NovelToon NovelToon

GUS NACKAL VS SANTRI BARBAR

BAB 01

“Kamu masih nggak hafal lagi Naila...? ini sudah berapa kali pertemuan kamu nggak setor hafalan...?” suara ustad yang menggelegar membuat seluruh isi ruangan terdiam.

“Maaf ustadz, semalam kepala saya pusing. Jadinya saya nggak bisa hafalan deh...” Naila, orang yang dimarahi ustadz justru hanya menjawab dengan santai tanpa merasa bersalah.

“Kamu selalu banyak alasan. Kadang bilang sakit, pusing, dibesuk orang tua, dan entahlah apalagi... Padahal kamu tau, waktu hafalan itu bukan hanya semalam, tapi SETIAP HARI... ” Ustad Taufiq lebih menekan akhir ucapannya.

“Iya ustadz, maaf...”

”Sebagai hukumannya, kamu tidak boleh mengikuti pelajaran saya.”

Alhamdulilah... batin Naila seraya meninggalkan ruang kelasnya.

“Kalian jangan contoh yang seperti itu ya, kasihan orangtua kalian banting tulang mencari nafkah buat menyekolahkan kalian, tapi alhasil malah santai-santai seperti itu.”

...****************...

“Sebelah sini tolong nanti di bersihkan ya Mbak, karena biasanya dijangkau wali santri pas besuk.”

“Siap Umi'...”

Umi Azizah, istri dari Abi Amir pemilik pesantren Darunnajah selalu memeriksa santri-santri dan kondisi Pesantren milik beliau. Tidak jarang beliau menemukan hal-hal yang kurang beres seperti lingkungan pesantren yang kotor, santri yang selalu terlambat jama'ah, bahkan santri yang mogok sekolah akibat sudah bosan tinggal di Pesantren.

Saat beliau sedang memeriksa satu persatu kamar santri, Umi Azizah mendapati santriwati yang sedang tidur mendengkur sambil mengenakan seragam sekolah.

“Itu siapa Mbak...? ”

“Maaf Umi' sepertinya itu Naila... ” Umi Azizah mendekati anak itu dan ternyata benar, Naila sedang tidur di saat jam sekolah belum selesai. Beliau menyentuh kening Naila.

“Nggak panas juga, apa Dia sakit Mbak...?”

“Maaf Umi', Naila memang sering seperti ini. Di saat jam sekolah masih berlangsung, tiba-tiba turun kemudian tidur. Kami selaku pengurus sudah sering menegur, tapi tidak pernah diperhatikan. Bahkan Kami malah kewalahan menangani Naila yang sering terlambat jama'ah.”

“Astaghfirullah, baru tau saya Mbak, kalau ada santri yang seperti ini.” umi Azizah geleng-geleng saat menemukan modelan santri yang seperti Naila.

“Tolong dibangunkan ya Mbak, terus suruh menghadap saya di Ndalem (rumah kiyai).”

“Siap Umi'. Nanti saya akan bangunkan.” Umi Azizah meninggalkan kamar itu kemudian menuju ke Ndalem beliau. Mbak Santi, pengurus pesantren yang sudah senior dan di idolakan para santri putra membangunkan Naila.

“Naila, bangun. Umi' bilang kamu disuruh ke Ndalem sekarang juga.”

“Apaan sih Mbak, Aku masih ngantuk banget nih. Nanti sore aja deh ke Ndalemnya. Aduh... mimpiku tadi udah sampai mana sampai lupa...” Naila mendengkur kembali, sepertinya mimpinya tadi masih berlanjut.

“Naila... kamu tau nggak, Umi' tadi kesini loh. Lihat kamu yang tidur ngorok begini. Nggak malu apa sama Umi'... ”

“Ihh... Aku masih mimpi Mbak... jangan diganggu.”

“Naila... kamu di panggil ustadz Taufiq. Ya salam anak ini malah tidur, pantesan ditunggu dari tadi nggak masuk-masuk.” Laras, teman sekelas Naila tergesa-gesa mencari Naila. Akan tetapi si empunya malah asyik menikmati mimpinya.

“Eh maaf Mbak Santi, saya nggak tau kalau ada Mbak disini.” Mbak Santi mengangguk. Memberikan isyarat kepada Laras untuk membangunkan Naila.

“Naila... kebiasaan deh, kamu di panggil ustadz tuh. Ayo bangun Naila...nanti kamu diadukan ke orangtuamu loh, Naila...”Laras sengaja berteriak tepat di telinga Naila agar segera bangun. Karena sejak tadi meskipun tubuhnya diguncang, tapi tak kunjung membuka mata.

Naila bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Matanya masih terpejam. Ternyata ada juga santri yang modelannya seperti Naila.

