NovelToon NovelToon

The Story Of Si Serabutan

Chapter 1 Aku si Serabutan

Pagi yang sangat dingin di akhir tahun. Aku bangun dari tidur nyenyakku beberapa menit yang lalu dan dengan wajah bangun tidurku yang belum tersentuh air ini pun aku langsung menghampiri kotak suratku yang berada di luar rumah. Sungguh dingin di luar sana sehingga dengan sedikit berlari aku mengambil isi dari kotak suratku dan kembali ke dalam rumah sederhana yang sebenarnya tidak terlalu hangat juga.

Aku merasa aneh, entah apa yang membuatku bersemangat mengambil surat di luar, sampai-sampai aku saja tidak mencuci wajah terlebih dahulu selepas bangun tadi.

"Hah~ Apa ini? Apa-apaan surat-surat tidak berguna ini!" gerutuku sembari memilah beberapa surat yang masuk ke kotak suratku.

Tagihan, tagihan, tagihan, yang kudapatkan saat ini hanyalah tumpukan kertas tak bermakna yang sungguh membuatku malas untuk meneruskan memilah surat-surat itu.

PUK!

Karena sudah terlalu malas memilah, aku pun melemparkan semua surat itu ke atas meja.

Kuraih koran yang tadi sempat kubawa itu. Kubaca dengan sekilas semua judul artikel yang ada di dalamnya berharap ada sesuatu yang menarik di sana.

"Valter Blau Haar von Diedrich, Salah Satu The Great Four Majesty Pahlawan Negeri Mesovania Yang Memesona!" gumamku sembari membacakan sebuah judul artikel di surat kabar yang sedang kubaca itu.

"Ck, berita tidak penting seperti ini bisa-bisanya dimuat di halaman utama! Akan lebih bagus kalau diganti saja menjadi 'Inglebert Ivory Harald, Si Tampan Dan Berani! Idaman Para Wanita', itu baru keren!" ucapku dengan malas menanggapi judul berita yang tak terlalu penting itu.

"Hah~ Well, Si pemimpin ras vampir itu memang terlalu sempurna untuk dibandingkan denganku!" Aku pun menyerah pada keadaan sembari memandangi sekelilingku.

Kurebahkan kakiku di atas kursi, lalu kembalilah posisiku dalam keadaan tiduran sama seperti saat aku bangun tidur di atas kasurku.

KRUUK!

Perutku berbunyi begitu keras seakan mengingatkanku untuk mengisinya dengan sesuatu yang enak. Tapi sayang sekali aku tidak mempunyai apa-apa selain 3 buah telur dan 4 bungkus roti yang harus kuhemat sebelum aku mempunyai pekerjaan lain untuk kubelikan bahan makanan lain.

"Aku tidak bisa makan sekarang, kalau Aku makan sekarang, beberapa saat kemudian Aku akan lapar lagi sedangkan hari masih panjang ... Ck, Aku baru sadar ternyata aku semiskin ini!" gerutuku sembari memegangi perutku yang kelaparan itu.

Kutatap langit-langit 'kantor'ku cukup lama sembari meratapi nasib. Satu jam, dua jam berlalu, saking lamanya aku dengan posisiku ini keringat pun bercucuran dengan deras disertai perasaan yang sangat tidak enak.

"Euugh ... Ga ... Gawat! Aku sudah sesumbar bahwa Aku memiliki kehidupan yang sangat sibuk di sinopsis novel ini! Gawat! Apa yang harus kulakukan sekarang? Gawat, yang kulakukan sedari tadi hanya duduk diam dan menggerutu lalu tiduran lagi tanpa melakukan hal penting ... Akh! Pembaca pasti benar-benar menganggapku hanyalah seorang pembual, lalu mereka meninggalkan ceritaku ini begitu saja!" Aku mengeluh dengan panik karena menyadari sesuatu yang aneh dari kemunculanku di chapter pertama ini.

"OI AUTHOR! LAKUKAN SESUATU, BUAT SEBUAH DRAMA ATAU APA PUN YANG MEMBUATKU TAMPAK BERSINAR, SI**AN!" teriakku pada penulis yang menulis kisahku ini di ruang tamuku seperti orang gila.

WUSH~

Angin yang begitu kencang menerpa jendela yang berada tepat di belakangku sehingga jendela yang entah mengapa bisa tidak tertutup dengan rapat itu terbuka.

