Siang yang terik memancarkan cahaya menyilaukan dari sebutir mentari ditemani oleh birunya langit. Dalam hutan rindang, terdapat sekelompok Goblin berzirah metalik dipersenjatai dengan beberapa senjata canggih tengah sibuk berjaga di depan gua yang merupakan sarang mereka.
Para Goblin bersenjata terlihat mengamankan gua tersebut ketika kelompok Goblin lain sedang mengangkut beberapa barang hasil buruan mereka ke dalam gua.
Agak jauh dari posisi para Goblin berada, tanpa mereka sadari seseorang sedang mengawasi gerak-gerik mereka di balik semak-semak.
Orang tersebut merupakan seorang pemuda yang tengah mengawasi lewat scope di posisi tiarap dalam semak-semak. Dia memiliki perawakan tubuh tinggi atletis, berambut jingga berantakan dengan ikat kepala, serta memakai jaket rompi merah gelap.
“Di sana posisinya, ya…?”
Satu mata peraknya fokus membidik sasaran, yaitu bom-bom rakitan yang dibawa oleh salah satu mobil yang diduga sebagai mobil hasil curian.
Jika ia berhasil menembak mengenai bom-bom itu, maka sarang beserta para goblin di sekitarnya akan musnah. Dan memang itu tujuannya sekarang.
Namun ketika sedang fokus membidik, tak disangka-sangka bidikannya malah dihalangi oleh pantat seekor rusa yang sedang makan rumput di depannya.
“Ish! Malah ada makhluk kayak begituan pula.”
Pria tersebut sempat mengeluarkan satu tangan dari balik semak-semak, melambai-lambai berusaha mengusir rusa tersebut.
“Oi, minggir,” desisnya karena tidak bisa berisik, takut ketahuan. “Minggir, lah…!”
Si rusa mendengar, tapi sama sekali tidak berinisiatif untuk menyingkir dari bidikannya. Maklum, yang namanya hewan pasti tidak mengerti bahasa manusia. Justru ketika pria itu berusaha mencari arah bidikan lain, si rusa kembali menghalangi.
Pria itu pun berdecak kesal, “Ck! Menggerlah, kambeng…!” peringatnya masih setengah berbisik.
Pria ini benar-benar o’on. Jelas-jelas yang di depannya ini rusa, malah dikata kambing pula.
Bukannya minggir, si rusa tetap saja menghalangi bidikan. Malah sekarang lubang pantat si rusa terlihat jelas lewat bidikan scope, membuat pria tersebut makin geregetan dibuatnya.
“Ish! Kau ini— Argh!!!”
Saking kesalnya, tanpa sadar si pria menarik pelatuk senapannya, menembakan peluru senapan itu ke arah ranjau jebakan yang tertanam tidak terlalu dekat dari posisi mereka. Alhasil, daya ledakan tersebut membuat si pria beserta rusa tadi terpental jauh bersama beberapa kerikil dan patahan batang pohon.
Si rusa mendarat dalam posisi terbaring dengan kedua mata sudah membentuk X, tanda ‘dah tak sadar, sedangkan pria itu mendarat dengan wajah lebih dulu menggesek tanah dan berakhir dalam posisi nungging.
Dahlah. Pria itu sudah pasrah dengan kegagalan misi kacangan yang ia jalani ini hanya gara-gara pantat seekor rusa.
Dan karena kecerobohannya juga, tentunya.
“Dasar kambeng sialan!”
Sudah dijelasin Narator kalau hewan itu rusa, malah tetap dikata kambing pula.
...~*~*~*~...
Dan di sinilah dia sekarang, duduk di dalam helikopter dengan wajah merengut kesal. Rambutnya yang acak-acakan sedari awal kini tambah kusut, tubuhnya pun kotor oleh tanah akibat ledakan ranjau. Beruntung, ranjau tadi tidak begitu dekat dengan posisinya, jadi ia masih bisa selamat.
Dalam hati dia terus menyalahkan pantat rusa yang beberapa kali ia sangka kambing itu.
Saat masih melamun dengan muka masam, dia merasakan ada tangan seseorang tengah menyentuh rambut jingganya.
