Hom Pim Pa
Eps 1. Pulang
Suasana kembali hening untuk beberapa saat. Cukup lama Farah menunggu jawaban dari putrinya hingga akhirnya dia kembali membuka suara.
Farah
Keadaan desa sudah tidak seperti dulu lagi, nak. Tak ada lagi pepohonan besar nan tinggi dan rumah-rumah kosong.
Ranti
Tapi, mak ...
[Menggigit bibir bawahnya]
Farah langsung menyela ucapan putrinya.
Farah
Mamak tau apa yang kau takutkan, Ranti. Percayalah pada mamak. Sudah tidak ada lagi kejadian seperti dulu itu.
Ranti kembali terdiam. Pikirannya menerawang jauh sambil menatap keluar jendela ruang kerjanya. Bayangan kejadian tujuh belas tahun lalu kembali terlintas dan berhasil membuat bulu kuduknya berdiri.
Lamunan Ranti buyar saat suara gadis kecilnya menyeruak di sela-sela lamunannya. Segera dia jauhkan ponsel agar emak tidak terganggu dengan percakapan mereka.
Chika langsung berlari ke arah Ranti dan memeluk erat pinggangnya.
Chika
Aku rindu nenek, ma. Kapan Chika bertemu dengan nenek lagi?
[Berbicara pelan nyaris menangis]
Hati Ranti langsung terenyuh melihat tatapan putrinya. Kedua binar matanya menyiratkan kerinduan yang teramat dalam. Begitu pula dengan raut wajahnya. Sarat akan kesedihan.
Ranti
Insyaallah, Ranti akan pulang.
Teriakan kegirangan membahana di seluruh ruang kerjanya. Putri kecilnya melompat kegirangan hingga berlari kecil keluar ruang kerja. Suara mengucap syukur juga tak kalah membahana dari seberang sana.
Farah
Alhamdulillah. Terima kasih, nak. Kau mau kembali ke desa.
Ranti
Iya, Mak. Ranti dan Chika juga rindu dengan mamak. Sudah setahun mamak tidak berkunjung ke kota menemui kami.
Ucapan Ranti terhenti. Dia berusaha menahan rasa sedih bercampur takut.
Ranti
Ranti juga tidak ingin menjadi anak durhaka, Mak ...
Farah
Hush! Jangan bicara sembarangan, nak! Ranti anak mamak paling baik. Mamak paham akan keadaan Ranti. Tak pernah sekali pun Ranti menyakiti hati mamak.
Farah
Kapan kalian berangkat?
Ranti
Insyaallah, hari Sabtu nanti. Ranti harus ijin kepada guru kelas Chika dulu, Mak. Selain itu, Ranti harus meninggalkan beberapa pekerjaan pada karyawan Ranti.
Farah
Baiklah. Mamak tunggu kedatangan kalian. Mama sudahi dulu ya. Assalamualaikum.
Ranti
Waalaikumsalam, Mak.
Usai panggilan telpon berakhir, Ranti kembali menatap keluar jendela. Awan mendung semakin menjadi-jadi. Begitu pula dengan anginnya. Pandangannya terfokus pada pohon besar yang berada di sudut jalan. Entah mengapa hatinya tertarik untuk melihat ke arah sana.
Tiba-tiba sesuatu menyerupai sosok tak kasar mata terbang dari arah pohon dan langsung menuju padanya. Tak sekali pun Ranti merasa takut akan sosok itu. Dia hanya terkejut karena sudah lama sekali tidak pernah melihat sosok tak kasat mata.
Ranti tersentak dan mundur ke belakang hingga menghantam meja kerjanya. Sosok itu datang tiba-tiba dan menghilang setelah berkata "jangan pergi"
Ranti
Semoga keputusan ini benar.
* * *
Kediaman Farah di desa.
Bi Ijah
Iya, Bu. [Bergegas menghampiri Farah]
Farah
Bersihkan kamar Ranti! Dua hari lagi mereka akan datang kemari.
Farah
Oh iya, satu lagi. Jangan lupa untuk mengisi penuh kulkas dan lemari makanan! Aku tidak ingin cucuku merasa kekurangan selama tinggal di sini.
