"Mommy! Harus berapa kali Zoe bilang, kalau Zoe tidak mau menikah dengan ba*nci itu?!" Nada suara Zoe sudah meninggi, karena mommy-nya, Rania, terus-terusan saja memaksa dirinya untuk menikah dengan seorang pria yang sudah dianggap sebagai pria jadi-jadian oleh gadis cantik tersebut.
Ya, Aarav atau yang lebih dikenal sebagai Manny berprofesi sebagai seorang MUA. Setiap kali tampil di televisi atau pun pada foto-foto unggahannya di sosial media, wajah pria tersebut tidak pernah lepas dari riasan. Zoe bahkan tidak tahu seperti apa penampakan wajah calon suami pilihan daddy-nya jika tidak mengenakan riasan.
"Zoe, Sayang, dengarkan apa kata Mommy, Nak. Menurut saja apa keinginan daddy mu. Daddy pasti akan sangat marah jika kamu terus-terusan menolak untuk menikah dengan Aarav. Asal kamu tahu Sayang, kamu itu berhutang nyawa pada uncle Raymond. Jika uncle Raymond tidak menolong kamu waktu itu, kamu pasti tidak akan mungkin bisa tumbuh menjadi besar seperti sekarang ini."
Wanita cantik yang sudah berusia 40 tahunan lebih tersebut masih terus berusaha membujuk putri sulungnya. Di usianya yang sudah menginjak kepala empat, dia terlihat masih sangat muda dan cantik, seperti 15 tahun lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Ketimbang dipanggil 'Mommy' oleh putra-putrinya, Rania malah lebih cocok dipanggil kakak oleh ketiga anaknya. Pantas saja seorang Kaaran Dirga semakin hari semakin tergila-gila pada istri tercintanya itu.
Kembali pada Zoe, mendengar ucapan mommy-nya, Zoe terlihat semakin frustasi. Gadis cantik versi Rania muda itu benar-benar tidak setuju dengan perjodohan yang sudah direncanakan oleh daddy-nya semenjak dirinya masih bayi.
"Mom, Zoe tahu, Zoe berhutang nyawa pada uncle Raymond, tapi apa kalian tega menikahkan putri kalian dengan pria yang tidak normal seperti putra uncle Raymond itu? Apa di dunia ini sudah tidak ada pria lain lagi sehingga kalian tega memaksa Zoe untuk menikah dengan pria seperti dia? Kenapa Mommy dan daddy sangat tega ingin menghancurkan masa depan putri kalian sendiri?!"
Mata Zoe mulai berkaca-kaca. Dia tidak habis pikir dengan cara berpikir kedua orang tuanya. Gadis itu sangat berharap, bahwa perjodohan yang direncanakan oleh daddy-nya sejak lama tidak akan pernah terjadi seumur hidupnya.
"Tidak Sayang, semuanya tidak sama seperti yang kamu pikirkan."
"Mom, Zoe masih sangat muda, Mom. Usia Zoe bahkan baru 22 tahun. Sejak awal kalian membicarakan mengenai perjodohan ini pada Zoe, Zoe sebenarnya tidak setuju, tapi karena Zoe tidak ingin Mommy dan daddy kecewa, Zoe lebih memilih diam," jelas Zoe dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya dia punya keberanian juga untuk mengungkapkan hal itu pada mommy-nya. "Mom, asal Mommy tahu, Zoe sebenarnya masih belum siap menikah. Zoe masih ingin mengejar cita-cita Zoe, kuliah di universitas yang Zoe impi-impikan sejak dulu."
Rania sebenarnya merasa sangat kasihan melihat putrinya bersedih seperti itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena yang berkuasa atas segala keputusan adalah Kaaran, bukan dirinya.
"Zoeanna Sayang, dengarkan Mommy, Nak. Setelah kalian menikah, Aarav tidak akan melarang kamu untuk mengejar cita-cita kamu. Dia sudah berjanji pada Mommy dan daddy." Rania berkata sembari menangkup kedua pipi putrinya. "Mommy dan daddy sangat menyayangi kamu Nak, sama seperti kami menyayangi anak-anak kami yang lain. Jadi tidak mungkin kami menginginkan hal yang buruk untuk masa depan kalian semua. Sebagai orang tua, kami hanya mengiginkan yang terbaik untuk kalian. Percayalah, Sayang." Rania masih terus berusaha membujuk Zoe, berharap agar putrinya itu mau mengerti.