“Ish! Jangan sentuh-sentuhlah, Damar! Aku bukan perawan,” sungutnya sambil menepis tangan rekannya itu.
“Apaan sih, Dan…?! Random ‘kali otak kau itu. Ada banyak daun di rambutmu ini,” ucap rekannya sambil mengambil beberapa daun yang menempel di rambut.
Di dalam helikopter, pemuda bernama lengkap Ardanu De’Cornell, atau yang lebih akrab disapa Ardan ini tengah duduk bersama rekan-rekannya.
Di sebelah kanannya ada Damar Prasetya, merupakan seorang pemuda berdandanan culun, berambut hitam dengan poni tebal dan memakai kacamata bulat. Namun, perawakan tubuh Damar sama gagahnya dengan Ardan.
Dan di samping kirinya ada seorang pemuda bernama Regan Gargusva, ia berkulit putih pucat dengan rambut perak panjang diikat tinggi, serta memakai jaket jubah perak. Tengah duduk tenang sambil memeluk senapan runduk.
Sedangkan di hadapan mereka merupakan pria dewasa berusia sekitar 40 tahunan, berperawakan besar, memakai seragam militer lengkap dengan mantel dan topinya. Ekspresi wajahnya nampak tegas, memberi kesan berwibawa dan cukup disegani. Dialah pemimpin sekaligus pengawas untuk tim para pemuda ini, Kolonel Durnashana Robin.
Mampuslah ketiga Taruna ini.
Ya. Ardan, Damar, dan Regan merupakan tiga Taruna muda dari Akademi Militer khusus Militer Antariksa, akademi bertaraf internasional yang dikhususkan untuk mendidik bibit-bibit militer muda dalam melindungi seluruh planet dan menjaga kedamaian antar planet juga.
Saat ini mereka tengah menjalani remedial, di mana mereka mendapatkan nilai yang kurang memuaskan di ujian sebelumnya. Walau ketiganya berbeda jurusan, tapi masing-masing pengawas sepakat untuk menggabungkan mereka dalam satu sesi ujian remedial, dan memilih ujian praktik lapangan sebagai remedialnya.
Awalnya, mereka santai-santai saja karena hanya mendapat remedial yang sudah biasa didapat oleh Taruna-Taruni lain ketika mendapat nilai anjlok. Namun, semua jadi terasa mencekam ketika mengetahui bahwa pengawas mereka adalah guru berpangkat perwira menengah tinggi yang pernah memimpin salah satu satuan di cabang Militer Antariksa, dan merupakan salah seorang petinggi terpenting di akademi.
Entah apa yang dipikirkan pihak akademi sampai harus mengirimkan orang satu ini sebagai pengawas ujian remedial mereka. Mereka tidak ingin dicap sebagai Taruna tak kompeten.
Tapi, apalah daya? Ikut remedial ini saja sudah terlanjur dianggap tidak kompeten.
Durna menghela nafas ketika melihat keadaan ketiga muridnya sambil bersedekap tangan di dada. “Bagaimana bisa kalian hampir gagal memusnahkan satu sarang goblin? Di tahun ajaran baru, kalian sudah sampai Tingkat 2, lho.”
Ketiganya menunduk malu, tapi samar-samar masih terdengar suara Damar bercicit,
“Salah Ardan sendiri. Masa salfok sama pantat binatang?”
“Oi, Damar— Akh! Regan?!”
“Ish! Regan kenapa, seh?!”
Ketika Ardan hampir menyembur Damar dengan hujan kata-kata ‘mutiara’, Regan langsung menepuk keras bahu Ardan dan menyentil kepala Damar.
“Kalian ini.” Regan melolot ke keduanya. “Malu di hadapan Komandan….”
Keduanya pun kembali menunduk setelah ditegur Regan.
“Kalian sudahlah.” Durna mengibaskan tangan. “Kita akan lanjut ke tahap remedial terakhir. Kalian tetap dianggap lulus karena nilai-nilai di remedial praktek sebelumnya telah mencukupi syarat. Remedial tambahan ini tetap kalian selesaikan karena untuk memastikan apakah kalian bisa lebih tegas dalam menyelesaikan misi atau gagal gara-gara kecerobohan kalian.”
