyak orang. Mungkin itu juga alasan Mas Bintang meninggalkan ku."

"Sadarlah, Bintang meninggalkanmu bukan karena hal konyol seperti yang kau ucapkan."

Mentari terdiam, lalu ia terisak kembali. Ia tutup wajahnya dengan ke dua telapak tangannya.

Langit pun bangkit dari duduknya, ia kembali memeluk Mentari, mengusap lembut punggung wanita itu.

"Makan dan minumlah dulu. Ku tahu kau belum mengisi perutmu sejak pagi. Kau perlu tenaga, dan kita harus bersiap ke pemakaman Bintang."

"Aku tak ingin apapun Mas, aku hanya ingin Mas Bintang."

"Cukup Tari, aku tahu kamu sedang berduka, aku tahu kamu bersedih. Aku pun merasakan hal yang sama. Tapi takdir berkata lain, biarkan Bintang tenang di alam sana, jangan kau menyulitkan dirimu sendiri." Mentari kembali terisak mendengar kata-kata Langit, rasanya ia masih belum merelakan kepergian Bintang.

Setelah mengucapkan beberapa kata untuk Mentari, Langit pun melangkah menuju sudut lain. Menuju meja dimana ada semangkuk bubur dan teh hangat yang sudah disiapkan untuk Mentari. Langit membawanya menuju Mentari.

"Minumlah.." pinta Langit dan Mentari menatapnya dengan air mata yang menggenang di kedua matanya.

"Minumlah.." pinta Langit lagi.

Mentari pun mengalah, ia raih gelas itu, ia teguk teh itu kemudian.

"Aku bantu kau makan." ucap Langit lagi setelah meletakan gelas tersebut ke meja yang berada di sampingnya.

Suapan pertama begitu sulit Mentari terima, rasanya ia tak ingin membuka mulutnya. Namun melihat keteguhan Langit, kebaikan Langit membuat Mentari luluh akhirnya. Ia buka mulutnya perlahan, ia terima suapan demi suapan bubur yang Langit berikan untuknya.

"Kau akan menemaniku nanti?"

"Ya.." ucap Langit singkat dan kembali menyuapi Mentari saat itu.

.

.

.

.

Mentari terdiam, air matanya terus turun perlahan. Menatap sosok pria yang dicintainya kini telah terkubur. Telah pergi untuk selamanya.

Terlihat sosok Langit yang membantu proses pemakaman Bintang saat itu. Kedua orang tuanya pun ikut hadir menemani. Dengan hati yang begitu perih, namun Langit terlihat kuat menjalani. Terlihat wajahnya yang begitu mendung, Langit tahan air matanya, ia tak ingin sahabatnya melihat dirinya begitu rapuh saat ini.

Lantunan doa terucap kemudian, semua masih menatap tak percaya akan kepergian Bintang yang begitu tiba-tiba.

"Kuatkan hatimu nak." pinta Senja pada Mentari.

"Ya.. Bu.."

Mentari menarik napas panjang kemudian, menenangkan hatinya.

Setelah proses pemakaman selesai, satu persatu orang yang datang pun berpamitan untuk pulang. Hanya tinggal beberapa orang saja. Hanya ada beberapa keluarga dekat yang tersisa.

Langit yang saat itu bersama dengan Ibu dan Ayahnya melangkah menghampiri Senja dan Mentari.

"Yang sabar ya.." pinta Rubi yang merupakan ibu dari Langit.

Mentari mengangguk, mencoba untuk bersabar seperti apa yang diminta Rubi padanya, namun air matanya terus turun. Tersirat begitu hancur hatinya saat ini.

Rubi memeluknya, mengusap pundaknya perlahan. Mencoba menenangkan Mentari.

"Sudah..sudah.. ibu percaya kamu kuat."

"Ya Bu.." jawab Mentari dan terdengar isaknya.

"Bu.. Ayah, nanti Langit izin antar Mentari dan ibunya pulang dulu."

"Ya..Nak.., hati-hati kalian." ucap Rubi lembut.

"Ya Bu, terima kasih."

Setelah menghabiskan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan yang lain, Mentari pun akhirnya setuju untuk kembali.

Menaiki mobil Langit bersama dengan Senja yang masih setia menemaninya. Tatapannya masih begitu kosong, matanya masih berkaca-kaca. Bibirnya terlihat pucat. pikirannya terbang bersama dengan kenangan dirinya bersama Bintang.

Siang itu.. saat semua tampak serius membaca di sebuah perpustakaan kampusnya berada.

Mentari tampak begitu panik, buku yang rencananya akan dipinjamnya telah lenyap di rak buku perpustakaan itu.

"Kok cepat banget, baru saja ditinggal sebentar. Itu buku sudah enggak ada, siapa yang pinjam pak?" tanya Mentari pada petugas perpustakaan itu.

"Iya, baru saja dipinjam, namanya Langit. Baru saja pria itu keluar, mungkin masih sempat untuk dikejar."

"Oh.. Oke.. terima kasih pak." ucap Mentari cepat.

Langkah kakinya pun begitu cepat, pandangannya fokus menatap sekeliling. Mencari seorang pria dengan buku yang ada digenggamnya.

Saat dirinya berhasil menemukan sosok pria yang dimaksud, Mentari mempercepat lagi langkahnya.

"Langit.." panggil Mentari namun tak membuat pria yang dimaksud olehnya menghentikan langkahnya itu.

Mentari pun berusaha mengejarnya, sampai akhirnya ia berhasil menarik tas ransel milik pria itu.

"Tunggu." pinta Mentari sambil mengatur napasnya yang seakan sedang berlomba.

Pria itu berhenti melangkah, ia tatap sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini. Ia terdiam untuk waktu yang lama. Ya.. ia tak menyangka bahwa ada wanita cantik yang tengah menghalanginya untuk pergi.

"Ada apa..?"

"Langit.. Langit kan..." ucap Mentari yakin sekali, pasalnya buku yang dicarinya berada di genggaman pria itu.

"Bukan.."

"Hah.. lalu buku itu?" tunjuk Mentari.

"Oh.. buku ini, iya.. tadi teman ku Langit yang pinjam di perpustakaan."

"Oh.. begitu." ucap Mentari menjadi bingung.

"Kenapa?"

"Aku sangat perlu buku itu, bisakah temanmu meminjamkannya untukku?"

"Ehmm.. aku tak tahu, tapi bisa ku tanyakan ke temanku."

"Ahh.. oke.., kalau begitu kau bisa catat nomorku atau kau bisa berikan nomormu?"

"Aku saja yang catat nomormu."

Setelah menyebut beberapa angka, Mentari pun tersenyum, setidaknya ia punya harapan untuk mendapatkan buku itu.

"Namamu?"

"Namaku Mentari."

"Aku Bintang." ucap Bintang dan tersenyum menatap Mentari.

Itulah pertemuan pertama mereka, Bintang dan Mentari.. dengan senyum yang terukir di keduanya. Membentuk kisah yang sulit untuk dilupakan.

Hingga akhirnya Mentari harus bersedih, saat senyum milik Bintang lenyap untuk selamanya.

.

.

.

.

Yang sabar ya Mentari🤧🤧🤧

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!