"Tidak, Mom." Zoe menggelengkan kepalanya. Air matanya akhirnya terjatuh juga. "Mommy bilang Mommy dan daddy hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anak kalian. Menurut Zoe, pilihan daddy itu bukan yang terbaik untuk Zoe, Mom. Zoe tidak mau menikah dengan pria tidak normal seperti dia, karena pasti pernikahan kami tidak akan bahagia. Lagian, kenapa daddy sangat egois? Tega-teganya daddy menjodohkan anak-anaknya yang masih bayi. Daddy benar-benar jahat, egois, tak punya perasaan!"
"ZOE!!!"
Rania yang sudah kehilangan kesabarannya membujuk Zoe pun tanpa sengaja membentak putrinya itu. Dia sangat tidak suka mendengar kalimat kurang ajar yang keluar dari mulut putrinya barusan. Ditambah lagi dia sangat tidak suka dengan sikap keras kepala dan pembangkang yang dimiliki oleh Zoe. Namun, Rania sadar, bahwa sifat keras kepala dan sifat pembangkang yang dimiliki putrinya itu menurun darinya.
Hati Zoe terasa berdenyut saat mendengar bentakan dari sang mommy. Seingatnya, selama 22 tahun lebih dia hidup di dunia, ini pertama kalinya Rania membentaknya, dan itu benar-benar melukai perasaannya.
"Mommy jahat! Mommy juga sama jahatnya seperti daddy!"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Zoe pun pergi meninggalkan rumah dalam keadaan menangis.
*
*
Kini kapal nelayan yang Zoe tumpangi sudah terombang ambang di tengah lautan. Saat ini gadis cantik itu sedang dalam perjalanan untuk pergi meninggalkan pulau. Setelah merasa batinnya lelah karena terus dipaksa dan dikekang oleh mommy dan daddy-nya untuk menikah, Zoe akhirnya memutuskan untuk minggat dari rumah.
Seumur-umur, baru kali ini gadis cantik itu pergi keluar pulau menggunakan kapal nelayan dan tanpa dikawal oleh para bodyguard-nya biar satu orang pun. Itu karena dia mengancam akan melompat ke laut jika ada pengawal yang berani mencegahnya pergi atau pun mengikutinya. Karena para pengawal itu tidak ingin nona mudanya celaka, mereka pun akhirnya menurut dan lebih memilih untuk pulang melapor pada Kaaran.
"Apa?! Zoe kabur dari rumah, dan sekarang sudah pergi meninggalkan pulau?!" Suara Kaaran menggema memenuhi seisi ruang baca, membuat nyali para pengawal Zoe yang datang melapor padanya langsung menciut. "Kalian ini bagaimana?! Kenapa kerja kalian tidak becus! Mengatasi 1 gadis saja tidak bisa!"
Kaaran merasa sangat kesal dan emosi. Resepsi pernikahan Zoe dengan Aarav sisa 7 hari lagi, dan besok lusa, pihak keluarga mempelai pria beserta mempelai prianya itu sendiri akan segera tiba di pulau. Apa yang akan Kaaran katakan pada sahabatnya, dokter Raymond, jika putrinya tidak ada alias menghilang.
"Anak itu benar-benar keras kepala. Apa dia ingin membuatku malu?" kesal Kaaran. Pria yang tetap terlihat tampan, gagah, dan awet muda di usianya yang sudah hampir menginjak pertengahan usia 50-an itu lalu merogoh ponsel yang ada di dalam saku celananya. Dia ingin menghubungi seseorang.
.
.
Sementara itu, Zoe duduk temenung sambil bersandar di atas kapal. Gadis itu baru saja berhenti menangis karena meratapi nasibnya yang menurutnya sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin daddy-nya begitu tega mengatur perjodohan dan pernikahan untuknya seenaknya.
Kurang lebih 1 jam kemudian. Zoe akhirnya sampai di pelabuhan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi dia tidak menemukan sosok yang dia cari. Setengah jam lalu sebelum Zoe sampai, dia sempat menghubungi adik kembarnya, Zack, untuk datang menjemputnya.
Sekarang ini Zack sudah menetap di kota. Beberapa bulan lalu saat usianya tepat menginjak 22 tahun, dia resmi diangkat menjadi CEO yang baru menggantikan posisi Roy, sang calon mertua.
