"Sayang, maafkan aku."
Seorang lelaki bernama Calvin Arsenio memeluk tubuh sang istri dengan erat. Dia merasa sedih karena harus berpisah dengan wanita itu, padahal mereka baru saja menikah.
Zanna Allisya yang merupakan istri Calvin membalas pelukan suaminya dengan tak kalah erat, tetapi senyum manis masih tampak di wajahnya. "Kenapa kau minta maaf? Bukannya kau pergi untuk bekerja?"
Calvin mengangguk lemah sambil merenggangkan pelukannya, dia lalu menatap wajah sang istri yang nantinya akan sangat dia rindukan.
"Ayolah, Calvin. Kau kan cuma pergi keluar kota, itu tidak terlalu jauh," ucap Zanna sambil mengusap wajah laki-laki itu dengan sayang.
Calvin memalingkan wajahnya dengan cemberut, membuat Zanna mencubit pipinya dengan gemas. "Tapi kan, tetap saja." Dia sedang merajuk sekarang.
Zanna menggelengkan kepalanya sambil menarik wajah Calvin agar melihat ke arahnya. "Kita kan masih bisa bertemu, Sayang. Jarak ke sana itu cuma 4 jam saja, jadi tidak akan susah."
Calvin menghela napas frustasi. Mau semarah apapun dia, tetap saja harus melaksanakan tugas dari perusahaan tempatnya bekerja.
"Baiklah. Tapi kau harus janji untuk selalu menghubungiku, hem," pinta Calvin yang langsung diangguki oleh Zanna.
Setelah semua persiapan selesai, Calvin kembali memeluk tubuh Zanna sebelum benar-benar pergi dari tempat itu. Entah kapan dia akan mendapat libur dari perusahaan, karena saat ini ada banyak sekali pekerjaan yang harus dia selesaikan.
"Jaga kesehatan dan jangan lupa makan, itulah yang harus selalu kau ingat, Calvin," ucap Zanna sambil memasukkan kepalanya ke dalam mobil.
Cup.
Sekilas Calvin mengecup bibir Zanna membuat wanita itu terlonjak kaget. "Aku pasti akan lupa, Sayang. Karena cuma satu hal saja yang tidak akan aku lupakan, yaitu istriku yang sangat cantik ini."
"Tutup mulutmu yang sangat manis itu, Calvin. Aku tidak akan mempercayai gombalanmu." Zanna bersedekap dada dengan mulut maju beberapa senti.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Sayang. Aku pasti tidak akan pernah bisa melupakanmu,"
"Cih, dasar kau ini." Wajah Zanna mulai bersemu merah karena ucapan laki-laki itu. "Baiklah Tuan yang tidak bisa melupakanku, apakah Anda ingin berangkat sekarang atau tidak?"
Calvin tergelak mendengar ucapan sang istri. "Iya iya, aku akan pergi sekarang." Dia lalu meminta Zanna untuk mendekat dan mengusap pipi wanita itu dengan lembut.
"Jaga dirimu baik-baik ya, Sayang. Aku mencintaimu, dan maafkan aku." Calvin menatap Zanna dengan mata berkaca-kaca membuat wanita itu tersenyum simpul
Zanna segera menarik tangan Calvin dan menyalimnya. "Kau juga harus jaga diri, Sayang. Jangan tidur terlalu larut, dan jangan terlalu keras bekerja."
Calvin mengangguk paham. Dia lalu menghidupkan mesin mobilnya dan mulai pergi menjauh dari rumah itu dengan diiringi lambaian tangan Zanna.
"Sampai jumpa lagi, suamiku. Aku harap kau hidup dengan baik di sana, dan jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja." Zanna terus melihat ke arah perginya Calvin dengan air mata yang menetes dari sudut matanya.
Setelah beberapa saat, akhirnya Zanna kembali masuk ke dalam rumah. Suasan hening dan sepi langsung menyambut kedatangannya, seperti saat belum menikah dulu.
"Huh. Ayolah, Zanna. Suamimu itu pergi untuk kerja, dia mencari uang demi masa depan." Zanna berusaha untuk menenangkan dirinya yang mulai dipenuhi gelombang kesedihan.
