Seorang perempuan muda duduk dengan tenang sambil memperhatikan beberapa pria berpakaian formal sedang bicara serius. Pria yang duduk di sampingnya sesekali tersenyum tipis melihat wajah serius perempuan itu.
"Apa kamu sudah lapar, Amaya?" bisik pria tersebut yang membuat Amaya—nama perempuan itu—menjadi salah tingkah.
Amaya menatap pria tersebut sambil menggeleng. Namun, pria tersebut malah mengakhiri meeting mereka. Dia juga tidak segan untuk mengusir kliennya. Tentu saja hal itu membuat Amaya terkejut, tetapi dengan santainya pria tersebut berkata, "Aku tahu kamu pasti tidak akan nyaman kalau makan di depan mereka!"
"Pak Dave, tapi ...."
Amaya pasrah. Pria tersebut memang menyebalkan dan tidak pernah bisa dibantah. Dia akhirnya menurut dengan memakan makanan yang sudah dipesan sebelumnya.
Amaya dengan tenang menikmati makan siangnya setelah satu jam menemani Dave yang sedang meeting dengan klien. Dia sama sekali tidak terganggu dengan tatapan Dave yang tertuju kepadanya.
"Kamu lagi goda aku?" tanya Dave yang tidak pernah lepas menatapnya. Pria bertubuh tinggi itu duduk santai sambil menyandarkan punggungnya di sofa single dengan kaki kirinya memangku kaki kanan.
Amaya menatap Dave heran sambil meletakkan gelas jusnya. "Maksudnya, Pak?" tanya Amaya bingung. Bukannya mendapat jawaban, Amaya makin dibuat bingung dengan tingkah Dave yang menyebalkan.
Pria tersebut mengubah duduknya, dia mengambil gelas jus Amaya dan mempraktekkan apa yang dilakukannya tadi. "Begini. Cara kamu minum kayak perempuan penggoda!" ujar Dave setelah itu meletakkan gelas tersebut kembali.
Amaya mendengkus kesal, bukan karena ucapan Dave tentang perempuan penggoda, tetapi Dave yang minum dengan menggunakan sedotan milik Amaya. "Huh. Itu pikiran Bapak saja!" Dia kembali mendengkus kecil dan memilih mengabaikan Dave yang selalu saja mengatakan hal-hal menjengkelkan. Selama enam bulan dirinya bekerja sebagai sekretaris Dave, tidak sekali pun Amaya merasa hidupnya tenang. Ada saja hal yang Dave permasalahkan.
Dave mengangkat satu alisnya, dia tertawa pelan dan kembali duduk pada posisi semula. Seolah apa yang terjadi baru saja, tidak pernah ada.
"Kenyang!" Amaya sudah tidak selera untuk makan.
"Baru makan lima suap, kenyang?" tanya Dave remeh. Dia menatap Amaya payah yang menyulut emosi perempuan tersebut dan akhirnya memilih kembali menikmati makanannya dalam diam. "Kayaknya kamu takut gemuk makanya cepat banget kenyang atau itu cuma pura-pura. Atau pacar kamu yang larang untuk makan banyak? Padahal pipi chubby kamu itu dulu menggemaskan!" Dave bahkan mengerlingkan matanya.
Amaya tidak menggubris ucapan Dave dan makan dengan cepat agar bisa terbebas dari kelakukan Dave kepadanya.
Selama beberapa saat, Dave tidak mengatakan apa pun. Dia pergi sedikit menjauh meninggalkan Amaya untuk menerima panggilan dari seseorang.
"Dia bilang kalau pacarku yang larang? Pipi chubby menggemaskan?" gerutu Amaya kesal saat kembali mengingat ucapan Dave. "Padahal dulu dia bilang perempuan gemuk itu menjijikan."
"Sudah selesai?" Amaya tersedak saat tiba-tiba Dave kembali. Dia mendongak menatap Dave dan mengangguk gugup, takut Dave mendengar ucapannya tadi. Namun, sepertinya Dave tidak mendengar ketika melihat tatapan bingung pria tersebut.
"Kenapa?"