Zoe berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Dia merasa sangat kesal karena adiknya terlambat untuk datang menjemputnya.
Zoe berdecak kesal. "Ck. Kenapa sampai sekarang dia belum datang menjemputku? Apakah dia sedang sib- mmph-" Belum selesai Zoe berbicara, tapi tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya dari belakang. Zoe ingin berusaha melawan dan meminta pertolongan, tapi hanya seper sekian detik kemudian, dia sudah kehilangan kesadarannya. Sepertinya dia dibius oleh seseorang.
.
.
Beberapa jam kemudian
Zoe mengerjap-ngerjapkan matanya menatap langit-langit kamar yang begitu akrab di matanya. Ya, sekarang dia sudah berada di dalam kamarnya sendiri.
Zoe berusaha untuk bangun dan duduk dari posisi berbaringnya. "Aduh, kenapa kepalaku tiba-tiba pusing?" Zoe langsung memegangi kepalanya. "Sepertinya tadi aku bermimpi kabur dari rumah setelah bertengkar dengan mommy?" gumamnya.
Ceklek. Pintu kamarnya terbuka dari luar, nampak seorang pelayan muncul dari balik pintu.
"Nona, Tuan besar dan nyonya besar sudah menunggu Anda untuk bergabung di meja makan," kata pelayan wanita tersebut.
"Eh, rupanya sudah malam, ya? Aku pikir sekarang masih siang," gumam Zoe. Setelah tidak sadarkan diri selama beberapa jam, bangun-bangun dia sudah seperti orang linglung. "Baik, Bi. Katakan pada mereka untuk menungguku sebentar."
"Baik, Nona," jawab pelayan itu sebelum akhirnya meninggalkan kamar Zoe.
Ruang makan
"Selamat malam semuanya." Zoe menyapa para anggota keluarganya sambil tersenyum, sama seperti biasanya. Seperti tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya.
Zack yang melihat hal itu hanya bisa mengulum senyumnya. Sepertinya kakak perempuannya itu lupa bahwa beberapa jam yang lalu dia sempat berusaha kabur dari rumah. Ya, Zack sendiri yang membius kakaknya di pelabuhan, lalu membawanya kembali ke pulau. Itu semua Zack lakukan atas perintah dari sang daddy.
Zoe duduk di meja makan diantara kedua adik laki-lakinya, Zack dan Raka. Raka adalah anak ketiga Kaaran dan Rania yang merupakan anak bungsu mereka. Kini Raka sudah berusia 17 tahun dan selisih 5 tahun dengan kedua kakak kembarnya, Zoe dan Zack.
"Ekhm." Kaaran berdehem. Sejujurnya dia masih sangat kesal karena ulah Zoe tadi siang yang berusaha kabur dari rumah menjelang pesta pernikahannya.
"Makanlah, Dad. Aku sengaja memasak makanan kesukaanmu malam ini." Rania yang tahu jika Kaaran masih sangat kesal pada putri mereka pun berusaha untuk menyenangkan sang suami. Setelah menyendokkan makanan ke piring Kaaran, dia lalu menyendokkan makanan ke piring putri kesayangannya. "Makanlah, Nak."
Rania tersenyum menatap putrinya. Dia masih ingat betul jika tadi siang dia dan Zoe sempat berdebat hebat. Sepertinya pengaruh obat bius membuat Zoe amnesia sesaat. Setelah sadar, Zoe malah beranggapan bahwa kejadian tadi siang itu semuanya hanya mimpi.
Selesai memberikan makanan untuk Kaaran dan Zoe, sekarang giliran Zack dan Raka, terakhir barulah Rania menyendokkan makanan ke piringnya sendiri.
Peraturan yang dianut oleh keluarga itu sejak dulu adalah, tidak boleh bersuara apalagi mengobrol saat makan. Jadi yang terdengar hanyalah suara dentingan sendok yang beradu dengan garpu. Saat Zoe tengah menikmati makan malamnya, tiba-tiba dia terpikir akan sesuatu.
'Apakah tadi aku hanya bermimpi atau tidak ya?' Zoe bertanya dalam hati dengan perasaan bingung sekaligus ragu. Dia ingin berkata bahwa semua itu hanyalah mimpi, tapi semuanya terasa begitu nyata. Dia ingin berkata bahwa semua itu nyata, tapi seingatnya dia kabur dari rumah setelah berdebat dengan mommy-nya. Kenapa saat dia bangun tidur malah sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Benar-benar sangat membingungkan.