Bi Ijah segera meninggalkan Farah yang sedang duduk di ruang tamu. Dia segera menjalan perintah sang majikan. Bi Ijah paham betul akan perintah majikannya yang sangat tergesa-gesa. Sudah setahun terakhir wanita itu sakit dan tidak bisa mengunjungi putri dan cucu tercintanya. Wajar saja kehadiran mereka nanti menjadi sebuah kebahagiaan baginya. Bi Ijah tersenyum senang melihat wajah majikannya yang tampak ceria.
Ranti
Pak, jalannya pelan-pelan saja.
[Membenarkan posisi duduk di kursi penumpang]
Pak Dirman
Baik, Bu.
[Mengangguk sambil mengunci mobil]
Ranti
Chika tidak ingin menikmati perjalanan?
[Menatap sang putri yang sibuk dengan buku cerita di tangannya]
Chika
Nanti saja, Ma.
[Menutup buku cerita]
Tunggu mobilnya sudah memasuki jalan pedesaan baru Chika berhenti membaca buku cerita.
[Menatap sang mama]
Chika
Chika bisan dengan jalanan ibu kota. Tidak ada pemandangan alam yang bisa dilihat.
[Memajukan bibir bawah sambil melipat tangan]
Ranti
Oh begitu!
[Tersenyum]
Ranti
Ya sudah. Sekarang duduk yang benar. Pak Dirman akan menjalankan mobil.
[Membelai puncak kepala putrinya]
Chika
Siap Mama.
[Memberi hormat layaknya saat upacara bendera]
Ranti
[Tersenyum]
Semoga semua yang mama khawatirkan tidak terjadi. Mama akan menjagamu, nak.
[Berkata dalam hati]
Eps 2. Rumah
Chika
Wah, cantik sekali pemandangannya, ma!
[Menatap keluar jendela mobil]
Ranti
[Takjub]
Iya sayang. Benar kata nenek. Desa sudah berubah.
[Merasa tenang]
Chika
Coba saja, di kota ada pemandangan seperti ini. Chika pasti betah bermain bersama teman-teman.
Ranti
[Menatap Chika] Namanya juga kota. Sudah pasti tidak ada sawah dan pohon kelapa yang tinggi-tinggi.
[Tersenyum]
Chika
[Menoleh ke arah Ranti]
Benar juga ya, ma
[Terkekeh]
Putri kecilnya sama sekali belum pernah ke desa. Melihat pemandangan alam seperti ini sudah tentu membuat putri semata wayangnya takjub. Ranti tersenyum melihat bermacam ekspresi di wajah putrinya. Kadang dia terperangah, tersenyum, tertawa dan bertanya mengenai sesuatu yang belum pernah dilihatnya.
Tanpa terasa, perjalanan mereka hampir menuju akhir. Ranti dapat melihat atap rumahnya yang membumbung tinggi di antara rumah penduduk desa yang lain.
Mobil melaju perlahan memasuki halaman rumah. Belum sempat pak Dirman mematikan mesin mobil, Chika sudah turun dari mobil saat melihat sosok yang sangat dirindukannya telah berdiri di ambang pintu.
Ranti
[Berteriak]
Pelan-pelan Chika! Ingat, kesehatan nenek !
Chika
Eh, iya!
[Berjalan perlahan]
Farah
Cucu nenek.
[Merentangkan tangan bersiap memeluk cucu kesayangannya]
Chika
Chika kangen sama nenek.
[Memeluk erat sang nenek]
Farah
Nenek juga kangen dengan cucu nenek yang cantik ini.
[Mencubit gemas kedua pipi Chika]
Ranti
Oh, jadi mamak cuma rindu dengan Chika saja!
[Cemberut]
Chika
Eh, mama cemburu ya?
[Terkekeh]
Farah
Iyalah. Mamak cuma rindu dengan cucu mamak yang cantik ini.
[Menggoda Ranti]
Farah
Iya, iya. Mamak juga rindu dengan Ranti.
[Membujuk]
Chika
Mama seperti anak kecil.
