Shindy sedang duduk di kloset yang tertutup. Kedua tangannya menggenggam gusar benda pipih berwarna putih. Jantungnya berdebar tak karuan. Takut. Jika hasil yang didapat tidak sesuai harapannya. Shindy menggigit bibir bawahnya, tak sabar menanti menit demi menit. Perlahan tangannya membuka.
Tanda plus (+) terpampang jelas di depannya. Positif. Tubuhnya merosot ke lantai kamar mandi yang dingin.
"Aku.. Aku hamil." mulutnya menganga tak percaya.
Pergulatannya dengan Rama membuahkan hasil. Bukan.. Ini bukan yang Shindy inginkan. Bagaimana bisa Shindy hamil anak orang lain sedang dalam hitungan minggu, pernikahannya dengan Andrian akan berlangsung.
"Nggak mungkin. Ini pasti salah. Nggak.. Aku harus ke dokter kandungan untuk memastikan."ujar Shindy mengusap kasar kedua pipinya.
Shindy keluar dari toilet kamarnya. Bergegas berganti pakaian dan memakai jaket tebalnya.
"Shin, mau kemana kamu?" suara berat Pak Anton terdengar
"Mau ke rumah temen Pa." ujar Shindy tanpa menoleh
"Begini ya caramu bicara dengan orang tua?" tanya Pak Anton
"Pa, sudahlah. Mungkin Shindy sedang buru-buru." ujar Bu Indri mencoba menenangkan suaminya
"Shindy keluar dulu."
Shindy berlari ke bagasi. Mengambil motor matic kesayangannya dan memakai helm berkaca mata bulat. Penuh kekhawatiran yang besar, Shindy mengebut di jalanan.
Dr. Kandungan Santi. Plang nama itu tampak di depannya. Shindy memarkirkan sepeda motornya di halaman. Tampak seorang perawat wanita dengan tubuh kecil duduk di ruang antrian.
"Silahkan Mbak, mau periksa apa?" tanya Laili, tampak dari name tag di dada kanannya
"Saya mau periksa kandungan." ujar Shindy ragu-ragu
"Apa ada gejala sakit atau menstruasi tidak teratur?" tanya Laili lagi.
"Saya terlambat datang bulan. Tadi pagi saya tes hasilnya positif. Saya hanya ingin memastikan, apa saya benar-benar hamil?" tanya Shindy dengan suara yang sangat pelan
"Tunggu sebentar ya." tanya Laili masuk ke dalam ruangan dokter Santi
Tak lama kemudian Laili kembali.
"Silahkan masuk Mbak." ujarnya ramah
Shindy masuk ke ruangan dokter kandungan. Dengan gugup dia duduk di hadapan dokter Santi.
"Mau cek kehamilan ya?" tanya dokter Santi sambil mengukur tensi Shindy
"Iya dok. Saya sudah terlambat mens dua minggu." ujar Shindy gugup bercampur malu
"Baik, tensinya normal. Mari berbaring dulu." ajak dokter Santi
Shindy merebahkan dirinya ke tempat tidur. Stetoskop tertempel di dada bagian atas. Jantung Shindy semakin tak karuan tatkala gel dingin diusapkan di perutnya. Dokter itu menggerak-gerakkan transducer secara melingkar. Tampak gambar samar yang tidak Shindy pahami di monitor.
"Wah, ini usia janinnya sudah jalan satu bulan Mbak." ujar dokter Santi
Shindy menelan ludahnya. Terasa kering tenggorokannya mendengar penuturan dokter Santi.
"Saa... Saya beneran hamil dok?" tanya Shindy masih tak percaya
"Benar Mbak, hasilnya positif." ujar dokter Santi
Shindy turun dari kasur dan kembali duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Ini kehamilannya masih rawan. Jadi tolong dijaga dengan baik ya, ini saya beri resep vitamin penguat kandungan. Tolong diminum secara teratur dan jangan terlalu capek." ujar dokter Santi menyerahkan secarik kertas
"Baik dok. Terima kasih ya." ujar Shindy pamit
Shindy berjalan keluar sambil mengamati secarik resep yang dokter berikan.