"Di ... Dingin ... bbrrrtt." Cuaca sangat dingin hari ini dan itu sungguh membuat pagiku menjadi berat.

Angin yang sangat dingin itu masuk ke dalam rumah sehingga bisa menerbangkan beberapa kertas di dalamnya termasuk surat-surat tak bermakna yang tadi kuambil dari kotak surat. Surat-surat itu beterbangan kesana-kemari mengikuti kemana arah angin itu menuju di dalam rumah.

DUGH!

CKREK!

Dengan sigap kututup dan kukunci jendela itu lagi dengan rapat agar hal serupa tak terjadi lagi.

"Hah~ Berantakan sekali ... Ini artinya Aku harus membereskannya ... Hah~ Merepotkan." Aku kembali memggerutu sembari memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai dengan helaan napas tiap kali mengambil selembar kertas.

Semuanya berjalan sangat membosankan, hingga saat aku memungut sebuah surat terakhir yang tampak biasa saja hanya agak tebal dari yang lainnya, tapi saat kulirik sekilas malah membuatku menjadi tertarik karena itu bukanlah sebuah surat tagihan.

Dengan semangat aku letakkan semua kertas yang kupungut tadi di atas meja dan melompat kembali ke kursi kemudian langsung beralih pada satu surat yang menarik itu.

"Untuk Tuan Inglebert Ivory Harald di jalan. Hallground No.3323 Kota Yorksnall ..." Itulah yang tertulis di muka amplop itu. "Dari Gremlyn Mcvoy di kota Ringfelsental ..." Kudapati nama pengirimnya saat kubalik amplop itu.

Kedua alisku terangkat karena aku sungguh tak tahu siapa si pengirim surat ini. "Hm, Ringfelsental ... Kota itu kan tempat orang-orang kaya tinggal ... dilihat dari kotanya sepertinya dia orang kaya ..." gumamku. "ORANG KAYA! KALAU BEGITU AKU YAKIN DIA ORANG YANG AKAN MEMBERIKU PEKERJAAN!" teriakku yang begitu sangat antusias dengan surat yang baru kuterima ini.

Dengan semangat yang membara, aku pun langsung membuka amplop itu untuk melihat apa isi suratnya.

"Hehehe, mari kita lihat apa yang kudapat ini ~" gumamku dengan suara yang bernada.

Seperti ini kira-kira isi suratnya :

Tuan Inglebert Ivory Harald yang terhormat,

Saya mengetahui Anda dari selebaran yang saya dapatkan ketika saya berkunjung ke Yorksnall beberapa minggu yang lalu. Saya membaca dari selebaran itu bahwa Anda akan melakukan segala pekerjaan asalkan dibayar. Oleh karena itu, bersamaan dengan surat ini saya ingin menawarkan sebuah pekerjaan untuk Anda, jika Anda tertarik, mari kita bicarakan tentang pekerjaan ini di tempat saya. Datang saja ke penginapan Forbelian di distrik Kenshina, kota Ringfelsental, saya menunggu Anda di sana tanggal xx bulan yy, jika dalam waktu itu Anda tidak datang saya anggap Anda tidak tertarik dan penawaran saya akan hangus.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga Anda tertarik dan dapat menemui saya di waktu yang sudah ditentukan.

Salam Hormat,

Gremlyn Mcvoy.

Setelah membaca surat itu perasaanku menjadi sangat gembira yang tak tertahankan sehingga senyum lebar dengan gigi depanku yang tampak itu tak bisa pudar dari wajahku yang tampan ini.

"Hm ... itu berarti besok ya ... Oh, ada catatan lagi di bawahnya!" gumamku setelah kudapati sebuah catatan kecil di bawah tanda tagan orang itu.

"N.B. Pergunakanlah sejumlah uang di dalam amplop itu untuk biaya perjalanan Anda ke tempat Saya." Aku membacakan catatan kecil itu.

Setelah itu, dengan sigap aku kembali membuka amplop tadi untuk memastikan apa yang dikatakan catatan kecil itu. Benar saja ketika kuperiksa kembali amplop itu ternyata terdapat sejumlah uang yang cukup banyak di dalamnya.

"Pantas saja amplop ini terasa lebih tebal dari amplop-amplop berisi tagihan-tagihan itu!" Seketika jiwa mata duitanku pun bangkit dan hanya dengan melihat uang sebanyak ini di tanganku yang sudah sangat lama tidak memegang uang sebanyak ini, aku pun tak bisa menolak pekerjaan orang ini.