Amaya menggeleng. Dia mengusap sekitar bibirnya dengan tisu dan berdiri. "Ayo!"
***
Dave keluar dari ruangannya. Dia menghampiri Amaya yang sedang sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikannya.
Amaya sama sekali tidak menghiraukan Dave, dia mengabaikan pria tersebut saat mengetuk mejanya. "Tidak pulang?"
"Belum," jawab Amaya tanpa menatap Dave dan hanya fokus dengan layar komputernya.
Dave mengangguk. Dia menggulung lengan kemejanya sampai siku dan duduk di pinggiran meja kerja Amaya. "Tidak takut sendirian di kantor? Mau aku temani?"
Amaya menghela napas pelan lalu menatap Dave yang juga sedang menatapnya dengan senyum penuh arti. "Pak Dave pulang saja. Saya harus selesaikan laporan ini biar besok Bapak tinggal baca ulang. Lagian ada beberapa karyawan yang masih lembur, jadi enggak masalah." Setelah mengatakannya, Amaya kembali fokus pada laporan yang harus dia serahkan kepada Dave besok pagi.
"Yang aku bilang di lantai ini. Kamu enggak takut? Padahal yang aku dengar katanya di lorong sana kalau malam suka ada penampakan!" Dave menunjuk lorong ke arah toilet yang terlihat remang dengan dagunya lalu dia berdiri merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Saya tidak takut, Pak. Pak Dave silakan pulang saja." Amaya menatap Dave amat kesal. Seharian ini dia selalu berada di sisi Dave sampai lupa masih ada pekerjaan yang belum diselesaikannya.
Dave mengangguk lalu memilih pergi meninggalkan Amaya yang tidak peduli dengan kepergiannya.
Setelah memastikan Dave masuk ke lift, Amaya merasa lega. Dia sudah selesai dengan laporannya dan langsung mengeprint laporan tersebut sebelum pulang.
Saat itu ponselnya berdering. Senyumnya mengembang, rasa kesal dan lelah karena seharian bekerja terbayar saat mendengar suara pria yang beberapa bulan ini menjadi kekasihnya. Seorang pria yang begitu perhatian dan selalu menjadi tempat untuk Amaya berkeluh kesah. "Hai, sudah sampai?" tanya Amaya sambil membereskan barang-barangnya.
"Oke, aku butuh waktu sekitar lima belas menit. Kamu tunggu sebentar di lobi atau mau naik ke sini saja," tawar Amaya. Dia menghela pelan, pandangannya saat ini tertuju pada lorong ke arah toilet.
Tadi tanpa sengaja sorot matanya menangkap siluet yang bergerak cepat sekali. Seketika ucapan Dave terngiang di pikirannya dan dia tidak dapat mendengar jelas apa yang kekasihnya itu katakan.
"Oh, iya. Aku sudah selesai, kamu tunggu sebentar di sana, ya ...." Amaya menatap layar ponselnya heran. Padahal sinyalnya penuh, tetapi tiba-tiba saja panggilannya terputus. "Huh!"
Sebelum beranjak pergi menuju lift, Amaya menyempatkan diri melihat ke arah lorong di sebelah kirinya itu, merasa takut jika yang dikatakan Dave benar dia gegas pergi dan masuk ke dalam lift.
Amaya mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Dia menyandarkan tubuhnya pada dinding dan memejamkan matanya sejenak. Karena merasa takut dia sampai berlari. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama kerja di kantor tersebut.
Berlari-lari karena takut hantu.
"Amaya!" Mendengar suara kekasihnya memanggil, Amaya membuka mata. Dia tersenyum dan bernapas lega karena sudah sampai di lobi dan saat pintu lift terbuka, kekasihnya menjadi orang pertama yang dia lihat. Dia lalu keluar dari lift. "Ada apa?"
Amaya menggeleng. Dia memeluk tubuh kekasihnya itu. Memiliki perbandingan tinggi yang jauh membuat Amaya harus berjinjit untuk memeluknya. "Huh. Tadi aku takut banget. Tapi, ya sudahlah. Kita pulang sekarang," ucap Amaya setelah melepaskan pelukannya. Dia menarik tangan kekasihnya keluar dari gedung kantor.
