“Umurmu berapa sekarang, Rim?” tanya Tante Sania.
Rima berhenti mengunyah makanannya. Ia melirik ke arah Arjun, suaminya. Lelaki itu tampaknya tak peduli dengan pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
Rima selalu membenci pertemuan keluarga. Jika ia datang, hal pertama yang dibahas tentang dirinya pasti tentang kehamilan. Memang, sudah 4 tahun mereka menikah, namun tanda-tanda kehamilan belum juga muncul. Sebenarnya dia dan Arjun tak terlalu buru-buru untuk memiliki momongan. Namun, keluarga besar Arjun selalu menyudutkannya dengan pertanyaan seputar kehamilan.
“Umur saya 27 tahun, Tante,” jawab Rima. Napsu makannya seketika hilang Ketika harus membahas tentang keturunan.
“Wah, sebentar lagi mau kepala tiga, ya! Itu sudah harus waspada,” sambung Tante Gina.
“Benar sekali. Katanya wanita paling bagus hamil saat usia 20an. Kalau 30an ke atas katanya lebih beresiko,” ujar Tante Sania.
“Kamu ini sebagai mertua bagaimana, Suni! Menantumu belum hamil tapi kamu masih santai saja,” sindir Tante Gina.
Suni terlihat menghela napas. “Aku harus bagaimana lagi? Mereka pasti tidak akan menggubris saranku,” ucapnya pasrah.
“Kalian ini kenapa? Biarkan saja Rima dan Arjun yang menentukan kapan mau punya anak. Kalian tidak perlulah terlalu ikut campur,” tegur Om Ramli, suami tante Gina.
“Tidak begitu juga, Mas. Mereka sudah 4 tahun menikah, loh. Usia mereka juga sudah tidak muda lagi, Arjun anak tunggal. Kasihan kalau sampai tidak punya anak. siapa yang akan jadi penerusnya?” kilah Gina.
Ingin rasanya Rima menangis. Di perkumpulan keluarga Arjun, ia merasa sendiria, taka da yang membelanya bahkan suaminya sendiri.
Usai acara makan malam, Rima kembali ke kamarnya. Tak berselang lama, Arjun menyusul ke dalam.
“Kamu tidak perlu menggubris ucapan mereka, aku baik-baik saja meskipun kamu belum hamil, “ kata Arjun.
“Ya, karena yang terus disalahkan hanya aku! Bukan kamu!” kesal Rima. “Ibumu juga sepertinya sudah sangat muak denganku.”
“Itu hanya perasaanmu saja.” Arjun berusaha menenangkan perasaan istrinya.
Rima menangis meluapkan kesedihangnya arjun hanya bisa memeluk dan mengelus punggungnya.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak sedih lagi? Apa aku harus menikahi wanita lain untuk mendapatkan anak?”
Rima terhenyak kaget mendengar ucapan Arjun. Ia mendorong tubuh suaminya hingga pelukan mereka terlepas. “Kamu gila, ya? Tega kamu melakukan hal seperti itu padaku?” ia tidak menyangka Arjun bisa memiliki ide gila seperti itu.
“Kamu sendiri yang selalu ribut masalah anak. Mama juga pernah memberi saran seperti itu. Aku jadi pusing.”
Rima sudah menduga jika ibu mertuanya akan melakukan ahl seperti itu di belakangnya. Memang di depannya tidak secara gamblang mengatakan untuk mencari wanita lain bagi putranya. Ia merasa posisinya di rumah itu semakin terancam.
“Bagaimana kalau kita coba periksa ke dokter, Mas? Aku ingin tahu apa yang menyebabkan sulit hamil,” usul Rima.
“Ya, kalau kamu mau melakukannya, lakukan saja,” ucap Arjun.
“Kok aku? Kita berdua dong … kamu juga perlu cek!” rengek Rima.
“Iya, iya … besok kita akan pergi ke rumah sakit. Jangan terlalu memikirkan ucapan om dan tante atau mamaku. Aku tetap mencintaimu.” Arjun kembali memeluk Rima dengan setulus hati.