'Jangan-jangan, aku hanya bermimpi.' Batin Zoe.
Sementara itu, Zack yang melihat raut kebingungan di wajah kakak kembarnya tersebut hanya bisa menahan senyum sambil terus menikmati makanan di piringnya. Entah akan seperti apa reaksi Zoe nanti jika sudah mengingat semuanya dengan jelas.
'Tunggu-tunggu. Bukankah malam ini baru kamis malam? Kenapa Zack tiba-tiba pulang ke rumah? Biasanya 'kan dia kembali ke rumah saat malam minggu menjelang.' Batinnya makin kebingungan. Dia ingin bertanya pada adiknya itu tapi tidak bisa, saat ini mereka sedang makan malam bersama, jadi tidak boleh ada yang bersuara.
'Ah, nanti saja aku tanyakan padanya setelah selesai makan.'
Beberapa menit kemudian. Kaaran akhirnya kenyang lebih dulu dari anggota keluarganya yang lain. Sebenarnya malam ini dia tidak memiliki selera makan yang baik. Ulah Zoe tadi siang mampu membuat perasaannya tidak tenang. Dia khawatir kejadian yang sama akan kembali terulang. Apalagi resepsi pernikahan putri sulungnya masih sisa 7 hari lagi. Kemungkinan untuk Zoe kembali melakukan tindakan yang sama masih ada.
Begitu Kaaran berdiri dari duduknya, dia langsung berkata, "Zoe, temui Daddy di ruang baca setelah kamu selesai makan." Kaaran berlalu begitu saja setelah mengucapkan kalimat tersebut dan Zoe pun langsung menganggukinya.
'Ada apa dengan Daddy? Kenapa wajahnya berubah jadi dingin dan datar seperti itu? Apakah terjadi sesuatu?' Batin Zoe.
Sementara itu, Zack dan Raka sudah saling memberi kode. Setelah ini, mereka berdua akan pergi menguping pembicaraan antara daddy dan kakak perempuan mereka. Menurut mereka berdua, hal seperti itu sangat sayang untuk mereka lewatkan.
*
*
Tok tok tok!
Zoe mengetuk pintu ruang baca sebelum memasuki ruangan tersebut. Zoe bisa melihat jika saat ini daddy-nya sedang berdiri sambil menghadap ke arah luar jendela.
"Masuk!" titah Kaaran tanpa berbalik.
Zoe berjalan pelan menghampiri daddy-nya. "Dad."
"Hem. Duduklah." Kaaran akhirnya berbalik menatap putrinya, lalu duduk di seberang meja tempat Zoe duduk.
"Kenapa Daddy memanggil Zoe kemari?" tanya Zoe. Gadis itu tetap bersikap seperti biasanya karena dia belum sadar jika kejadian tadi siang bukanlah mimpi, dan ulahnya itu membuat daddy-nya menjadi sangat marah.
Sejenak Kaaran terdiam. Dia menatap putrinya lekat-lekat. Zoe yang sekarang mengingatkan Kaaran pada masa lalu. Saat Rania selalu berusaha kabur darinya. Zoe ini benar-benar Rania versi muda. Keras kepalanya, dan pembangkangnya, semuanya diturunkan dari Rania.
"Ekhm." Sebelum memulai pembahasan, Kaaran berdehem terlebih dahulu. "Zoe, Daddy sangat tidak suka dengan ulah yang kamu perbuat tadi siang. Lain kali, jangan coba-coba mengulanginya lagi." Kaaran berkata dengan penuh penekanan.
"Mak-sud Dad-dy?" tanya Zoe tidak mengerti. Tapi sejurus kemudian, dia langsung menggigit sudut bibirnya sendiri saat menyadari semuanya. Apalagi saat melihat cincin tunangannya sudah tidak lagi melingkar di jari manis kirinya.
Astaga.
Zoe baru ingat, jika dia menjadikan cincin berlian itu sebagai imbalan untuk membayar jasa nelayan yang membantunya untuk keluar meninggalkan pulau.
Zoe yakin, jika mommy dan daddy-nya tahu perihal cincin tunangannya yang sengaja dia berikan pada orang lain, keduanya pasti akan marah besar padanya. Jadi sebelum hal itu ketahuan, Zoe harus mencari akal untuk menutupinya.