Tidak mau berpikir yang macam-macam lagi, Zanna segera beranjak ke kamar untuk bersiap. Hari ini dia ditugaskan untuk menemani seorang pengusaha, yang akan memberikan materi untuk mahasiswa dan mahasiswi di dalam kelasnya.
Dengan menggunakan kemeja berwarna putih dan celana coklat, membuat tampilan Zanna sangat elegan sekali. Apalagi dengan makeup tipis yang menempel diwahnya, memberikan kesan cantik dan juga dewasa yang terpancar.
Zanna segera mengemudikan mobilnya menuju Universitas Graha, di mana tempatnya mencari rezeki selama ini.
Ya, Zanna Allisya adalah seorang Dosen yang mengajar ilmu bisnis di Universitas Graha. Sudah 4 tahun dia menjalani profesi sebagai seorang pengajar, dan dia sangat menyukai semua itu.
Beberapa saat kemudian, mobil Zanna sudah sampai diparkiran Universitas. Dia segera gurun dan melangkahkan kakinya dengan cepat untuk menemui seseorang yang mungkin sudah menunggunya.
Tok, tok. "Maaf mengangguk, Pak. Ini saya, Zanna," ucap Zanna saat sudah berdiri di depan sebuah ruangan.
"Masuk."
Zanna lansung membuka pintu ruangan itu dan melangkah masuk ke dalamnya. Terlihat ada dua lelaki beda generasi yang saat ini sedang duduk di atas sofa.
"Selamat pagi, Pak," ucap Zanna sambil menganggukkan kepalanya.
"Pagi juga, Buk Zanna. Perkenalkan, ini adalah Tuan Ghava Melviano. Pimpinan dari Melvi Company."
Zanna lalu mengulurkan tangannya dengan senyum cerah yang langsung disambut oleh laki-laki itu. "Saya Zanna Allisya, Tuan."
"Mohon bantuan Anda," ucap Ghava sambil melepaskan jabatan tangannya.
"Tentu saja, Tuan. Mari, saya akan menemani Anda ke dalam kelas."
•
•
•
Tbc.
Zanna segera membawa Ghava menuju ruang kelas yang biasa dia masuki, terlihat para mahasiswa dan mahasiswi sudah menunggu kedatangan mereka dengan sangat antusias. Terutama para kaum hawa yang sudah tidak sabar untuk melihat Ghava.
"Silahkan, Tuan." Zanna segera mempersilahkan Ghava untuk masuk ke dalam ruangan yang sudah diisi oleh banyak orang membuat laki-laki itu menjadi gugup.
"Hah." Ghava menghembuskan napas perlahan sebelum masuk ke dalam ruangan itu, jujur saja dia merasa gugup karena belum pernah memberikan pengajaran seperti ini.
"Tidak apa-apa, Tuan. Semua pasti akan berjalan dengan lancar," ucap Zanna membuat Ghava langsung melihat ke arahnya.
Dia tahu betul kalau saat ini laki-laki itu sangat gugup sekali, padahal Ghava adalah seorang pemimpin perusahaan yang sudah sangat terkenal. "Ternyata seorang pemimpin perusahaan juga bisa gugup seperti ini, ya? Menggemaskan sekali." Dia terseyum dengan lucu.
"Ah, ya. Saya merasa gugup sekali bila harus berhadapan dengan para mahasiswa seperti ini, mereka pasti jahil seperti saya dulu."
Ternyata itulah yang membuat Ghava menjadi gugup membuat Zanna semakin gemas saja padanya. "Mereka memang kadang seperti itu. Bahkan mereka anak-anak sekarang sering meminta dosen mereka untuk menyanyi."
"Be-benarkah?" tanya Ghava dengan panik. Jangankan untuk nyanyi, untuk bicara saja rasanya sudah gugup setengah mati.
"Hahahah, tidak, Tuan. Maaf, saya hanya bercanda."
Ghava langsung menghembuskan napas lega. "Dasar Anda ini, buat saya panik saja." Dia ikut tertawa geli dan itu berhasil mengurangi rasa gugup yang sejak tadi menyelimuti hatinya.
Mereka berdua lalu segera masuk ke dalam ruangan itu, membuat semua orang yang ada di dalamnya langsung bersorak senang dengan kehadiran Ghava.
