NovelToon NovelToon

TABIR (Pelakor Itu Ternyata Adikku)

BAB 1. Prolog

 Dara namanya, seorang wanita cantik dan lemah lembut yang menjadi idaman banyak pria dan para ibu mertua diluar sana.

 Tapi sayangnya, Dara sudah menikah. Memiliki seorang suami bernama Fatan yang juga adalah tipe-tipe suami dan menantu idaman. Bekerja kantoran dan mapan, siapa yang tidak menginginkannya menjadi imam? Ditambah fisiknya yang kekar dan wajahnya yang tampan membuat bahkan adik kandung dari Dara pun pelan-pelan mulai menyimpan rasa pada kakak iparnya itu.

"Mas, lagi apa?" sapa Dara sambil duduk di sebelah suaminya yang tampak sibuk berkutat dengan laptop.

 Fatan menoleh dan tersenyum lembut, menampakkan kedua lesung pipinya.

"Biasa, Sayang. Cari nafkah, buat kamu," jawab Fatan penuh cinta.

 Dara tersipu malu, padahal itu bukanlah pertama kalinya Fatan bersikap romantis padanya.

"Mama, Tante Indi telfon!" teriak Fatur, anak lelaki Dara dan Fatan.

 Mereka mempunyai sepasang anak kembar, Fatur dan Farah namanya. Sekarang umurnya sudah lima tahun, dan bersekolah di PAUD tak jauh dari rumah mereka.

"Iya, Mama kesana," sahut Dara sambil berpamitan pada Fatan dan gegas menuju kamar bermain anak-anaknya.

 Rumah yang luas dengan fasilitas lengkap yang di sediakan suaminya, membuat Dara benar-benar bersyukur bisa dinikahi oleh Fatan. Lelaki baik yang dikenalnya sejak masih menjadi remaja SMA, siapa sangka sang idola sekolah itu sekarang justru menjadi suaminya.

"Mama angkat telpon dulu ya, Sayang," pamit Dara sambil berlalu agak menjauh dari tempat anak-anaknya tengah bermain puzzle.

 Fatur dan Farah hanya mengangguk karena lebih sibuk dengan permainan mereka, mereka tampak fokus menyusun puzzle-puzzle tersebut.

"Assalamu'alaikum, Dek. Kenapa?" ucap Dara setelah menjawab panggilan telepon Indi adiknya.

"Wa'alaikumsalam, Mbak. Ini ibu mau ngomong katanya," sahut Indi di sebrang telepon.

 Terdengar suara gemerisik saat Indi menyerahkan ponsel pada ibu mereka.

"Dara?" ucap sang ibu yang bernama Bu Maryam dengan lembut.

"Iya, Bu? Ada apa? Ibu mau main kesini?" ujar Dara menerka-nerka.

"Nggak, tapi ibu mau minta tolong sama kamu, Nduk," ucap Bu Maryam lagi, terdengar penuh harap.

 Jantung Dara berdegup kencang tiba-tiba padahal ibunya beluk mengucapkan apapun.

"Minta tolong apa, Bu? Sudah ngomong saja. Insyaallah kalau Dara bisa pasti Dara bantu," ucap Dara setelah menguasai dirinya.

"Ini, Nduk. Kan adikmu sebentar lagi mau kuliah, kalau boleh biar dia tinggal sama kamu. Soalnya kalau harus ngekos ibu kok malah takut dia kenapa-kenapa, soalnya anak gadis ibu tinggal dia. Ya, itu juga kalau kamu boleh, Nduk," papar Bu Maryam.

 Dara menghembuskan nafas lega. entahlah, dia pun sebenarnya tak mengerti kenapa tiba-tiba tadi jantungnya berdegup begitu kencang seperti dilamar kolongmelarat. Eh

"Dara kira minta tolong apa?" kekeh Dara mencairkan suasana.

"Jadi bagaimana, Nduk? Boleh?"

"Ya jelas boleh lah, Bu. Indi itu kan ya adikku, masa aku tega biarin dia tinggal di kos-kosan. Sedangkan rumah ini saja punya banyak kamar kok," sahut Dara santai.

 Si kembar tampak menatap mamanya penuh tanya, namun kembali tak peduli dan memilih sibuk dengan puzzlenya lagi.

