NovelToon NovelToon

Jodoh Pilihan Mama

Tulang punggung

"Kamu harus tetap kuliah, Nak. Masa depan kamu masih panjang. Kamu jangan menyia-nyiakan bea siswa yang kamu dapat." terdengar suara seorang wanita yang sesekali, dibarengi dengan batuk.

"Ma, sudah berapa kali, aku katakan ... mama jangan terlalu memikirkan, aku kuliah atau tidak.Yang penting sekarang adalah kesehatan mama. Kalau aku kuliah, siapa yang kerja, Ma? Rico juga perlu sekolah, dan tahun ini dia harus masuk SMA. Jadi, aku tidak apa-apa kalau tidak mengambil bea siswa itu." sahut seorang gadis manis yang tidak lain adalah Renata.

Renata Anjani, gadis cantik berusia 19 tahun. Dia memiliki rambut lurus hitam, berkulit putih, hidung mancung, dan bibir tipis. Gadis itu, baru saja menyelesaikan SMA-nya di sebuah sekolah elite karena bea siswa.

Setelah lulus, dia juga sebenarnya mendapatkan bea siswa untuk kuliah di universitas ternama di Indonesia, tapi gadis itu merasa kalau dia sama sekali tidak akan bisa membagi waktu antara kuliah dan kerja, mengingat jam kuliahnya yang regular dan dimulai dari pagi.

Sementara, kalau dia tidak bekerja, tidak akan ada yang bisa menopang kehidupan mereka, mengingat papanya sudah tiada dan mamanya mengidap kanker paru-paru yang sudah stadium lanjut. Selain itu Rico, adik laki-lakinya akan memasuki SMA di tahun ini.

Dulu mamanya adalah pedagang sayuran keliling, tapi karena penyakitnya, mamanya kini sudah tidak kuat lagi untuk bekerja. Jadi, mau tidak mau, Renata yang menggantikan mamanya bekerja. Mulai dari jadi kuli panggul di pasar pagi sebelum berangkat sekolah, menyetrika pakaian di laundry sepulang sekolah, bahkan kalau ada tetangganya yang memintanya untuk membersihkan rumah, tetap dia jabani yang penting bisa menghasilkan uang.

"Maafkan, Mama ya, Nak! Karena penyakit mama, kamu akhirnya yang menjadi tulang punggung. Harusnya di usia kamu sekarang, kamu itu belajar agar kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik nantinya," ucap mamanya Renata, lirih.

"Ma, tolong jangan berpikir yang macam-macam. Sudah berapa kali aku katakan agar mama jangan pernah merasa bersalah. Sekarang bagiku dan Rico, yang penting mama bisa sehat." Renata mengukir senyuman di bibirnya, untuk menenangkan hati wanita paruh baya, yang sedang terbaring lemah itu.

"Ya udah, sekarang aku pergi ke pasar dulu ya, Ma. Doa kan aku dapat banyak pelanggan hari ini. Doa kan juga aku bisa dapat panggilan kerja secepatnya." Renata meraih tangan mamanya dan mencium punggung tangan wanita yang melahirkannya itu.

Ya, gadis itu memang sudah menjatuhkan lamaran ke mall-mall, ke toko-toko, menggunakan izasah SMAnya. Jadi sebelum mendapat panggilan, Renata memutuskan untuk tetap menjadi kuli panggul di pasar.

Setelah menitipkan pada Rico adiknya Renata pun beranjak pergi keluar dari rumah kecil mereka.

.

.

.

"Aduh, Bu, aku benar-benar tidak berbohong. Dompet dan handpone aku memang ketinggalan di mobil. Aku hanya izin untuk mengambil dompetku sebentar dan aku akan balik lagi ke sini." terlihat seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik berdebat dengan seorang wanita penjual tempe.

"Kalau mau ambil uang, silakan, Bu. Tapi tolong jangan bawa tempenya. . Aku tidak mau kalau, ibu nantinya tidak kembali lagi," wanita penjual tempe, menahan tangan wanita paruh baya yang hendak membawa tempe,"

"Percaya deh, Bu, aku tidak akan lari. Nanti aku akan bayar tiga kali lipat tempenya,." mohon wanita itu dengan tatapan memelas.