"HAHAHAHA, proyek baru! Aku terima apa pun pekerjaan ini!" ucapku dengan tegas dan setelah itu langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk melakukan sesuatu di hari yang sangat indah.

***

Setelah 30 menit bersiap dengan mengenakan mantel berwarna coklat favoritku, akhirnya aku melangkah keluar dari 'kantor' tercintaku untuk melakukan sesuatu yang sangat penting.

"BELANJA! WAKTUNYA BELANJA!" teriakku dengan riang sembari melangkah menuju pasar yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku.

Tentu, hal penting yang kulakukan sekarang adalah membelanjakan uang dari pelangganku itu.

"Hehehe, Aku bisa belanja banyak hal dengan uang sebanyak ini ... Lagi pula Aku kan besok harus bertemu dengan orang ini, jadi Aku harus sehat, segar, dan bugar agar Aku bisa fokus bekerja," gumamku dengan senyum yang masih tak pudar dari wajahku tanpa memedulikan berapa biaya transpor untuk sampai ke tempat yang dijanjikan pelangganku itu.

--------------+

Aku, Inglebert Ivory Harald, si serabutan yang sibuk ini akan menunjukkan padamu bagaimana kehidupan sibuk - AAAHHH! (Author mendorong pria itu dengan sekuat tenaga).

"Sini gantian! Kau minggir dulu sana, Ebert!" seru Author yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Ck, Author si**an! Mentang-mentang author ..." gerutu Ebert sembari melangkah menjauh menuju belakang layar.

"Ekhm ... Author disini! Aku akan mengatakan beberapa informasi bagi pembaca yang membaca novel ini," ucap Author.

"Itu pun kalau ada yang baca, Author!" teriak Ebert dari belakang layar.

"Ck, anak itu perlu diberi pelajaran setelah ini," gerutu Author yang kesal dengan kenyataan yang diucapkan Ebert.

"Lupakan apa yang dikatakan Pemeran Utama si**an itu! kembali pada informasi yang akan kuberitahukan ... Ekhm ... yang pertama, novel ini berlatar di Mesovania 800 tahun-an sebelum semua yang terjadi di novel pertama Author yang berjudul The Way To Mesovania, jadi jangan aneh jika ada beberapa hal yang disebutkan disini sama dengan apa yang ada di novel itu, contohnya tentang The Great Four Majesty, Valter, Mesovania, dan sebagainya. Selain itu tentu saja di novel ini juga ada beberapa ras yang hidup berdampingan seperti ras manusia, vampir, manusia serigala, dan penyihir ..." tutur Author.

"Dan yang kedua, semoga pembaca sekalian terhibur! Sudah itu saja, Author tak bisa lama-lama berbicara karena takut dianggap pelanggaran ... jadi sudah, begitu saja ... dadah ...!" ucap Author yang setelah itu langsung menghilang entah kemana.

Bersambung ...

Chapter 2 Pekerjaan penghasil uang, aku datang !

Aku benar-benar bahagia hari kemarin sampai-sampai tak terasa perutku sudah kembali berisi dan wajahku cerah seperti biasa.

Hal membahagiakan itu terjadi kemarin, kebahagiaan itu hanya berlangsung kemarin saja.

Saat ku lihat isi dompetku hari ini semua kesenangan itu sirna, wajahku yang tadinya cerah, secerah matahari, sekarang malah redup, seredup api dari lilin yang sudah hampir habis dan sudah menyentuh lantai.

"U ... Uangnya ... Tinggal segini?!" gumamku dengan perasaan sesak memandangi uang dari si pelanggan itu kini tersisa hanya selembar uang pecahan 100 Hapiah dan dua lembar 20 Hapiah saja dari yang asalnya 10 lembar uang pecahan 100 Hapiah.

PLAK!

Kutepuk keningku sekeras-kerasnya karena merasa bodoh sekali telah menghamburkan uang kemarin.

"Ck, si*l! Dengan sisa uang segini bagaimana aku bisa sampai ke tempat yang dijanjikan si pelangganku itu!" Aku langsung melihat jam dinding yang menggantung di 'kantor'ku dan itu sudah menunjukkan pukul 6.00 pagi.