 Fatan masuk ke kamar si kembar, dan ikut bergabung bermain dengan anak-anaknya. Sembari menunggu istrinya selesai bertelepon ria, karena rupanya dia lumayan penasaran dengan apa yang dibahas mereka sekian lamanya.

"Jadi kapan mau berangkat kesininya? Ibu ikut nganter kan? Sekalian main kesini, masa nggak kangen sama si kembar?" tanya Dara lagi.

"Insyaallah besok kami kesana, nganter adikmu sekalian mau jengukin cucu-cucu nakal ibu. Oh iya, jangan lupa kasih tahu suamimu dulu kalau dia juga setuju baru besok ibu sama Indi berangkat,"

 Dara melirik Fatan yang ternyata juga sedang meliriknya, kemudian tersenyum kecil dan kembali menyahuti ucapan ibunya.

"Iya, Bu. Bisa diatur kalau itu. Ya sudah Dara tutup dulu teleponnya ya, nanti Dara kasih tahu kalau sudah di izinkan. Assalamu'alaikum," ujar Dara mengakhiri sambungan teleponnya.

 Dara berjalan keluar kamar diikuti Fatan yang sudah kepo akut di belakangnya. Sedikit berlari Dara justru menggoda suaminya dengan masuk kedalam kamar dan menutupnya sambil tertawa.

"Ah Sayang, kenapa ditutup sih? Mas sudah penasaran ini," rengek Fatan didepan pintu kamarnya yang ditutup dari dalam oleh Dara.

 Dara terkikik di balik pintu.

"Mas mau masuk?"

"Iya, Sayang. Boleh ya," rengek Fatan seperti anak kecil. Untungnya saat itu anak-anaknya tidak ada yang melihat tingkah absurd papanya.

"Boleh, tapi ada syaratnya," celetuk Dara sambil membuka sedikit pintu untuk mengintip wajah memelas Fatan.

"Syarat? Mau masuk kamar sendiri segala pake syarat sih, Sayang?" keluh Fatan.

 Wajah tampannya mengerut dengan bibir mengerucut, ekspresi yang hanya akan dia tunjukkan di depan istri tercintanya seorang.

"Sudahlah, sekarang kalau Mas mau masuk. Mas ambilin dulu es krim di kulkas bawa kesini sekalian sama sendoknya," titah Dara sambil cekikikan.

"Huh, bilang saja males ambil sendiri," gerutu Fatan, namun tetap melangkah juga untuk mengambilkan permintaan istrinya itu.

"Ini es krimnya, Nyonya," ujar Fatan dengan bergaya seperti pembantu rumah tangga.

 Dara tergelak, lalu lekas meraih cup besar es krim tersebut berikut sendoknya dari tangan Fatan. Dan melangkah ke balkon untuk menikmatinya.

"Mas, aku mau minta izin," ucap Dara setelah Fatan duduk di hadapannya.

"Izin buat apa? Kamu mau kemana Sayang?"

"Ah, nggak. Bukan buat aku, itu loh si Indi. Dia mau ikut tinggal disini selama kuliah," ujar Dara membeberkan percakapannya dengan ibunya tadi.

"Jadi tadi kamu sama ibu ngomongin itu?" tanya Fatan yang sudah tak lagi penasaran.

 Dara mengangguk sembari menyuap sesendok penuh es krim ke mulutnya.

"Kamu yakin mau bawa Indi tinggal disini?" tanya Fatan tak yakin.

 Dahi Dara mengernyit.

"Iya, memangnya kenapa Mas? Kamu nggak nyaman ya?" tanya Dara khawatir.

 Fatan menggeleng sambil tersenyum, tak ingin membuat istrinya kecewa.

"Nggak kok, Mas malah khawatirnya kamu yang nggak nyaman. Soalnya kan kamu terbiasa cuma sama anak-anak di rumah kalau Mas kerja, Mas cuma takut kamu jadi merasa terganggu kalau ada orang lain," terang Farah penuh pengertian.

 Dara tersenyum senang, segitu perhatiannya suaminya padanya.