"Sekali lagi maaf, Bu. Aku hanya pedagang kecil yang penghasilannya tidak seberapa. Zaman sekarang banyak yang penipu,Bu." wanita pedagang tempe itu masih tetap mempertahankan tempenya, yang memang lumayan banyak.

Wanita paruh baya yang berniat membeli tempe itu, terlihat merasa enggan untuk meninggalkan tempe yang memang benar-benar sangat dia inginkan. Dia takut begitu dia pergi nanti, pedagang itu akan menjual kembali tempe itu ke orang lain. Padahal dia sudah capek keliling pasar itu hanya untuk mencari tempe. Semua pedagang tempe sudah kehabisan tempe, kecuali wanita yang ada di depannya sekarang.

"Ada apa ini, Bude?" seorang gadis cantik yang tidak lain adalah Renata tiba-tiba muncul dan bertanya pada pedagang tempe.

"Ibu ini mau beli tempe, tapi katanya uangnya ketinggalan di dalam mobil. Bude sudah memintanya untuk mengambil uangnya, tapi tempenya ditinggal dulu di sini, tapi ibu ini tidak mau. Kalau dua atau tiga mungkin tidak apa-apa, Nak Renata, tapi ini kan lumayan banyak," terang pedagang tempe itu.

"Tapi, aku benar-benar tidak akan lari, Bu. Aku hanya takut nanti ketika aku pergi, ibu malah menjual kembali tempe-tempe ini pada orang lain." wanita si pembeli itu buka suara menimpali ucapan si pedagang.

Mendengar pembicaraan dua wanita paruh baya di depannya itu, Renata akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi. Gadis cantik itu, kemudian mengalihkan tatapannya ke arah wanita paruh baya pembeli tempe.

"Bu, kalau ibu memang benar-benar butuh, biarlah aku yang membayarnya lebih dulu." Renata akhirnya menawarkan bantuan.

"Nak Renata, apa kamu punya uang? apa kamu dapat banyak pelanggan hari ini?" tanya pedagang tempe itu yang memang sudah sangat mengenal Renata.

"Emangnya berapa yang harus dibayarkan ibu ini, Bude?" tanya Renata .

"Tempenya ada 20 batang, dikali dua ribu, jadi jumlahnya 40 ribu, Nak. Kamu apa ada uang segitu?" tanya penjual itu memastikan.

"Oh, tunggu sebentar! Aku hitung dulu ya, Bu." Renata mengeluarkan uang dari dalam sakunya dan mulai menghitung.

"Cukup kok, Bude. Nih uangnya, Bude." Renata memberikan uang yang kebanyakan pecahan 2 ribu sebesar 40 ribu,

"Kamu yakin mau bantu Ibu ini, Renata? bagaimana kalau dia memang penipu?"

"Tidak apa-apa, Bude. Lagian tidak baik berburuk sangka pada orang." Renata tetap mengukir senyumnya saat mengucapkan perkataannya.

"Ya udah, kalau memang kamu percaya. Yang penting aku sudah mengingatkanmu," pedagang tempe itu meraih uang yang diletakkan Renata dan memasukkan ke tas kecilnya.

Kemudian, Renata mengalihkan tatapannya ke arah wanita cantik paruh baya itu.

"Udah, Bu. Tempenya sudah aku bayar." ucap Renata dengan sopan dan masih dengan senyuman yang selalu menghiasi bibirnya.

"Aduh, terima kasih banyak, Nak!" Wajah wanita yang sangat menginginkan tempe itu, kini terlihat sumringah.

"Oh ya, kenalkan nama Tante, 'Tiara'. Nama kamu Renata kan? kamu jangan panggil Ibu, tapi kamu bisa panggil Tante saja. Sekarang kamu bisa ikut Tante ke mobil untuk mengambil uangnya!" wanita paruh baya bernama Tiara itu mengayunkan kakinya melangkah pergi setelah sebelumnya meraih tempe dari tangan si pedagang.

Sementara itu, Renata mengekor dari belakang, mengikuti langkah wanita paruh baya itu. Baru saja beberapa langkah, terdengar bunyi dering dari arah saku gadis itu.

Renata kemudian menjawab panggilan dengan raut wajah serius. Namun, tiba-tiba raut wajah serius itu, berubah panik.