***
“Kondisi Rahim Anda tidak ada masalah, Ibu. Namun sayangnya, suami Anda ternyata mengalami azoospermia,” kata dokter.
Rima mengerutkan dahi. “Azoospermia? Apa itu?” tanyanya ingin tahu.
“Itu istilah medis di mana cairan yang biasanya lelaki keluarkan saat bercinta tidak mengandung ****** sama sekali, Bu. Bisa dikatakan suami Anda infertile atau … mandul.”
Keterangan dokter yang ia dengarkan bagaikan sambaran petir di siang bolong. Ia masih bersyukur suaminya tidak ikut dengannya untuk mengambil hasil pemeriksaan yang telah dilakukan seminggu yang lalu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan suaminya jika mengetahui hal tersebut.
Rima pulang ke rumah dengan kondisi lesu dan tidak bersemangat. Ia masih memegangi kertas hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Ia masih ragu untuk menyampaikan hal itu kepada suaminya.
Rasa cinta Rima kepada Arjun sangat besar. Ia bisa saja menerima kondisi Arjun yang tidak dapat melahirkan keturunan. Namun, keluarga besar Arjun pasti akan tetap menanyakan tentang masalah anak. Jika mereka tahu kondisi suaminya yang sebenarnya, Arjun akan direndahkan seperti yang dialaminya.
“Rima, itu apa?” tanya Sandi.
“Ah! Bukan apa-apa!” mendengar suara dari ayah mertuanya secara tiba-tiba membuat Rima terlonjak kaget. Kertas di tangannya sampai melayang jatuh tepat di depan Sandi.
“Papa, jangan!” seru Rima saat Sandi memungut kertas itu.
Terlambat. Sandi sudah membaca hasil pemeriksaan dia dan suaminya. Rima hanya bisa pasrah. Ia kira di rumah sedang tidak ada orang, ternyata ayah mertuanya sudah pulang dari kantor.
“Arjun mandul, ya?” tanya Sandi.
Rima menghela napas. “Papa, tolong jangan katakana kepada siapapun tentang hal ini, termasuk kepada Arjun,” pintanya.
“Kenapa begitu? Selama ini kamu yang terus disudutkan karena belum juga hamil. Biarkan mereka tahu siapa sebenarnya yang bermasalah. Papa sebenarnya kasihan padamu,” ucap Sandi.
Rima memasang wajah memelas. “Aku tidak mau Mas Arjun dihina orang, Pa. Kasihan dia.”
“Hahaha … kamu lucu sekali, Rima. Seharusnya kamu kasihan kepada dirimu sendiri. Aku pernah mendengar Arjun dan Suni membahas tentang istri kedua. Mereka sangat menginginkan keturunan sampai seperti itu.”
Rima terdiam. Memang, mengingat ucapan Arjun malam itu tentang niatnya menikah lagi membuat hatinya sakit. Namun, rasa cinta yang besar tetap tak membuat Rima tega mengatakan kepada Arjun.
“Mereka tidak akan bosan membahas tentang keturunan sampai kamu bisa hamil, Rima. Padahal suamimu tidak akan pernah bisa membuatmu hamil,” ujar Sandi.
Rima merasa bimbang dan serba salah. “Aku hanya ingin mempertahankan pernikahanku dengan Mas Arjun, Pa! Kenapa anak harus menjadi batu sandungan dalam pernikahan kami.”
Sandi memegang kedua bahu Rima. “Papa sangat memahami masalahmu, Rima. Posisimu memang serba salah. Bagaimana kalau Papa memberi solusi?”
“Solusi apa, Pa?” tanya Rima penasaran.
Sandi mengajak Rima masuk ke ruang kerja miliknya. Ia melihat sekeliling sebelum menutup pintu ruangan untuk bicara berdua dengan menantunya.