"Nggak lah Mas, inikan adik aku sendiri. Malah bisa jadi temen kalo misalnya Mas dinas keluar kota," ucap Dara meyakinkan.

"Baiklah, kalau kamu maunya begitu Mas bisa apa? Kamu itu prioritas Mas, apapun mau kamu Mas akan dukung," tukas Fatan akhirnya.

 Senyum Dara mengembang lebar, kemudian bergegas memeluk Fatan dengan penuh cinta.

 Walau dalam hatinya ada sekelumit perasaan aneh yang tak pernah dia rasa sebelumnya, tapi berusaha ditepisnya.

"Terima kasih banyak pengertiannya, Mas. Kamu suami terbaik di dunia, bahkan dewa sekalipun mungkin akan iri dengan kesempurnaanmu di mataku," bisik Dara penuh cinta.

 Tanpa ia sadari, kehancuran itu akan datang mengetuk pintu rumah tangganya.

BAB 2. TIBA

Keesokan harinya.

"Assalamu'alaikum," suara dari luar rumah Dara dan Fatan.

 Suara yang familiar membuat Dara segera berlarian menuju ambang pintu rumahnya dan membukanya dengan tak sabar.

"Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah akhirnya sampai juga," ucap Dara senang sambil memeluk ibu dan adiknya bergantian.

 Indira, adik dari Dara tampak

 terperangah melihat indahnya rumah sang kakak. Matanya menelusuri seluruh bagian yang terjangkau penglihatannya dengan terkagum-kagum.

"Ini rumah kamu, Mbak? Besarnya ... sudah kayak istana," ujar Indi penuh kekaguman.

"Nah, baru tahu kan kamu kenapa bapak sama ibu itu sering masuk angin kalo pulang dari nginep disini? Ini baru luarnya, coba kalau nanti masuk berasa di dalam kulkas tahu kamu. Jangan lupa sedia minyak angin kamu, Ndi. Biar mbakmu nggak repot ngerokin tiap hari," kelakar Bu Maryam menggoda putri bungsunya.

Indi yang memang tak pernah mau jika diajak bertandang kerumah Dara sejak dulu hanya bisa manyun saja, karena baru tahu kalau kehidupan kakaknya yang sangat dia sayangi itu ternyata sudah setara dengan kehidupan para artis-artis yang sering dia tonton di tv.

"Sudah, sudah. Yuk masuk yuk, istirahat dulu mumpung si kembar belum pulang sekolah, Bu. Kalo sudah pulang dan tahu nenek sama tantenya disini pasti langsung heboh," tukas Dara sambil berjalan masuk mendahului ibu dan adiknya.

 Indi masih memperhatikan setiap jengkal bagian rumah Dara yang memang sangat nyaman dan apik, baru beberapa langkah menapakkan kakinya di dalam rumah tersebut sudah membuat Indi betah. Untungnya itu rumah kakaknya sendiri jadi dia tidak perlu takut diusir walaupun bersikap norak.

"Fatan kemana, Nduk?" tanya Bu Maryam setelah menghenyakkan tubuhnya di atas sofa empuk milik Dara.

 Pun begitu dengan Indi, yang sampai melonjak-lonjakkan tubuhnya diatas sofa mahal tersebut. Seperti anak kecil mendapat mainan baru.

"Mas Fatan ada,Bu. Lagi ngerjain tugas kantor di kamar, sebentar Dara panggil ya," ujar Dara sambil berlalu menuju kamarnya.

 Sementara Bu Maryam yang mulai jengkel dengan kenorakan Indi mulai melotot ke arah anak bungsunya itu.

"Heh! Sudah, nanti jebol itu kursi kamu gejlok-gejlok (lonjak-lonjak) begitu," seru Bu Maryam setengah berbisik, ingin malu tapi ingat itu darah dagingnya.

"Sofa Bu, dari jaman dinosaurus beranak sampai bertelur juga ini itu namanya sofa. Beda lo Bu," kilah Indi sambil tetap melonjak-lonjakkan tubuhnya diatas sofa empuk itu.

 Bu Maryam hanya mencebik, dan memilih meminum sirup dingin yang sudah disajikan Dara sebelumnya.

"Mas," panggil Dara lembut, mengalungkan lengannya ke leher Fatan dan berbisik lembut di telinga suaminya itu.

