NovelToon NovelToon

Poison Eve

Chapter-1

...Neraida…...

...Tidak sesuai dengan namanya, Negeri Peri tidak dihuni oleh ras peri....

...Mungkin dulunya!...

...Entah itu ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu....

...Dikatakan, pada masa pertumbuhan, setiap orang akan mengalami kebangkitan sebuah kekuatan…...

...Disebut Peri Pelindung....

...Katanya, peri pelindung ini bisa melakukan apa saja....

"Hmmm… kira-kira apa ya, peri pelindungku?" Evelyn Katz menggumam sambil mengamati telapak tangannya sendiri dengan dahi berkerut-kerut.

Orang banyak sudah berbondong-bondong menuju kerumunan di pekarangan Balai Budaya, sementara gadis itu masih membeku di dekat gerbang.

Menghalangi jalan!

"Boleh aku lewat?"

Suara seseorang mengusik Evelyn dari lamunannya, ia menoleh ke sumber suara, dan ketika ia mendongak untuk melihat pemilik suara itu, ia dipaksa untuk menebak tinggi badannya yang mengagumkan karena wajah si pemilik suara itu berada beberapa inci di atas kepalanya.

Tatapan gadis itu sekarang terpaku pada wajah lancip putih porselen dengan mata rubah berwarna gelap dibingkai alis tegas yang sangat serasi dengan hidung mancungnya yang mendongak arogan di atas sepasang bibir tipis berwarna merah. Bentuk dagunya yang bulat sangat serasi dengan wajah lancipnya.

Mata rubahnya memberikan tampilan mata pengembara padang belantara yang biasa digunakan untuk meneropong jauh ke medan gelap. Rahangnya yang tinggi menegaskan wajah kokoh yang pantang menyerah. Semua itu menggambarkan kecerdasan khas kaum aristokrat.

Sikapnya tenang dan tatapan dinginnya mengandung magnet.

Mantel putih berleher tinggi bercorak emas melekat pas di dada bidangnya saat ia menunggu. Sutera emas melingkar di pinggang rampingnya, ujung panjangnya menyentuh celana panjang ketat berwarna putih. Sepatu armor selutut bercorak emas seperti baru digosok tampak tak bernoda. Rambut halus hitam mengkilat selurus penggaris tergerai di bahunya dan melecut lembut di sisi wajahnya. Ikat kepala dari emas terlihat seperti mahkota peri berkilauan di dahinya yang licin, menjadikan sosok itu terlihat seperti muncul dari mimpi sebagai khayalan setiap gadis.

"Ehem!" Pria itu berdeham. Suaranya menyentakkan Evelyn dari keterpukauannya.

"Ah—maaf!" Evelyn terpekik ketika tersadar ia sedang menghalangi jalan. Lalu buru-buru menyisi. Tapi tatapannya tak bisa lepas dari wajah luar biasa menawan itu tanpa bisa menutupi kekagumannya.

"Eve! Apa yang kau lakukan? Cepatlah sedikit!" Nadine Katz, sepupu perempuannya, meneriaki dari tengah kerumunan.

Evelyn mengerjap dan menoleh sekilas pada kakak sepupunya, lalu kembali mengerling ke arah pria tadi. Tak rela melepaskannya.

Pria itu balas menoleh dan menatapnya sambil tersenyum samar. Begitu samar hingga tidak terlihat kalau ia sedang tersenyum.

"Evelyn!" suara hardikan itu sekarang terdengar dekat di belakangnya. Lalu sepasang tangan mencengkeram bahunya dari belakang dan menyeretnya dengan gerakan kasar. "Kita harus segera mendaftar!" geram sepupunya tak sabar.

"Ba---baiklah, baik!" Evelyn gelagapan dan menggeliat-geliut berusaha melepaskan diri. "Sekarang kau boleh melepaskanku!" katanya seraya menepiskan tangan Nadine dan menyentakkan bahunya. Lalu berbalik dan bergegas mengikuti kakak sepupunya. Ia menoleh ke belakang sekali lagi, tapi sosok menawan itu sekarang sudah tidak berada di tempat tadi.