"Aku.. Hamil. Aku benar-benar hamil." Shindy menangis sesenggukan.
Shindy berjalan menuju sepeda motornya dan duduk sebentar untuk mengambil ponselnya, berniat menelepon seseorang.
Tut.. Tut...
"Halo sayang."
"Halo yang. Aku mau ketemu. Ada.. Hal penting yang mau aku omongin." tukas Shindy
"Ketemu dimana? Hotel yang kemarin atau apartemenku saja?"
Shindy menahan isakannya.
"Di apartemenmu. Aku akan kesana."
"Oke sayang, aku tunggu ya. Muach."
Tut.. Tut.. Tut..
Shindy memasukkan ponselnya ke dalam tas, Shindy pun mengendarai sepeda motornya ke sebuah apartemen. Shindy mengusap air matanya, tidak mau menjadi pusat perhatian karena datang dalam keadaan menangis.
Shindy masuk ke dalam apartemen dan menuju lift. Di tekannya angka 7 dan lift bergerak ke atas.
TING...
Pintu lift terbuka, Shindy berjalan ke arah kamar no. 23. Dipencetnya bel beberapa kali. Sebuah mata mengintip dari lubang pintu.
"Ini aku yang. Tolong buka pintunya." ujar Shindy
CEKLEK..
"Sayangku, masuk sini sayang." ujar Rama sambil mengecup singkat pipi Shindy
"Aku mau ngomong." ujar Shindy
"Tunggu sayang. Jangan buru-buru. Sini duduk dulu." ujar Rama menutup pintu kamarnya.
Shindy duduk di sofa biru yang menghadap ke sebuah layar besar yang sedang memutar video dewasa. Shindy tertunduk. Kekasihnya itu tidak pernah berubah.
"Kamu kangen ya, sampe nangis gitu." goda Rama sambil mengusap pipi Shindy
"Yang, aku serius. Aku mau ngomong penting!" ujar Shindy
"Iya.. nanti aja! Aku lagi kangen nih." ujar Rama menciumi lekukan leher Shindy
"Rama cukup!" bentak Shindy
Rama mengernyit.
"Aku hamil yang. Aku hamil anak kamu." ujar Shindy
Rama memundurkan tubuhnya. Shindy menarik tangan Rama dan menempelkannya di perut Shindy.
"Anak kita di sini." ujar Shindy
Rama menepis kasar tangan Shindy.
"Kamu yakin itu anakku? Hah! Bisa aja kan itu hasilmu bersama Andrian? Lagipula kita cuma sekali kok, nggak mungkinlah langsung hamil!" ucap Rama tak percaya
"Yang, kok kamu gitu sih! Aku nggak pernah tidur sama Andrian. Aku cuma nglakuin itu sama kamu!" balas Shindy
"Heh, kamu aja udah nggak v*rgin pas sama aku! Jadi jelas bukan akulah yang pertama! Artinya belum tentu itu anakku!" ujar Rama
"Terus ini anak siapa?" tanya Shindy
"Ya nggak tahu lah! Kamu tidurnya sama siapa aja? Wanita m*rahan!" tanya Rama dengan senyum meremehkan
Gigi Shindy bergemulutuk. Hatinya sakit mendengar perkataan Rama yang seolah merendahkannya.
"Aku nggak mau tahu Ram, kamu harus tanggung jawab!" ujar Shindy
"Enak aja! Kamu yang nikmatin aku yang nanggung akibatnya! Nggak ada nggak ada!" tolak Rama sambil berbalik meninggalkan Shindy
"Rama tunggu! Aku belum selesai ngomong!" ujar Shindy menarik tangan kekasihnya
"Apa lagi sih? Lepasin!" ujar Rama
"Nggak!"