"Iya, kakak akan pulang sekarang! Kamu jangan panik dulu! Mama pasti baik-baik saja." Renata berucap dengan suara yang sedikit tinggi.

"Maaf, Bu, aku pulang dulu!" tanpa menunggu tanggapan dari wanita bernama Tiara itu, Renata langsung berlari meninggalkan tempat itu setelah sebelumnya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

"Lho, Nak, uang kamu bagaimana!" Tiara masih sempat berteriak, tapi sama sekali tidak dipedulikan oleh Renata.

"Dia kenapa, Bu?" tanya Tiara pada pedagang tempe itu.

"Oh, sepertinya penyakit mamanya kambuh,"

"Mamanya 'sakit?" tanya Tiara, memastikan.

"Iya, Bu. Sakit kanker paru-paru dan sudah cukup parah. Kasihan dia. Di usianya yang masih muda, dia harus banting tulang untuk kelanjutan hidup mereka.Belum lagi biaya berobat mamanya yang tidak murah." Jelas pedagang tempe itu, membuat hati Tiara menjadi trenyuh

tbc

Jadi perawat pribadi

"Ayo masuk Nak Renata!" Renata pun masuk seperti yang diminta oleh wanita yang ada di depannya itu. Renata mengedarkan tatapannya ke segala penjuru ruangan, dengan tatapan yang sangat kagum, karena baru kali ini wanita itu masuk ke dalam mewah.

"Anak Tante ada di atas. Nanti Tante akan kenalkan kamu ke dia. Tapi, seperti yang Tante dan Om katakan tadi kalau anak Tante itu emosionalnya tidak stabil karena kondisinya yang lumpuh, aku harap kamu bisa sabar menghadapinya," jelas wanita paruh baya itu dengan lugas dan dibarengi dengan senyuman.

"Kamu duduk dulu, Nak Renata! mungkin kamu sedang capek,"celetuk seorang laki-laki yang Renata tahu bernama Adrian, yang merupakan suami dari Tante Tiara.

Ya, di sinilah Renata sekarang. Di sebuah rumah mewah, yang merupakan tempat tinggal wanita paruh baya yang dia bantu di pasar tadi. Kenapa dia bisa berada di rumah Adrian dan Tiara? itu karena dia diminta untuk merawat dan mengurus semua keperluan putra keduanya yang katanya mengalami kelumpuhan.

Flashback On.

Renata berlari masuk ke dalam rumah kecilnya dengan wajah yang sangat panik. Bagaimana tidak ... dia mendapat kabar dari adiknya kalau sang mama lagi-lagi batuk darah dan jatuh pingsan.

"Rico, bagaimana keadaan Mama? di mana mama?" cecar Renata tidak sabaran.

"Mama belum siuman dari tadi Kak. Bagaimana ini?" Rico adik Renata juga ikut panik.

" Ya, kita harus bawa ke dokter. Ayo buruan!"

"Tapi kita sama sekali tidak punya uang kak. Bagaimana kita bisa bawa mama ke dokter," Rico kini sudah mulai meneteskan air mata.

"Kamu tenang saja. Kita bawa dulu, nanti masalah uang biar kakak pikirkan. Kamu bawa dulu mama sendiri ke rumah sakit bisa kan?" ucap Renata, yang juga sudah mulai menangis.

" Tapi, bagaimana caranya kak? dan Kakak mau kemana? kenapa hanya aku yang bawa mama ke dokter?"

"Kakak hanya mau jual handpone ini dulu, untuk biaya rumah sakit mama," Renata menunjukkan ponselnya yang memang merupakan handpone mahal pemberian sahabatnya Salena.

"Tapi bukannya itu, pemberian sahabat kakak? bukannya itu dikasih ke kakak agar kalian berdua tetap bisa berkomunikasi? Bagaimana mungkin kakak menjualnya?"Rico mencoba mengingatkan.

"Kakak tahu, Rico, tapi kondisinya sekarang sudah urgent. Kita sama sekali tidak punya uang. Hanya ini satu-satunya benda yang lumayan mahal dan bisa kita jual. Kakak yakin Salena pasti bisa mengerti dan tidak akan marah. Sekarang yang penting nyawa mama dulu! ayo kita bawa mama ke rumah sakit!". Renata berlari ke kamar disusul oleh Rico adiknya.