“Kenapa kita harus bicara di sini, Pa?” tanya Rima heran. Ia dipersilakan masuk ruang kerja ayah mertuanya dan duduk di sofa berdua.
“Ini sangat rahasia, Rima. Kamu harus tenang,” kata Sandi.
Rima mengangguk.
“Rima, kamu tahu kan, kalau Papa sangat peduli padamu?” tanya Sandi.
Rima kembali mengangguk. Memang selama ini Sandi selalu bersikap baik padanya meskipun Sandi hanyalah ayah tiri suaminya.
“Bagaimana kalau Papa yang memberikan benih untukmu?”
Rima membulatkan mata. “Papa!” serunya. Perkataan Sandi sungguh sangat tidak pantas diucapkan. Bagaimana bisa seorang ayah mertua menawarkan hal yang sangat menyimpang baik di mata masyarakat maupun agama.
“Dengar dulu, Rima, kamu jangan salah paham.” Sandi berusaha menahan tangan Rima agar tidak pergi dari sana.
“Sepertinya Papa sedang mabuk. Perbincangan kita sungguh sangat tidak pantas, Pa. Aku akan pura-pura tidak pernah mendengarnya.” Rima berusaha mengelak.
“Rima, Rima … katanya kamu tidak mau bercerai dengan Arjun. Kalian pasti akan bercerai pada akhirnya karena kamu tidak akan hamil!” tegas Sandi.
Rima terdiam. Ucapan sang ayah mertua ada benarnya.
“Apa yang aku tawarkan padamu sebatas bentuk kasih sayang kepada keluarga, Rima. Orang lain di luaran sana belum tentu bisa tulus dan menjaga rahasia seperti yang akan aku lakukan, aku berjanji tidak akan pernah membocorkan hal ini.”
Sandi seakan tengah mengeluarkan kata-kata rayuannya. Rima yang diliputi dilemma menjadi bimbang dengan niat baik ayah mertuanya.
“Papa hanya ingin membantumu untuk hamil. Kalian pasti akan menjadi keluarga yang lebih bahagia jika kamu berhasil hamil,” sambung Sandi.
🤎
🤎
🤎
“Pa, tapi kita keluarga … hal seperti ini sangatlah tidak ….”
“Sstt ….” Sandi menempelkan jari telunjuknya di bibir Rima. “Makanya kita harus merahasiakan hal ini. Hanya kita berdua yang boleh tahu. Kita akan tetap menjadi keluarga seperti biasanya, Rima,” bujuk Sandi.
Ucapan dan janji-janji manis Sandi begitu mampu memberikan sugesti kepada Rima. Akhirnya wanita itupun luluh dan menuruti kemauan sang ayah mertua.
“Papa janji tidak akan mengatakan apapun kepada Mas Arjun, kan?” tanya Rima.
Sandi merobek kertas hasil pemeriksaan Arjun yang dipegangnya di hadapan Rima. “Papa akan pegang kata-kata Papa, Rima. Arjun tidak akan tahu kalau dia mandul dan kamu akan tetap bisa berada di samping Arjun dengan percaya diri setelah hamil nanti.”
Rima menurut. Ia biarkan Sandi mengusap pipinya dengan lembut. Ini pertama kalinya ia biarkan lelaki lain menyentuhnya. Ada rasa malu dan risih Ketika tangan itu mulai menjalar menelusuri bagian tubuhnya yang lain.
Rima hanya bisa pasrah Ketika bibirnya mulai dipagut oleh sang ayah mertua. Ruangan itu menjadi saksi terjadinya hubungan tabu yang terjadi antara dirinya dan ayah mertua. Buliran air mata jatuh saat hubungan terlarang itu benar-benar terjadi. Ia merasa berdosa dan bersalah pada Arjun. Namun, ia juga melakukannya demi tetap mempertahankan pernikahannya tanpa menyakiti hati suaminya.
***
“Mas, maafka aku, ya!” ucap Rima sembari memeluk tubuh suaminya.