Durna mengingatkan kembali akan insiden konyol tadi. Kalau saja bukan gara-gara pantat rusa, mereka pasti tidak perlu menjalankan remedial tambahan. Beruntung ada Damar dan Regan yang bisa mengatasi masalah remedial tersebut, sehingga mereka berhasil menghancurkan sarang goblin, atau lebih tepatnya hampir gagal.
“Pak, kita sudah sampai di tujuan,” beritahu sang pilot helikopter.
“Baiklah,” Durna menggangguk.
Ardan, Damar, dan Regan menoleh ke pintu helikopter yang sengaja dibuka, membuat hembusan angin deras menembus mengisi ruang helikopter, menerpa masing-masing rambut dan jaket yang mereka kenakan.
Di bawah mereka, terlihat pemandangan desa tua di antara hamparan gurun pasir yang gersang, nampak ramai oleh sekumpulan goblin yang tengah menjarah berbagai macam barang berharga milik penduduk desa.
Durna menjelaskan keadaan desa itu, “Jumlah penduduk yang tinggal di desa tersebut terbilang sedikit, dan mereka sempat menyelamatkan diri setelah diberi peringatan oleh kepolisian setempat.”
“Sebenarnya, tugas untuk memusnahkan para hama goblin ini cukup diserahkan pada pihak kepolisian, tapi aku sempat izin ke mereka untuk membiarkan para Taruna mudaku yang mengatasinya,” lanjut Durna.
Kemudian, Durna tersenyum remeh. “Kalian bisa membasmi para hama ini, bukan? Ayolah, kalian sudah masuk Tingkat 2. Memalukan kalau sampai gagal dalam membasmi mereka semua.”
“Apa kami perlu menyusun strategi dulu, Komandan?” tanya Regan menoleh pada Durna.
“Perlukah?” Durna menaikan sebelah alis. “Kalau bisa, silakan. Malah kalian akan mendapatkan nilai tambahan jika mampu menyelesaikan misi ini dengan strategi. Tapi sayangnya, kita tidak punya banyak waktu.”
Terdengar suara senapan dikokang di tangan Ardan. Seringai semangat kini nampak di wajah rupawan pemuda berambut jingga ini.
“Persetan dengan strategi di waktu sempit begini. Kita akan melakukannya dengan cara anarkis,” ucap Ardan dengan percaya diri.
“Itu sebabnya kau beberapa kali mendapat remedial, kepala mangga,” sarkas Damar geregetan.
“Aku tak masalah, mau kalian pakai strategi atau cara anarkis sekali pun,” tanggap Durna santai, “Yang penting, kalian buktikan bahwa kalian pantas untuk menjadi tentara tangguh.”
Ardan sudah bersiap dengan senapan serbu di tangan, papan skyboard siap diluncurkan di bawah kaki. Dan ia sempat menoleh memberi seringai percaya diri lagi pada sang komandan tim.
“Kami bisa menjadi lebih dari seorang tentara, bahkan lebih dari perwira sekalipun.”
Ardan memberi hormat hingga ujung jarinya sempat menyentuh ikat kepala merahnya.
“Adios, Komandan…. Haha!”
Menggunakan papan skyboard di kaki, Ardan langsung terjun dari helikopter.
“Woi, Ardan Bengek! Enggak sopan ‘kali kau sama Komandan!” Damar pun ikut terjun menyusulnya.
Sebelum terjun, Regan sempat bicara sungkan pada Durna, “Maaf atas kelancangan mereka, Komandan. Kami berjanji akan melakukan yang terbaik untuk remedial ini.”
Kemudian Regan ikut terjun dengan skyboard menyusul mereka.
Durna memperhatikan ketiganya yang sudah terjun dari helikopter, “Anak itu, benar-benar….” Durna menggelengkan kepala ketika mengingat Ardan.
“Siapa, Pak?” tanya si pilot masih fokus mengemudi.
Entah kenapa, senyum hangat tiba-tiba muncul di wajah Durna yang selalu terlihat tegas itu.
“Ardan. Dia mirip sekali dengan ayahnya.”
“Emm…. Ayahnya itu ‘kan….” Si pilot berusaha mengingat siapa ayah Ardan.
“Ya, dialah orangnya.”
...~*~*~*~...