Tadinya Zoe pikir, saat dia berhasil kabur dari rumah dan meninggalkan pulau, maka perjodohan itu sudah pasti akan berakhir. Pernikahannya dengan Aarav tidak akan pernah terjadi seumur hidupnya. Karena rencananya, setelah dia berhasil kabur meninggalkan pulau, dia akan pergi jauh ke luar negeri, ke tempat yang tidak bisa dijangkau dan ditemukan oleh orang-orang suruhan daddy-nya. Dan mengenai cincin tunangannya itu, dia memang sengaja memberikan cincin berharga itu kepada orang yang menurutnya paling berjasa dalam membantunya memperjuangkan masa depan pilihannya sendiri. Meski pun nelayan itu sempat menolak, akan tetapi Zoe terus memaksa agar pria paruh baya itu mau menerima pemberiannya.
"Berjanjilah pada Daddy bahwa kamu tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi." Kaaran menatap Zoe yang duduk di hadapannya dengan intens.
"Dad, apakah aku memiliki hak untuk menolak? Ini tentang masa depanku, Dad, dan aku sendiri yang akan menjalaninya nanti. Kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak mau menikah dengan orang itu. Aku ... aku tidak mencintainya dan aku sama sekali belum siap menikah." Zoe akhirnya memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya yang selama ini dia pendam pada daddy-nya.
Mendengar penolakan yang keluar dari mulut Zoe secara langsung, tentu saja membuat Kaaran semakin emosi. Tapi dia berusaha menahannya agar putri kesayangannya itu tidak melihat sisi lain dari dirinya.
'Zoe benar-benar keras kepala dan sulit diatur. Persis seperti mommy-nya saat masih muda dulu.' Batin Kaaran.
Meski pun marah, tapi nada suara Kaaran masih terdengar normal seperti biasanya. "Katakan pada Daddy, apa alasannya sehingga kamu menolak dan tidak ingin menikah dengan Aarav? Jika alasan yang kamu berikan kuat dan masuk akal, maka malam ini Daddy akan menelepon uncle Raymond untuk membatalkan pernikahan kalian, tapi jika alasanmu tidak meyakinkan dan tidak masuk akal, mau tidak mau, suka atau pun tidak suka, kamu tetap harus menuruti keinginan Daddy untuk menikah dengannya."
"Daddy serius?" tanya Zoe dengan wajah berbinar. Kedua sudut bibirnya seketika terangkat. Dia sangat yakin bisa meyakinkan Kaaran dan membuat daddy-nya itu membatalkan pernikahan mereka.
"Tentu saja," jawab Kaaran. "Apakah selama ini ucapan Daddy tidak dapat dipercaya?"
Zoe menggeleng. Dari dulu, omongan daddy-nya memang selalu bisa dipegang. Jika berjanji, Kaaran pasti akan menepati. Karena itulah Zoe sangat mengidolakan daddy-nya. Dia ingin memiliki suami yang sama seperti daddy-nya. Tampan, manly, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya. Namun sayangnya, daddy-nya malah menjodohkan dirinya dengan seorang pria setengah matang. Zoe benar-benar kecewa dan tidak bisa menerima hal itu. Andai saja calon suaminya seperti yang dia harapkan, dia pasti tidak akan bersikeras menolak seperti sekarang.
"Sekarang jelaskan pada Daddy, apa yang menjadi alasan terkuatmu sehingga kamu sangat ingin membatalkan pernikahanmu dengan Aarav?" tanya Kaaran.
Sebenarnya Zoe malu mengatakannya, tapi demi membatalkan pernikahan mereka, Zoe harus berani mengungkapkannya di hadapan daddy-nya secara langsung. "Karena ... karena dia bukan laki-laki normal, Dad."
"Bukan laki-laki normal?" tanya Kaaran ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar dengan ucapan putrinya barusan, dan Zoe hanya menjawabnya dengan anggukan, mengiyakan pertanyaan sang daddy. "Zoe, bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa Aarav itu bukan laki-laki normal?"
"Tentu saja dia bukan laki-laki normal, Dad. Lihat saja penampilannya, dia suka sekali tampil di hadapan media dengan riasan tebal di wajahnya, seperti seorang perempuan. Lebih tepatnya sih ... seperti wanita tiruan," jelas Zoe.