"Ada tempat yang mau dikunjungi sebelum pulang?"
Amaya memasang sabuk pengamannya. Dia terdiam sejenak untuk menentukan tempat mana yang akan mereka datangi walau sebentar. Hal yang selalu mereka lakukan untuk sejenak melepas lelah setelah seharian bekerja.
"Gimana kalau ke bioskop?" tanya Amaya antusias.
"Kamu yakin?"
Amaya tampak berpikir dan mengangguk. "Tadi kata Fhea ada film bagus yang baru tayang dari kemarin."
"Film apa?"
"Horor!" jawab Amaya tenang lalu setelah itu dia menelan ludahnya kasar. Baru saja dia mengalami hal yang kurang mengenakan karena ucapan Dave dan kini dia mengajak menonton film horor. "Kayaknya enggak jadi deh!"
Tanpa bertanya apa alasan Amaya membatalkan rencana dadakan mereka, pria yang sedang mengemudi dengan kecepatan sedang itu hanya mengangguk. Dia terlihat sama sekali tidak mempermasalahkannya. "Makan di angkringan, gimana? Sudah dua minggu, kan, kita tidak makan di angkringan!"
"Boleh juga. Kamu yang tentukan tempatnya." Amaya pasrahkan keputusan tempat mana yang akan mereka datangi. Dia sedang membalas pesan dari seseorang yang terus saja mengganggunya dan itu menyebalkan.
"Seperti biasa!"
Amaya berdecak sebal sampai membuat kekasihnya itu menatap heran. "Kenapa?"
"Hah?" Amaya menoleh dan dia makin kesal saat ada panggilan masuk. "Ya, Pak, ada apa?"
Mata Amaya membulat sempurna. Dia begitu kesal dengan apa yang didengarnya. "Tapi, Pak, saya sudah pulang!" Dia mencoba menolak, tetapi dia akhirnya mengangguk dan menghela napas pelan.
"Ada apa?"
"Rencananya batal. Kita ke kantor dulu, yuk. Ada yang ketinggalan di ruangan Pak Dave!" Amaya menatap tidak tenang kekasihnya itu yang menurut tanpa membantah dan terlihat kesal. "Selalu saja begitu!"
Dengan terpaksa Amaya kembali ke kantor dan masuk ke ruangan Dave hanya untuk mengambil jas yang tertinggal dan dia harus mengantarnya ke rumah atasannya itu.
"Apa harus kita antarkan jas itu?"
Amaya mengangguk. "Baiklah. Tidak masalah!"
"Kenapa kamu tidak marah, sih? Padahal karena bosku kita jadi tidak bisa makan di angkringan malam ini," ujar Amaya kesal. Sebenarnya dia bukan kesal kepada kekasihnya itu, dia kesal kepada Dave yang memaksanya dengan mengatakan kata-kata menyebalkan. "Kenapa ketawa?" tanya Amaya heran.
"Tidak. Kamu lucu saja kalau sedang kesal. Padahal aku biasa saja!"
"Huh. Kamu terlalu baik untuk bosku yang terlalu menyebalkan!"
Saat mobil mereka berhenti di depan rumah Dave, mobil Dave baru saja datang. Amaya yang mengetahui itu menjadi begitu kesal. Dia kira Dave sudah berada di rumah, tetapi pria tersebut baru saja pulang.
Amaya langsung menghampiri Dave yang baru keluar dari mobilnya. Tanpa mengatakan apa pun lagi Amaya langsung menyerahkan jas di tangannya kepada Dave. "Saya harap tidak ada lagi perintah malam ini. Waktu bekerja saya sudah selesai, Pak!" Amaya mengingatkan Dave, takut atasannya itu lupa.
Dave mengangguk setuju. "Terima kasih!"
"Sudah?" Amaya mengangguk. Di depan Dave dia memeluk lengan kekasihnya dengan posesif dan hal itu membuat Dave mendengkus kesal.
"Yuk!"
Amaya mengajak kekasihnya pergi. Apa yang dilakukannya tidak luput dari perhatian Dave. Pria tersebut langsung masuk rumah setelah mereka masuk mobil.