Damar, Ardan, dan Regan terjun dari helikopter dengan masing-masing skyboard di bawah kaki mereka. Lewat sensor perintah pada permukaan skyboard, benda pipih itu terbang membawa mereka ke tempat yang mereka arahkan, yaitu lokasi desa padang pasir yang sedang dijarah para goblin.
Masing-masing senapan mereka arahkan. Dan ketika terbang semakin mendekat, mereka langsung menembak gerombolan goblin.
Suara rentetan peluru senapan serbu cukup mengagetkan para goblin, bahkan di antara mereka ada yang telah gugur sebelum sempat menyerang.
Salah satu goblin memberi peringatan pada kawanannya untuk segera bersiap balik menyerang. Dan kini, mereka sudah dipasangi zirah anti peluru. Mereka langsung menembaki ketiga Taruna itu dengan senapan serbu, panah mekanik, bahkan sampai pelontar granat.
“Awas!” teriak Ardan.
Ketiganya berusaha terbang menghindari serangan dengan terbang bermanuver menggunakan skyboard sambil terus menembak, lalu memutuskan tuk berpencar.
Damar terbang ke arah kiri, mendarat di tengah-tengah himpitan dua rumah kayu. Sambil menempelkan skyboard di tempelan magnet pada sabuk bagian belakangnya, ia berusaha menembak beberapa goblin yang terus-menerus berdatangan sambil sesekali bersembunyi di balik tembok bangunan menghindari tembakan musuh.
“Tak kusangka mereka sebanyak ini,” ucap Damar sambil mengganti magazine, lalu kembali menembak goblin.
Regan memutuskan mendarat di salah satu bangunan tinggi. Dia berlutut, menempelkan skyboard di tempelan magnet sabuknya, lalu bersiap membidik menggunakan senapan runduk.
Suara menggelegar khas senapan runduk terdengar mencekam kala satu peluru ia tembakan tepat mengenai dua kepala goblin sekaligus. Satu goblin belum sempat menoleh, malah kepalanya langsung hancur oleh tembakan jitu Regan.
“Jangan main-main kalian dengan Taruna Regan Gargusva. Sekali kutembak, pecah otak kalian semua,” ucapnya bangga sambil memasukan beberapa peluru, lalu ia kokang. “Eh, bentar. Kan mereka enggak ada otak.”
Sedangkan Ardan sendiri masih bermanuver di udara sambil menembaki gerombolan goblin membabi-buta. Dalam kegiatan menyerang tersebut, suara rekannya masuk dari alat komunikasi yang terpasang di telinga.
“Coy! Jumlah pasukan goblin banyak banget, Njerrr! Enggak yakin aku kalau kita bisa lolos remedial terakhir ini,” jerit Damar histeris di seberang sana hingga membuat Ardan sempat kaget dan hampir oleng di atas skyboard.
Di atas bangunan, Regan menjawab, “Cay, coy, cay, coy! Kita ini tentara! Pakai kode ‘lah kalau mau komunikasi.”
“Ya, udeh. 34+47 berapa?”
“Bukan kode yang kayak gitu, bocah seblak!”
“Ngapain kalian teriak-teriak berantem pas komunikasi kayak gini?! Kita lagi remedial praktek, bukan konser metal! Budek juga lama-lama telingaku ini, woi!”
Ketika Ardan mengomel lewat alat komunikasi sambil menembaki goblin-goblin di atas skyboard, mata peraknya terbelalak kaget melihat jumlah rombongan goblin semakin banyak berdatangan ke desa tersebut.
“Cok!!! Goblin-nya banyak bener, Cok! Udah macam banjir bandang aja eneh! Gimana, Breeeh…?!”
Baru aja negur kedua temannya dengan suara tegas nan jantan, sekarang Ardan malah jadi ikutan random begini.
Satu drone berbentuk bola berwarna putih sedang terbang di atas desa, mengawasi kegiatan penyerangan yang dilakukan ketiga pemuda tersebut.
Lewat tab yang terhubung dengan kamera drone, Durna menunduk sambil memijit kepalanya yang tiba-tiba pusing melihat aksi mereka, apalagi ketika mendengar komunikasi ketiganya yang juga terhubung dengan alat komunikasi di telinga Durna.