Hilang sudah! batinnya kecewa, kemudian mempercepat langkahnya mengekori kakak sepupunya menerobos kerumunan.

Tak lama kemudian, mereka sudah berjubal dalam antrean panjang di tempat pendaftaran.

Hari itu adalah Hari Pencarian Bakat Tahunan, agenda rutin kota Fortress. Setiap orang dalam masa pertumbuhan takkan melewatkannya.

Selain karena dihadiri sejumlah pencari bakat dari berbagai aliansi paling bergengsi di seluruh benua, acara semacam ini juga memberi kesempatan kepada setiap remaja untuk mengetahui bakat mereka dan membangkitkan kekuatan spiritual yang paling penting yang lebih dikenal dalam istilah peri pelindung.

Di Negeri Peri, kekuatan spiritual dan peri pelindung adalah modal utama untuk mencapai puncak dunia.

Jadi, tak heran tempat itu dipenuhi banyak orang dari berbagai pelosok di seluruh daerah.

"Yah, giliran kita masih lama," Nadine mengeluh setelah mengantre cukup lama dan akhirnya berhasil mendaftarkan diri dengan nomor antrean di atas dua ratus.

"Kurasa tak akan sampai berjam-jam, lihat itu!" kata Evelyn sambil menunjuk ke tengah arena di lantai bawah.

Di tengah arena itu seorang anak laki-laki sedang berdiri tegang dalam lingkaran cahaya pelangi berbentuk cakram sambil menadahkan sebelah tangannya, sementara di sekelilingnya tujuh pria berjubah armor memukau khas pasukan abadi kerajaan menyalurkan energi cahaya dari dalam tubuh mereka melalui telapak tangan atau ujung jari mereka ke tengah arena.

Masing-masing penggali bakat itu juga diliputi lingkaran cahaya berbeda warna berbentuk cakram dengan rata-rata tiga lingkaran, kecuali penggali bakat yang memegang bola kristal. Pemilik bola kristal itu memiliki empat lingkaran cahaya di tubuhnya.

Itu adalah ritual pembangkit peri pelindung!

Dan ketujuh pria berjubah armor itu disebut penggali bakat. Sebagian orang menyebut mereka Penggali Kubur.

Lalu dalam hitungan detik, dari telapak tangan si anak laki-laki tadi berpendar lingkaran cahaya berwarna perak bersama sebuah benda berbahan logam seukuran jari telunjuk orang dewasa.

Benda yang keluar dari telapak tangan anak laki-laki itulah yang disebut sebagai peri pelindung.

Dan peri pelindung anak laki-laki itu adalah palu.

Sembilan pejabat kehormatan dari sembilan aliansi paling bergengsi di Negeri Peri bertepuk tangan menyambut bakat si anak.

Peri pelindung palu adalah peri pelindung terbaik yang sangat kuat.

Ketujuh pria berjubah armor yang melakukan ritual itu menarik energi mereka dan menurunkan tangannya masing-masing. Lingkaran-lingkaran cahaya berangsur-angsur menghilang.

Lalu salah satu dari mereka melangkah ke tengah arena membawa sebuah bola kristal dan mengulurkannya pada si anak.

Anak laki-laki itu menaruh telapak tangannya pada bola kristal itu dan tak lama kemudian para pejabat kehormatan yang disebut-sebut sebagai para pejabat pencari bakat itu mengerang hampir bersamaan.

"Sayang sekali," mereka bergumam kecewa. "Peri pelindungnya cukup kuat, tapi tak punya karunia cahaya."

"Tidak memiliki karunia cahaya artinya tidak memiliki bakat spiritual," komentar pria berjubah armor yang membawa bola kristal tadi sambil menarik kembali bola kristalnya. "Sebagus apa pun peri pelindung yang kalian miliki, tanpa bakat spiritual, peri pelindung tidak berguna!"