Mereka berdua kemudian, berusaha mengangkat tubuh lemah mama mereka, hendak membawa keluar.

Baru saja tiba di luar, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman rumah mereka.

Renata mengrenyitkan keningnya, begitu melihat sosok wanita yang keluar dari dalam mobil, yang tidak lain adalah Tiara wanita yang dia bantu bayarkan uang pembelian tempenya di pasar tadi. Bersama wanita paruh baya itu, tampak juga seorang pria paruh baya yang Renata yakini adalah suami wanita itu.

"Tante Tiara? bagaimana dia bisa tahu rumahku?" batin Renata dengan alis bertaut.

"Hah, apa yang terjadi Nak Renata? kenapa dengan mamamu?" tanya Tiara dengan raut wajah khawatir.

"Bertanyanya nanti saja. Sebaiknya kita bawa dulu ibu ini ke rumah sakit. Ayo bawa ke mobil Om!" Pria paruh baya itu buka suara dan langsung membantu Rico mengangkat tubuh lemah mamanya Renata ke dalam mobil.

"Tante, bisa tidak mama saya dibawa dulu, nanti aku akan menyusul!" Renata buka suara dengan sangat hati-hati, begitu mama dan adiknya sudah ada di dalam mobil.

"Kenapa tidak ikut saja? emangnya kamu mau kemana?" Tiara mengrenyitkan keningnya.

"Emm, aku hanya ada keperluan sedikit Tante," sahut Renata yang tidak ingin memberitahukan kalau dia ingin menjual handponenya.

"Kak Renata mau menjual handponenya dulu, Tante. Untuk biaya pengobataan mama," namun tiba-tiba Rico buka suara, membuat Renata mendelik kesal pada sang adik.

"Kamu masuk saja dulu ke mobil. Untuk urusan biaya pengobataan mamamu, biar Om yang bantu," ucap Adrian suami dari Tiara.

"Tapi, Om ... aku ...."

"Untuk sekarang kamu jangan terlalu memikirkan prinsip kamu yang tidak mau meminta-minta. Sekarang utamakan nyawa mamamu dulu!" potong Adrian sebelum Renata bicara kembali.

"Heh, dari mana mereka tahu prinsip hidupku?" alis Renata bertaut begitu tajam.

"Sudahlah Nak Renata. Jangan terlalu banyak pertimbangan, mama kamu butuh cepat ditangani," Ayo masuk!" Tiara kembali buka suara melihat keraguan yang terlukis jelas di wajah Renata.

Merasa ucapan sepasang suami istri itu benar, Renata akhirnya memilih untuk masuk ke dalam mobil.

Tanpa menunggu lama, Adrian pun melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan cepat.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Bagaimana kondisi mamaku, Dok?" tanya Renata begitu dokter keluar dari ruang pemeriksaan.

"Kanker mamamu sudah stadium 4 Nak. Dan mamamu sama sekali tidak pernah kemoterapi. Bukannya dari awal ketika kanker mamamu masih di tahap awal, aku sudah mengatakan kalau mamamu harus dioperasi supaya tidak berlanjut? Kalau stadiumnya sudah tinggi seperti ini, mamamu harus rutin Kemoterapi, kalau tidak Radiotherapi," jelas dokter itu dengan lugas dan sedikit kecewa, karena perkatannya dulu dianggap angin lalu oleh pasien, atau mamanya gadis di depannya itu.

"Dok, bukannya kami tidak mau melakukan operasi ataupun Kemoterapi, tapi, itu semua karena kami tidak punya biayanya,Dok," Renata menundukkan kepalanya, sembari menangis.

Dokter itu kemudian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kembali ke udara. Merasa kasihan, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"Nak, pasien yang menjalani pengobatan kemoterapi dalam kondisi stadium 4 memiliki angka harapan hidup hingga 10 bulan ke depan.Sementara bila tak diobati, angka harapan hidupnya diperkirakan 3 bulan," lanjut dokter itu kembali menjelaskan.

"A-apa, Dok? jadi maksud Dokter hidup mamaku tidak lama lagi? Dokter bukan Tuhan yang bisa tahu hidup dan mati orang," Renata menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.