Dia tak menyangka para Taruna-nya bisa seaneh ini saat menjalankan misi. Pantas saja kena remedial.
“Duh….”
Sang kolonel sudah kehabisan kata-kata tuk berkomentar. Menyesal dia memutuskan menjadi pengawas remedial tim ini.
“Lapor, Komandan.” Terdengar suara Damar dari alat komunikasi Durna. “Jumlah para goblin semakin banyak. Kami tidak bisa membasmi mereka hanya dengan mengandalkan senjata-senjata ini. Kecuali, Anda mengizinkan kami menggunakan Kekuatan Kebangkitan.”
Sudah Durna duga. Dengan jumlah goblin sebanyak itu, takkan mungkin mereka sanggup membasminya. Mereka perlu menggunakan Kekuatan Kebangkitan agar bisa lebih mudah memusnahkan para goblin.
Kekuatan Kebangkitan merupakan jenis kekuatan spesial, bisa didapatkan dengan cara berlatih teguh atau diturunkan dari keluarga sendiri. Kekuatan Kebangkitan berupa kekuatan pengendalian elemen/unsur, perubahan wujud, penyembuhan instan, sampai memberi efek peningkatan bertarung.
Dalam medan pertempuran seperti inilah Kekuatan Kebangkitan sangat diperlukan. Oleh sebab itu, Durna mengizinkan mereka menggunakannya. Ini juga dilakukan demi keselamatan para Taruna muda.
“Diizinkan,” jawab Durna.
Setelah mendapat izin dari Durna, ketiganya segera membangkitkan kekuatan mereka masing-masing.
Dari sisi Damar, pemuda berkacamata itu langsung menggunakan kekuatan khususnya.
“Kekuatan Kebangkitan : Aktif.”
Di bagian tubuh sebelah kanan hingga wajah Damar muncul beberapa sirkuit elektrik berwarna hijau dalam waktu singkat, pertanda Kekuatan Kebangkitan telah diaktifkan.
“Memperlambat Area, Durasi : 5 detik.”
Dalam satu jentikan jari, pergerakan para goblin yang hendak menyerang Damar di area sekitarnya melambat. Di saat itu pula, ia meraba permukaan senapan serbu hingga menciptakan sirkuit-sirkuit elektrik hijau pula.
“Meningkatkan kecepatan serangan senjata dan gerak tubuh.”
“Gerak! Tembak!”
Sambil melesat secepat kilat, Damar menembaki semua goblin yang melambat sampai tewas tak bersisa.
Setelah waktu habis, Damar mendarat dengan sempurna di tengah-tengah area, dan kecepatan di area sekitar kembali normal. Tubuh hancur para goblin yang sempat melayang akibat waktu diperlambat langsung jatuh berserakan. Tubuh mereka hancur seketika, daging terburai dan darah menyembur kemana-mana hingga menciptakan genangan darah.
“Fyuuuh…. Ini lebih baik,” ucap Damar lega. “Eh?”
Damar sempat kaget sendiri menyadari kacamatanya miring sebelah dan rambut hitamnya jadi acak-acakan gara-gara melancarkan serangan secepat tadi.
“Ah, selalu begini.” Damar pun makin mengacak-acak gemas rambutnya.
Di sisi Ardan, pemuda berambut jingga dengan memakai ikat kepala itu masih menembaki para goblin di atas skyboard. Ia memutuskan tuk melompat dari skyboard, sambil bersiap dengan satu granat di udara.
“Mamam nih granat, Hama!!!”
Granat pun dilemparkan ke kawanan goblin hingga meledak. Anehnya, bukannya menjauh, Ardan malah melesat menukik dari udara mendekati ledakan tersebut.
Regan yang sempat melihat kejadian gila itu lewat scope senapan runduk cuma bisa geleng-geleng memaklumi.
“Emang beneran suka anarkis anak satu itu. Bukannya menjauh dari ledakan, ini malah disamperin,” komentar Regan sambil mengokang senapan kembali.
Terkadang, kalau ada tugas yang melibatkan para Taruna-Taruni dari berbagai jurusan, mereka yang satu tim dengan Ardan pasti merasa tidak sedang berada di medan perang, tapi malah merasa sedang dalam game FPS online.