Anak laki-laki itu mendesah kecewa dan tertunduk, lalu berbalik meninggalkan arena, bergiliran dengan peserta lainnya.

Evelyn bertukar pandang dengan kakak sepupunya dengan tatapan antara cemas dan penasaran.

"Hanya dua langkah," kata Evelyn. "Tak sampai sepuluh menit untuk setiap anak."

"Kalau begitu, sebaiknya kita turun saja sekarang!" Nadine mengusulkan dengan bersemangat sekaligus gugup.

Evelyn mengikutinya, tapi tatapannya menyisir seluruh tempat, mencari-cari sosok ayahnya di antara kerumunan semua orang. Ayah datang tidak, ya? ia bertanya-tanya dalam hatinya.

Lalu ia melirik ibunya di tangga kedua bangku penonton.

Ayahnya tidak berada di sana.

Mungkin hanya terlambat, pikirnya, mencoba menenangkan diri.

Ayah Evelyn adalah seorang perwira tentara bintang tiga di kerajaan. Namanya Rodrigo Katz, lebih dikenal sebagai Rodrigo Knight. Markasnya berada di luar kota Fortress. Dan sebagai abdi negara, waktu ayahnya tentu sangat terbatas untuk pribadi. Tapi ayahnya sudah berjanji akan menghadiri upacara kebangkitan peri pelindung Evelyn.

Bagaimanapun, kebangkitan peri pelindung adalah upacara sakral yang hanya akan dilakukan sekali seumur hidup.

Ayah takkan melewatkannya! Evelyn meyakinkan dirinya.

Tapi tampaknya harapan Evelyn takkan terwujud.

Dalam perjalanan menuju kota Fortress, perwira itu dihadang sejumlah pria berseragam ninja misterius, tepat di gerbang perbatasan kota.

Chapter-2

"Ada apa, Xen?" Nazareth Vox bertanya pada saisnya sambil membungkuk ke depan dan menyingkap tirai kereta.

Ia bahkan belum mencapai gerbang perbatasan kota ketika tiba-tiba kereta kuda itu berguncang dan berhenti. Kuda penarik kereta itu mendengus dan meringkik gelisah.

"Sepertinya ada kecelakaan, entahlah!" jawab sais itu tak yakin.

Mereka menoleh ke arah jalan dan melihat gerbang perbatasan kota yang ada di lima puluh meter di depan sana macet oleh barisan kereta kuda yang dipaksa berhenti.

Arus kendaraan di sana berhenti sama sekali. Mereka mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Kereta-kereta kuda yang ada di depan mereka hanya berbelok-belok di sekitar kendaraan yang berhenti.

Dari kegaduhan yang terjadi sekarang mulai menjadi jelas sebuah kereta pengangkut yang kelebihan muatan dengan roda-roda berwarna merah dan tumpukan barang juga para penumpang yang memekik tertahan di atasnya.

Para penumpang yang terkejut menjulurkan kepala mereka dari jendela sambil menahan napas dengan wajah memucat.

Kedua mata Nazareth menyipit ketika mendapati seorang pria paruh baya terkapar—entah mati atau sekarat, yang jelas pria paruh baya itu tidak bergerak di dekat salah satu dari kuda-kuda kereta pengangkut tersebut.

Sejumlah pria membungkuk di sekelilingnya.

"Bawa dia ke balai pengobatan!" teriak seseorang.

Mantel armor pria itu basah oleh keringat bercampur darah, sementara sebelah bahunya terkoyak seperti habis dimangsa binatang buas.

Nazareth menatap luka itu dengan tatapan suram. Wajahnya menegang. Ia bangkit tiba-tiba. "Aku akan pergi dan memeriksanya. Mungkin mereka butuh bantuan."

Saisnya ikut beranjak dan turun dari kotak pengemudi.

Lalu lintas kembali melambat seiring dengan para penonton yang mulai penasaran untuk melihat apa yang terjadi.