"Kami dokter memang bukan Tuhan, tapi kami bisa memprediksikannya. Kamu tahu kan arti prediksi? prediksi itu bisa benar bisa juga salah. Tapi selama ini, prediksi dokter yang menangani kanker jarang meleset. Hanya sebuah keajaiban yang bisa membuat prediksi dokter meleset," tutur dokter itu dengan sabar.

Renata kini tersungkur duduk menyender di sebuah kursi besi dengan air mata yang semakin deras mengalir. "Kenapa sih Tuhan? kami sudah miskin tapi Engkau masih memberikan cobaan seberat ini. Kenapa Engkau tidak memberikan cobaan lain saja? Apa Engkau benar ada untuk kami?" seru Renata yang terlihat mulai putus asa.

Melihat tangisan Renata, tanpa Tiara sadari, air mata wanita paruh baya itu juga sudah ikut menetes. Wanita itu kemudian mengayunkan kakinya menghampiri Renata.

"Nak kamu jangan putus asa ya! Kamu harus tetap memiliki harapan, untuk kesembuhan mama kamu. Kalau untuk urusan biayanya, biar Om dan Tante yang bantu. Jadi, kamu tenang saja!" Tiara membelai lembut kepala Renata. Entah kenapa hati Tiara benar-benar tertarik pada gadis itu. Karena menurutnya Renata ada gadis yang memiliki hati yang baik, kuat, gigih dan penuh prinsip.

"Tapi Tante__"

"Kamu jangan berpikir yang macam-macam dulu. Kalau kamu merasa tidak enak dan tidak mau menerima bantuan begitu saja, kamu bisa bekerja di rumah Tante sebagai perawat pribadi putra Tante yang sekarang mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan. Kalau kamu mau, Tante akan kasih kamu gaji 20 juta sebulan. Bagaimana, apa kamu mau?"

Mata Renata membesar begitu sempurna begitu mendengar nominal yang baru disebutkan oleh Tiara. Bagaimana tidak, gaji sebesar itu setara dengan gaji 6 bulan atau 7 bulan mungkin lebih kalau dia bekerja di toko.

"Apa Tante serius?" tanya Renata memastikan.

Tiara tersenyum dan mengangukkan kepalanya. "Tapi, Tante mau kasih tahu kamu sebelumnya agar kamu tidak kaget nanti. Putra saya itu, kondisi emosionalnya tidak stabil. Dia sekarang suka marah-marah karena merasa dirinya tidak berguna. Apa kamu sanggup, Nak?"

Renata dengan cepat menganggukkan kepalanya. Untuk sekarang dia tidak peduli apapun dan dia siap menghadapi apapun nantinya yang akan terjadi. Sekalipun dirinya nanti harus menghadapi kemarahan anak dari wanita paruh baya di depannya itu. Yang penting dia bisa bekerja mendapatkan uang demi pengobatan mamanya dan demi adiknya juga bisa sekolah.

Flashback End

tbc

Bertemu Arya

Renata kini sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedang tertutup bersama dengan Tiara.

Wajah Renata terlihat tenang, tapi tidak dengan hatinya. Kalau telinga didekatkan ke dada wanita itu, pasti bisa terdengar jelas bunyi jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat dari detak jantung normal.

Tiara mengetuk pintu dengan perlahan, namun tidak terdengar sahutan dari dalam sana. Wanita paruh baya itu pun kemudian membuka pintu dengan perlahan, yang memang sengaja tidak dikunci dari dalam.

"Ayo, masuk Nak Renata!" Renata menganggukkan kepalanya, dan berjalan menyusul Tiara dari belakang.

Kamar terlihat kosong, tidak tampak seorangpun.

"Kok bisa kosong? di mana anak Tante Tiara? atau jangan-jangan, anaknya itu tiba-tiba bisa berjalan? aduh kalau begitu, aku tidak dibutuhkan lagi, dong," batin Renata,mulai berasumsi negatif.

"Dia pasti di balkon. Dia biasa duduk di sana untuk menenangkan pikirannya, Nak Renata. Ayo kita ke sana saja!" Tiara kembali melangkah menuju balkon dan Renata kembali mengikuti wanita itu dari belakang.