"Lepasin Shin! Jangan sampai aku berbuat kasar sama kamu!" ancam Rama
"Aku nggak akan lepasin Ram, sampai kamu mau tanggung jawab!" ujar Shindy
"Heh! Pakai otakmu, kamu kira aku mau nerima anak yang gak jelas bapaknya gini? Mending kamu bawa bayi h*ram ini ke Andrian dan minta dia percepat pernikahanmu. Beres kan?" ujar Rama acuh
PLAK..
Tamparan keras Shindy berikan pada Rama. Bekas kemerahan muncul di wajahnya yang putih.
"Berani kamu ya!"
Rama mendorong tubuh Shindy hingga terjerembab ke lantai. Rama mem*kuli wajah cantik Shindy hingga banyak memar kebiruan.
"Rasain tuh! Memangnya enak? Salah sendiri jadi cewek m*r*han!" olok Rama meninggalkan Shindy sendirian di kamarnya
Shindy menangis sambil memeluk lututnya. Ujung mata dan bibirnya tampak bengkak. Di tambah sakit di hatinya yang mungkin akan membekas selamanya.
Shindy memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Setelah gagal meminta pertanggung jawaban Rama dan berakhir dengan tidak baik-baik saja. Shindy pun pulang kerumahnya. Tak lupa mampir ke apotek untuk menebus resep dari dokter dan membeli salep untuk luka memarnya.
"Kuat ya Nak. Meski papamu tidak mau mangakuimu, kamu tetap anakku. Mama akan pertahankan kamu, apapun yang terjadi. Meskipun jika mama harus diusir dari rumah kakekmu, mama akan menerimanya. Demi kamu." ujar Shindy berbicara dengan perutnya yang datar
Shindy memutuskan untuk beristirahat sebentar di depan apotek sambil mengobati memar di wajahnya. Dengan cermin kecil Shindy mengoleskan salep pada lukanya.
"Aduh." Shindy meringis ketika menyentuh warna kebiruan di dekat matanya.
Rasanya sakit bahkan untuk berkedip pun terasa mengganjal. Shindy kembali memikirkan perkataan Rama. "Mending kamu bawa bayi h*ram ini ke Andrian dan minta dia percepat pernikahanmu."
"Apa aku harus pura-pura tidak terjadi sesuatu? Setidaknya sampai Andrian menikahiku. Biar orang lain mengira, ini adalah anaknya. Aku rasa Andrian bisa jadi ayah yang baik untuk anakku." gumam Shindy
Terbesit niat itu mengingat tanggal pernikahannya dengan Andrian kurang dari sebulan. Sedetik kemudian dia berubah pikiran.
"Nggak. Aku nggak bisa berbuat nggak adil sama Andrian. Bahkan Andrian memperlakukanku dengan sopan. Dia tidak pernah macam-macam. Jika aku memintanya bertanggung jawab atas dosa yang tidak dia lakukan, aku... Akan merasa bersalah seumur hidupku nanti." batinnya berperang melawan logika yang menamparnya.
Shindy terdiam. Hal ini sungguh di luar dugaannya. Pikirannya menerawang mengingat kebodohannya malam itu. Malam penuh petaka..
FLASHBACK
Shindy menghadiri pesta reuni SMAnya. Dia datang bersama bestienya, Aini. Dengan mobil mewah ayahnya, Shindy dan Aini pun tiba di sebuah party.
"Hai ladies, makin cantik aja!" seloroh Rony menyambutnya
"Iya dong. Tampil cantik itu harus!" tukas Aini, gadis tinggi dengan mata bulat yang indah
"Mana calonmu Shin?" tanya Rony
"Skip ajalah. Dia kan lagi sibuk!" ujar Shindy
"Iyalah, calonnya Shindy kan pekerja kantoran bukan pengusaha kayak papamu yang bebas waktu!" ledek Ainy dengan maksud bercanda. Sayangnya kalimat itu membuat Shindy terpengaruh.
"Kesana yuk! Kita have fun bareng." ajak Rony
Mereka bertiga membaur bersama loncatan muda mudi disana. Tubuh mereka meliuk-liuk mengikuti kerasnya musik DJ yang dimainkan. Lampu warna berkedip-kedip menambah hingarnya suasana. Tanpa Shindy sadari, seseorang mengamatinya dari belakang. Perlahan dia berjalan mendekat dan menarik Shindy dari dance floor.