“Kalian kenapa sih berisik banget...? ” tanya Naila kepada Laras dan Mbak Santi yang ada dihadapan nya. Pertanyaan yang konyol seperti manusia tak berdosa.

“Kamu di panggil Umi' sama ustadz. Nggak pake lama, sekarang juga.” ujar Mbak Santi yang sontak membuat mata Naya terbelalak kaget.

“Umi'...? kenapa manggil saya Mbak Santi...?”

“Jangan banyak tanya, Umi' minta kamu menemui beliau sekarang juga.”

Aduh... pekik Naila tertahan. Dengan malas Dia berjalan menuju ke Ndalem.

“Assalamu'alaikum... ”

“Wa'alaikum Salam... masuk.” jantung Naila berdegup lebih kencang saat mendengar suara Umi' menjawab salam.

“Benarkah Umi' memanggil saya...? ”

“Kamu sakit...? kok seperti baru bangun tidur...?”

“Hehe... enggak Umi'.” Naila menjawab dengan malu-malu.

“Kok tadi saya lihat kamu tidur dikamar sambil pakai seragam sekolah...? emangnya kamu nggak sekolah...? ” pertanyaan Umi' yang memberondong Naila membuat nyalinya ciut.

“Tadi saya sekolah Umi'. Terus saya dihukum, nggak boleh ikut pelajaran ustadz Taufiq. Jadi saya ke kamar saja, terus tidur.”

Ketahuan deh...

“Kenapa Ustadz sampai menghukummu seperti itu...? ”

“Karena saya lupa menghafal... hehe... ”

“Astaghfirullah Naila, kenapa sampai bisa begitu. Hafalan itu setiap hari, bukan sekali Dua kali saja. Apalagi saya sudah dengar kalau kamu sering telat sholat jamaah, bahkan tidak mengikuti kegiatan pengajian.” kali ini nyali Naila benar-benar ciut. Setiap kali berhadapan dengan Umi' dan Abi selalu begitu. Padahal diluar, sekelas pengurus dan ustadz saja selalu dibantah oleh Dia .

Naila hanya menunduk. Tidak berani menatap Umi'. Suasana di ruangan menjadi hening. Hanya terdengar suara jam dan nafas Naila yang memburu.

“Baik, sekarang saya sudah faham dengan sifat kamu. Jadi sebagai hukumannya kamu saya berikan tugas membersihkan seluruh Ndalem selama satu tahun.”

“Hah... satu tahun...? Umi' tidak bisa begitu dong. Satu tahun itu lama Umi'... kalau yang lain saja gimana, misalkan saya membersihkan ruangan saya sendiri begitu...? ” pinta Naila dengan wajah memelas.

“Tidak ada negosiasi. Mulai nanti sore ya... Yasudah kamu sekarang kembali ke sekolah biar tidak saya tambahi hukuman lagi.”

Naya keluar dari Ndalem dengan wajah yang di tekuk. Pengen marah, tapi itu sangat tidak sopan. Karena marah kepada guru termasuk dalam kategori akhlak yang tercela.

BAB 02

“Huhu... sial banget sih hari ini. Udah dapat hukuman dari Umi' dapat lagi dari ustadz. Makin nggak betah aja tinggal disini. Ayah, Ibu, Naila pengen sekolah dirumah aja... udah capek tinggal di Pesantren, disuruh ngaji, jama'ah, tidur berkurang, masih juga disuruh puasa... Hiks hiks, Ayah...” Naila menangis dipojokan kamar. Dia tidak peduli teman-temannya berlalu lalang melihat heran kearahnya.

“Naila... di panggil Umi' ke Ndalem...” ucap salah satu teman Naila. Dia segera mengusap air matanya kemudian berjalan dengan malas menuju Ndalem.

“Ass... ” belum sempat Naila mengucapkan salam, Umi' sudah menyambutnya di ambang pintu masuk.

“Naila, kamu bersih-bersih sekarang aja ya. Terutama kamarnya Gus An, karena Dia sore ini akan datang.” ucap Umi' dengan tersenyum. Naila kira tadi Umi' akan marah-marah kepadanya, tapi ternyata malah tersenyum ramah. Memang seperti itulah karakter Umi', tidak bisa marah terlalu lama.

“Baik Umi'...” Naila mengambil beberapa peralatan untuk bersih-bersih. Di bukanya kamar Gus An yang tidak pernah ditempati karena sang empu masih kuliah di Mesir.

“Huk... huk... pengap sekali. Ini berapa tahun ya nggak ditempati...” Naila mengedarkan pandangannya menatap isi kamar Gus An yang penuh dengan debu dan sarang laba-laba. Di dindingnya terdapat beberapa foto Gus An bersama Abi Amir dan Umi Azizah. Naila meraih foto Gus An yang ada di meja.