"Ada apa, Sayang?" sahut Fatan tak kalah lembut, sebelah tangannya terangkat mengelus pipi Dara sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap sibuk berkutat dengan keyboard laptopnya.

"Masih sibuk ya?" tanya Dara bernada manja.

 Fatan menghentikan kegiatannya, kemudian melepas pelukan tangan Dara dan memutar posisi kursi kerjanya.

"Sudah nggak tuh," sahut Fatan sambil tersenyum lebar dan membawa Dara ke dalam pangkuannya.

 Sudah hal biasa bagi mereka beromantis ria seperti itu, apalagi jika anak-anak mereka sedang tidak di rumah.

 Dara kembali mengalungkan tangannya ke leher Fatan, dalam posisi berhadapan.

"Ibu sama Indi sudah sampai," ucap Dara memberitahu.

 Raut wajah Fatan tak berubah, hanya senyum manisnya saja yang tampak semakin memikat di mata Dara.

"Oh ya? Lalu kenapa kamu malah membuat kita semakin lama disini, Sayang? Bukannya ibu dan Indi sedang menunggu?"

 Dara mengerucutkan bibirnya, sambil memukul pelan pundak kekar suaminya yang terbalut kaos putih pas badan. Mencetak roti sobek di perutnya dengan sukses.

"Apa maksudmu memakai kaos ini, Mas? Ingin memamerkan aset berharga milikku di depan ibu dan Indi?" ketus Dara sembari menggerayangi lekuk perut suaminya yang selalu memabukkan.

 Fatan tertawa kecil sampai perut dan bahunya berguncang.

"Hahahah, lihatlah dirimu Sayang. Kamu sudah sesempurna ini pun masih bisa takut dan cemburu. Tenanglah, bidadari sekalipun tidak akan mampu meluluhkan hatiku," gombal Fatan sambil mengecup gemas pipi istrinya yang mulai memerah.

 Dara berdiri dengan membuang muka, walau sudah seringkali di puji demikian oleh Fatan tapi tetap saja rasanya tetap berdebar tak karuan.

"Apa sih, Mas. Sudah sana ganti baju, kita ke depan sama-sama," tandas Dara sambil berlalu menuju kamar mandi di kamarnya.

 Fatan tertawa kecil sambil bergegas menuruti perkataan istrinya.

"Sudah belum, Mas?" tanya Dara yang baru saja keluar dari kamar mandi seusai membasuh mukanya.

 "Sudah kok," sahut Fatan yang sudah siap dengan setelan baju kaos oblong bergambar singa dan sebuah sarung sebagai pengganti celana.

 Dara menepuk jidatnya, ingin protes tapi sudah tidak ada waktu lagi. Hari sudah semakin siang, sebentar lagi waktunya menjemput si kembar dari sekolahnya.

 Akhirnya mereka keluar bersama-sama menemui Bu Maryam dan Indi yang tampak mulai bosan menunggu.

"Lama ya, Bu?" sapa Fatan sambil mengambil tangan ibu mertuanya dan menciumnya takdzim.

 Indi yang melihat kedatangan kakak iparnya lekas memperbaiki posisi duduknya yang tadinya gegoleran menjadi duduk tegak, sambil menyalami Fatan.

"Yah, lumayan buat mimpi satu scene Nak Fatan," kelakar Bu Maryam mengundang tawa mereka.

"Wah boleh itu Bu, nanti ditulis scene mimpinya terus di upload ke novel online. Lumayan buat beli sawah Bu," kelakar Fatan pula.

"Kalo mimpinya punya rumah gedongan tapi nggak ada tangga buat naik turunnya ya siapa yang mau baca Nak Fatan? Dihujat ibu yang ada nanti," kekeh Bu Maryam pula, seperti biasa mereka bila sudah bertemu akan ada saja banyolan-banyolan aneh yang di lontarkan untuk mengundang tawa orang di sekitarnya.

"Sudah Bu ah," lirih Indi yang tak terbiasa melihat ibunya akrab dengan siapapun itu tiba-tiba akrab dengan menantunya, di pikiran Indi dia takut kalau ibunya akan menjadi berita viral selanjutnya seperti yang sedang ramai dibicarakan netizen akhir-akhir ini.