"Rama!" pekiknya
"Hai Shin. Lama nggak ketemu!" ucapnya basa basi.
Rama menatap Shindy yang banyak berubah, penampilannya, gaya hidupnya, juga perpaduan skincare mahal yang telah mengubah wajahnya menjadi seperti ini.
"Mau minum bareng?" tawar Rama
"Boleh." Shindy mengiyakan saja tanpa tahu maksud dari kata *minum* yang Rama lontarkan
Di ujung ruangan, sofa berbentuk L dengan meja kaca kecil di tengah telah menyajikan berbagai minuman beralkohol. Tanpa ragu Rama menuangkannya ke dalam Beer Stein Glass. Satu untuk Shindy dan satu untuknya.
"Untuk pertemuan kita hari ini!" ujar Rama mengangkat gelas birnya
Ting.. Dentingan gelas pun terdengar. Tanpa ragu Shindy menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Rasa hangat yang aneh menjalar ke tubuhnya.
Rama menuangkan segelas lagi. Kembali Shindy meneguknya. Bergelas-gelas telah dia habiskan. Sampai setengah botol lebih, Shindy mulai meracau. Ya, dia yang tidak pernah minum, memaksa untuk minum. Kepalanya tersandar di sofa, leher dan dada bagian atasnya terekspos dalam balutan mini dress kekurangan bahan yang dia kenakan. Seketika pandangan Rama menggelap. Terbesit niat busuk untuk coba-coba dengannya.
"Ram, Shindy kenapa?" tanya Aini menghampirinya
"Biasalah. Salah minum." bohongnya
"Yah payah ini anak. Terus siapa dong yang nganterin pulang?" tanya Aini
"Biar aku aja!" ujar Rama meneguk gelas terakhirnya.
Rama berdiri dan memapah tubuh jenjang Shindy.
"Bawa deh tuh anak mama!" ujar Rony
Aini hanya tertawa melihat temannya diangkut Rama. Rama memasukkan tubuh setengah sadar itu ke mobil sportnya. Bukan untuk membawanya pulang, tapi berbelok ke arah apartemennya. Ya, Rama adalah orang kaya. Sama sepertinya. Entah apa pekerjaannya, Shindy bahkan tidak tahu betul.
Rama menggotong Shindy masuk ke dalam kamarnya. Rama menjatuhkan tubuh itu ke ranjang king size miliknya.
"Ah.. Panas.. Gerah.." Shindy meracau sambil melucuti pakaiannya tanpa sadar
Rama semakin terpancing. Dia pun melakukan hal yang sama dan berbaring di sebelah tubuh polos Shindy. Perlahan Shindy membuka matanya.
"Sayang. Akhirnya kita bertemu lagi. Aku kangen." ujar Shindy mengusap wajah Rama
"Benarkah?" seringaian muncul di wajah Rama
"Peluk aku sayang! Sini." tangan lemah Shindy menarik tubuh kekar Rama untuk mendekat
Tanpa aba-aba dan entah siapa yang memulai pergumulan panas itu pun terjadi. Di bawah pengaruh alkohol, Shindy dengan sukarela memberikan dirinya pada Rama. Malam itu berakhir dengan d*s*han lega keduanya yang meringkuk dalam selimut yang sama.
FLASHBACK END
Shindy mengerjap tatkala mendengar ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari mamanya.
"Halo Ma."
"Kamu dimana Shin. Keluar dari pagi, kok nggak pulang-pulang." khawatir Bu Wulan
"Ini Shindy udah jalan pulang kok Ma. Shindy mampir bentar ke minimarket tadi." ujarnya berbohong
"Ya sudah mama tunggu!" balas Bu Wulan lalu mematikan telepon
Shindy memakai kembali helm dan kacamatanya, bergegas pulang ke rumah karena mamanya sudah menunggu. Di depan pintu tampak mamanya sedang berkacak pinggang.