Para pejalan kaki berkumpul di sekitar persimpangan untuk melihat ke tengah kerumunan.

Sejumlah wanita terperangah melihat kemunculan Nazareth di tengah-tengah mereka, seolah menyaksikan malaikat yang turun dari surga.

Tak heran, mengingat paras Nazareth yang luar biasa rupawan ditambah gaya berpakaiannya yang elegan khas aristokrat.

Dengan hening, mereka membuka jalan untuk membiarkan pria berwajah lancip putih porselen itu lewat.

Kelopak mata pria paruh baya yang tergeletak di tengah kerumunan itu bergetar.

Dia masih hidup! pikir Nazareth.

Ia membungkuk di atas kepala pria paruh baya yang terkapar itu dan memeriksa luka menganga di bahunya. "Tulang cakra," gumamnya terkejut.

Pria paruh baya itu terperangah dengan gemetar dan mata terbelalak, seolah bisa merasakan bahwa pada akhirnya ada seseorang yang bisa mengerti apa yang dialaminya.

Tulang cakra adalah atribut spiritual yang didapat dari peri monster---sejenis binatang spiritual yang berhasil ditaklukkan dan diserap energinya untuk meningkatkan kekuatan peri pelindung.

Beberapa peri monster yang sudah berusia ratusan ribu tahun memiliki cakra pelindung seperti baju zirah yang menyatu dalam daging dan menjadi bagian dari tubuh manusia yang menaklukkannya. Dan itu adalah benda pusaka paling langka impian semua master bela diri spiritual.

Untuk bisa merebut tulang cakra dari seseorang, harus memotong bagian tubuh yang memiliki tulang cakra tersebut.

Tapi tentu tak mudah mengingat rata-rata pemilik tulang cakra adalah seorang master bela diri spiritual yang sudah mencapai level leluhur, kecuali jika si penyerang merupakan master dengan level yang lebih tinggi.

Siapa pun dia yang telah merampok tulang cakra pria paruh baya ini bukanlah orang yang sederhana.

"Bantu aku menaikkannya ke dalam kereta!" perintah Nazareth pada saisnya.

Dua orang pria membantu menggotong pria paruh baya itu dan menaikkannya ke dalam kereta Nazareth, kemudian membaringkannya di lantai kereta.

"Putar balik!" instruksi Nazareth pada saisnya. "Cari balai pengobatan terdekat."

Nazareth berjongkok di dekat pria paruh baya itu dan memegangi lengannya untuk menahan guncangan selama perjalanan.

Pria paruh baya itu menggenggam pergelangan tangannya dan mengeluarkan sesuatu dari balik jubah armornya, kemudian menaruhnya ke telapak tangan Nazareth.

"Anda seorang perwira pasukan abadi?" Nazareth bertanya sambil menatap lencana di telapak tangannya dengan terkejut. "Tak heran Anda memiliki tulang cakra," katanya.

"Berikan ini pada keluargaku," pinta pria paruh baya itu dengan suara tercekat. "Putriku… putriku mendaftar Pencarian Bakat Tahunan untuk membangkitkan peri pelindungnya di balai budaya…"

"Bertahanlah, Sir!" Nazareth menggenggam tangan pria paruh baya itu untuk memberi dukungan. "Beritahu saya, siapa nama Anda!"

"Aku Katz…" tiba-tiba suara pria paruh baya itu seolah menguap.

"Kapten!" Nazareth tergagap dan membeku. Lalu mendesah berat seraya melemas tak berdaya. Ia mengusap kelopak mata pria paruh baya itu dengan jarinya, lalu menoleh pada saisnya. "Ah—Xen! Kita tak jadi ke balai pengobatan," katanya. "Cari saja markas tentara daerah!"

Sais itu menoleh dengan alis bertautan, lalu mengintip ke dalam melewati bahu tuannya, kemudian mengerjap dengan raut wajah muram dan mengalihkan perhatiannya kembali ke depan.