Kaaran tersenyum. "Zoe ... Zoe. Apa kamu pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa, dont judge a book by its cover. Sebaiknya kamu jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja," kata Kaaran. "Sekarang Daddy tanya padamu, apa kamu tahu apa pekerjaan calon suamimu?"
Zoe mengangguk. "Tentu saja aku, Dad. Dia itu seorang MUA atau make up artist." Zoe menjawab dengan nada suara melemah. Entah mengapa dia tiba-tiba memiliki firasat bahwa usahanya untuk meyakinkan daddy-nya akan sia-sia saja.
"Nah, itu kamu tahu sendiri bahwa pekerjaan calon suamimu adalah make up artist. Bisa jadi Aarav merias wajahnya sendiri karena tuntutan profesinya," jelas Kaaran. "Zoe, Daddy ingatkan sama kamu, jangan pernah menganggap bahwa Aarav bukan pria yang normal jika kamu sendiri belum mencobanya di malam pertama kalian."
"Daddy!" Seketika wajah Zoe jadi memerah. Hal tabu seperti itu tidak sepatutnya dia bahas bersama sang daddy. Rasanya benar-benar sangat memalukan sekali.
"Kenapa kamu berteriak pada Daddy, Zoe? Kamu itu sudah dewasa, Nak, jadi tidak perlu malu pada Daddy," jelas Kaaran. "Dan bukankah alasan kamu tidak menyukai Aarav karena hal yang satu itu? Lebih baik Daddy perjelas, bahwa pria it-"
"CUKUP!!!" Zoe langsung memotong ucapan Daddy-nya dengan cepat. Rasanya akan semakin memalukan jika membiarkan daddy-nya terus membahas lebih jauh lagi.
"Daddy benar-benar menyebalkan!" Zoe berjalan cepat menuju pintu keluar ruang baca sambil menghentak-hentakan kakinya. Bibirnya yang ranum sekarang sudah maju beberapa senti.
"Zoe! Kamu mau kemana?! Daddy belum selesai bicara!" teriak Kaaran.
"Bodo amat!" balas Zoe.
Gadis itu terus berjalan menuju tangga untuk naik ke kamarnya di lantai atas sambil terus mengomel.
"Kalau Daddy sangat menyukai ban*ci itu, lebih baik Daddy saja yang menikah dengannya. Karena mau sampai kapan pun, aku tetap tidak mau menikah dengannya," gumam Zoe berbicara sendiri. Malam ini dia sudah berencana untuk kabur lagi.
"Hahaha!"
Tiba-tiba suara tawa mengejek terdengar di belakang Zoe. Karena terkejut, Zoe sontak menghentikan langkahnya, tapi dia malas untuk menoleh karena sudah tahu bahwa ini pasti ulah kedua adiknya. Siapa lagi yang berani menertawakannya kalau bukan kedua adik lucknutnya itu.
Zoe memutar bola matanya dengan malas, lalu meneruskan langkah naik ke kamarnya. Dia malas meladeni kedua adik laki-lakinya itu yang suka sekali membuatnya kesal.
"Kakak Zoe, kami akan mengadukan ucapanmu pada mommy dan daddy, bahwa kamu menyuruh daddy saja yang menikah dengan kak Aarav," kata Raka.
"Iya benar," tambah Zack.
"Terserah kalian! Aku tidak takut!" balas Zoe sambil berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Malam ini dia benar-benar kesal, ditambah lagi Zack dan Raka membuat dirinya semakin kesal.
'Malam ini aku harus kabur dari sini bagaimana pun caranya.' Batin Zoe.
B e r s a m b u n g ...
Tengah malam tiba, Zoe mulai memeriksa keadaan.
"Sepertinya semua orang sudah tidur." Zoe lantas mengintip para penjaga dari balik jendela kamarnya, untungnya malam ini para anak buah daddy-nya sedang tidak berpatroli. Zoe tersenyum senang, keadaan benar-benar mendukung untuknya kabur malam ini.
Zoe mulai melancarkan aksinya. Gadis itu menjulurkan beberapa seprei yang sudah dia ikat hingga memanjang dan menjuntai ke tanah, kain itu nantinya akan dia pakai untuk memanjat turun lewat jendela kamarnya.