 Padahal Indi saja yang tidak tahu kalau pemandangan itu sudah biasa bagi Dara dan Pak Bagyo, ayah mereka.

"Nggak apa-apa, In. Insyaallah aman terkendali kok," kekeh Dara yang seakan menyadari kegelisahan adiknya itu.

"Tapi Mbak ...."

"Sudah nggak apa-apa, sudah biasa itu," kilah Dara lagi.

 Percakapan mereka berlangsung seru, penuh canda dan tawa yang membuat suasana sangat hidup. Sampai saat Dara tak sengaja melihat ke arah jam dinding besar di belakang mereka dan terkejut.

"Astaghfirullah, Mas. Si kembar belum dijemput," seru Dara mengejutkan mereka semua.

"Ya Allah Mas lupa!" seru Fatan langsung bergegas menuju kamar mencari kunci mobilnya.

"Tuh kan Ibu sih gara-garanya," sungut Indi masih tak puas merutuki ibunya yang dinilai membuat kakak iparnya lupa waktu dengan obrolan unfaedah mereka.

"Daripada kamu ngomel mulu mending kamu ikut Fatan sana jemput keponakan-keponakanmu," tukas Bu Maryam dengan santainya.

 "Nggak ah, nggak enak," sahut Indi sambil melirik Dara.

"Nggak enak kenapa sih? Ya sana kalo kamu mau ikut, sekalian biar tahu letak sekolahnya si kembar. Jadi nanti bisa bantu kalo Mbak sama Mas Fatan lagi nggak sempet jemput mereka," sahut Dara enteng.

 Bersamaan dengan itu Fatan yang sudah kembali keluar kamar dengan menggunakan hoodie dan celana training panjang di hentikan oleh Dara.

"Mas, Indi mau ikut."

"Buruan," sahut Fatan menoleh sekilas, kemudian kembali bergegas menuju ke arah garasi.

 Indi tak bergeming, sampai saat menatap ke arah ibu dan kakaknya yang juga tengah menatapnya heran.

"Iya iya, Indi ikut. Tapi kalo sampai suamimu terpesona sama aku jangan marah loh ya Mbak,"

BAB 3. BERTEMU SI KEMBAR.

 Mobil Avanza putih itu meluncur dengan kecepatan sedang, membawa kedua ipar dulu menuju sekolah si kembar.

 Matahari bersinar cukup terik, membuat Indi mulai kehausan tapi tidak berani untuk memulai percakapan dengan kakak iparnya yang sedang fokus menyetir itu.

"Kamu kenapa, In?" tanya Fatan yang menangkap gelagat aneh dari Indi.

"Ah, nggak kok Mas. Indi nggak apa-apa," jawab Indi gugup.

 "Ya udah, kalau ada apa-apa atau pengen beli apa nanti bilang aja ya," tukas Fatan kembali fokus ke kemudi setelah mengulas senyum tipis dihadapan Indi.

 Indi hanya mengangguk samar, namun jantungnya mulai berdisko tak karuan. Entah karena perhatian kecil kakak iparnya yang baru bertemu lagi itu atau karena senyuman tipisnya yang entah sejak kapan mempunyai karisma tersendiri di mata Indi.

  Mobil pun memasuki halaman sebuah sekolah PAUD yang dipenuhi berbagai macam permainan di halamannya, dan di salah satu ayunan besi tampak si kembar Fatur dan Farah tengah duduk berdua di temani salah satu guru disana.

"Mama!" pekik Fatur dan Farah berbarengan sambil berlarian menuju mobil Fatan.

 Fatan membuka pintu mobil dan keluar dengan merentang kedua tangannya menyambut kedua buah hatinya yang memiliki wajah sangat mirip dengannya itu.

"Loh Papa? Kok hari ini Papa yang jemput kita?" tanya Farah setelah melerai pelukannya dari Fatan.

"Iya, Papa sengaja cuti kerja hari ini. Coba tebak Papa sama siapa?" ujar Fatan dengan senyum mengembang sempurna di wajah tampannya.

 Indi keluar dari pintu samping mobil dan berjalan pelan menuju keponakan-keponakannya yang terakhir ditemuinya saat masih berusia 3 tahun.