[Tertawa]
Farah
Sudah-sudah. Ayo lekas masuk ke dalam rumah! Sebentar lagi tengah hari.
[Meraih tangan mungil Chika]
Farah dan Chika berjalan masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh bi Ijah. Saat Ranti hendak menyusul mereka, hembusan angin sangat kencang terasa di bagian belakang tubuh Ranti.
Seketika tubuhnya tidak bisa bergerak. Menggerakkan ujung jari saja sangat kesusahan apalagi anggota tubuh yang lain. Perlahan angin itu turun hingga ke pinggang ramping Ranti seolah-olah sedang memeluknya dari belakang.
Emak, Chika, dan bi Ijah semakin menjauh dari pandangannya.
Pak Dirman
Bu!
[Memukul pundak Ranti]
Ranti
[Bernapas tersengal-sengal]
Pak Dirman
Ibu tidak apa-apa?
[Khawatir]
Ranti
[Mengangguk tak bertenaga]
Setelah memarkir mobil, pak Dirman mengambil koper di bagasi dan hendak masuk ke dalam rumah. Namun, dia melihat nyonya mudanya dalam keadaan diam. Cukup lama dia memperhatikan majikannya itu. Kaki kanannya hendak melangkah masuk ke dalam rumah tapi terlihat terhenti. Meski tidak bisa melihat makhluk tak kasat mata, pak Dirman bisa merasakan ada sesuatu yang tak terlihat di sekitar desa.
Pak Dirman membantu Ranti untuk berdiri. Saat ini Ranti merasa tubuhnya tak bertenaga. Tenaganya terkuras habis dengan sesuatu tadi.
Pak Dirman
Saya bantu ibu duduk di sofa.
Belum sehari dia tiba di desa sudah mendapat sambutan dari makhluk tak kasat mata. Meski tadi dia tidak bisa melihatnya namun Ranti yakin bahwa tadi bukanlah angin biasa.
Farah
Kamu kenapa, nak?
[Khawatir]
Farah
[Berjalan mendekati Ranti]
Apa ada yang kau khawatirkan?
Ranti
Tidak ada, Mak.
[Menggeleng]
Farah
[Duduk di sebelah Ranti]
Tapi dari tadi mamak perhatikan kau terlihat sedang termenung.
[Curiga]
Ranti
Tidak ada apa-apa, Mak. Ranti sedang memikirkan pekerjaan. Apakah sudah Ranti titipkan semua pada karyawan atau ada yang terlewat.
[Terpaksa berbohong]
Farah
Oh, syukurlah tidak ada apa-apa.
[Bernapas lega]
Ranti
Oh, iya. Chika mana Mak?
[Melihat ke seluruh ruangan]
Farah
Chika sedang bermain dengan teman-temannya.
Farah
Tadi siang saat mamak dan Chika sedang duduk di halaman depan ada anak desa yang kebetulan lewat. Mereka anak tetangga mamak. Lani dan Ami, nama mereka. Setiap kali lewat pasti menegur mamak. Sekalian saja mamak kenalkan dengan cucu mamak.
[Menjelaskan dengan tenang]
Ranti
Pantas saja tidak terlihat.
Farah
Chika anak yang ramah. Begitu pula dengan Lani dan Ami. Baru sekali bertemu saja mereka sudah seperti berkawan lama.
Ranti
Ranti senang Chika mendapat teman di sini, Mak. Kadang Ranti sedih melihat Chika yang hanya bermain di rumah saja. Teman-temannya pun hanya sebatas teman di TK. Kadang Ranti ingin melihat Chika dapat bermain dengan teman-teman yang lain di sekitar rumah. Hanya saja ...
[Terhenti]
Bayangan akan kejadian enam tahun silam membuat hati Ranti pilu.
Eps 3. Hom Pim Pa
Melihat putrinya yang tertunduk membuat hati Farah terenyuh. Dia tidak bermaksud untuk membuka luka lama sang putri.
Farah
Mamak tahu apa yang kau khawatirkan. Semua yang Ranti lakukan demi kebaikan Chika.
[Menggenggam erat tangan Ranti ]
Ranti
Terima kasih, Mak.