"Mama, nungguin Shindy ya." seloroh Shindy
PLAK.. Tamparan keras mendarat di pipinya. Menambah ruam kemerahan di wajahnya. Ya, tangan besar sang ayah telah menyakitinya.
"Pa, sabar." sergah Bu Wulan
"Ada apa ini Pa?" tanya Shindy tak mengerti
"Shin masuk dulu, papa dan mama mau bicara." ujar Bu Wulan menggiringnya ke ruang tengah.
Shindy seperti seorang pelaku tindak pidana. Duduk dengan diawasi oleh tatapan tajam kedua orang tuanya.
"Mama mau tanya Shin. Apa ini?" ujar Bu Wulan meletakkan sebuah tespack di meja
"Bi Ningsih yang nemuin ini di kamar mandi kamarmu." terang Bu Wulan
Shindy tertunduk. Tak berani mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kamu hamil anak siapa!" hardik Pak Anton
Shindy tak bergeming. Masih menunduk dengan air mata yang mulai mengalir.
"Shin, apa ini hasil perbuatanmu dengan Andrian?" tanya Bu Wulan
Shindy masih diam seribu bahasa.
"Andrian anak baik-baik. Tidak mungkin mau menyentuhmu sebelum menikah!" tukas Pak Anton
Benar, yang dikatakan Pak Anton. Andrian pria baik-baik. Dia menghormati wanita, tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.
"Hamil sama siapa kamu Shin!" ujar Pak Anton tak sabar
Shindy masih mengunci rapat mulutnya. Jika dia jujur tentang apa yang sudah terjadi dengannya malam itu. Maka, haknya sebagai anak di rumah ini akan menghilang.
"Shindy! Jangan diam saja." Pak Anton mengguncang tubuh ringkih itu dengan kasar
"Sabar Pa." ujar Bu Wulan menengahi
"Shin, lihat mama." ujung jari Bu Wulan mengangkat dagu Shindy agar bisa menatapnya.
"Dengan siapa kamu berbuat ini?" tanya Bu Wulan
"Rama.. Hiks.." balas Shindy tersedu
"Anak tak tahu diuntung."
Plak.. Tamparan keras kembali dilayangkan Pak Anton.
"Mulai hari ini, aku bukan papamu lagi!"
Ucapan sadis Pak Anton terdengar bagai vonis mati untuk Shindy. Shindy menangis sejadinya sambil memeluk erat Bu Wulan yang menatapnya tak percaya. Seolah seperti mimpi buruk baginya, anak gadis semata wayangnya telah dirusak pria yang ditolak mentah-mentah oleh keluarganya
"Shindy harus gimana Ma? Gimana caranya Shindy ngasih tahu Andrian? Apa Shindy harus merahasiakan ini, agar Andrian tetap menikahi Shindy! Shindy takut Ma!" tangisannya pecah. Merasa hancur sampai tak terbayang bagaimana sakitnya.
Bu Wulan menarik dirinya. Mengusap air mata Shindy dengan ibu jarinya.
"Kamu sudah berani berbuat Shin. Kamu harus tanggung akibatnya."
Kalimat itu, menambah besar luka di hatinya. Shindy kembali tersedu.
"Batalkan pernikahanmu dengan Andrian!"
Shindy melebarkan matanya. Terkejut dengan keputusan yang dibuat Bu Wulan.
"Haruskah Ma? Haruskah Shindy menyakiti Andrian dengan membatalkan pernikahan ini?" tanya Shindy
"Semua tergantung kamu Shin. Kamu bisa membatalkan penikahan ini atau mengorbankan anakmu!" ujar Bu Wulan
Jelas itu bukan pilihan. Jika dia batalkan, sudah jelas dia akan membesarkan anak ini sendiri. Rama tidak mau tanggung jawab. Dia pun akan diusir paksa dari rumah karena kehamilannya. Sedangkan jika Shindy menggugurkan anaknya, jelas dia tidak akan sanggup kehilangan. Belum lagi, jika nanti dia akan sulit mempunyai anak lagi. Shindy termangu cukup lama. Segala resiko hanya akan ditanggung sendiri.
