NovelToon NovelToon

TALI PERSAUDARAAN YANG PUTUS

Terlihat Seperti apa itu Saudara.

Melihat nenek yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit ini, kelas dua pasien BPJS dari pemerintah dan ini adalah rumah sakit pemerintah.

Bersama bang Jepri yang sedang tertidur di lantai yang hanya beralaskan tikar, sejak tadi malam aku menunggu kedatangan bang Damar dan bang Anggi, yang merupakan dokter umum di rumah sakit ini untuk menjenguk nenek.

Begitu juga bang Firman yang sudah menjadi dokter gigi di poliklinik rumah sakit ini, tapi tidak satupun diantara mereka yang datang menjenguk nenek yang berbaring lemah di ranjang.

Hari sudah menjelang sore dan pemeriksaan terhadap pasien kini sudah tiba, alangkah bahagianya diri ini ketika melihat bang Damar yang memakai jas putih itu bersama rekannya dan juga didampingi oleh dua orang perawat.

"keadaan nenek gimana bang Damar?"

Terdiam seketika dan rekannya bang Damar terlihat bingung karena bang Damar yang aku sapa dengan begitu akrabnya.

"keluarga dokter Damar ya?"

"bukan dokter Farhan, hanya tetangga saja, mungkin mau numpang nama sama, biar dapat pelayanan spesial."

Srrrt......

Darah ini terasa mengalir di sekujur tubuhku, karena bang Damar tidak mengakui bahwa kami bertiga adalah keluarganya.

Dua dokter dan perawat itu langsung meninggalkan kami disini tanpa memberitahukan apapun tentang keadaan nenek saat ini.

Berselang beberapa menit kemudian, bang Damar, bang Anggi dan bang Firman sudah berada di ruang rawat ini.

Seketika prasangka buruk tadi terhadap bang Damar berubah, ternyata ketiga abang ku itu akhirnya datang menjenguk nenek.

"gimana keadaan nenek bang Damar?"

Bang Damar hanya menggelengkan kepalanya, ketika menjawab pertanyaan dari bang Anggi.

Kemudian nenek bangun karena mendengar suara dari ketiga abang Ku ini.

"Nenek....

kesehatan nenek kan sudah semakin drop, jadi kami disini ingin meminta tanda tangan nenek mengenai rumah dan kebun nenek itu.

Kami ingin menjual rumah beserta dengan kebunnya dan kemudian dibagi rata, karena nenek sebentar lagi akan pergi.

Harapan nenek untuk bertahan hidup sudah tipis, nenek ngak mau kan kami rebutan terhadap harta peninggalan nenek itu?

Damar sudah menemukan pembelinya, dan harga cukup fantastis yang bisa kita bagi rata."

"bang Damar, kenapa tiba-tiba ingin menjual rumah dan kebun?"

"Bernat....

kamu tahu sendiri kan, kalau ketiga abang mu ini ingin mengambil spesialis di bidang nya masing-masing.

Jadi kami butuh tambahan biaya, dengan menjual rumah dan kebun itu, dan itu bisa menambah biaya pendidikan spesialis di bidang kami masing-masing.

Selama ini kan kamu yang menikmati hasil kebun itu serta ternaknya."

"bang Damar, itu aku gunakan untuk membayar biaya kuliah abang dan juga biaya kehidupan sehari-hari untuk abang bertiga.

Kalau rumah itu di jual, lalu kami mau tinggal dimana?

lagipula itu kebun dan ternak adalah sumber penghasilan utama, jangan begitulah bang."

"gampang Bernat, dapat pembagian warisan lalu beli rumah dan buat lagi kandang ternak."

"ngak segampang itu bang Damar, kita butuh tempat yang layak untuk ternak. agar tidak menggangu warga lain."

"maksud mu, rumah dan kebun serta ternak itu hanya untukmu saja?"

Nenek kemudian membuka selang oksigen nya setelah mendengarkan bang Firman bicara dan menatapnya dengan tatapan yang kecewa.

"apa kalian tidak tahu, kalau Bernat setiap bulannya harus mengeluarkan uang hingga dua puluh juta bahkan lebih untuk kalian bertiga?