Tak lama berselang, kereta kuda mereka akhirnya berhenti di gerbang markas tentara daerah.

.

.

.

Sembilan Pejabat Pencari Bakat dari sembilan aliansi paling bergengsi di Negeri Peri sudah mulai terlihat bosan setelah ratusan remaja melangkah ke tengah arena dan berbalik dengan kedua lengan menggantung lemas di sisi tubuhnya.

Rata-rata mereka memiliki peri pelindung yang cukup kuat tapi tidak satu pun memiliki karunia cahaya.

Beberapa di antaranya memiliki bakat spiritual dengan level yang sangat rendah dengan peri pelindung tidak berguna seperti tanaman atau perkakas berkebun.

Ada juga yang memiliki bakat spiritual yang memadai, tapi lagi-lagi peri pelindung mereka tidak berguna.

"Sudah empat kota, tapi hasilnya begini-begini saja," salah satu dari pencari bakat mulai bersungut-sungut. "Apakah tahun ini tidak ada harapan?"

Yang lainnya tidak menjawab. Hanya terdiam dengan raut wajah datar. Kedua tangan mereka bersilangan di depan tubuh mereka, mengawasi arena di lantai dasar dari tepi balkon di lantai dua dengan wajah kencang kaum bangsawan.

Dalam hatinya masing-masing, mereka sudah tak sabar untuk segera menyelesaikan agenda tahunan kota Fortress yang—kalau bisa—mereka lebih memilih untuk melupakannya.

Tapi tentu saja tak bisa.

Masih tersisa seratus lebih peserta yang mengantre di belakang arena.

Salah satunya adalah Evelyn.

Sekarang giliran Nadine yang maju ke depan, dan Evelyn bersiap-siap di belakangnya. Merasa sedikit gugup.

Ia menoleh ke bangku penonton di mana ibunya duduk tegak dengan elegan sekaligus arogan khas aristokrat.

Evelyn mendesah kecewa menyadari ayahnya tak kunjung tiba. Lalu terperanjat ketika tepuk tangan meriah menggema ke seluruh aula. Ia menoleh pada kakak sepupunya dan terperangah mendapati peri pelindung yang dimiliki sepupu perempuannya sebuah menara.

Peri pelindung menara merupakan salah satu peri pelindung royal yang hanya dimiliki oleh kaum bangsawan dan kalangan terpandang.

"Anda aristokrat sejati, Nona Muda!" puji si penggali bakat pemilik bola kristal sambil berjalan mendekati Nadine.

Wajah Nadine memerah karena senang.

Chapter-3

Nazareth baru saja tiba di pintu masuk penonton ketika ia mendengar si pencari bakat bertanya pada seorang gadis di tengah arena, mengulurkan bola kristalnya sambil membungkuk hormat dengan gaya khas bangsawan, "Boleh tahu siapa nama Anda?"

"Katz," jawab gadis di tengah arena gali bakat itu. "Nadine Katz!"

Katz! pikir Nazareth. Diakah putri perwira itu?

Lalu ketika gadis itu meletakkan telapak tangannya di bola kristal, aula besar itu mendadak beku.

Tidak ada reaksi!

Bola kristalnya bahkan tidak berkedip sama sekali.

Nazareth membekap mulutnya dengan kepalan tangan sambil memalingkan wajah, menyembunyikan tawa mengejek.

Si penggali bakat mendengus diam-diam sembari memutar-mutar bola matanya dengan tampang muak.

Para pejabat pencari bakat dari sembilan aliansi bergengsi di sekeliling balkon melemas karena bosan.

"Peri pelindung royal! Bakat spiritualnya tidak ada sama sekali," gumam mereka sangat menyayangkan.

Nazareth baru hendak berbalik dan bergegas menuju lantai bawah untuk menemui Nadine untuk menanyakan apakah gadis itu putri perwira yang ditemuinya di jalan tadi, tapi lalu mendadak berhenti ketika seisi aula kembali membeku.