Semenjak hubungan terlarang itu terjadi, tiada hari bagi Rima untuk menangis dan menyesali tindakannya. Ia yakin Arjun akan sangat kecewa jika mengetahui dirinya pernah berhubungan badan dengan ayahnya. Ia hanya bisa memeluk sang suami dan meminta maaf setiap hari untuk mengurangi rasa bersalahnya.
Arjun sampai heran karena istrinya kini lebih tenang dan patuh padahal sebelumnya sering marah-marah dan tersinggung. Bahkan setiap hari istrinya selalu minta maaf seakan telah membuat kesalahan yang tak bisa termaafkan.
“Kenapa kamu minta maaf terus, hm?” tanya Arjun seraya membalas pelukan istrinya. Ia merasa gemas dengan Rima yang kian hari kian terlihat cantik di hadapannya. Wanita itu sekarang sangat suka mengenakan gaun tidur yang menawan dan membuatnya bergairah setiap malam.
“Ya, maaf kalau selama ini sudah banyak merepotkan. Maaf juga karena belum hamil,” kata Rima.
“Hah … kenapa hal itu lagi yang dibahas? Kamu atau Mama sama saja!” keluh Arjun.
“Kamu kana nak tunggal, wajar kalau Mama menuntutmu untuk segera punya anak,” ujar Rima.
“Iya, aku tahu. Tapi, tidak perlu terburu-buru seperti itu. Lagipula, hasil pemeriksaan dokter juga memperlihatkan kalau kita tidak punya masalah Kesehatan organ reproduksi, kan? Aku yakin kalau waktunya sudah tiba, kita juga bisa punya anak.”
Rima tersenyum kecut. Ia tahu hal itu tidak mungkin terjadi. Rima sengaja memalsukan hasil pemeriksaan dokter sehingga Arjun tidak mengetahui jika kenyataannya dia infertile.
***
“Rima,” sapa Sandi.
Rima baru saja mengambil sebotol jus dari dalam kulkas. Ia tidak menyangka Sandi akan memergokinya.
Setelah peristiwa itu, ia lebih memilih menghindar setiap kali bertemu dengan Sandi meskipun mereka tinggal satu rumah. Ia tidak bisa lagi memandang lelaki itu murni sebagai ayah mertua setelah hubungan terlarang itu terjadi.
“Maaf, Pa, aku mau naik ke atas,” pamit Rima.
“Tunggu, Rima!” cegah Sandi.
Terpaksa Rima menghentikan langkah. Ia menunduk saat Sandi berjalan mendekat ke arahnya.
“Apa kamu mencoba menghindari Papa?” tanya Sandi.
Rima terdiam.
“Papa sedih sekali kamu jadi seperti ini. Padahal Papa hanya berniat membantu saja,” ujar Sandi memasang wajah sedih.
“Maaf, Pa. Aku memang merasa tidak nyaman.” Rima berusaha berkata jujur.
“Bagaimana, apa kamu sudah ada tanda-tanda hamil?”
“Pa!” kesal Rima. “Aku tidak mau membahas hal itu lagi. Tolong, berhenti melakukannya!” pintanya seraya berjalan pergi meninggalkan sang ayah mertua.
Sandi menyeringai. Ia merasa senang setidaknya bisa berkesempatan bicara dengan menantu yang sangat disayanginya.
Sandi belum lama menikah dengan Suni, ibu Arjun. Mereka menikah sekitar delapan bulan yang lalu. Saat pertama kali bertemu dengan Rima, ia sudah merasa tertarik padanya. Ia sering kali curi-curi pandang terhadap menantunya. Kian hari rasa ketertarikan itu semakin besar terhadap Rima. Sayangnya, ia terhalang status sebagai menantu dan ayah mertua.
Saat melihat hasil pemeriksaan organ reproduksi Arjun yang sangat mengejutkan, ia merasa memiliki kesempatan untuk bisa menguasai Rima. Dengan segala bujuk rayunya, ia berhasil meniduri wanita itu.