“Wiih... keren banget foto di Mesir. Jadi pengen kuliah di sana kalau begini. Huhu...”

“Yang ini juga keren. Eh... yang keren orangnya apa tempatnya ya...? ” Naila terlihat berpikir.

“Orangnya kali dek... ”

Deg

“Suara siapa itu...? Abi Amir...? sepertinya bukan. Atau kang santri...?” Naila tidak berani membalikkan wajahnya. Meskipun Dia terkenal dengan santri bar-bar, tapi tetap saja urusan laki-laki tidak menjadi hobinya.

“Kamu kok bersihin kamar Mas sendiri sih dek...?” tanya laki-laki yang dibelakangi punggung Naila.

”Kamar...? berarti Gus A'an dong... aduh gimana ini...? ” Naila memejamkan matanya gugup. Tidak tau harus bersikap bagaimana. Laki-laki itu yang tak lain adalah Gus An mengusap rambut Naila yang terbalut dengan hijab.

”Anak pintar...” seketika Naila memutar posisi duduknya dan menatap Gus An yang masih mengusap kepalanya.

“Aufa...? eh kamu bukan Aufa...? ma'af-ma'af, saya kira tadi Aufa. Kamu santri disini...? ” Gus An bertanya dengan canggung setelah terjadinya insiden itu. Naya yang gugup tidak karuan hanya mengangguk.

“Maaf Gus, saya di utus Umi' untuk membersihkan kamar jenengan.”

“Yaudah bersihkan yang benar ya, jangan sampai ada sampah yang ketinggalan.” Naya mengangguk. Gus An berlalu meninggalkan kamarnya.

“Aduh, malu banget Aku... lagian Gus An kenapa sudah datang. Padahal tadi Umi' bilang masih sore...? ”

“Soalnya Umi' kira bakalan macet jalanannya.” Gus An menyahut ucapan Naila yang pelan tapi masih bisa didengar orang lain.

Deg... tuh kan malu lagi...

Naila sangat terkejut mendengar Gus An yang tiba-tiba muncul dari luar kamar. Dia langsung pura-pura merapikan tempat tidur Gus An yang berantakan.

“Eh Mbak, sama ini nanti tolong di pasang di dinding ya... ” Gus An menyerahkan sebuah foto yang ada di dalam pigura.

“Mbak tolong kamar mandinya dulu dong yang dibersihkan. Soalnya saya mau mandi, badan saya udah lengket banget nih... ” Naila mengangguk menuruti apa kata Gus An. Dia segera menuju ke kamar mandi dan mulai membersihkannya. Namun, baru dapat setengahnya Gus An sudah muncul di ambang pintu. Naya berteriak saat tiba-tiba Gus An menutup pintu kamar mandinya dari luar.

“Aaa.... Gus, ini maksudnya apa...? ”

Ceklek... Gus An mengunci pintunya.

Deg. Jantung Naila rasanya berdegup sangat kencang. Dia takut kegelapan.

“Hiks... hiks... Gus, tolong buka pintunya...”

”Menyebalkan sekali sih Gus, jenengan ini... ”

Ceklek... Gus An membuka pintunya.

“Yaelah, udah nangis. Hahaha... kaya anak kecil aja kamu Mbak... ”

Dasar menyebalkan...

“Udah kelar belum...? kalau sudah tolong benerin AC yang disana ya...” Gus An menunjuk AC yang berada di atas tempat tidurnya. Naya mengangguk. Tugas di kamar mandi sudah selesai. Dia menatap AC yang dimaksud Gus An tadi.

“Hah... ini gimana cara benerinnya...? Aku kan nggak paham sama sekali sama dunia pertukangan seperti itu... ”

“Harus bisa lah, santri itu harus bisa apa-apa... ” sebenarnya Naila tidak ingin membantah. Tapi Gus An sangat menyebalkan. Sejak tadi selalu menambah tugas untuk Naila. Apalagi tugas yang tidak seharusnya dikerjakan oleh seorang perempuan seperti memajang foto di dinding dan membenarkan AC yang letaknya diatas.

“Jangan mentang-mentang anak Kiyai ya Gus, jadi seenaknya sendiri kalau nyuruh orang.”

“Lho... kamu kok berani membantah sih, emangnya udah mondok disini berapa tahun...? ”

“LIMA TAHUN... sampai Aku bosan tinggal disini terus. Nih, ambil dan bersihkan sendiri kamar Anda... ” Naila memberikan sapunya kepada Gus An lantas pergi dengan emosi yang meluap.