Ia menoleh sekali lagi ke tengah arena. Sebelah alisnya terangkat tinggi, merasa sedikit… janggal.

Rupanya kemunculan seorang gadis di tengah arena memukau semua orang, bahkan sembilan pejabat kehormatan.

Nazareth mengerutkan keningnya dan mengedar pandang.

Kehadiran gadis muda itu sepertinya telah mengejutkan para bangsawan ini.

Dalam hati, Nazareth tertawa. Yah, aku tak bisa menyalahkan mereka! katanya dalam hati. Daya tarik gadis di tengah arena itu memang bisa membuat orang tak waras.

"Ehem!" Gadis muda di tengah arena itu berdeham. Suaranya menggetarkan para pejabat pencari bakat dan para master penggali bakat dari keterpukauan mereka.

Salah satu pejabat terbatuk perlahan, sementara yang lain bergerak gusar di tempat mereka ketika tiba-tiba tersadar hingga timbul kegelisahan bahwa mereka baru saja mempermalukan diri mereka sendiri.

"Master…" gadis itu mengangkat alisnya dengan sopan. "Dapatkah saya mulai, Sirs?"

"Emm, Nona… tentu, ya. Silahkan!" Sang pimpinan penggali bakat menyahut sedikit gugup. "Boleh kami tahu siapa nama Anda?"

"Evelyn Katz!"

Katz---lagi? pikir Nazareth melengak. Berapa banyak klan Katz di kota ini? ia bertanya-tanya dalam hatinya.

Arena gali bakat mulai berkeredap dan menyala berkelap-kelip. Tujuh lingkaran berwarna-warni seperti pelangi berbentuk cakram telah menyelubungi tubuh Evelyn.

Rasanya hangat sekali, pikir Evelyn. Merasa nyaman berada dalam lingkaran cahaya itu. Seakan sedang berendam dalam kolam air hangat dengan aroma terapi.

Gadis itu mengulurkan sebelah tangannya. Cahaya terang benderang terpancar dari telapak tangannya. Dan muncullah peri pelindungnya.

Untuk sesaat semua orang hanya tergagap disilaukan cahaya dari telapak tangan Evelyn, tapi lalu mengerang ketika semakin jelas bahwa peri pelindung yang dimilikinya merupakan tanaman liar.

Para penggali bakat menarik kembali cakra mereka dan menurunkan tangannya dengan bahu melemas.

"Lagi-lagi peri pelindung tak berguna!" gerutu beberapa orang.

"Berikutnya!" panggil si penggali bakat yang memiliki bola kristal, mulai tak sabar.

"Dengan segala hormat… Sirs!" Evelyn menginterupsi. "Kalian belum menguji bakat spritual saya," protesnya sambil mengerling ke arah bola kristal di tangan salah satu penggali bakat.

Si pemilik bola kristal mengerang bosan, "Tak perlu diuji lagi," katanya meremehkan. "Peri pelindung tak berguna seperti rumput liar belum pernah ada yang punya kekuatan spiritual," cemoohnya.

"Biarkan saya mencobanya," pinta Evelyn tanpa mengurangi rasa hormatnya. "Saya hanya… perlu mengetahuinya."

Para penggali bakat itu saling bertukar pandang satu sama lain.

Salah satu dari mereka menatap Evelyn dengan mata terpicing. Gadis ini sepertinya sedikit berbeda dengan yang lain, pikirnya menimang-nimang. Ia melirik si pemilik bola kristal dan menganggukkan kepalanya sedikit.

Lalu si pemilik bola kristal mendesah kasar. "Baiklah, baiklah!" katanya menyerah. "Menguji bakat spiritual juga takkan membuang banyak waktu." Ia mengulurkan bola kristalnya.

Dan ketika Evelyn menaruh telapak tangannya, bola kristal itu bergetar dan berkeredap. Seisi aula turut bergetar seperti dilanda gempa.

Semua orang menahan napas dan terperangah. Tidak terkecuali Nazareth.