"Maafkan Zoe, mom, dad. Zoe melakukan semua ini karena salah kalian juga. Kalian terlalu memaksakan kehendak kalian padaku." Zoe menatap bingkai foto keluarga yang terpajang di atas nakas, setelah itu gadis tersebut mulai melancarkan aksinya memanjat turun ke bawah.
"Huft." Zoe akhirnya bisa bernapas lega, setelah berusaha dan nekat, dia akhirnya berhasil turun dengan selamat. Namun, Zoe langsung memekik terkejut ketika balik badan sang daddy ternyata sudah berdiri tepat di belakangnya.
"Akh! D-Dad ...."
Zoe berjalan mundur dengan pelan ketika melihat Kaaran menatapnya dengan tajam. Sementara Kaaran, tanpa berkata sepatah kata pun langsung menggendong putrinya masuk kembali ke dalam rumah, tidak peduli meski Zoe terus berteriak dan memberontak minta diturunkan.
*
*
Sejak semalam Zoe dikurung di kamarnya. Karena terus-terusan menangis, mata gadis itu menjadi sipit, merah, dan membengkak.
Setelah berjam-jam dikurung di dalam kamarnya sendirian, akhirnya ada yang masuk ke dalam kamar Zoe. Rupanya pelayan yang datang membawakan makanan.
"Nona, tuan besar menyuruh Anda untuk makan," kata pelayan itu seraya meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di atas meja nakas, tepat di samping tempat tidur Zoe.
"Aku tidak mau makan, Bi," tolak Zoe.
"Anda harus makan, Nona, walau sedikit, karena sebentar lagi orang suruhan tuan besar yang lainnya akan masuk," jelas pelayan tersebut.
"Orang suruhan daddy yang lain? Siapa, Bi?" tanya Zoe penasaran.
"Orang yang akan membantu Nona Zoe bersiap-siap untuk acara hari ini."
"Acara? Acara apa, Bi? Bukankah hari pertunanganku akan diselenggarakan minggu depan?" ucap Zoe kebingungan. Karena setahunya Aarav dan keluarganya baru akan datang hari ini. Tidak mungkin mereka langsung tunangan begitu mereka datang.
Pada akhirnya pelayan itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan Zoe hingga akhirnya keluar dari kamar gadis itu.
"Sebenarnya ada acara apa hari ini?" gumam Zoe bertanya-tanya.
Hanya berselang kurang dari setengah jam, seorang pria berperawakan tinggi besar mengenakan topi dan masker masuk ke dalam kamar Zoe bersama dengan seorang wanita muda, sembari membawa koper berukuran lumayan besar.
"Siapa kalian?" tanya Zoe.
Bukannya menjawab, wanita muda itu justru melepas maskernya kemudian melempar senyum pada Zoe. "Apa Anda sudah siap dirias, Nona?"
"Dirias? Sebenarnya aku dirias untuk apa? Di luar ada acara apa?" tanya Zoe, berharap dia akan segera mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu.
"Kami hanya menjalankan tugas, Nona." Lagi-lagi Zoe tidak mendapatkan jawaban yang jelas.
"Bisa kita mulai sekarang?" Pria yang tadi datang bersama wanita itu muda berbisik.
"Tentu saja, Bos," jawabnya, kemudian berjalan mendekati Zoe. "Nona, bisakah Anda pindah duduk di sini agar kami bisa segera memulai tugas kami?"
"Tidak mau." Zoe menjawab dengan cepat sambil cemberut. "Kalau kalian tidak mau menjawab pertanyaanku, aku juga tidak mau dirias oleh kalian."
Keduanya lantas saling menatap melihat penolakan Zoe. Sepertinya nona muda dari keluarga Dirgantara ini cukup keras kepala. Namun, sejurus kemudian keduanya saling mengangguk lalu melaksanakan tugasnya dengan sedikit paksaan, meski pun mereka harus mengalami kendala karena Zoe terus saja memberontak.
"Aku bilang aku tidak mau! Lepaskan!" teriak Zoe. Tapi percuma saja dia melawan, tenaganya kalah kuat oleh kedua orang itu.
*
*
2 Jam kemudian.
"Fiuh, akhirnya selesai juga." Wanita muda itu akhirnya bisa bernafas lega begitu melihat Zoe sudah lengkap dengan riasan dan gaun berwarna putih. "Bos, aku keluar duluan. Aku ingin pergi ke toilet. Sudah lebih dari 1 jam aku manahannya."