"Pikirkan baik-baik Shindy. Atau jika memang kamu tidak sanggup memilih keduanya. Panggil Andrian kesini, jika dia mau menerima darah dagingmu maka percepat pernikahan ini! Jika tidak minta Rama datang untuk bertanggung jawab." jawaban itu terdengar dingin.
Tidak ada lagi Bu Wulan yang lembut dan selalu membelanya. Bu Wulan meninggalkan Shindy sendiri di ruang tengah. Shindy menangis penuh penyesalan. Namun nasi sudah menjadi bubur. Hancur lebur tak bersisa. Tidak akan kembali menjadi utuh seperti dulu. Shindy melangkah gontai masuk ke kamarnya. Dikuncinya pintu itu dari dalam. Shindy menangis sejadi-jadinya.
"Aku bodoh! Kenapa aku harus menanggapi Rama yang sudah membuangku! Harusnya aku tahu, dia tidak pernah mencintaiku! Dia hanya menjadikanku pelampiasan. Aku harus bagaimana?" ujar Shindy bermonolog di dalam kamarnya
Drrrt.. Drttt. Ponsel Shindy bergetar beberapa kali, tanda ada pesan masuk.
[Sayang, makan siang bareng yuk! Ini aku otw ke rumahmu.] ~Andrian
Shindy membuka pesan dari Andrian. "Aku harus jujur ke Andrian soal semuanya. Bagaimanapun keputusannya, aku akan menerimanya. Lebih baik aku kehilangan Andrian karena semua ini, daripada aku harus menipunya untuk menerima bayiku."
[Aku tunggu di depan 😍] ~Shindy
Shindy berjalan ke kamar mandi di kamarnya. Mencuci muka dan berganti pakaian. Tak lupa memoles wajahnya dengan bedak dan make up. Sedikit ditebalkan pada bagian memar yang ada di wajahnya agar Andrian tidak curiga.
Shindy mengambil tas kecilnya dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Shindy keluar dari kamar dan menuju keruang tamu. Tiba-tiba ponselnya berdering.
~Rama
"Shindy! Kesini kamu sekarang." bukan suara Rama yang terdengar, melainkan suara berat Pak Anton.
"Pa.. Papa." balas Shindy terbata
"Cowok br*ngs*k ini sudah di tangan papa! Kamu susul kesini, ajak sekalian mamamu!" perintah Pak Anton tak terbantahkan
Bagaimana tidak, relasi bisnis Pak Anton sangat luas. Tidak sulit baginya untuk menemukan kediaman Rama. Mengingat mereka masih tinggal satu kota dan banyaknya bawahan yang bisa Pak Anton suruh.
"Pa.. Papa dimana?" suara Shindy bergetar ketakutan. Mengingat penolakan sadis dari Rama yang sudah menghajarnya, Shindy tidak bisa membayangkan kemarahan Rama saat ini.
"Apartemennya! Papa tunggu!" tut tut
Shindy memasukkan kembali ponselnya. Mendadak perutnya terasa sakit. Mencengkeram di bagian bawah. Mungkin karena banyak tekanan, Shindy mengalami kram di perutnya.
"Bi... Bibi Ningsih." panggil Shindy lemah
Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Panggilkan mama. Bilang dia harus ikut Shindy nyusul papa sekarang." ujar Shindy berusaha duduk dan meredam sakitnya.
"Baik non." Segera Bibi Ningsih berlari ke arah kamar Bu Wulan
Shindy meringis kesakitan, ketika rasa menusuk itu terus datang. Shindy tak bisa menahannya. Air keluar dari pelupuk matanya. Shindy mencoba menarik napas berkali-kali namun kondisinya tak kunjung membaik.