Ngaco dan toxic-nya terasa sekali.
Tak heran jika kelak Ardan ikut remedial lagi.
Dari dalam kepulan asap yang ditimbulkan oleh ledakan granat tadi, Ardan menembaki beberapa goblin secara membabi buta sampai asap tersebut tiba-tiba saja lenyap, menampakan sosok Ardan yang tengah berdiri santai sambil memanggul senapan di bahu.
“Siapa berikutnya, huh?” ledeknya disertai seringai remeh.
Dari belakang, beberapa goblin melemparkan granat ke arah Ardan. Menyadari akan hal itu, Ardan langsung mengaktifkan Kekuatan Kebangkitan.
“Kekuatan Kebangkitan : Aktif.”
...~*~*~*~...
Ketika Kebangkitan Ardan diaktifkan, muncul beberapa sirkuit elektrik berwarna jingga di wajah hingga leher bagian kanan.
“Tembok Besi!”
Dalam sekali hentakan kaki di tanah, muncul tembok besi yang lebar dan tebal di belakangnya, melindungi Ardan dari ledakan granat-granat yang dilemparkan para goblin tadi.
“Cuma berani nyerang dari belakang rupanya. Tipikal goblin sekali,” desis Ardan dengan tatapan menajam hingga memancarkan kilat, membuat sepasang mata perak itu jadi terkesan mencekam bagi siapa saja yang berani melihatnya.
“Dasar makhluk pengecut! Otak sel*ngkangan! Mati saja kalian dan musnahlah ke dasar neraka, Biadab!”
Ardan langsung menendang tembok besi itu sampai melesat menghantam kawanan goblin di belakangnya, membuat tubuh para goblin remuk ketika ditimpa benda berat tersebut.
“Mpos! Jadi goblin geprek kalian!” sembur Ardan geregetan.
Dari arah sebelah kiri, ada kawanan goblin lain kembali menembaki Ardan menggunakan senapan serbu. Dengan gerakan lincah Ardan menghindari setiap hujanan peluru sambil mengganti magazine. Dan ketika sudah diganti, ia melompat setinggi mungkin sambil menembak mereka, lalu terjun menukik dengan posisi satu kaki siap menginjak.
“Haaaarrrggghhh!!!”
Ardan mendarat tepat di atas kepala salah satu goblin, menginjaknya sampai hancur, bahkan akibat pendaratan yang keras itu membuat tanah hancur menjadi lubang kawah.
Di dalam helikopter, Durna yang memperhatikan aksi Ardan lewat tab sempat menyunggingkan senyum bangga.
“Sebenarnya, Ardan itu prajurit yang hebat terlepas dari cara bertarungnya yang terlalu barbar,” komentar Durna. “Dia cuma masih terlalu labil. Tapi syukurlah, kelabilannya itu masih bisa ia tutupi dengan ketangkasannya.”
Durna memperbaiki posisi duduk sambil mengatur arah terbang kamera drone lewat tab.
“Biasanya, orang yang terlalu labil bisa mati sia-sia di medan perang. Semoga saja kau bisa mengatasi semua masalah yang kau hadapi, Ardan. Aku percaya padamu, kau bisa jauh lebih hebat dari ayahmu.”
Ardan terus menembaki para goblin yang balik menyerang. Pantang bagi seorang Ardanu De’Cornell bersembunyi, dia lebih memilih bergerak lincah tuk menghindari segala jenis serangan maupun tembakan agar bisa sekalian melatih kegesitannya.
Di puncak bangunan, Regan membantu teman-temannya dengan terus menembaki para goblin menggunakan senapan runduk. Ketika melihat jumlah goblin di suatu area makin bertambah, Regan mengaktifkan Kekuatan Kebangkitan.
“Kekuatan Kebangkitan : Aktif.”
Sirkuit-sirkuit elektrik berwarna biru terang muncul sesaat di bagian wajah kanan. Ia meraba sepanjang permukaan senapan sampai muncul sirkuit elektrik serupa di sana, memberikan sebagian kekuatannya pada senapan.
“Peluru Kristal Es : Aktif.”
Regan kembali mengokang senapan.
“Tembak.”