[Memeluk Farah]
Butiran air mata turun membasahi kedua pipi wanita cantik itu. Air mata yang sejak tadi dia tahan kini luruh.
Farah
Sudah jangan sedih. Nanti emak ikut sedih. Kalian ke sini kan untuk bersenang-senang. Bukan untuk lomba mengeluarkan air mata.
[Berusaha tetap tenang]
Ranti
Ih, emak ada-ada saja.
[Tersenyum sambil mengusap air mata]
Terima kasih ya Allah telah memberikan aku orang tua yang sangat baik. Sehatkan ibuku, panjangkan umurnya agar aku bisa berbakti lebih lama lagi. Belum cukup semua yang ku berikan pada kedua orang tuaku dibandingkan dengan pengorbanan yang telah mereka berikan.
[Berdoa di dalam hati]
Mendiang ayahnya adalah orang terpandang di desa. Meski begitu almarhum tidak pernah malu akan keadaannya yang hamil tanpa memiliki seorang suami. Terlebih ibunya, dia yang menguatkan Ranti selama mengandung Chika hingga saat ini.
Farah
Ayo, kita ke depan melihat anak-anak bermain!
[Bangkit dari sofa menggandeng tangan Ranti]
Ranti
[Mengangguk dan tersenyum]
Ranti berjalan beriringan dengan Farah menuju halaman belakang, tempat anak-anak bermain sekarang. Rumah masa kecil Ranti tidak begitu besar. Cukup untuk dia, kedua orang tuanya, dan beberapa pelayan yang tinggal. Bagian terbesar dan terluas dari rumah ini adalah halamannya. Menurut mendiang ayahnya, beliau suka melihat anak-anak desa bermain di halaman rumah.
Maklum saja, di desa tidak banyak rumah yang memiliki halaman rumah. Rata-rara pekarangan rumah penduduk desa ditanami dengan berbagai macam sayur-mayur, dan buah-buahan. Mendiang ayahnya kasihan melihat anak-anak tidak memiliki tempat untuk bermain.
Ada sebuah tanah lapang yang biasa digunakan anak-anak desa untuk bermain bola, layang-layang, dan petak umpet. Namun, letaknya cukup jauh. Memerlukan waktu kurang lebih empat puluh lima menit untuk tiba di sana. Selain itu, Ranti adalah anak tunggal. Rumah cukup sepi tanpa ada celotehan anak-anak yang rebutan apa pun.
Chika, Lani, dan Ami terlihat berada di salah satu sudut halaman. Tidak jauh dari Ranti berdiri, dia dapat melihat mereka sedang mengayunkan tangan ke kanan dan ke kiri layaknya seorang penari yang mengayunkan tangannya dengan gemulai. Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Ranti.
Lirik pertama lagu yang sudah lama tidak dia dengarlah yang menjadi perhatiannya. Bahkan, membuat degub jantungnya berpacu cepat.
Hom pim pa
Alaihom gambreng ...
Tak ingin mendengar kelanjutan dari lirik lagu itu, Ranti segera berlari dan menutup mulut putrinya dengan sebelah tangan.
Ranti
[Menutup mulut Chika dari belakang]
Sst, jangan dilanjutkan!
[Suara bergetar]
Chika
[Terkejut]
[Menengadah, menatap sang ibu dengan bingung]
Lani dan Ami hanya bisa terdiam dan saling tatap dalam kebingungan saat melihat ibunya Chika menutup mulut gadis kecil itu.
Farah
[Menatap sedih pada Ranti]
Farah
[Menghela napas dan berjalan mendekati Ranti]
Farah
Tidak apa-apa, nak.
[Menepuk pelan pundak Ranti bermaksud menenangkan ibu muda itu]
Sebelah tangan Farah yang bebas berusaha untuk menjauhkan tangan Ranti dari mulut cucunya. Dia yakin, Chika pasti terkejut dan bingung atas perlakuan Ranti terhadapnya. Namun, Ranti enggan melepaskan tangannya.
Farah
[Menghela napas]
Mereka bermain bertiga.
[Bisik Farah]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!