"Hai anak-anak manis," sapa Indi pelan.

 Fatur dan Farah sontak menoleh dan memindai wajah Indi sesaat sebelum akhirnya berlarian menghambur ke pelukan Indi pula.

"Tante Indi!" sorak mereka senang.

 Indi tertawa senang karena ternyata para keponakannya masih ingat padanya walau lumayan lama tidak berjumpa.

"Berarti di rumah ada Nenek dong ya, Pa?" celetuk Fatur sambil memutar tubuhnya menatap Fatan.

 Fatan mengangguk tegas, kemudian menghampiri guru muda berjilbab bunga-bunga yang tadi menemani anak-anaknya sebelum di jemput.

"Assalamu'alaikum Mbak Laila. Terima kasih ya sudah membantu saya menjaga anak-anak tadi," ucap Farah ramah.

"Wa'alaikumsalam Mas Fatan, iya sama-sama sudah sewajarnya kok. Karena ini masih di lingkungan sekolah anak-anak masih tanggung jawab kami," jawab guru bernama Laila itu ramah.

"Kok tumben ini Mas Fatan yang jput si kembar? Biasanya Mbak Dara?" imbuh Laila lagi.

"Dirumah lagi ada mertua saya datang Mbak, makanya Dara dirumah nemenin. Ini juga saya sama adik ipar saya jemput si kembar,"

 Laila mengangguk ringan sambil tersenyum kecil menatap si kembar yang berjingkrak riang sambil bercanda dengan Indi.

"Adik iparnya cantik ya, Mas," celetuk Laila tiba-tiba.

"Ya cantik, Mbak. Kakaknya saja cantik banget kok. Ya sudah Mbak kalau begitu kami pamit pulang dulu ya, kasian anak-anak pasti sudah lapar." Fatan berlalu setelah mendapat anggukan dari Laila.

 Setelah semua masuk ke mobil, Indi memilih duduk di kursi belakang bersama si kembar. Mereka tampak sangat akrab walau baru beberapa menit yang lalu saling bertemu.

"Papa, Farah mau es krim," pinta Farah tiba-tiba saat mereka melewati sebuah minimarket.

"Oke," tandas Fatan sambil memutar kemudi menuju pelataran minimarket itu.

 Farah bergegas turun dengan tak sabar, kuncir duanya bergoyang-goyang saat dia berlarian menuju pintu masuk minimarket.

"Farah jangan lari-larian!" tegur Fatur sambil bergegas mengejar adik kembarnya dan menggandeng tangannya agar tidak terjatuh.

"Mas temenin anak-anak dulu, ya. Kamu mau disini aja atau ikut?" tanya Fatan sambil melirik Indi di kursi belakang lewat spion dalam.

 Indi bingung menjawab, ingin ikut tapi dia malu. Tidak ikut tapi rasa hausnya sudah tak tertahankan karena hari panas terik.

"Ikut aja deh, Mas." Indi mendahului Farah keluar dari mobil dan menyusul si kembar, karena tak ingin terlalu lama hanya berduaan dengan kakak ipar dengan sejuta pesonanya itu.

"Duh Mbak Dara, suamimu damagenya bikin triple kill," gumam Indi sambil berjalan memasuki minimarket.

 Indi memindai sekitaran rak minimarket mencari keberadaan kedua keponakannya, dan mendapati mereka tengah asik melihat-lihat freezer berisi aneka es krim.

"Loh belum ada yang dipilih?" tanya Indi setelah berada di belakang mereka.

"Bingung, Tan. Farah mau yang ini tapi mau yang itu juga," sahut Farah sembari menunjuk es krim cup rasa coklat dan sebuah es krim cone rasa stroberi.

"Jangan kemaruk, Dek. Satu aja, kata Mama kita itu tidak boleh serakah," sela Fatur bijak.

 Farah merenggut karena tak terima dinasehati kakaknya, namun ingin membantah juga tidak mungkin karena semua itu benar.

 Indi juga jadinya bingung sendiri menghadapi dua bocah itu, sampai akhirnya Fatan dan mendekat karena mereka tak kunjung selesai dengan es krimnya.