Lalu secara perlahan cahaya putih terang benderang mulai terpancar menyilaukan seluruh tempat.

Si pemilik bola kristal terhenyak dan secara refleks terpaksa mengeluarkan tenaga untuk mempertahankan bola kristal itu tetap berada di tangannya.

SLASH!

Cahaya putih terang itu meledak meliputi seluruh tempat, hingga seluruh aula hanya terlihat putih.

Hening.

Lalu secara perlahan, cahaya putih terang menyilaukan itu berangsur-angsur memudar.

Semua orang mengerjap bersamaan.

Nazareth mengerutkan keningnya. Selama bola kristal menunjukkan reaksi, meski hanya segaris cahaya saja sudah terbukti ada kekuatan spiritual, pikirnya. Lalu cahaya yang menyilaukan ini… mungkinkah… gadis ini jangan-jangan…

"Karunia cahaya penuh!" seru salah satu pejabat pencari bakat.

"Bakat lahir yang luar biasa!" seru yang lainnya.

"Ini pertama kalinya sejak seratus tahun!" seru yang lainnya lagi.

Lalu keheningan menyergap seisi ruangan sekali lagi.

"Nona, ternyata kau terlahir dengan kekuatan spiritual penuh!" si pemilik bola kristal memberitahu.

"Dan apa artinya itu?" Evelyn bertanya dengan ekspresi penasaran seorang anak kecil.

"Kuat-lemahnya peri pelindung yang dibangkitkan, selain bentuknya, kekuatan spiritual juga penting," si pemilik bola kristal itu menjelaskan. Banyak orang setelah peri pelindungnya dibangkitkan tidak memiliki kekuatan spiritual. Sama seperti anak-anak tadi. Orang-orang seperti itu sudah bisa dipastikan tak bisa menjadi master spiritual seumur hidupnya. Jika pada saat kebangkitan peri pelindung seseorang memiliki kekuatan spiritual, meski hanya segaris cahaya saja bisa berkembang melalui latihan. Inilah yang dimaksud dengan karunia cahaya, dan itu artinya kekuatan spiritual alami."

Kekuatan spiritual alami? Evelyn mengerutkan keningnya. Yang diserap bola kristal tadi adalah tenaga dalamku. Jangan-jangan yang dimaksud kekuatan spiritual alami adalah tenaga dalam?

"Tinggi dan rendahnya kekuatan spiritual saat dibangkitkan menentukan tinggi dan rendahnya tingkat yang bisa dicapai master spiritual," pria itu melanjutkan. "Semakin tinggi kekuatan spiritual, semakin cepat kultivasinya. Jadi, yang dimaksud dengan kekuatan spiritual penuh itu adalah… kekuatan cahaya saat pembangkitan telah mencapai tingkat tertinggi."

Evelyn menyimak penjelasan penggali bakat itu dengan dahi berkerut-kerut, mencoba mencerna kata demi kata.

"Setiap sepuluh level peri pelindung memiliki gelar," lanjut si pemilik bola kristal. "Setelah peri pelindung dibangkitkan, gelarnya peri pejuang. Kekuatan spiritual terendah disebut peri pejuang level satu. Paling tinggi disebut peri pejuang level sepuluh. Kekuatan spiritual yang bisa mencapai tingkat tertinggi, level sepuluh adalah kekuatan spiritual penuh."

Mata Evelyn spontan membulat.

"Aku belum pernah menemukan seseorang dengan kekuatan spiritual penuh," kata si pemilik bola kristal lagi. Dulu ketika peri pelindungku dibangkitkan juga kekuatan spiritualku hanya level dua, katanya dalam hati.

"Kekuatan spiritual hanya bisa mencapai level sepuluh?" tanya Evelyn. "Apa tak bisa lebih tinggi lagi?"

Para pejabat pencari bakat dan para master penggali bakat tertawa menanggapinya.

"Tentu saja tidak bisa," jawab si pemilik bola kristal menandaskan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!