"Kita mau ke mana setelah ini?"
"Pulang saja deh. Aku capek!"
"Baiklah! Setelah sampai kost kamu langsung istirahat!"
Amaya mengangguk. Dia memperhatikan kekasihnya yang tidak pernah sekali pun membantah apa maunya. Seakan Amaya orang yang memang begitu sangat spesial, sehingga apa pun yang diinginkannya akan dituruti.
"Makasih banyak, Leo. Kamu pacar terbaiknya aku!" Amaya memeluk lengan kekasihnya yang masih menyetir.
Leo hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi tingkah Amaya tersebut.
***
Amaya yang begitu merasa lapar, akhirnya memutuskan untuk memasak mie instan saja. Beruntung masih ada stok di kamarnya. Sebelum membuatnya dia memilih mengganti pakaiannya dan pergi ke dapur umum.
Di sana ternyata ada salah satu penghuni kost yang Amaya belum tahu namanya siapa. "Baru pulang kerja, Mbak?" sapa perempuan yang diperkirakan seusia dengan Amaya begitu ramah.
"Iya."
Tidak ada lagi percakapan di antara mereka, Amaya sedang tidak berminat untuk mengobrol dan penghuni tersebut juga seakan sama dengannya.
"Duluan, Mbak!" Amaya hanya mengangguk saat perempuan tersebut pergi dengan membawa makanan yang tadi dipanaskannya.
Amaya mendesah pelan. Dia melihat wajan kotor yang tidak perempuan tadi cuci dulu setelah digunakan. "Kebiasaan!" Walau begitu Amaya tidak ada niatan untuk melakukannya juga.
"Masak mie tidak ajak-ajak!"
Amaya memutar bola matanya malas. Dia memilih menikmati mie-nya daripada menanggapi ucapan Fhea. Teman sekaligus sahabat yang bekerja dan tinggal di tempat yang sama. "Mau, dong!" Tanpa menunggu persetujuan Amaya, Fhea mengambil mangkuk mie Amaya. Dia mengambil garpu dan menikmati mie tersebut.
"Kenapa tidak masak sendiri, sih?"
"Malas. Aku juga cuma minta dikit, doang, May!" Amaya mendengkus kesal lalu mengambil kembali mangkuknya. "Pelit banget!"
"Terserah!"
"Lagi ada masalah apa, sih, May? Tumben banget sensi gitu? Berantem sama Leo?"
"Sok tahu!"
"Yee, karena aku tidak tahu makanya asal nebak. Mukamu kelihatan banget kalau lagi ada masalah. Masalah kerjaan atau Pak Dave?"
Mendengar nama Dave disebut Amaya meletakkan sendoknya dan menggeser mangkuk tersebut ke Fhea, tentu saja hal itu disambut baik oleh Fhea.
"Kamu tahu tidak, May, kebanyakan makan mie, bisa buat tubuh kamu melar loh!" Amaya mengerutkan dahinya lalu menggeleng.
Dia tidak mengetahui hal semacam itu. Walau dulu dia sering kena marah oleh orang tuanya karena terlalu banyak makan mie yang katanya menjadi penyebab tubuhnya menggemuk, dia merasa bukan salahnya di mie. Namun, karena memang sudah waktunya saja tubuhnya gemuk.
Buktinya tanpa meninggalkan kebiasaan makan mie instan, dia bisa tetap bisa kurus seperti sekarang. Ya, dia akui salah satu motivasinya untuk bisa kurus itu karena kebenciannya yang mendarah daging.
Dia ingin membuat orang-orang yang dulu suka sekali mengatainya buruk, malu dan meminta maaf walau rasanya terlalu sulit.
"Habiskan deh!" Amaya bangkit berdiri dan hendak pergi meninggalkan Fhea. Di ambang pintu dia berbalik memperhatikan Fhea yang sedang menikmati mie buatannya itu. "Jangan lupa cuci piringnya, wajan itu juga!" Setelah itu Amaya pergi ke kamarnya kembali.