Ia kira akan puas hanya dengan merasakan berhubungan satu kali. Nyatanya, ia tak bisa melupakan momen terindah bersama sang menantu. Sifat serakahnya membuat ia ingin mengulang kembali. Sayangnya, Rima terkesan menjauh dan menghindarinya.
***
“Hoek! Hoek!”
“Kamu salah makan atau memang masuk angin? Kenapa jadi muntah-muntah begitu.”
Arjun membantu memijit Pundak Rima sembari mengoleskan minyak kayu putih. Ia mengajak istrinya pergi ke dokter bersama sopir karena sejak bangun tidur Rima terus muntah-muntah tanpa sebab yang jelas. Tubuh Rima juga terlihat lemas.
Sesampainya di ruangan dokter, Rima langsung diperiksa.
“Bapak, selamat, istri Anda ternyata hamil,” ucap Sang dokter.
“Benarkah, Dok! Istri saya hamil?” tanya Arjun memastikan.
“Benar, Pak. Istri Anda hamil.”
“Ah … sayang, kamu hamil!” seru Arjun kegirangan. Ia memeluk istrinya yang masih terduduk di ranjang pemeriksaan.
Perasaan Arjun sangat senang sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya masih tidak percaya jika istrinya akhirnya bisa hamil.
Sementara, Rima hanya bisa tertegun dengan kehamilannya. Ia hanya melakukan hubungan sekali dengan ayah mertuanya. Berselang satu bulan setelah hubungan itu terjadi, ia muntah-muntah dan ternyata hamil. Padahal, ia sudah ingin melupakan niat awal melakukan hubungan terlarang itu demi kehamilan.
“Sayang, aku bahagia sekali. Akhirnya kitab isa punya anak!”
Arjun menunjukkan ekspresi bahagianya yang sangat besar. Sementara, Rima kembali diliputi kegalauan akibat kehamilannya. Ia tak lagi menginginkan benih yang bukan berasal dari suaminya. Namun, ia juga tak tega bila menggugurkan bayi yang sangat diinginkan oleh Arjun dan keluarganya.
Sepulangnya dari rumah sakit, Rima mendapatkan pesta kejutan dari keluarga Arjun. Ada ibu mertua dan saudara-saudara Arjun yang datang memberi semangat. Perlakuan mereka seketika berubah akibat kabar kehamilannya.
Ucapan selamat mengalir satu per satu kepadanya. Bahkan, mereka memberikan kado barang-barang mewah untuk merayakan kehamilannya. Seketika ia merasa seperti diratukan oleh semua orang.
“Selamat, Rima. Papa sudah bilang akan membuatmu bahagia,” ucap Sandi.
Mendengar perkataan lelaki itu membuat Rima bergidik. Bagaimanapun juga, orang yang menanamkan benih dalam rahimnya adalah lelaki itu, ayah mertuanya sendiri.
“Kamu tidak perlu khawatir, semuanya aka naman. Kamu akan tetap bahagia, Rima. Papa Janji.”
Rima hanya bisa terdiam. Ia tak bisa berbuat apa-apa karena Sandi mengetahui semua rahasianya. Meskipun ia tidak suka, namun berkat kehamilannya ia bisa memiliki hubungan yang hangat dengan suami dan keluarga.
🤎
🤎
🤎
Perut Rima kian hari kian membesar. Janin di dalam perutnya tumbuh dengan sehat. Ia melewati masa kehamilannya dengan curahan kasih sayang yang banyak dari semua orang. Mereka menganggap dirinya sebagai pembawa keberuntungan, calon ibu yang akan melahirkan penerus keluarga Wibowo.
"Sayang, apa kamu sudah siap?" tanya Arjun.
Rima yang telah merias diri dengan dress warna baby pink itu mengulaskan senyuman termanisnya. Di mata Arjun, Rima kelihatan semakin mempesona saat hamil. Wanita itu terlihat cantik dengan perut yang semakin membuncit.