"Kok nggak ke kasir?" tegur Fatan saat melihat anak-anaknya justru termenung di hadapan box berisi es krim.

"Bingung, Pa," sahut Farah lirih.

 Air mata mulai menggenang di pelupuk mata gadis kecil berponi rata itu, Fatur melihatnya dan bergegas memeluk adik kembarnya.

"Maafin Kakak ya, Kakak bukan ngelarang tapi kita harus jadi anak baik. Nggak boleh serakah," nasihat Fatur lagi, kali ini sambil mengelus pelan punggung Farah.

 Fatan yang bingung dengan tingkah kedua buah hatinya itu lantas mendekat.

"Memangnya ada apa? Kan cuma mau beli es krim? Kenapa malah main drama?" kelakar Fatan agar Farah tak lagi menangis.

"Papa ih," rengek Farah sambil menyudahi tangisnya dan kembali tersenyum.

 Farah ikut tersenyum dan memeluk kedua anaknya.

"Hari ini kalian boleh beli apapun yang kalian mau sepuasnya, karena hari ini kita mau merayakan kedatangan Tante Indi buat tinggal bareng sama kita," jelas Fatan membuat si kembar sontak menatap Indi dengan mata membulat sempurna.

"Yeeyy Tante Indi tinggal sama kita, Pa? Berarti mulai sekarang Fatur sama Farah punya temen main dong selain Mama?" sorak Fatur gembira, begitu pula dengan Farah yang dengan sigap langsung membuka box es krim dan mengambil beberapa jenis es krim dengan mata berbinar.

 Fatan membiarkan anak-anaknya memilih apapun makanan yang mereka suka dan memasukkannya ke dalam keranjang belanja.

"Kamu juga kalau mau beli apa, makanan atau kebutuhan kamu yang belum ada silahkan loh Dek. Beliin juga buat Mbak sama ibu dirumah, Mas tunggu di kasir," titah Fatan sambil memainkan ponselnya dan tanpa menatap Indi, dia tengah sibuk berkirim pesan dengan Dara mengatakan kalau sedang membawa anak-anak belanja.

"I ... Iya Mas," lirih Indi sungkan.

 Namun karena sudah begitu haus dengan cepat Indi berlalu menuju barisan kulkas pendingin dan mencari-cari minuman bergambar sapi warna pink kesukaannya.

 Tak lupa Indi juga mengambik sebuah minuman teh botol dan langsung meminumnya di tempat.

"Tante, kami sudah selesai," ucap si kembar yang sudah berada di belakang tubuh Indi dengan membawa dua keranjang penuh berisi aneka jajanan.

"Banyak banget belinya, Sayang?" heran Indi melihat belanjaan kedua keponakannya tersebut.

 Wajah-wajah polos mereka tampak senang, dan tak mempedulikan ocehan Indi. Mereka berjalan beriringan menuju kasir dimana Farah sudah menunggu sambil tersenyum-senyum saat berbalas pesan dengan istrinya.

"Papa sudah!" pekik si kembar riang.

"Oh sudah? Ayo sini kita bayar dulu," ucap Fatan tanpa beban.

 Bahkan Fatan tak kaget sama sekali melihat banyaknya isi keranjang belanja anak-anaknya, seakan hal itu adalah hal yang lumrah terjadi.

 Indi yang membuntuti si kembar hanya bisa melongo saat Fatan dengan santainya malah kembali berbalas pesan tanpa mempedulikan suara mesin kasir yang terus menghitung jumlah belanjaan mereka yang sudah tembus angka lima ratus ribu.

 Setelah keluar dari minimarket, si kembar dengan penuh semangat berjalan menuju mobil dengan masing-masing memegang es krim.

 Indi sendiri keluar beriringan dengan Fatan, merasa agak kikuk karena semua belanjaan dibawa oleh Fatan. Dia tak di izinkan membawa barang satu kantong pun kecuali sebuah botol teh yang sudah diminumnya tadi.

 Saat hendak membuka pintu mobil, Indi di kejutkan oleh sebuah suara yang memanggil namanya cukup lantang.

"Indira, tunggu."

Indi berbalik, dan seketika wajahnya berubah pias demi melihat siapa pemilik suara bariton tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!