Kututup kembali amplop yang sudah diibaratkan sebagai api tanpa asap itu, lalu memasukkannya ke dalam saku jas yang kukenakan. Setelah itu dengan cepat memasukkan perlengkapan yang mungkin akan berguna untuk melakukan pekerjaan dari orang yang bernama Gremlyn itu.

"Hah! Aku pasti bisa sampai kesana! Aku harus bisa mendapatkan pekerjaan itu!" tegasku dengan sangat yakin setelah dirasa sudah siap dengan semua perlengkapanku.

Kukenakan mantel kesayanganku, kemudian kugendong tas yang berisi perlengkapan itu, lalu keluar dari rumah reotku dengan tergesa-gesa dan tentu saja aku tidak lupa mengunci pintunya.

***

Beberapa saat kemudian aku menemukan masalah lainnya setelah keluar dari rumah.

"Ah! Ayolah ... Kurangi sedikit saja, hanya itu yang kupunya!" Saat ini aku sedang tawar-menawar dengan seorang pria pemilik rental kuda yang berada yang berada tak jauh dari rumahku.

"Tuan, Kau bukannya menawar, Kau itu sama seperti sedang merampok!" seru pria itu yang tentu saja menolak harga yang kutawarkan padanya.

"Wah, wah, Kau itu pebisnis yang sangat pelit sekali ya," ucapku meledeknya dengan senyum sinis.

"Tuan, bukan Aku yang pelit, tapi Kau yang pelit pada pebisnis kecil sepertiku!" timpal pria itu dengan tampang kesal dan senyum pahitnya.

"Harga sewa kuda ini 200 Hapiah, tapi Kau malah menawar dengan harga yang tidak masuk akal, bagaimana Aku bisa menyetujuinya?" lanjutnya.

"Hah! Apa salahnya aku menawar 50 Hapiah? Lagi pula tempatnya juga dekat -"

"TUAN, 50 HAPIAH ITU BAHKAN TIDAK SAMPAI SETENGAHNYA DARI YANG SEHARUSNYA! LAGI PULA TEMPAT ITU JUGA DI LUAR KOTA KAU SEHARUSNYA ... BLA ... BLA ... BLA ..." Pria itu yang sepertinya sudah sangat kesal dengan usaha menawarku berteriak dengan sepenuh hati.

Aku hanya menyumpal kedua telingaku dengan jari, sehingga aku tidak mendengar sisa ocehannya yang begitu sangat panjang karena terlalu malas mendengarkan keluh-kesah yang sangat panjang seakan tak ada habisnya.

Setelah sekian lama aku menyumpal telinga dan kulihat ia sudah berhenti menggerakkan mulutnya, akhirnya kulepaskan jariku dari telinga.

"KAU DENGAR APA YANG TADI KU KATAKAN HAH?!" teriak pria itu di akhir ocehannya.

"Sudah? Sudah Kau mengocehnya?" tanyaku dengan sinis.

"Hah? Kau benar-benar tidak mendengarkan sepertinya!" ujar pria itu dengan bibir yang gemetar karena saking kesalnya.

Aku hanya tersenyum melihatnya, lalu dengan santai dan penuh percaya diri, aku berkata lagi. "Baiklah, aku akan memberikan penawaran terbaikku!"

Pria itu menatapku dengan seksama untuk memastikan bahwa aku tidak main-main, sedangkan aku masih tersenyum dengan penuh keyakinan. Sepertinya reaksiku yang tampak sangat meyakinkan ini berhasil meyakinkannya dan membuatnya tertarik untuk mendengarkannya lebih lanjut.

Ia lalu melipat tangannya di depan dada sembari memandang penuh tanya padaku. "Nah, apa penawaran 'terbaikmu' itu hah?" tanyanya.

"Hehehe, Aku menawarkan harga 75!" ucapku dengan senyum penuh kemenangan meski kutahu aku belum benar-benar menang.

"KEH! ITU MASIH JAUH DENGAN SETENGAHNYA SI**AN!" teriaknya lagi.

PUK!

Aku menepuk keningku dengan raut wajah kecewa.

"Kau ini sungguh amat sangat pee ... liiittt sekali!" ejekku dengan penuh perasaan pada pria itu.

Setelah itu pun kami beradu mulut untuk waktu yang sangat lama, hingga akhirnya seseorang menghentikan pertengkaran kami.

"Ada apa ini?" tanya seorang wanita yang melihat kami hampir saja baku hantam.