Benar saja, di balkon tampak sosok laki-laki yang duduk di kursi roda sedang menatap lurus ke depan. Entah apa yang menarik di depan sana, Renata pun tidak tahu dan tidak mau tahu.

"Kamu di sini ternyata, Nak!" Tiara tersenyum dan merangkul pundak putranya itu dari belakang.

"Oh ya, Nak, Mama mau mengenalkankanmu dengan seseorang. Dia akan jadi perawat pribadimu," lanjut Tiara lagi sembari berpindah ke depan dan berlutut di depan putranya itu.

"Aku tidak butuh perawat. Aku bisa menolong diriku sendiri, Ma. Usir saja dia!" suara pria yang duduk di kursi roda itu, terdengar sangat dingin.

"Cih, sombong banget dia! sok bisa dan sok kuat!" umpat Renata dalam hati. "Tapi tunggu dulu, suara itu sepertinya aku pernah dengar," sambung Renata kembali, yang tentu saja masih tetap dalam hati.

"Kamu tidak boleh seperti itu, Nak. Mama sudah membawa dia ke sini dan kamu harus menerimanya," Tiara melirik ke arah Renata, benar-benar merasa tidak enak hati pada gadis itu.

"Apa Mama sudah tidak mau mengurusku? kalau Mama sudah tidak mau, tidak apa-apa. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku tidak butuh siapapun. Jadi, tolong usir dari sini! kalau Mama tidak mau, biar aku sendiri yang mengusirnya! pria itu berbicara masih dengan pandangan lurus ke depan dan nadanya masih sangat dingin.

"Tante, kalau anak Tante tidak mau, aku lebih baik pergi. Tante jangan memaksanya," akhirnya Renata yang dari tadi berusaha menahan geramnya, memberanikan diri untuk. buka suara, dan berbalik hendak pergi.

"Tidak boleh seperti itu, Nak. Tante mau kamu tetap menjadi perawat pribadi putraku. Tante mohon!" Tiara bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Renata untuk mencegah wanita itu untuk tidak pergi.

Setelah Renata menghentikan niatnya untuk pergi, Tiara kemudian kembali melangkah menghampiri putranya yang sepertinya enggan untuk berbalik.

"Nak, mama tidak pernah mengatakan kalau Mama tidak mau mengurusmu lagi. Hanya saja, waktu mama terbatas, Nak. Tolong maklumi Mama. Kamu mau ya punya perawat pribadi? kalau kamu tidak mau, itu berarti kamu sudah tidak menyayangi mama lagi. kamu memang suka melihat mama tetap bersedih. Apa itu memang maumu, Nak?" Tiara mulai memasang raut wajah sedih di depan sang putra yang disertai dengan air mata yang membasahi pipi, karena dia tahu jelas kalau putranya itu sangat tidak mau melihat mamanya menangis.

"Baiklah, Ma!" pungkas pemuda itu, yang seperti biasa akan selalu luluh melihat air mata mamanya.

Raut wajah Tiara seketika langsung berbinar. Wanita paruh baya itu kini tersenyum lebar mendengar ucapan putranya.

"Nak kalau gitu kamu berbalik, biar Mama kenalkan dengan perawat pribadimu," Tiara memegang kursi roda putranya dan membantu pria itu untuk berbalik.

"Tuh, dia perawat pribadimu, namanya __"

"Kamu!" seru pria itu, ketika pertama kali melihat Renata, membuat Tiara mengrenyitkan keningnya, bingung.

"Kamu!" demikian juga dengan Renata. Wanita itu juga terkesiap kaget begitu melihat wajah putra Tiara yang ternyata pria yang sudah dia kenal. Ya, dia adalah Arya, pemuda yang dia tahu selalu berusaha untuk mendekati Salena, sahabatnya. Akan tetapi cinta pria itu tidak berbalas, karena sahabatnya itu kini sudah menikah dengan pria yang dia cintai.

"Lho, kalian sudah saling kenal?" seru Tiara menatap putranya dan Renata bergantian.

"Iya Tante. Aku sahabatnya Salena," mata Tiara semakin berbinar ketika mengetahui kalau gadis yang menarik perhatiannya itu adalah sahabat Salena, gadis yang sangat dicintai oleh putranya.