***
Dave menatap nanar dua butir obat di telapak tangannya. Hal yang selalu dia lakukan sebelum beranjak tidur. Semenjak kejadian itu dirinya tidak benar-benar bisa tidur nyenyak. Selalu saja bermimpi hal yang buruk dan tentunya berhubungan dengan kejadian di masa lalu.
Dia bahkan pernah dua hari tidak tidur sama sekali karena tidak sanggup untuk terus bermimpi buruk. Terkadang, obat tidur yang dia konsumsi setiap hari itu sama sekali tidak bekerja dengan baik.
"Jangan pikirkan apa pun!" Setelah mengatakan beberapa kata tersebut Dave meminum obat tidurnya. Dia lalu membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamarnya dalam diam sambil menunggu obatnya bereaksi.
Senyum Dave terbit mengingat bagaimana reaksi berlebihan Amaya tadi saat menyerahkan jasnya. Namun, saat melihat bagaimana Amaya bertingkah manja dengan pria lain membuatnya kesal.
Dave mendengkus kesal, dia lalu mencoba memejamkan matanya.
Baru beberapa saat terpejam, mimpi buruk itu kembali hadir. Dahi Dave berkeringat. Dia terus saja mengigau, mengucapkan kata-kata yang sama berulang kali dan sulit untuk membuka mata.
"Maafkan aku! Tolong, jangan ... jangan!"
"Dave ... Dave, bangunlah!" Setelah merasakan pipinya ditepuk-tepuk kuat Dave akhirnya terbangun. Dia beringsut duduk dengan wajah berkeringat. "Mimpi lagi?"
Dave mengangguk. Dia menerima gelas yang diberikan kepadanya dan meminum sampai habis. "Kamu harus konseling lagi, Dave. Jangan begini terus dengan mengandalkan obat tidur! Bahkan obatnya tidak berefek sama sekali!"
"Jangan bahas tentang konseling atau apa pun itu, Ma. Aku tidak mau!" tolak Dave keras.
"Tapi, kamu tidak bisa seperti ini terus. Bahkan kamu jarang tidur! Itu tidak baik untuk kesehatan kamu!"
Dave menggeleng. "Aku bisa atasi. Aku yakin secepatnya mimpi buruk ini akan berakhir!"
"Kamu yakin?" Dave mengangguk. "Kalau begitu Mama juga akan yakin!" Dave tidak menanggapinya. Dia mencoba memejamkan mata sambil memegang kuat tangan perempuan paruh baya yang begitu menyayanginya itu.
"Tidurlah, Nak. Mama akan temani kamu di sini!" Perempuan itu mengecup pelipis Dave sayang. Dia memperhatikan wajah putranya yang terlihat sekali begitu menderita.
Hal yang tidak pernah disangkanya akan terjadi kepada putranya itu. Bahkan semua kejadian itu sudah beberapa tahun berlalu.
Amaya memperhatikan Dave yang terlihat lesu. Memang bukan kali pertama dirinya melihat hal tersebut, tetapi kali ini Dave seperti benar-benar tidak bertenaga. Sapaan yang selalu dia berikan setiap pagi kepada Dave hanya dibalas dengan anggukan, tanpa senyum sama sekali.
Padahal pria tersebut yang meminta Amaya untuk menyapanya setiap pagi dan akan dibalas dengan senyuman menyebalkan. Atau kata-kata bercanda.
"Apa dia sakit?" gumam Amaya, tapi setelah itu dia memilih untuk mengabaikan saja apa yang terjadi kepada Dave.
Amaya merapikan berkas yang kemarin akan dia serahkan kepada Dave untuk diperiksa. Dia masuk ke ruangan Dave dan melihat pria tersebut sedang sibuk dengan laporannya di meja.
Dave mengangkat wajahnya, menatap lurus Amaya yang berjalan makin dekat menghampirinya. "Pak, ini berkas yang sudah saya perbaiki, Pak Dave tinggal memeriksanya lagi!"
Dave hanya berdeham saja. Dia kembali sibuk dengan laporannya. Tidak mau ambil pusing Amaya lekas meletakkan berkas tersebut di meja dan pamit keluar ruangan.