"Kenapa kamu Shin?" tanya Bu Wulan yang baru tiba di ruang tamu
"Sakit Ma. Perut Shindy sakit " keluh Shindy
"Bi Ningsih tolong ambilkan minyak di kotak P3K." perintah Bu Wulan sambil duduk di sebelah Shindy
Disandarkannya tubuh Shindy ke sofa. Sambil mengusap pelan perutnya yang masih rata. Shindy menggigit bibir bawahnya, sakit yang dia rasakan tidak tertahankan. "Apa aku keguguran? Kenapa rasanya sakit sekali? Apa Shindy akan kehilangan bayi ini Ma?"
"Jika saja iya, tentu akan lebih mudah mengambil keputusan." balas Bu Wulan sambil terus mengusap perut Shindy
"Ini Nyonya." Bi Ningsih menyodorkan sebotol kecil minyak kayu putih
Dengan telaten Bu Wulan mengoleskan minyak secara merata ke seluruh perut Shindy. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Shindy merasa ada remasan-remasan halus di perutnya. Seketika Shindy berteriak kesakitan.
Drrrt.. Drrrt.. Ponsel Shindy kembali berbunyi. Kini nama Papa muncul di layarnya. Tampak sekali Pak Anton tak sabar lagi menunggu putrinya datang.
"Halo Pa." sapa Bu Wulan
"Kenapa lama sekali?" maki Pak Anton
"Perut Shindy tiba-tiba sakit pa. Jadi harus mama obati dulu." ujar Bu Wulan
"Menyusahkan! Kalau begitu biar aku bawa saja pria s*alan ini!" tut tut..
Telepon kembali dimatikan.
Tin tin.. Suara klakson mobil terdengar dari luar pagar rumah.
"Tolong bukain Bi. Siapa tahu itu papanya Shindy." ujar Bu Wulan
Bibi Ningsih, berlari dan membuka pagar untuk mobil sedan silver yang berhenti tepat di depan pagar.
"Den andrian. Masuk Den. Nona Shindy lagi sakit." ujar Bibi Ningsih begitu pagar terbuka
"Sakit apa Bi?" tanya Andrian penasaran
"Nggak tahu Den, tiba-tiba perutnya kram." ujar Bibi Ningsih
"Terus dimana dia Bi?" tanya Andrian lagi
"Di ruang tengah Den." ujar Bibi Ningsih mengajak Andrian masuk
Andrian mengikuti Bibi Ningsih. Kondisi Shindy masih sama. Wajahnya tampak memerah karena menahan sakit. Sementara Bu Wulan tampak terkejut melihat kedatangan Andrian.
"Andrian, kamu kesini?" tanyanya gugup
"Iya Ma. Shindy kenapa?" tanya Andrian sembari mengecek suhu badan Shindy dengan punggung tangannya
"Perutku sakit An!" ujar Shindy lirih hampir tak terdengar
"Kita bawa ke rumah sakit aja ya Ma." ajak Andrian
"Nggak usah! Jangan." tolak Bu Wulan panik seolah tengah menutupi sesuatu
"Tapi Shindy lagi kesakitan Ma. Udah nggak apa-apa, biar Andrian yang antar." tawar Andrian
"Sudah mama bilang nggak usah. Ini.. Cuma nyeri haid biasa kok. Kita bawa Shindy ke kamar saja!" ujar Bu Wulan
Sebenarnya Andrian merasa heran, tidak biasanya Bu Wulan menolak seperti ini, apalagi jika itu demi kepentingan anaknya. Andrian pun segera membopong tubuh lemas Shindy dan membawanya masuk.
Ranjang berwarna pink dengan aksen boneka-boneka kecil di bagian atasnya, menambah kesan feminim sosok Shindy. Andrian membaringkan tubuh jenjang Shindy dan meluruskan kakinya.
"Apa kita panggilkan dokter saja Ma? Kebetulan Andrian punya dokter pribadi yang bisa dipanggil kesini." tawar Andrian lagi
Tampak Bu Wulan menghela napas.