Arya, mengalami kecelakaan, di malam resepsi pernikahan Salena dua bulan yang lalu. Putranya itu merasa frustasi sehingga tidak fokus saat mengemudikan mobilnya, sehingga kecelakaan pun tidak bisa dihindari lagi.

"Wah, kebetulan sekali ya. Kalau kalian sudah saling mengenal, berarti tidak sulit buat kalian berdua untuk beradaptasi!" senyum Tiara mengembang dengan sempurna.

"Aku tidak mau dia jadi perawatku! kalau Mama memang mau mencari perawat untukku, jangan dia!" cetus Arya tiba-tiba sembari memutar kembali kursi rodanya, untuk membelakangi Renata.

"Kenapa kamu tidak mau? apa karena aku sahabatnya Salena? kalau iya, berarti kamu pengecut!" sindir Renata.

Mendengar ucapan Renata, Arya menggeram dan kembali memutar kursi rodanya, menatap sengit ke arah Renata.

"Siapa yang kamu katakan pengecut, hah! aku sama sekali tidak pengecut!" napas Arya terlihat memburu, karena emosinya sudah memuncak.

"Kalau kamu tidak pengecut, kamu disebut apa lagi? pecundang? coba pikir, kita sama sekali tidak punya masalah tapi kamu langsung menolakku begitu saja, kan aneh! apa karena kalau aku yang merawatmu, kamu semakin sulit untuk melupakan Salena?" Renata balas menatap Arya dengan tajam dan dengan tangan bersedekap.

Sementara itu, Tiara yang melihat perdebatan keduanya, tidak merasa kesal ataupun marah melihat keberanian Renata mendebat putranya. Wanita paruh baya itu justru merasa senang, merasa kalau dirinya benar-benar tidak salah memilih orang untuk merawat putranya. Karena memang wanita seperti Renatalah, yang cocok untuk menghadapi putranya itu. Karena dia melihat kalau Renata pasti tahan banting sepedas apapun ucapan putranya itu nanti.

Napas Arya terdengar semakin memburu mendengar ucapan Renata yang menurutnya tidak ada takutnya. "Kamu jangan sembarangan bicara ya! aku tidak mau kamu jadi perawatku bukan karena membuat aku sulit melupakan Salena. Karena aku memang tidak berniat untuk melupakannya. Kenapa kamu berpikir dengan hanya melihatmu saja aku akan mengingat Salena? Apa kamu mengira kamu bisa dibandingkan dengannya? tidak sama sekali! bahkan seujung rambut pun kalian tidak sebanding," ucapan Arya benar-benar terdengar pedas dan menyakitkan.

"Arya!" tegur Tiara dengan mata yang melotot. Kali ini dia merasa kalau Renata pasti akan sangat sakit hati dan menangis mendengar ucapan putranya itu.

"Emangnya siapa yang mau dibandingkan dengan Salena? tanpa kamu katakan pun aku sudah sadar diri. Tapi, dengan ucapanmu tadi, aku semakin yakin kalau kamu menolakku hanya karena aku sahabatnya Salena, tapi kamu berusaha untuk menyangkalnya."

Mata Tiara membesar, karena dugaanya salah. Gadis 19 tahun itu justru terlihat menantang putranya.

" Sudahlah Tuan muda yang terhormat, semakin kamu menyangkal, semakin memperlihatkan kalau aku benar. Sekarang coba sebutkan alasan yang masuk akal kenapa kamu menolakku?" tantang,Renata lagi.

Arya terdiam, karena sebenarnya dia juga bingung kenapa dia bisa menolak keras wanita itu.

"Sudah, sudah! sekarang keputusan Mama sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Renata akan tetap jadi perawat pribadimu!" pungkas Tiara tegas tak terbantahkan.

"Tapi, Ma ...."

"Tidak ada tapi-tapi!" ayo nak Renata, Tante akan tunjukkan di mana kamarmu!" Tiara berjalan meninggalkan Arya dan Renata pun mengekor dari belakang. Namun, sebelumnya, Renata masih sempat menoleh dan menjulurkan lidahnya ke arah Arya.

"Sial! lihat saja, aku akan membuatmu tidak betah bekerja di sini!" batin Arya sembari mengepalkan tangannya.

tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!