Satu peluru ditembakan ke arah kelompok goblin. Ketika berhasil mengenai sasaran, peluru langsung meledak, menciptakan pasak-pasak es yang berhasil menusuk tubuh-tubuh goblin lain di dekatnya sekaligus.
“Sekarang, di mana lagi?”
Regan mengarahkan bidikan ke area lain. Dia menemukan sasaran baru, yaitu sekelompok goblin yang tengah menyerang rekannya. Namun pada saat membidik salah satu kepala goblin, bidikannya malah terhalang oleh pantat Ardan yang saat itu sedang bergerak lincah menyerang goblin.
Membidik ke lain, nemu pantat Ardan.
Bidik lagi, nemu pantat Ardan.
Bahkan ketika iseng Regan membidik ke atas, tetap ketemu pantat Ardan yang kebetulan melompat tinggi.
Karena kesal, Regan langsung menyembur Ardan lewat alat komunikasi di telinga.
“Minggir dolo napa, Sat?! Pantat kau itu ngalangin mulu.”
Di bawah sana, bukannya minggir, Ardan malah menggoyang-goyangkan pantat, meledek rekan satu akademinya itu.
“Tak minggir, kupecahkan pantatmu itu pakai peluru esku!”
Ardan tidak menyingkir, malah ketika Regan beralih bidikan, ia juga mengikuti arah bidikan tersebut lalu menghalanginya lagi.
“Ardan!!!”
“Ardan Bengek!!!”
Dari pada jejeritan tak jelas gara-gara kawan bebalnya ini yang bakal bikin dia kekurangan nilai lagi, Regan terpaksa menggunakan kemampuannya tuk menyingkirkan Ardan.
“Balok Es!”
Ia arahkan satu tangannya yang diselimuti kabut es ke bawah, menciptakan sebuah balok es besar yang mencuat dari dalam tanah dan langsung mendorong Ardan sampai melayang tinggi.
“Nyahoooooo….!!!”
Alhasil, Ardan terlempar lalu mendarat cukup jauh dari jangkauannya, tapi masih berada di dalam wilayah desa.
“Belum tau aja dia rasanya ditusbol senapan,” gumam Regan jengkel sambil menembak kembali ke arah yang tepat.
Durna yang masih mengawasi lewat tab pun cuma bisa menggosok kasar wajah ketika melihat kelakuan Ardan dan Regan.
“Butuh permen kopi, Pak? Biar melek,” tawar pilot helikopter di depannya.
Durna menggeleng, “Tidak perlu. Mataku ‘dah melek melihat kelakuan bengek murid-muridku itu.”
Ya, ini sudah keputusan Durna tuk mengawasi kegiatan remedial kelompok Ardan. Jadi, apa pun yang terjadi, dia harus tahan dengan segala ketidakjelasan mereka.
“Pantas remedial, kelakuan mereka aja kayak gini pas nugas,” komentar Durna lagi.
...~*~*~*~...
“Aaaaakhh…!”
Setelah kena lempar balok es Regan dengan cukup jauh, Ardan pun jatuh menembus permukaan jalan hingga sampai di sebuah ruang bawah tanah.
“Doh, pantat bahenolku.” Ardan bangkit sambil mengelus pantatnya setelah jatuh membentur tanah. “Nih pantat enggak sampai miring sebelah ‘kan, ya? Eh?”
Ardan terkejut dengan keberadaannya saat ini. Sekarang, dia berada di sebuah ruang bawah tanah yang cukup gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanya berasal dari lubang di atas yang tercipta dari benturan tubuh Ardan saat jatuh tadi.
“Ini di mana, ya?”
Ardan melihat ke cahaya dari lubang atas, dan sempat membuang alat komunikasi di telinganya yang sudah hancur akibat benturan.
“Kok bisa nyasar di mari? Mana alat komunikasiku ancur pula.”
Iseng-iseng Ardan melangkahkan kaki berlapis sepatu boots itu. Dia melangkah cukup pelan sambil mengendarkan pandangan ke sekitar. Walau gelap, tapi berkat cahaya dari lubang di atasnya, ia bisa melihat beberapa objek yang ada di sana.