Kami yang sedang saling memegangi kerah baju lawan kami pun menoleh pada sumber suara itu.

"Oh, Tuan Ebert!" ucap wanita itu setelah ia menyadari siapa orang yang sedang berkelahi ini.

Kami pun langsung melepaskan cengkeraman pada kerah lawan kami setelah wanita itu menyebutkan namaku.

"Nona, Anda tahu pria tidak tahu diri ini?!" ucap pria yang bertengkar denganku seakan tak percaya wanita itu mengenalku.

"Haha, iya Saya tahu Tuan Ebert," jawab wanita yang tampak sangat anggun itu.

Namun sayang sekali, aku tidak tahu siapa wanita cantik bermata kuning yang indah ini. "Hm, Kau tahu Aku?" tanyaku dengan alis yang terangkat karena sungguh tidak tahu siapa orang ini.

Wanita itu tersenyum, lalu malah bertanya. "Oh, apakah Anda masih ingat Tuan William Bougerbart?"

"Tuan William Bougerbart? ..." Aku terdiam sembari mengingat-ingat nama yang pasaran itu. "Em ... Pria besar berjanggut yang cara bicaranya aneh itu?" tanyaku untuk memastikan.

"Ahahaha, benar,.Tuan, dia adalah orang yang pernah menggunakan jasa Anda dulu ... em ... Dia mempekerjakan Anda untuk mencari seekor kucing putih peliharaannya," timpalnya sambil tertawa ketika kukatakan ciri-ciri dari orang yang bernama William itu.

"Oh iya, aku ingat! Dia memaksaku membersihkan kucing kotor itu sampai menjadi putih seperti semula! Siapa sangka ternyata kucing itu sungguh galak, lihatlah! bahkan bekas cakaran-cakaran kucing itu masih membekas sampai sekarang!" keluhku sembari memperlihatkan beberapa luka bekas cakaran yang cukup dalam sehingga meninggalkan bekas di kedua tanganku dan satu di leherku.

"Ahahaha, maafkan kucing itu, lagi pula dia hanya hewan imut yang tidak menyukai air jadi ya ... harap maklum saja," ucap wanita itu.

"Hm, tapi tetap saja sakit ... Ah, sudahlah lupakan itu! Ngomong-ngomong wanita cantik ini siapanya Tuan Willam ya? Dan mengapa Kau bisa tahu Aku?" tanyaku yang masih penasaran akan hal itu.

"Perkenalkan, nama saya Clara Cyntia Bougerbart, saya istri Tuan William Bougerbart. Saat suami Saat mempekerjakan Anda, Saya sedang berada di rumah orang tua Saya sehingga sudah pasti Anda tidak tahu Saya. Well, Saya tahu Anda karena Tuan William yang menunjukkannya saat kami secara kebetulan melihat Anda dari kejauhan beberapa waktu yang lalu." Wanita yang bernama Clara ini pun akhirnya memperkenalkan diri.

"Ah! Anda istri dari pria kaya itu?!" Pria itu tampak terkejut mengetahui siapa wanita yang ada di hadapannya ini.

Begitupun denganku, aku juga sungguh sangat terkejut mengetahuinya. Bagaimana bisa wanita secantik dan sesempurna ini adalah istri dari pria bongsor menyeramkan yang tak berperasaan itu.

"Oh, begitu." Akhirnya hanya itu yang kuucapkan karena aku tak ingin memperpanjang urusan lagi karena sekarang aku sedang terburu-buru.

Clara lalu mengalihkan pandangannya pada pemilik rental kuda itu, lalu mengajaknya berbicara. "Tuan, ada apa ini sebenarnya? Apa yang membuat kalian bersitegang?"

Pria itu lalu menjelaskan secara rinci mengenai masalah di antara kami sehingga menyebabkan kami hampir saja baku hantam.

"Hoo, seperti itu ..." Clara lalu menoleh padaku sembari tersenyum. "Tuan yang baik, bagaimana jika Saya jamin jika pria ini akan membayar sisa uang sewanya setelah ia kembali? Saya jamin dia tidak akan mengingkari janji, benar begitu kan, Tuan Ebert?" ucap Clara yang sepertinya malah bernegosiasi dengan pria menyebalkan itu untukku.

"Ah, Nona - eh maksud saya Nyonya Bougerbart, maafkan Saya, entah mengapa saya merasa pria ini sangat sulit dipegang omongannya, lihatlah bagaimana acak-acakannya ia saat ini, sangat tidak meyakinkan!" tegas pemilik rental itu sembari memandang sinis ke arahku.