“Hei... santri nggak ada akhlak... ”

BAB 03

“Sebel... sebel... sebel deh... hiks hiks... ” Naila keluar dari Ndalem dengan lari dan menangis tersedu-sedu. Umi' mengamati Naila sejak tadi. Meskipun beliau tau jika anak itu sempat berkata tidak sopan pada Gus An, putranya, setidaknya Umi' berharap semoga Dia cepat berubah.

“Semoga dengan hukuman ini kamu bisa lebih baik lagi nak... Umi' tidak ada maksud apapun memperlakukan kamu seperti ini kecuali demi kebaikanmu sendiri.”

“Hiks... hiks... Mbak Santi, Aku mau menelepon Ayah... ” Naila menghampiri ruang kepengurusan.

”Tidak boleh, ini sudah tidak waktunya menelepon. Lagian sebentar lagi juga mau sholat jama'ah. Sana ambil wudhu. Jangan sampai terlambat.” bentak Mbak Santi kepada Naila yang membuat tangisnya semakin pecah.

“Aku nggak mau jama'ah, Aku maunya menelepon Ayah Mbak...”

“Naila...!!! kamu itu sudah besar, bahkan sudah termasuk santri senior loh. Tapi kelakuanmu itu tidak mencerminkan sikap sebagai seorang santri sama sekali. Bahkan lebih buruk dari pada santri baru.”

Jleb... ucapan Mbak Santi membuat Naila tersinggung. Meskipun pada kenyataannya Dia memang seperti itu.

“Biarin... suka-suka Aku, lagian Mbak Santi pikir udah paling baik gitu sampai mengatai seperti itu...? ” Naila memang Naila, tidak seperti santri pada umumnya. Dia tidak takut dengan siapapun kecuali pada Abi dan Umi'.

“Oh jadi semakin berani ya sama senior...? biarin, nanti bakal saya adukan ke Umi' biar hukumanmu ditambah...”

“Oh, jadi selama ini orang yang suka ngaduin Aku ke Umi' itu Mbak Santi...? faham-faham...” Naila tersenyum getir, meninggalkan Mbak Santi yang masih terus mengatakan berbagai macam keburukan Naila.

“Hiks... hiks... Ayah... Ibu... ” Naila kembali menangis di sudut kamarnya.

“Nai, kamu ngapain sih dari tadi nangis mulu... nggak malu tuh dilihatin sama Anak-anak baru...?” tanya Fatma, salah satu teman sekelas, juga sekamar dengan Naila.

“Aku capek hidup di pesantren... Aku udah nggak betah lagi, pengen sekolah dirumah aja biar bisa bebas... hiks... hiks... ”

“Astaghfirullah Nai, kamu itu udah kelas sebelas loh... tahan sebentar lagi. Tinggal setahun lebih dikit aja udah lulus kok.” bujuk Fatma kepada Naila yang justru tangisnya semakin keras sampai sesenggukan.

”Setahun itu lama Fatma... kamu sih nggak tau rasanya jadi Aku, dapat hukuman dari Umi', dari ustadz. Aku tuh capek tau... belum lagi di suruh ngikutin pengajian, jamaah, tidurnya juga kurang, masih disuruh hafalan lagi. Capek Fatma... capek...” Fatma yang mendengarkan celoteh Naila terdiam menelan salivanya. “Sepertinya Naila sangat tertekan hidup disini.”

“Tolong bantu Aku Fatma... tolong bantu hubungin Ayah biar dijemput, Aku udah nggak betah diaini... Apalagi sama Mbak Santi, muak banget ngelihatnya.”

“Mbak Santi...? kamu ada masalah sama Mbak Santi...? jangan coba-coba cari masalah sama Dia loh Nai, bisa-bisa kamu dikasih hukuman sampai lulus...”

“Hiks... hiks... Dia duluan kok yang mulai... hiks... Dia yang ngatain Aku tidak memiliki etika. Dia juga yang ngaduin Aku ke Umi' sampai Aku sekarang dikasih hukuman membersihkan Ndalem selama setahun. Gara-gara itu, Aku jadi ketemu sama Gus An yang menyebalkan itu...”

“Tunggu, tunggu... Gus An...? putranya Abi...? ”

”Iyalah, Gus An siapa lagi.”

”Bukannya lagi kuliah di Mesir...? ”

”Nggak tau tuh, tadi barusan datang. Hiks... dan kalau kamu tau, Dia tidak setampan wajahnya. Menyebalkan sekali ternyata. Mentang-mentang anaknya Kiyai, jadi nyuruh orang semaunya saja. hiks... hiks... ”

“Udah kamu tenang dulu ya, nggak enak loh dilihatin anak baru kalau kamu nangis kayak gini terus. Mendingan kita ambil wudhu terus berangkat jamaah bareng... ” Naila setuju dengan Fatma. Dia ikut mengantri dikamar mandi dengan wajah sembab dan sesenggukan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!