Saat dirinya hendak melangkahkan kaki keluar ruangan, Amaya mengingatkan jadwal kepada Dave. "jadwal hari ini hanya ada meeting dengan klien pukul empat sore di kantor, Pak!"
"Baiklah, terima kasih!" Amaya mengangguk. Lagi dia dibuat kebingungan saat Dave sama sekali tidak tersenyum kepadanya.
"Dia lagi ada masalahkah?"
Amaya salah tingkah saat Dave menangkap basah dirinya yang terus memperhatikan pria tersebut. Dia lekas keluar dari ruangan Dave dan merutuki kecerobohannya.
"Astaga, May, kamu ngapain lihatin Pak Dave sampai ketahuan?" rutuknya menyalahkan diri.
"Fhea?" Amaya menerima panggilan dari Fhea yang jarang sekali menghubungi di saat jam kerja begini. "Ada apa, Fhe?"
"Pantry yuk!"
"Tumben. Lagi tidak ada kerjaan?"
Hanya terdengar suara dehaman rendah dari Fhea, selanjutnya Amaya mendengar suara seseorang yang sedang bernyanyi lalu disusul beberapa suara. "Oke, aku ke sana! Kamu duluan saja!" Amaya lekas memutuskan panggilan tersebut lebih dulu.
Sebelum pergi ke pantry, dia membereskan meja kerjanya. Setelah memastikan komputer yang mati dan meja tidak pada keadaan berantakan, Amaya lekas pergi menyusul Fhea yang pasti sudah sampai.
Amaya menggunakan lift untuk pergi ke lantai dua di mana pantry berada. Selama beberapa saat dirinya mencoba mengirim pesan kepada Leo, mengajaknya untuk nanti setelah pulang bekerja makan malam bersama. Mengganti hari kemarin yang batal karena Dave.
"Tumben belum dibalas, padahal online?" Amaya tidak ambil pusing. Dia keluar dari lift menuju ke pantry yang berada di sebelah kirinya, sebelum sampai ke tempat itu dia lebih dulu harus melewati ruangan yang khusus untuk fotocopy dan ada ruang untuk santai sambil menunggu berkas selesai difotocopy. Dia ruangan itu juga terdapat dispenser, alat, dan, bahan untuk membuat minuman, sehingga karyawan tidak perlu ke pantry.
"May!" Amaya berbalik dan melihat Fhea yang berlari ke arahnya. Dia menunggu temannya itu sabar.
"Aku kira kamu sudah sampai di pantry!"
Fhea menggeleng. Dia menggamit tangan Amaya dan mengajaknya pergi ke pantry. Di sana ada dua orang office boy yang sedang bersantai, tetapi saat keduanya masuk mereka memilih pergi.
"Ada apa tumben ajak aku ke sini? Tidak ada kerjaan?"
Fhea mengembuskan napas pelan. "Ada, sih, tapi dikit. Ya bonus karena divisi aku melampaui target!"
"Wah, yang benar? Keren! Selamat loh!" Amaya begitu senang atas pencapaian kerja temannya itu. Dia tahu betapa temannya itu merasa kesusahan untuk mencapai target yang ditentukan perusahaan. Beberapa kali sering dia mendengar keluhannya.
"Aku juga tidak sangka, sih. Tapi, ya memang kita semua beberapa bulan ini bekerja keras banget. Lagian, ya, aku merasa ini sebagai hadiah dari kesusahan yang aku alami!"
Amaya mengangguk. "Aku ingat banget waktu kamu ngeluh dan bilang tidak sanggup!" Dia terkekeh pelan melihat wajah kesal Fhea karena ucapannya itu.
"Sudahlah, aku malu. Mulai sekarang aku akan rajin bekerja. Katanya bisa ada kenaikan jabatan kalau kerja kita bagus. Kamu gimana?"
"Aku?" tanya Amaya bingung. Fhea mengangguk sambil beranjak untuk membuat minuman. "Tidak tahu. Mungkin aku akan tetap jadi sekretaris."
"Mau buat kopi atau teh?" Amaya menggeleng. Dia tidak menyukai dua minuman itu, bahkan dia juga tidak suka minuman berkarbonasi. "Oke."