"Ck, ck, ck, Aduh Tuan ... Bagaimana bisa Kau menilai seseorang hanya dari penampilannya saja! Primitif sekali pemikiranmu! Asal Kau tahu setelah Aku kembali, Aku pasti akan membawa banyak uang dari pekerjaan itu dan setelah itu Aku pasti sungguh akan membayar sisanya!" Aku pun pada akhirnya mengikuti apa yang dikatakan Clara pada pria itu.

"Hm ... Karena Nyonya baik ini yang menjaminmu, baiklah kalau begitu aku se -"

"Tunggu, tunggu!" Selaku. "Aku setuju jika harganya 270 Hapiah jika Kau mengantarku secara langsung ke tempatku menuju menggunakan kereta kuda!" Aku masih belum selesai menawar.

Pria itu langsung menoleh pada Clara karena terkejut dengan penawaranku yang mendadak ini. Namun, Clara hanya tersenyum sembari mengangguk pelan padanya.

"Hah~ Baiklah aku setuju jika harganya 280! Jika Kau mau, segitu harganya, tak bisa kurang lagi!" Seru pria itu dengan tegas.

"Hehehehe, baik setuju!" Kami pun berjabat tangan, sepakat akan harga yang sudah disepakati.

"Hehehe, wanita yang bernama Clara ini sungguh menyelamatkanku, bersyukur sekali dia tiba-tiba muncul," batinku sembari melirik pada wanita yang masih tersenyum manis pada kami yang sudah akur ini.

Si pria itu masuk ke dalam garasinya, langsung menyiapkan kereta kuda yang akan digunakan untuk membawaku.

Tinggallah kami berdua sekarang. Aku mendekat padanya untuk berterima kasih, lalu menjulurkan tangan padanya setelah ku bersihkan telapak tanganku pada pakaianku agar tidak mengotori sarung tangan wanita cantik ini.

Wanita itu tersenyum manis sembari meraih tanganku untuk berjabat tangan.

"Sebagai balas budi, jika Kau membutuhkan tenagaku, Kau bisa datang menemuiku dan Aku akan memberikan diskon untukmu!" ucapku dengan tegas pada Clara.

"Baik Tuan Ebert, terima kasih!" ucap Clara sembari tersenyum padaku.

Wanita ini sungguh cantik dan baik, tapi sayang sekali dia sudah menikah. Jika saja dia masih lajang, mungkin aku akan mendekatinya, tapi siapa sangka ternyata suaminya adalah orang menyeramkan itu, aku pasti akan dipenggal olehnya jika aku mendekatinya.

Kami pun melepaskan jabat tangan kami.

"Oh, ngomong-ngomong, kucing yang Anda tangkap waktu itu lebih tepatnya adalah kucing kesayangan Saya, Tuan William sangat panik saat menemukan kucing Saya itu hilang jadi dia langsung mempekerjakan Anda dan dia juga pasti sudah sangat keras juga pada Anda saat itu, jadi atas nama suami Saya, Saya harap Anda memaafkan kekasarannya," tuturnya dengan lembut.

"KEH! WANITA INI MALAIKAT! SI WILLIAM BERUNTUNG SEKALI!" teriakku dalam hati yang juga menyesalkan mengenai pemilik dari bidadari ini.

"O ... Oh, tak apa, Aku tidak terlalu memikirkannya," jawabku.

Tak lama si pemilik rental kuda itu pun kembali. Ia mengatakan bahwa kereta yang akan kugunakan itu sudah siap. Namun untuk kusirnya, ia sudah menunjuk seseorang untuk mengantarku kesana karena ia terlalu sibuk untuk mengantarku kesana.

Aku pun mengiyakan dan dengan sigap langsung menaiki kereta kudanya setelah berpamitan pada Clara dan si pria pemilik rental itu yang aku tak tahu namanya.

"Mau kemana kita Tuan?" tanya kusir kuda yang sudah duduk di tempatnya itu.

"Kita pergi ke distrik Kenshina, kota Ringfelsental," jawabku sembari menyeringai penuh arti pada kusir yang akan mengantarku itu.

Aku mengeluarkan kepalaku melalui jendela lalu melambai pada kedua orang yang sedang berdiri menungguku pergi itu saat kereta mulai melaju.