Pengajaran itu berlangsung selama 2 jam. Setelahnya semua mahasiswa dan mahasiswi bubar barisan dari tempat itu.
Ghava segera mengucapkan terima kasih pada Zanna karena sudah menemani dan juga menghilangkan kegugupannya.
"Sama-sama, Tuan. Saya senang bisa menemani Anda seperti-" ucapan Zanna terhenti saat mendengar ponselnya berdering.
"Maaf, Tuan. Saya permisi sebentar,"
"Ah ya, silahkan."
Zanna langsung mengangkat panggilan dari suaminya saat sudah menjauh dari Ghava. "Halo, Calvin. Apa kau sudah sampai?"
"Halo Sayang, aku baru saja sampai. Sekarang sedang duduk di ruang tamu."
Zanna menghembuskan napas lega saat mendengar Calvin sudah sampai di rumah. "Syukurlah, Sayang. Sekarang kau istirahat saja, pasti sangat lelah kan." Dia merasa senang karena suaminya sampai dengan selamat.
"Baiklah, Sayang. Nanti aku akan menelponmu lagi ya, jaga diri baik-baik,"
"Iya, sayang,"
"Aku mencintaimu, Istriku," ucap Calvin membuat Zanna tersenyum malu-malu, padahal saat ini mereka sedang bicara melalui telepon.
"Iya, Sayang. Aku juga-"
Tut.
Panggilan itu terputus begitu saja membuat Zanna merasa kaget, padahal dia belum sempat membalas ungkapan cinta sang suami. "Kenapa tiba-tiba telponnya mati?" Dia merasa heran.
Tidak mau berpikir macam-macam, akhirnya Zanna memilih untuk kembali bersama dengan Ghava.
"Maaf karna sudah membuat Anda menunggu lama, Tuan," ucap Zanna saat sudah kembali bersama dengan laki-laki itu.
Ghava menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Buk Zanna. Itu pasti telpon yang sangat penting."
Zanna tersenyum dengan manis membua Ghava tidak bisa mengedipkan kedua matanya. "Itu telpon dari suami saya, Tuan."
Ghava cukup terkejut dengan apa yang Zanna katakan, dia tidak menyangka kalau wanita itu ternyata sudah menikah.
Setelah semuanya selesai, Ghava segera pamit pulang untuk kembali ke perusahaan. Tidak lupa dia memberikan kartu namanya pada Zanna mana tau suatu saat nanti mereka kembali bertemu.
Zanna lalu kembali ke ruangannya saat sudah mengantar kepergian Ghava, dia duduk di kursi yang ada di tempat itu sambil membaca beberapa tugas yang dikumpulkan oleh para mahasiswa.
****
Tidak terasa, tiga bulan sudah berlalu begitu saja sejak kepergian Calvin. Hubungan rumah tangga di antara Zanna dan laki-laki itu juga berjalan dengan baik seolah-olah mereka tidak tinggal terpisah.
Saat ini, Zanna sedang menyiapkan kejutan untuk sang suami. Dia menghias kamarnya dengan berbagai pernak-pernak, tidak lupa kue ulang tahun yang sangat indah walaupun hanya bisa melalui video call saja.
"Bagus, semuanya sudah siap. Andai besok aku tidak ada kelas, sudah pasti aku akan langsung mendatangi Calvin." Zanna segera beranjak untuk mengganti pakaian. Dia ingin terlihat cantik dan rapi di mata laki-laki itu.
Setelah semua persiapan selesai, Zanna segera menghubungi Calvin karna saat ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Dengan semangat empat lima, dia segera menghubungi Calvin untuk merayakan ulang tahun laki-laki itu. Namun, sudah beberapa kali dia menelepon. Tetap tidak ada jawaban dari sang suami. "Apa dia sudah tidur?" Bisa jadi kalau saat ini Calvin sudah terlelap.
Pada saat Zanna akan meletakkan ponselnya ke atas meja, tiba-tiba benda pipih itu berdering membuat tangannya langsung mengangkat panggilan dari Calvin.
"Halo, Sayang."
Zanna mengernyitkan keningnya saat mendengar suara musik yang sangat kuat. "Kau sedang ada di mana, Calvin?" Dia merasa kalau saat ini suaminya itu sedang berada di sebuah klub.