Semua hasil ladang dan ternak itu untuk kalian bertiga, adapun sisanya itu dari penjualan kotoran ternak dan olahan gas dari kotoran ternak.

Nenek pikir kalian bertiga tidak akan menggangu Bernat lagi setelah kalian bertiga menjadi dokter.

Siang dan malam Bernat bekerja keras, agar kalian bisa menjadi dokter. masa kalian bertiga tidak kasihan kepada Bernat dan Jepri?"

Bang Damar yang mendengar penjelasan dari nenek, langsung menghela napas panjang, dan tatapan kecewa terlihat jelas dari tatapannya.

"nenek.....

kita bertiga itu beasiswa, jadi itu terlalu memberatkan bagi Bernat.

Kok nenek malah mengungkit-ungkit begini? atau nenek berencana ingin memberikan semua harta nenek hanya kepada Bernat dan Jepri saja?

itu ngak adil nek, dan kami bertiga tidak bisa terima, nenek harus membagi rata warisan itu."

Nenek hanya terdiam, terlihat nenek sesak kembali, lalu aku memasang penyanggah oksigen itu.

Bang Jepri tidak bisa bertindak, karena beliau cacat. dulu waktu kecil pernah kejang karena kurangnya perhatian orang tua kami terhadap nya.

Bang Jepri itu kesundulan, istilah lumrah yang dilekatkan pada kondisi jarak kehamilan atau kelahiran yang terlalu dekat, terutama di masa ibu masih menyusui bayinya.

Sehingga bang Jepri hanya menerima ASI (air susu ibu) dalam jangka waktu yang relatif singkat.

"gimana Bernat? kamu setuju kan?"

"terserah bang Damar aja, jika seandainya rumah itu sudah terjual, tolong kasih kami waktu selama tiga bulan."

"kelamaan waktunya Bernat, sudah dua bulan aja."

Sanggah bang Damar dengan begitu gampangnya, lalu meraih handphonenya dan terlihat menghubungi seseorang.

Setelah beberapa saat kemudian, setelah bang Damar selesai menelpon dan kini datang seorang perempuan yang berpakaian rapi dengan membawa dokumen.

"kenalin ini Reva, calon istriku. saat sudah jadi notaris muda.

Reva yang mengurus perihal jual belinya, dan kita hanya menerima beres saja."

Ternyata wanita yang bernama Reva itu membawa dokumen berupa kuasa menjual, untuk ditandatangani oleh kami semuanya.

"kak Reva, itu rumah dan kebun serta lahan ternak masih atas nama almarhum kakek kami.

Kenapa kakak membuatkan surat kuasa jual tanpa surat keterangan waris dari almarhum kakek?"

"loh....

kata bang Damar, sertifikatnya atas nama nenek?"

"berarti kak Reva belum menerima sertifikatnya kan?"

Lalu kak Reva geleng-geleng kepala, pertanda bahwa data dan dokumen belum dia terima, tapi kenapa dia langsung begitu yakin langsung membuat surat kuasa menjual?

"bang Damar tahu ngak sertifikat itu berada dimana sekarang?"

"di lemari nenek."

Lalu nenek memalingkan kepalanya ketika bang Damar melihatnya, sepertinya kekecewaannya begitu besar terhadap bang Damar.

"tujuh tahun yang lalu almarhum kakek dan nenek menggadaikan sertifikat itu bang, untuk biaya pendidikan abang bertiga.

Hak tanggungannya atas nama nenek, sehingga hutang di bank masih berlanjut hingga sampai sekarang."

Selang oksigen yang berada di hidung nenek kembali di buka, dan tatapan tajam itu mengarah ke bang Damar.

"Bernat yang membayar cicilannya, kalian bertiga ngak mikir kalau biaya kalian itu tidak besar.

Tapi ya sudahlah, terserah kalian bertiga saja ya."

Kembali penyangga oksigen itu aku pasang lagi, karena nenek terlihat sesak lagi.

Air mata nenek berlinang, karena mendengar niat bang Damar yang hendak menjual harta nenek satu-satunya yang menjadi tempat kami bernaung dan mencari nafkah.