"Sampai jumpa!" ucapku yang setelah itu kembali duduk dengan benar di dalam kereta kuda.

"Hehehe, aku akan mendatangi sumber uang itu!" ucapku sambil cengengesan seperti orang gila karena terlalu bersemangat membayangkan uang yang akan ku dapatkan.

Bersambung ...

...----------------...

Author : Si bodoh itu tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi sudah memikirkan uang yang akan didapatnya. Ppppttt ... dasar bodoh!

Ebert : Hah?

Chapter 3 Masalah di perjalanan

Saat ini aku sudah berada setengah perjalanan menuju Kota Ringfelsental. Perjalanan menuju kota itu tidaklah terlalu jauh jika dijangkau dengan kereta kuda, mungkin hanya memerlukan waktu setengah hari jika tak ada halangan apa pun.

Perjalanan begitu membosankan hingga beberapa kali tanpa sadar aku tertidur. Kusir yang membawaku ini juga tidak terlalu banyak bicara dan itu sungguh membuatku merasa bosan.

"Hm, sudah jam 2 siang ..." gumamku sembari menoleh kanan-kiriku melihat ke luar jendela untuk memastikan sudah sampai dimana kah aku saat ini.

Kemudian aku kembali pada posisi semulaku karena tersadar bahwa aku tidak tahu jalan, jadi untuk apa aku memastikannya.

"Oi, apakah Kita sudah sampai di kota itu?" teriakku dari dalam kereta pada kusirku itu.

"Em, sebentar lagi tuan, kira-kira 3 jam lagi kita sampai di Ringfelsental," jawab kusir yang sungguh sangat hemat bicara itu.

Mengetahui hal itu, kukira aku akan sampai ke sana kurang lebih jam 5 sore, aku masih memiliki waktu yang sangat panjang untuk bertemu dengan Tuan Gremlyn Mcvoy dan membicarakan pekerjaan yang akan ia berikan padaku.

"Hehehe, lupakan soal pekerjaannya, yang kupikirkan saat ini adalah segepok uang yang sebentar lagi akan ada di genggaman tanganku! Hehehe," ungkapku dalam hati sembari menggosok-gosok kedua tanganku dengan pikiranku yang sudah gelap tertutup oleh uang yang begitu banyak di bayanganku.

Saat aku tengah asyik mengkhayal, tiba-tiba saja kereta kuda yang kunaiki itu berhenti, yang tentu saja hal itu karena kudanya berhenti berjalan.

"Hah?! Ada apa ini?" Aku bertanya-tanya sembari mendekatkan wajahku pada jendela kecil yang mengarah langsung pada tempat duduk kusir kuda di depanku.

Namun kusir itu tidak berbalik untuk menjawab pertanyaanku, pandangannya lurus ke depan karena sepertinya ada sesuatu yang membuatnya terpaku. "Tu ... Tuan, sepertinya Kita ada masalah," ucapnya.

"TURUN!" teriak seorang pria dari luar kereta dengan sangat keras dan menggema serta terdapat penekanan dalam nada suaranya.

Aku mendengar satu orang yang berteriak, tapi kukira di luar sana ada lebih dari seorang yang menghadang kami karena aku juga mendengar sayup-sayup suara orang lain di tengah padang yang luas ini.

Kusir di depanku langsung turun dari kereta karena kurasa mungkin ia merasa ketakutan. Namun tidak denganku, aku masih berada di dalam kereta, belum berencana keluar karena aku ingin tahu terlebih dahulu siapa orang-orang ini.

"Well, seperti yang kupikirkan, kami di kepung oleh bandit," gumamku setelah aku mengintip melalui jendela dan kudapati kereta kuda ini sudah dikepung oleh lima pria bersenjata yang menyeramkan.

Pandanganku langsung mengarah pada tasku. Tas yang berisi barang-barang tidak berharga tapi aku sangat yakin mereka akan merampasnya. "Arrgghh ... Tapi barang itu sangat berguna bagiku!" gerutuku dalam hati.

DUG!

DUG!

Salah seorang dari pria kekar menyeramkan itu menendang pintu kereta dengan sangat keras.

"KELUAR KAU!!" bentaknya dengan wajahnya yang ngeri sudah menempel di kaca jendela kereta.