"Sudahlah Andrian. Nggak perlu khawatir, ini hanya sakit perut biasa." ujar tante Wulan tampak tenang
Dahi Andrian mengernyit, ditatapnya Shindy yang meringis sambil memegangi perutnya. Andrian duduk di sisi ranjang dan mengelus pelan perut Shindy
"Sakit banget ya Shin?" tanya Andrian
Shindy mengangguk. Perlahan sakit di perutnya berangsur membaik. Benar, bayinya butuh kasih sayang. Mungkin tadi bayinya merasakan tekanan yang sama seperti dirinya. Shindy menatap wajah teduh Andrian. Dalam hatinya ada ketidaktegaan yang mendalam. Dia sudah menghianati lelaki sebaik Andrian.
Brak... Suara keras pintu yang dibanting pun terdengar. Bersamaan dengan teriakan lantang Pak Anton dari ruang tamu.
Andrian terlonjak kaget. Tidak biasanya calon mertuanya seperti itu.
"Tunggu disini Andrian. Jaga Shindy biar mama yang keluar!" ujar Bu Wulan tampak panik
Andrian berniat mengikuti Bu Wulan namun Shindy mencegahnya.
"Jangan pergi. Temani aku An." pinta Shindy
Andrian kembali duduk di sisi ranjang. Sambil mengusap kepala Shindy. Meski sejujurnya dia sangat penasaran dengan teriakan Pak Anton, namun demi Shindy dia mengabaikannya.
"Sudah lebih baik?" tanya Andrian menatap wjah cantik gadisnya
Shindy hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
Diluar..
Pak Anton menyeret kasar Rama dengan kedua tangan terikat. Dilemparkannya tubuh itu ke lantai. Rama pun meringis kesakitan.
"Pa, jaga emosi. Andrian ada di dalam!" pekik Bu Wulan
"Lebih cepat dia tahu, lebih baik Ma! Papa sudah sangat malu dengan kelakuan mereka berdua!" ujar Pak Anton
"Kenapa papa membawanya kesini, bagaimana jika tetangga tahu. Kita akan sangat malu Pa." ujar Bu Wulan
"Lelaki ini menolak untuk menikahi Shindy! Dia menjatuhkan harga diri Shindy!" ujar Pak Anton
"Kita bisa membahasnya secara kekeluargaan kan? Mumpung Andrian juga disini, kita bisa meminta maaf secara langsung." pinta Bu Wulan
"Beno! Lepaskan ikatannya dan pegangi dia." perintah Pak Anton dan dengan cepat Pak Beno melaksanakannya.
Bu Wulan kembali ke kamar Shindy untuk memanggil Shindy dan Andrian.
"Shindy, Andrian keluarlah sebentar. Papa mau bicara hal yang penting." wajah Bu Wulan tampak resah
Shindy pun memegang erat lengan Andrian. Jujur dia takut, apa yang akan terjadi setelahnya.
"Ma, apa Andrian juga harus ikut?" tanya Shindy ragu
Langkah Bu Wulan terhenti, dia pun menoleh. "Dia wajib tahu semuanya!"
"Tahu apa Shin?" tanya Andrian
"Kita.. Kesana dulu saja An." ungkap Shindy tertunduk
Dengan hati-hati dipapahnya tubuh Shindy ke ruang tamu. Tampak Rama dengan wajah penuh lebam dan darah yang mengalir dari kedua hidungnya sedang dipegangi Pak Beno. Kedua matanya menatap nyalang ke arah Shindy.
"Itu siapa Shin?" tanya Andrian
"Duduk sini dulu An." ujar Bu Wulan mempersilakan Andrian duduk di sofa yang kosong
Tatapan Pak Anton tampak tidak bersahabat.
"Andrian, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas nama Shindy." ujar Pak Anton
Andrian menatap ke arah kekasihnya.
"Jadi, ada kejadian yang tidak kita harapkan. Shindy telah hamil anak Rama, mantan kekasihnya." terang Pak Anton
Andrian menarik lengannya, ditatapnya dengan lekat wajah Shindy yang tak berani menatapnya.
"Apa itu benar Shin?" tanya Andrian
Shindy hanya menunduk tak bergeming.
"Apa benar, kamu hamil anak orang lain?"
Terlihat Shindy memejamkan matanya. "Iya, aku hamil."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!