Haru

Sejenak kami terdiam karena suasana yang semakin kaku, kemudian bang Damar, bang Anggi dan juga bang Firman melihat ku secara bersamaan.

"sertifikat di bank, kalau menurut perhitungan Bernat, sisa tagihan mungkin sekitar tujuh bulan lagi.

Dengan cicilan setiap bulannya diatas dua juta rupiah, kalau memang mau di jual, silahkan ditebus dan segera urus surat kematian kakek lalu buat surat keterangan waris.

Ingat bang, anak kakek dan nenek masih ada yang lainnya.

Dua anak perempuannya serta satu lagi anak laki-laki, karena almarhumah mama yang paling terakhir maka mama di ijinkan untuk tinggal di rumah itu dan menggarap kebun untuk kebutuhan ternak.

Abang atur aja dulu, abang kan hebat. apalah daya Ku, yang hanya tamatan SMP."

Ucapan dariku seolah-olah membuat ketiga abang ku terlihat kecewa, lalu pergi tanpa berpamitan.

Setelah kepergian mereka dan terus berusaha untuk menenangkan nenek yang kecewa.

"begini aja, jual saja semua lembu mu itu kepada pak Raden. karena sebentar lagi anaknya yang besar akan melangsungkan pernikahan.

Kemarin itu pak Raden bicara sama nenek, untuk memintak kerbau dan juga ayam.

Nanti hasil penjualannya berikan kepada, Riyan, Juna dan Togu.

Karena setelah rumah dan kebun itu terjual, tentunya mereka tidak bisa bekerja lagi disana.

Nantinya sampai juga kepada pak Raden, siapa yang mau beli perangkat pembuat gas itu, serta ayam yang tersisa nantinya.

Segeralah cari tempat tinggal kita, nanti bagian nenek bisa sebagai biaya kita sebelum mendapatkan lahan yang bisa kita gunakan untuk lahan ternak."

"Nenek.....

Bernat sudah ada mencicil tanah tapak, yang bisa kita gunakan untuk membangun rumah dan lahan ternak kita nantinya.

Sebentar lagi Bernat juga bisa menarik uang dari CU harapan nek, untuk membangun rumah baru kita.

Kita tidak perlu menjual anak ternak dan juga alat itu nek."

Setelah menjelaskan demikian, barulah nenek bisa senyum, lalu aku memeluknya agar bisa membuatnya lebih tenang lagi.**

Petugas kebersihan rumah sakit membangunkan tidur kami berdua bersama bang Jepri yang tidur hanya beralaskan tikar.

Lalu dokter jaga serta dua perawat mendatangi ruangan ini, untuk memeriksa nenek.

"nenek.....

apakah dadanya masih sesak?"

Selang oksigen itu dicabut dan kami sama-sama melihat ke arah nenek untuk melihat efek tanpa selang oksigen itu.

"tidak lagi dokter, saya juga sudah buang air kecil dan juga sudah buang air besar serta sudah buang angin.

Kapan kami bisa pulang dokter?"

"bagus sekali nek, sebenarnya jatah dari BPJS tinggal besok. nanti siang kami akan datang lagi untuk memastikan kondisi kesehatan nenek.

jika memungkinkan untuk pulang, maka saya akan mengijinkan nenek untuk pulang.

Sabar dulu ya nek, dan tetap semangat."

Nenek tersenyum menanggapi ucapan dari dokter itu, kemudian salah satu perawat menyuntikkan obat melalui jalur infus.

Dokter dan perawat itu sudah pergi dan meninggalkan obat yang di minum setelah selesai makan nantinya.

Tidak berapa lama kemudian, sarapan pasien sudah datang.

Setelah nenek makan lalu minum obat, kemudian aku turun kebawah untuk membeli sarapan untuk ku dan bang Jepri.

Sudah tiga hari ini berada di rumah sakit dan ini adalah ke hari keempat kami disni, sementara kebun dan ternak di urus oleh Riyan, Juna, dan Togu.

Menunggu beberapa jam, wajah nenek sudah terlihat ceria kembali.