"Aku sedang ada di club, Sayang. Teman-temanku ingin merayakan ulang tahunku, jadilah kami ke sini."
Zanna merasa senang dengan apa yang Calvin katakan, dia bersyukur kalau teman-teman dari suaminya memperlalukan Calvin dengan baik.
"Kalau gitu sudah dulu ya, Sayang. Aku tidak bisa mendengar suaramu," ucap Calvin kemudian.
"Baiklah, Sayang. Tapi aku ingin-"
Tut.
Panggilan itu langsung terputus saat Zanna belum selesai mengucapkan apa yang ingin dia katakan, padahal dia hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun.
•
•
•
Tbc.
Zanna menarik napas dalam untuk menenangkan hatinya, dia tidak ingin marah dengan Calvin di hari ulang tahun seperti ini.
"Dasar aku, seharusnya aku senang karna Calvin bisa berteman dengan banyak orang di sana. Dan bukannya malah marah seperti ini." Zanna menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan apa yang sedang dia rasakan saat ini.
Dia lalu memutuskan untuk menonton televisi sambil menunggu telepon dari Calvin, dia yakin jika sebentar lagi laki-laki itu pasti akan meneleponnya.
Beberapa jam berlalu dengan sangat cepat hingga tidak sadar jika sekarang sudah pukul 6 pagi. Zanna yang tertidur di atas sofa mulai merenggangkan otot-ototnya sambil berusaha untuk bangun.
"Tunggu, udah jam berapa ini?" Zanna langsung melihat ke sana kemari dengan panik. Matanya melotot saat melihat jam yang tergantung di dinding, menunjukkan kalau sekarang sudah pukul 6 pagi.
"Astaga, rupanya sudah pagi." Dia mengambil ponsel yang ada di atas meja dengan cepat, dia yakin sekali jika sudah banyak panggilan tidak terjawab dari suaminya.
"Ya Tuhan, jangan sampai dia-" Zanna langsung diam saat pengunci layar di ponselnya sudah terbuka, dan ternyata tidak ada satu panggilan pun yang berasal dari Calvin. Bahkan laki-laki itu juga tidak mengirim pesan padanya.
Untuk beberapa saat Zanna terdiam sambil menatap benda pipih itu. Tidak biasanya Calvin melakukan hal seperti ini, bahkan 2 tahun lalu mereka menghabiskan semalaman penuh untuk video call pada saat laki-laki itu ulang tahun.
Setelah berhasil mengendalikan diri, Zanna langsung mencari nomor Calvin dan meneleponnya. Sudah beberapa kali panggilannya masuk, tetapi tidak di angkat juga oleh suaminya itu. "Apa dia belum bangun? Tapi, ini kan hari kerja?" Dia bingung harus bagaimana saat ini.
Zanna lalu memutuskan untuk mengirim pesan pada Calvin, dan menanyakan tentang acara yang laki-laki itu adakan malam tadi.
Setelah selesai, dia langsung beranjak ke kamar untuk segera bersiap karena hari ini ada kelas yang harus dia masuki.
Zanna memandang kejutan ulang tahun untuk Calvin dengan sendu, tetapi dia segera menepis perasaan itu dan segera memasukkan kuenya ke dalam kulkas.
Tepat pukul 8 pagi, Zanna sudah terlihat rapi dalam balutan kemeja dan celana panjang yang melekat di tubuhnya. Tidak lupa dengan makeup tipis yang semakin menambah kecantikan sempurnanya. Dia lalu beranjak dari tempat itu untuk segera pergi ke Universitas sebelum terlambat.
Dalam perjalanan, Zanna berhenti sebentar di tukang bubur langganannya untuk menikmati sarapan. Dia tidak sempat untuk memasak seperti biasa karena bangun kesiangan.
"Mbak Zanna!"
Zanna yang sedang duduk menunggu pesanannya langsung menoleh ke samping saat mendengar panggilan dari seseorang. "Loh, Lisa?" Dia tersenyum lebar melihat gadis yang sangat dia kenali itu.
Lisa yang merupakan rekan kerja Calvin langsung mendekati Zanna dan duduk di hadapan wanita itu. "Bagaimana kabar, Mbak? Wah, sudah lama juga kita tidak bertemu." Dia merasa sangat senang sekali.