Arjun menuntun Rima secara perlahan menuruni satu per satu anak tangga di rumah mereka.
"Mama bilang nanti akan memindahkan kamar kita ke lantai bawah, Sayang," kata Arjun.
Rima memasang wajah cemberut. Ia tak suka dengan rencana itu. Apalagi kamar mereka nantinya berdekatan dengan mamar mertuanya di lantai bawah. Ia lebih nyaman berada di kamar atas. Setidaknya ia bisa menghindari bertemu dengan ayah mertuanya.
"Tidak usah, Mas. Aku suka di atas," tolak Rima.
"Pokoknya kamu tidak bisa menolak, Sayang. Perutmu sudah semakin besar, nanti kamu kelelahan naik turun tangga. Lagipula, nanti kalau anak kita sudah lahir, biar gantian dirawat oleh Mama. Dia bahagia sekali sebentar lagi akan menjadi nenek."
Mendengar ucapan Arjun, Rima menangis di dalam batinnya. Ia telah berbohong dan mengkhianati semua orang namun mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa.
"Pelan-pelan, Sayang."
Arjun membantu Rima naik ke atas mobil. Ia mengikatkan sehelai kain pada mata Rima agar istrinya tidak tahu kemana ia akan membawanya. Di usia kehamilan tujuh bulan ini, rencananya Arjun ingin memberikan kejutan kepada Rima.
Sesampainya di suatu tempat, Rima diajak turun dari mobil. Ia dibawa ke sebuah villa yang terdapat di tepi laut.
"Satu ... Dua ... Tiga ... Kejutan!" Arjun membuka penutup mata Rima.
Rima terkejut sampai tak bisa berkata-kata melihat kejutan yang disiapkan untuknya. Keluarga besar suaminya telah. Berkumpul di sana menyambut dirinya. Villa pribadi milik keluarga Arjun disulap menjadi tempat pesta dengan dekorasi yang didominasi oleh sentuhan warna biru dan merah muda.
"Oh, ini lucu sekali ... Siapa yang membuat kejutan ini," guman Rima sembari melihat balon-balon yang memenuhi langit-langit rumah. Ia seperti akan melakukan acara ulang tahun.
"Siapa lagi kalau bukan Ibu Mertuamu, dia yang paling cerewet waktu kami bilang ingin membuatkan acara baby shower untukmu," kata Tante Gina.
"Benar sekali, Rima. Padahal kamu yang sedang hamil, tapi Suni yang paling heboh mempersiapkannya." Tante Sania menambahi.
"Dia bahkan sudah membelikan semua perlengkapan untuk calon anakmu. Lihat saja nanti, waktu kamu pulang ke rumah, kamarmu pasti sudah berubah!" sambung Gina.
"Heh! Kenapa kalian jadi membocorkan rencanaku?" protes Suni. "Rima, ayo ikut Mama," ajaknya. Suni menggandeng tangan Rima dan mengajaknya duduk di sofa.
Rima merasa kurang nyaman. Di sana ada Sandi yang seperti biasa selalu memperhatikannya dengan tatapan mesvm. Selama ada lelaki itu di dekatnya, ia merasa tak bisa bernapas dengan bebas.
"Sepertinya cucuku tumbuh dengan baik di dalam sana." Suni mengelus perut Rima dengan lembut. Wanita itu mendekatkan telinganya di sana, berharap bisa mendengarkan detak jantung calon cucunya.
"Halo, Sayang ... Cepatlah lahir, Nenek sudah tidak sabar menantikan kelahiranmu," ucap Suni.
Suni selalu membanggakan calon cucu pertamanya itu di hadapan keluarga, sahabat, dan rekan bisnisnya. "Aduh aduh aduh ... Aku merasakan gerakannya. Dia mendengar suaraku!" serunya kegirangan.
Tante Gina dan Tante Sania turut tertawa melihat tingkah Suni yang lucu. Wanita paruh baya yang biasanya serius itu tiba-tiba bisa menjadi sangat lembut.