Akhirnya dokter mengijinkan kamu untuk berobat jalan saja, dan akhirnya kami bisa pulang ke rumah.***

Sesampainya di rumah dan langsung membaringkan nenek di tempat tidurnya, dan setalah memastikan nenek untuk minum obatnya, lalu menitipkan nenek kepada bang Jepri.

Kemudian berjalan menuju arah belakang rumah, dimana kebun dan ternak kami, lalu menemui Riyan, Juna, dan Togu.

Riyan langsung menyajikan kopi untuk kami berempat dengan jamuan ubi jalar bakar.

"bang Damar ingin menjual rumah dan kebun ini, tapi saya sudah memiliki lahan yang nantinya siap untuk menampung ternak serta tempat tinggal kita nanti.

Besok aku akan ke CU harapan untuk mengambil tabungan, untuk biaya buat rumah serta kandang ternak, apakah kalian bertiga ikut saya lagi?"

"jelas ikut lah bang."

Jawab mereka bertiga dengan kompak, dan kemudian kami tertawa bersama.

"emangnya kita masih bisa untuk membangun rumah serta kandang ternak nanti ya?"

"sempat Togu, sembari mengurus surat-surat nya maka kita akan membangun rumah dan kandang ternak kita nantinya di lahan itu."

Seketika itu juga Riyan mengambil handphone nya untuk menghubungi tukang langganan kami.

Tidak berapa lama tukang langganan kami langsung tiba di rumah ini, lalu menggambar sketsa rumah dan kandang ternak.

Tentunya rumah yang akan dibangun tidak sebesar rumah peninggalan kakek ini, tapi setidaknya bisa kami tempati dengan layak.

Butuh dana sebesar tiga ratus lima puluh juta untuk membangun rumah serta kandang ternak, dan untungnya itu sesuai bajet yang aku miliki saat ini.

Dengan menjual beberapa ekor ternak kerbau dan ayam nantinya, sebagai biaya kehidupan sehari-hari untuk kami di rumah yang baru.

"panggun nek di dalm."

Ujar bang Jepri, yang datang ke ruang tamu setelah tukang itu pulang dan menyuruhku untuk ke kamar nenek.

"nek..."

"sini duduk dekat nenek."

Lalu aku duduk di pinggir ranjangnya, senyuman nenek yang sudah berangsur membaik membuatku tenang.

Nenek mengeluarkan dompet yang sudah pudar warnanya lalu memberikannya kepadaku.

"bukalah."

Pinta nenek, dan kemudian aku membuka dompet yang sudah berumur itu.

Ternyata di dalamnya ada emas berupa dua kalung serta mainan nya, dan tiga cincin belah rotan.

Terlihat dari kwitansi pembeliannya, itu tahun 1994 dan secara berturut-turut setiap tahunnya.

"jika terjadi sesuatu kepada nenek, jual lah mas itu dan pergunakan untuk membiayai apapun nantinya."

Sebenarnya aku menolaknya akan tetapi nenek tetap memaksanya dan akhirnya aku menerima emas pemberian nenek itu.

Hanya bisa memeluk nenek, setelah berpelukan lalu nenek mengeluarkan celengannya berupa angsa yang terbuat dari keramik.

Lalu bang Jepri datang ke kamar nenek ini, dengan membawa celengan angsa yang sama dengan nenek.

prank..... prak......

Celengan angsa itu langsung dipecahkan oleh bang Jepri dengan menggunakan martil yang diambil dari kolong tempat tidur nenek.

Sungguh mengejutkan akan isi Nya, di dalam kedua celengan tersebut, berisi uang dengan nominal paling kecil uang pecahan dua puluh ribu.

Lalu aku menghitung dari kedua celengan tersebut sementara bang Jepri membersihkan pecahan celengan.

Selesai aku hitung dan jumlahnya mencapai sepuluh juta rupiah, lalu meletakkannya di meja kecil di dekat ranjang nenek.

"nenek dan Jepri selalu menabung, dan kami berdua sama-sama membeli celengan itu.

Pergunakan untuk biaya pindah kita nantinya, sebelum kita bisa menghasilkan uang."

Sungguh terasa haru, dan seketika kami bertiga langsung berpelukan dengan erat.