Tidak butuh waktu lama Fhea membuatnya, dia kembali duduk dengan membawa kopi yang uapnya masih mengepul. "Kita dikasih kelonggaran sampai istirahat nanti, semoga nanti tidak banyak kerjaan biar pulang cepat. Pak Dave masih sering buat ulah?"
Amaya menghela napas pelan. Kapan atasannya itu tidak membuat ulah. Amaya sendiri bingung, padahal dulu pria tersebut membencinya. Membiarkan teman-teman lain membully dirinya. Namun, sekarang Dave bersikap berbeda, walau menyebalkan sikap pria tersebut terkadang manis.
"Seperti biasa, tapi hari ini dia berbeda!" ucap Amaya sambil membalas pesan dari Leo. Dia menjadi kesal karena Leo mengatakan tidak bisa karena dia harus keluar kota dan kembali besok.
"Kenapa? Kamu merasa kehilangan?"
Amaya menatap Fhea heran. "Maksudnya?"
"Raut wajah kamu tiba-tiba berubah setelah bicara soal Pak Dave seakan kamu tidak suka sama sikapnya pagi ini. Atau ada yang lain?"
"Oh, itu. Leo, dia bilang tidak bisa jemput aku. Ada urusan ke luar kota katanya!" Fhea mengangguk. "Untuk Pak Dave aku tidak peduli. Lagipula aku malah senang kalau dia tidak banyak tingkah."
"Mungkin tidak, sih, kalau dia itu suka sama kamu?" goda Fhea yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Amaya.
"Ngaco. Mana mungkin!" kilah Amaya. Dia tidak akan percaya Dave memiliki perasaan seperti yang Fhea katakan. Itu terlalu berlebihan untuk orang yang pernah saling membenci, bahkan sampai saat ini pun dia masih membenci pria itu. Dengan versi berbeda.
"Mungkin. Kamu ingat apa yang pernah aku bilang?" Amaya menggeleng. Fhea mendengkus kecil lalu melanjutkan ucapannya, "Pak Dave itu orang yang keras. Dia bahkan akan memarahi karyawan perempuan di depan karyawan yang lain. Dia juga tidak pernah bersikap baik dan ramah, tapi lihatlah sama kamu semua sikapnya berubah!"
"Entahlah. Aku tidak mau memikirkannya!"
"Mau ke mana?" tanya Fhea saat Amaya bangkit berdiri.
"Aku balik duluan."
***
Amaya masuk ke ruangan Dave saat pukul sebelas untuk mengantarkan kopi seperti biasanya. Saat itu Amaya benar-benar terkejut saat melihat Dave yang sedang tidur di sofa sambil mengigau.
Tubuh pria tersebut sudah berkeringat, Amaya langsung mencoba membangunkan Dave dengan menepuk pelan pipinya. "Jangan, tolong, jangan!"
"Pak Dave! Pak!" Amaya tidak tahu harus melakukan apa. Melihat kegelisahan Dave saat tertidur begini dia menjadi kasihan. Rasa bencinya entah pergi ke mana, berganti rasa ingin melindungi.
Amaya berjongkok di depan Dave, mencoba untuk membangunkannya. Dia bahkan melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya dengan memeluk Dave. Dia mengingat hal yang sering ibunya lakukan ketika dirinya mimpi buruk dan tidak kunjung terbangun.
"Amaya ...," ucap Dave lirih saat membuka mata. Amaya lekas melerai pelukannya dan hendak bangkit, tetapi Dave menahan tangannya. "Jangan pergi. Maafkan aku!" Setelah itu dia kembali tertidur dengan tenang, seolah tidak pernah mengalami mimpi buruk itu sebelumnya.
Amaya berhasil melepaskan diri dari Dave. Memastikan jika pria tersebut tertidur dengan tenang, dirinya memilih keluar dari ruangan tersebut. Sebelum itu dia menggunakan jas milik Dave untuk menyelimuti tubuh pria tersebut.
Amaya tidak akan mengganggunya dan akan membangunkannya saat akan meeting.
"Apa yang terjadi? Aku lakukan apa tadi?" gumam Amaya sambil menyentuh dada kirinya dengan napas memburu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!