Kalau dilihat-lihat lagi, ruangan bawah tanah ini seperti laboratorium yang sudah sangat lama terbengkalai. Bisa dilihat dari seberapa kotor ruangannya, lantainya sudah hancur dan terkubur oleh tanah, terdapat sarang laba-laba dan berbagai jenis serangga semakin mengotori sudut-sudut ruangan.
Ketika melangkah lagi, Ardan melihat semua peralatan dan perabotan sudah rusak. Dia menghampiri komputer tua di salah satu meja di dekat tembok, mengelus permukaan tebal badan monitor itu.
“Komputer tabung? Ini jenisnya jadul banget.”
Pandangan mata Ardan kini beralih ke tengah-tengah ruangan di mana terdapat sebuah tabung besar setinggi 2,5 meter yang masih utuh walau usang. Tabung itu dihubungkan dengan puluhan kabel dari dua mesin yang bentuknya mirip generator pembangkit tenaga di sisi kanan-kiri.
“Benda macam apa itu?”
Tiba-tiba saja Ardan dikagetkan dengan kemunculan cahaya pemindai berbentuk jaring-jaring hijau yang berasal dari tabung tersebut, memindai keadaan ruangan saat ini, dan kebetulan keberadaan Ardan juga kena pindai.
[…]
Samar-samar Ardan mendengar suara dari semacam audio sistem di mesin tabung. Dari bahasa yang digunakan, Ardan yakini bahasa tersebut berasal dari planet lain.
“Ugh….”
Tabung tersebut kini mengeluarkan asap dari sela-selanya, lampu-lampu tabung yang awalnya mati kini menyala dengan warna hijau.
[…]
Suara sistem tabung kembali bersuara dengan bahasanya sendiri. Setelah itu, pintu tabung pun terbuka, mengeluarkan semacam makhluk humanoid aneh.
Makhluk itu keluar dalam keadaan lemas, langsung terkapar di tanah dengan tubuh berlumuran cairan hijau.
Ardan tidak semata-mata menghampiri hanya karena makhluk itu kelihatan tak berdaya. Dia cuma mengawasi di posisinya sekarang, melihat makhluk tersebut masih bisa bernafas.
Perlahan makhluk itu mulai bangkit berdiri. Dari bentuk fisiknya sendiri hampir menyerupai manusia, tingginya sekitar dua meter dengan otot tipis, kulit pucat kehijauan agak mengeriput, botak, dan bagian rusuknya menonjol keluar dari bawah dada memperlihatkan beberapa bagian organ tubuh yang terbuat dari perangkat bionik.
“Cyborg, kah?” Ardan menggeleng dengan tebakannya sendiri. “Walau memakai perangkat bionik, kelihatannya dia bukan cyborg.”
Selain itu, mulut dari makhluk tersebut ditutupi oleh masker respirator yang sudah menyatu dengan daging dan kulit wajah, serta dihubungkan dengan selang-selang menyerupai nadi yang ada di belakang pundak. Ketika makhluk itu menghembuskan nafas, maka keluarlah asap kehijauan dari lubang-lubang masker. Bahkan bentuk lubang-lubang maskernya sendiri terlihat menjijikan.
Penderita trypophobia pasti jejeritan melihatnya.
Bukan hanya itu saja. Mata Ardan bahkan hampir melotot ketika menemukan ada benda aneh bergerak-gerak memompa ekor depan makhluk tersebut.
“Wow. Kau punya benda lucu di sana, Bung,” ucap Ardan santai. “Sebenarnya, kau ini makhluk apa?”
Makhluk itu tak menjawab karena dia sendiri tidak mengerti bahasa yang digunakan Ardan. Dia sudah menganggap manusia di hadapannya ini sebagai ancaman.
Oleh karena itu, makhluk tersebut langsung mengeluarkan sepasang mata pedang bionik dari dalam kedua pergelangan tangan pucatnya. Dua pedang tersebut terbuat dari paduan antara tulang dan metal mesin, sehingga tampak begitu tajam.
Sudah Ardan duga. Dalam situasi seperti ini dan dengan makhluk yang bentukannya begini, pasti ia dianggap ancaman.
“Oke. Terserah saja jika kau menganggapku sebagai ancaman dan hendak membunuhku. Aku ladeni kau mumpung aku lagi nyasar.”
...~*~*~*~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!