Nenek Meninggal Dunia.

Kondisi kesehatan nenek sudah semakin membaik, dan secara perlahan bangunan rumah tinggal kami dan juga kandang ternak sudah empat puluh persen selesai.

"Bernat....."

Seseorang memanggilku dan ketika menoleh ke belakang ternyata bang Damar, sepertinya dia terlihat kesal.

"iya bang."

"kau bantu lah untuk mengurus surat keterangan kematian kakek dan juga waris ini, abang kewalahan.

Nanti abang kasih lah upahmu dari bagian ku, karena abang ngak sempat untuk mengurus nya, lagian kamu yang kenal warga disekitar sini dan perangkat desa nya."

"maaf bang, Bernat juga sibuk. saya juga sibuk mempersiapkan rumah untuk kami bertiga.

Abang mintak bantuan aja sama bang Anggi atau bang Firman."

"lihat aja ya, Abang potong bagian kalian untuk biaya kepengurusannya."

Bang Damar langsung pergi, terlihat jelas dia sangat marah.

Tapi ya sudahlah, itu hanya bagian dari hidup, karena tidak semua orang bisa di puaskan.**

Lembu dan ayam sudah terjual kepada pak Raden, sisanya sudah mulai dipersiapkan untuk pindah ke tempat yang baru.

"Bernat...... Bernat..... Bernat....."

Bang Jepri langsung berjalan ke arah pintu masuk ketika mendengarkan suara teriakan bang Damar.

"lama amat buka nya? lagi ngapain sih?"

"beres-beres bang Damar, biar nanti tinggal angkut ketika sudah di usir."

"terserah deh, Abang kemari ingin membawa kalian ke kantor notaris, kantornya Reva. kita hari ini tanda tangan perjanjian jual beli dengan pembelinya."

"iya dah bang, nanti Bernat akan membawa nenek dan juga bang Jepri."

Tanpa pamit ke nenek, bang Damar langsung pergi. melihat hal itu nenek hanya mengelus dada.

Tanpa terasa akhirnya selesai juga beras-beras dan segera bergegas ke kantor notaris.

Sesampainya di sana, hanya ada bang Damar dan juga Reva calon istrinya.

Seharusnya hadir juga ibu Santi, ibu Dian dan juga om Bayu. karena itulah ahli waris kakek, tapi kenapa mereka tidak hadir ya?

"Nenek tandatangan di sini ya."

Begitu melihat nenek, kak Reva langsung mendekatinya seraya meminta nya untuk tandatangan berkas.

"tunggu kak, surat kematian kakek dan surat keterangan waris sudah selesai di urus?

lalu dimana om Bayu, ibu Santi dan ibu Dian?

Pembelinya dimana? dan berapa harga jualnya?"

Bang Damar langsung berdiri dan menghadap ke arahku, wajahnya terlihat bringas dan penuh amarah.

"ngak usah banyak nanya Bernat, kak Reva lebih tahu semuanya. sekarang tandatangani aja dulu ini."

Ujar bang Damar lalu memberikan kertas, istilahnya kertas kosong, lalu dimana kami tandatangannya.

"Abang jangan main-main, ini kertas kosong. memang saya hanya tamatan SMP, tapi saya bukan buta huruf.

Mau abang apa sebenarnya?"

"ngak usah ngeyel Bernat, sekarang tandatangani perjanjian itu. sisanya biar kak Reva yang urus.

kalian tinggal menerima beres aja, tiga hari dari sekarang kalian harus pergi dari rumah itu, karena abang sudah membuat perjanjian dengan pembeli nya."

Terlihat nenek menghapus air matanya, mungkin karena bang Damar mengatakan kalau harus secepatnya pindah dari rumah itu.

Rumah yang ditempati oleh nenek selama bertahun-tahun dan pada akhirnya harus di usir dari rumah oleh cucunya sendiri.

"nenek tidak akan tandatangan, kelewatan kamu ya Damar.

Rumah dan kebun itu milik nenek, dan tidak akan nenek jual.

Bernat, Jepri. ayo kita pulang."