"Alhamdulillah sehat, Lisa. Kamu sendiri gimana?" tanya Zanna sambil sedikit menggeser tubuhnya saat kang bubur memberikan pesanannnya.
"Terima kasih ya, Mang." Dia tersenyum ke arah kang bubur itu yang langsung di balas dengan anggukan kepalanya.
"Aku juga sehat, Mbak. Cuma kantongnya yang sekarat. Maklumlah, tanggal tua," celoteh Lisa membuat Zanna tergelak.
"Dasar kamu, masih gadis udah cerita tanggal tua segala," seru Zanna dengan tawa yang masih tersisa dimulutnya.
"Justru itu, Mbak. Punggungku ini sudah sangat lelah, karna butuh tulang punggung. Hahaha."
Zanna ikut tertawa renyah mendengar kelakar gadis itu. Dia yang tadinya merasa gelisah dan tidak tenang berubah menjadi ceria kembali.
"Oh ya. Mang, buburnya satu ya. Gk pake lama," teriak Lisa ke arah kang bubur, untung saja dia ingat kakau belum memesan makanan.
Setelahnya, mereka berdua asik mengobrol sambil menikmati bubur ayam yang sangat lezat itu. Mereka berdua sudah saling kenal sejak Zanna berpacaran dengan Calvin, karena laki-laki itu pernah mengenalkan mereka pada saat ulang tahun perusahaan.
"Oh ya Mbak, gimana kabar Pak Calvin? Dia pasti berjaya sekali di sana," tanya Lisa sambil mengusap mulutnya yang sudah selesai makan.
"Alhamdulillah baik-baik saja, Lis. Semoga selalu sehat," jawab Zanna. Dia kembali sedih saat teringat kalau sampai sekarang laki-laki itu belum menghubunginya.
"Syukurlah, Mbak. Sejak dulu kan, Pak Calvin memang ingin menjadi kepala cabang."
Zanna menganggukkan kepalanya dengan tersenyum tipis. "Iya, Lis. Tapi sayang aku belum bisa ikut ke sana." Dia merasa sedih.
"Memangnya kontrak Mbak belum selesai?" tanya Lisa.
"Belum, Lis. Masih sekitar 1 tahun lebih lagi. Tau gitu Mbak gak perpanjang kontrak." Zanna menghela napas frustasi. Andai dia tau kalau suaminya akan dipindahkan, sudah pasti dia tidak akan memperpanjang kontraknya dengan Universitas Graha.
"Loh, memangnya Pak Calvin enggak bilang sama Mbak?" tanya Lisa dengan heran.
Zanna menggelengkan kepalanya. "Dia juga enggak tau soal itu, Lis. Andai saja tau, sudah pasti Mbak gak akan tanda tangan kontrak. Padahal baru 4 bulan Mbak tanda tangan." Dia kembali menghela napas kasar.
Lisa terdiam saat mendengar ucapan Zanna. Dia merasa sepertinya ada sesuatu yang salah saat ini, karena apa yang wanita itu ucapkan tidak sama dengan kenyataannya.
"Kalau gitu Mbak duluan ya, Lis. Sudah siang nih." Zanna beranjak bangun membuat Lisa juga ikut bangun. "Lain kali kita ketemu lagi ya. Tapi, kalau kau sudah gajian biar bisa mentraktir mbak." Dia terkekeh dengan apa yang dia ucapkan sendiri.
"Oke Mbak, aman itu." Lisa menunjukkan jempolnya dengan perasaan tidak menentu.
"Ya sudah, Mbak duluan ya. Assalamu'alaikum,"
"Sebentar, Mbak." Lisa menahan tangan Zanna yang sudah akan berbalik dan pergi, membuat wanita itu melihatnya dengan bingung. "A-ada sesuatu yang ingin aku katakan pada Mbak." Dia merasa sangat ragu sekali saat ini.
"Ada apa, Lisa? Apa kau ada masalah?" tanya Zanna dengan lembut.
Lisa menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak, Mbak. Hanya saja-" ucapan Lisa terhenti saat mendengar dering ponsel Zanna.
•
•
•
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!