Rima hanya bisa tersenyum. Ia masih mengingat perlakuan ibu mertua sebelumnya. Ia hampir dibuang dari rumah itu karena tak kunjung hamil. Ibu mertuanya juga sering mempengaruhi Arjun agar menikah lagi. Hal semacam itu yang terkadang membuat ia tak menyesal telah tidur dengan ayah mertuanya sendiri.
"Rima, ayo pecah balon dulu!" ajak Arjun.
Ia meraih tangan istrinya, membawa Rima menuju ke ruang tengah tempat acara utama gender reveal akan segera dilaksanakan. Ia berdiri bersama Rima di tengah-tengah, di antara anggota keluarga yang lain.
Pembawa acara memandu jalannya acara baby shower mereka. Keduanya melakukan acara potong kue lalu saling menyuapi seperti acara ulang tahun. Lalu, mereka mendapatkan sebuah balon besar yang harus dipecahkan untuk mengetahui kejutan di dalamnya mengenai jenis kelamin calon anak mereka.
"Satu ... Dua ... Tiga ....!"
Dor!
Balon besar itu meletus. Potongan kertas-kertas kecil dan balon berwarna biru keluar dari dalam balon yang meletus itu. Keduanya saling berpelukan kegirangan mengetahui calon anak mereka nantinya adalah laki-laki.
"Oh, selamat, ya ... Aku sudah yakin kalau bayinya pasti laki-laki. Mudah-mudahan tampan dan pintar seperti Arjun!" kata Tante Gina kegirangan.
"Anak pertama memang lebih baik laki-laki supaya nanti bisa melindungi adiknya," ujar Om Ramli.
"Nanti tinggal nambah anak perempuan supaya jadi lengkap," sahut Om Dion.
"Satu saja belum lahir kalian sudah meributkan anak kedua. Hahaha ...." Sandi ikut menyambung pembicaraan.
Lagi, Rima kembali merasa terancam. Ia tak bisa berkutik ketika Sandi ada di dekatnya.
"Kak Sandi sendiri dan Kak Suni tidak mau menambah anak?" tanya Om Dion.
"Apa kamu sudah gila, Dion? Sebentar lagi aku akan jadi nenek dan kamu menyuruhku untuk hamil?" kesal Suni.
"Hahaha ... Siapa tahu Kakak kesepian karena anak hanya satu. Apalagi Arjun juga sudah sibuk dengan keluarganya sendiri. Tambah saja lagi. Sandi masih kuat, kan?" ledek Dion.
Sekilas Sandi melirik nakal ke arah Rima namun wanita itu menghindari pandangannya.
"Bagaimana, Suni? Apa menurutmu aku masih kuat untuk membuat anak?" tanya Sandi.
"Oh. Ayolah, kenapa kamu jadi mengurusi candaan gila adikku. Kita ini sudah tua dan mau punya cucu. Kalau kurang kerjaan, kita bisa ikut mengasuh cucu, untuk apa susah-sudah hamil sendiri. Biar Arjun dan Rima yang menambah keturunan saja," ujar Suni.
"Kakakmu menolak, Dion. Jadi aku tidak bisa membuktikan kemampuanku," kata Sandi.
"Sudah, hentikan pembahasan ini. Kita semua calon kakek dan nenek kenapa malah membahas hal yang aneh-aneh. Untung anak-anak sedang main di luar," tegur Om Ramli.
"Sayang, kenapa kamu jadi orang terlalu kaku? Ini bagus sekali untuk mempererat kekeluargaan di antara kita. Biar calon anak Rima juga tahu kalau kakek neneknya sebanyak ini," sahut Gina.
Acara baby shower berjalan dengan sukses. Setelah acara, Arjun, Rima, Suni, dan Sandi memutuskan untuk menginap semalam di villa mengingat rumah mereka ada sedikit renovasi. Sementara anggota keluarga yang lain pulang ke rumah masing-masing.
🤎🤎🤎
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!