"Ya, pergilah," kata pria yang tadi bertugas merias wajah Zoe. Kini Zoe hanya tinggal berdua dengan pria yang tadi meriasnya di dalam kamar.
Pria itu lantas menatap wajah cantik Zoe yang masih terpejam, kemudian merapikan eyeshadow yang ada di kelopak mata gadis itu.
"Sekarang bukalah matamu dan lihat bagaimana hasil riasannya," kata pria itu kemudian.
Perlahan-lahan Zoe mulai membuka matanya dan melihat pantulan wajahnya di cermin. Gadis itu sontak menyentuh wajahnya sendiri.
"Wah, cantik sekali." Zoe berkata sambil tersenyum.
"Apa kamu puas dengan hasilnya?" tanya pria itu dan langsung dijawab anggukan oleh Zoe. "Alangkah lebih bagus lagi kalau matamu tidak bengkak. Sepertinya ada yang membuatmu sedih sampai menangis berjam-jam."
Senyuman Zoe seketika memudar, kemudian menatap mata MUA yang hingga detik itu belum pernah melepaskan topi dan maskernya.
"Apa kamu bisa dipercaya?" tanya Zoe tiba-tiba.
Pria itu mengangguk. "Tentu saja. Kejujuran adalah sesuatu yang aku junjung tinggi."
"Sebenarnya aku ingin bercerita pada orang lain tapi aku tidak tahu harus bercerita dengan siapa." Zoe mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, memastikan bahwa tidak ada yang menguping pembicaraan mereka.
"Kalau begitu ceritalah padaku, aku orang yang jujur dan pintar menjaga rahasia."
Zoe tersenyum, meski pun wajahnya masih nampak sangat sedih. "Tapi kamu benar-benar tidak boleh menceritakan hal ini pada siapa pun."
"Tentu saja. Ini adalah rahasia kita berdua," kata pria itu.
Zoe kembali tersenyum dipaksakan. "Sebenarnya ... saat ini aku merasa sangat sedih. Mommy dan daddy-ku memaksaku untuk menikah, tapi aku tidak mau menikah dengan calon pilihan mereka."
"Kenapa?"
"Karena ... karena laki-laki itu ...." Zoe merasa malu meneruskan ucapannya.
"Laki-laki itu kenapa? Kenapa kamu tidak mau menikah dengannya?"
"Tidak jadi. Aku malu mengatakannya." Zoe langsung menutupi mulutnya dengan tangan.
"Kenapa harus malu? Di sini hanya ada kita berdua. Dan bukankah aku sudah pernah bilang kalau aku pintar menjaga rahasia dan dapat dipercaya," kata pria itu. "Ceritakanlah, siapa tahu setelah kamu bercerita padaku, perasaanmu bisa menjadi lebih baik."
Zoe terdiam memikirkan ucapan pria itu. Setelah berpikir bahwa ucapan pria itu ada benarnya, gadis itu pun akhirnya bercerita.
"Sebenarnya ... aku tidak setuju untuk menikah dengannya karena dia ... bukan laki-laki normal." Zoe langsung menutupi wajahnya karena malu.
Pria itu terkekeh. "Dari mana kamu tahu kalau calon suamimu itu bukan laki-laki normal?"
"Dari penampilannya," jawab Zoe.
Tiba-tiba saja ponsel pria itu berdering.
"Halo. Iya, baik. Aku akan segera ke sana." Pria itu berkata pada lawan bicaranya di telepon. "Mm, Nona, maafkan aku, aku harus pergi, aku masih ada urusan penting. Terima kasih sudah mau bercerita dan sudah mau mempercayaiku." Pria itu tersenyum di balik maskernya saat pamit pada Zoe.
*
*
Di sudut lain masih di dalam kediaman Keluarga Dirgantara.
"Aarav, Aarav, tunggu sebentar," panggil Rania pada calon menantunya. "Bagaimana Zoe di atas sana? Apa dia sudah siap?"
"Sudah, Mom. Sekarang giliran saya yang bersiap-siap," jawab Aarav. Rupanya yang mendandani Zoe tadi adalah calon suaminya sendiri, Aarav Raymond, seorang MUA profesional yang terkenal itu. Dan hari ini, hari ini adalah hari pernikahan mereka. Kaaran sengaja memajukan resepsi pernikahan keduanya karena takut putrinya kembali membuat ulah.
B e r s a m b u n g ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!