Akhirnya kami pulang, kekecewaan jelas terlihat dari wajahnya nenek.**

Sesampainya di rumah, nenek terlihat sangat lemas dan tidak berapa kemudian tubuhnya menggigil.

Segera kami larikan ke rumah sakit, dan lagi-lagi ketiga abang-abang Ku itu tidak satupun yang hadir.

Bahkan sampai malam hari pun mereka tidak ada yang datang, di telpon ngak diangkat di kirim pesan pun tak terbalas.

Hanya aku dan Jepri yang menemani nenek, dan sampai akhirnya nenek bangun.

"nek......"

Nenek melihat kami berdua yang duduk di samping ranjangnya dan senyuman itu mengarah kepada Ku.

"Bernat, terimakasih karena kamu sudah menjadi cucu yang baik. terimakasih karena sudah merawat nenek dengan ikhlas, maafkan nenek yang bawel dan bisa memberikan apapun untuk Mu."

"nenek kok gitu, Bernat yang berterima kasih kepada nenek, karena nenek sudah menampung kami dan mencintai kami semuanya."

"terimakasih atas semua Bernat, semoga kebahagiaan menghampiri mu."

"nek..... nek ......

n.....e.....k...... n......e....n.....e....k........."

Hari terakhir bersama nenek dan kami harus berpisah untuk selamanya.

Jenazah nenek sudah di rumah, tapi tidak satupun keluarga yang datang, baik itu om Bayu, ibu Santi dan ibu Dian serta ketiga abang-abang Ku.

Hanya tetangga yang memenuhi rumah ini, sejenak mereka bertanya-tanya tentang sanak saudara yang tidak terlihat di rumah ini.

Sudah saatnya jenazah nenek di kebumikan, dan sampai nenek ke liang lahatnya tidak satupun keluarga yang datang.

Nenek sudah tenang di sisi pencipta Nya, dan saat kami pulang ke rumah. para tetangga sudah membersihkan rumah kami, karena nanti sore akan diadakan pengajian.

Lagi-lagi tidak satupun keluarga yang datang, bahkan sampai pengajian selesai pun tidak ada yang datang.***

tok.... tok.... tok..... Tok.... tok.... tok..... Tok.... tok.... tok..... Tok.... tok.... tok.....

Pintu di ketuk berulang kali, dan akhirnya kami berdua terbangun.

Ternyata sudah jam tujuh pagi, mungkin karena kelelahan sehingga kami berdua bangun kesiangan seperti ini.

"rumahnya Nenek Saena?"

Seorang bapak-bapak yang didampingi oleh seorang perempuan berdiri di hadapan Ku.

"iya benar pak, maaf ada keperluan apa pak?"

"jadi kamu yang menjaga rumah ini? baiklah kalau begitu.

rumah ini sudah kami beli, dan ini akta jual belinya, saya minta kalian pergi dari sini. hari ini juga, karena hal itu juga tertuang di perjanjian jual beli."

"saya cucunya nenek Saena, dan baru kemarin nenek meninggal.

kapan nenek saya tanda tangan jual beli itu, sepertinya bapak salah alamat."

Kedua orang itu terlihat kesal dan langsung mengeluarkan handphone dari saku celananya.

'halo dokter Damar, gimana sih ini? dokter bilang penjaga tanah, nyata cucu nenek Saena.

Tolong datang kemari secepatnya, kalau tidak saya akan melaporkan dokter Damar ke polisi atas penipuan.'

Pria itu terlihat kesal dan kemudian mengakhiri obrolan nya, lalu duduk di kursi teras seraya melihat kami berdua yang baru bangun tidur.

"bukannya rumah ini sudah di hibahkan ke dokter Damar?"

"setahu saya, almarhumah nenek tidak pernah menghibahkan rumah ini kepada siapapun, rumah ini masih atas almarhum kakek.

Oh iya, apakah bapak sudah melihat asli sertifikat rumah ini?"

Pria itu hanya geleng-geleng kepala, dan itu sesuai dugaan Ku. karena sampai saat ini sertifikat rumah ini masih di Bank sebagai jaminan.

Tapi kenapa pria ini membeli rumah tanpa melihat dokumen yang aslinya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!