Entahlah, aku merasa takut atau malah biasa saja, yang jelas aku sangat enggan keluar dari dalam sini karena kutahu jika aku keluar maka lenyaplah sudah semua barang-barang yang kupunya beserta kereta kuda dan kudanya juga tentunya.

Tapi tak sempat aku berpikir akan melakukan apa, tiba-tiba saja pintu dibuka paksa dan orang kekar itu langsung menarikku keluar dengan begitu mudahnya seakan aku hanyalah sebuah koper kosong.

BRUGH!

Tentu saja aku dilempar sehingga mendarat di atas tanah dengan kasar.

Saat itu aku tersadar dan sangat mengerti dengan situasiku saat ini. "Yap, sudah pasti Aku kalah kalau melawan," pikirku sembari menahan rasa sesak setelah tubuhku membentur tanah.

"Ah~ Sungguh kemunculan yang menyedihkan, padahal baru chapter 3, tapi Aku sudah terlihat sangat menyedihkan," gumamku sembari tersenyum simpul dengan mata tertutup.

Aku pun berdiri lalu menyapu-nyapu dan menepuk-nepuk mantel beserta baju bagusku dengan tanganku untuk membersihkannya dari debu dan tanah.

"Ah, kotor," gumamku.

"Woi, kau! Kenapa Kau tampak begitu santai seperti itu? Lihatlah betapa ketakutannya kusirmu ini! Apakah Kau sedang meledek kami hah?!" bentak seorang pria yang tadi melemparku.

"Mungkin dia hanya ingin terlihat keren saja sehingga dia menutupi rasa takutnya!" teriak salah satu rekannya yang membawa golok.

Aku hanya diam, tapi dalam hati aku mengatakan sesuatu. "Sial! Kenapa dia bisa tahu!" batinku.

"AHAHAHAHA, DIA DIAM, BERARTI ITU BENAR!" teriak yang lainnya sembari menertawaiku dengan puas.

Aku hanya diam sembari memperhatikan wajah-wajah bodoh mereka yang menertawakanku. Selain itu, kuperhatikan sekitarku dan memang aku dan kusirku itu dikepung dari segala arah sehingga sangat sulit bagi kami untuk melarikan diri.

"Sudah cukup!" seru seorang pria berpedang yang sepertinya adalah pemimpin mereka karena setelah menyerukan itu, semua orang yang tertawa langsung terdiam. "Woi Kau tidak lihat bagaimana orang ini bersikap? Harusnya Kau juga mengangkat tangan dan menyerah pada kami! Atau Kau ingin merasakan bagaimana tajamnya pedang yang ada di tanganku ini?!" lanjutnya sembari mengacungkan pedangnya padaku.

Karena aku sadar aku hanyalah orang kecil, aku pun melakukan apa yang dikatakan pemimpin bandit itu. "Cih, jika ada koran yang memuat, pasti judul artikel yang sangat menggambarkan aku saat ini adalah 'DITEMUKAN SEORANG PEMERAN UTAMA SEBUAH NOVEL MENYERAH DI TANGAN PEEPSQUEAK! SUNGGUH MEMALUKAN! AKANKAH AUTHOR AKAN MEMECATNYA?' ... Eh, tunggu yang membuatku seperti ini kan si Author si**an itu, mengapa juga dia memecatku?" ucapku dalam hati.

Tapi mungkin karena aku tampak sedang bengong di mata ba**ngan itu, orang yang mengacungkan pedangnya padaku itu mulai menempelkannya pedangnya pada leherku, mungkin dia butuh perhatian.

"Kau kenapa diam hah?! Serahkan semua yang Kau punya!" seru orang itu.

"Kalian itu bandit?" tanyaku dengan polosnya.

Ia lalu menggoreskan pedangnya pada leherku sehingga darah pun mengalir dari goresan itu.

"Kau main-main dengan Kami hah?! Kau meremehkan kami? Lihatlah di sekelilingmu semua adalah pria bersenjata yang kapan saja bisa mencabik-cabik tubuh lemahmu dan kusirmu yang penakut itu! Jadi ketahuilah posisimu saat ini, jika Kau ingin tetap hidup, maka serahkan semua barang-barang kalian dan Kami akan membiarkan kalian bebas! Jika tidak, Kalian hanya akan mati!" tutur pria berpedang itu dengan arogan.

Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum sinis. "Tuan, sepertinya Kau ini salah sangka, Aku hanyalah orang miskin, begitu pun dengan orang itu, kereta kuda itu juga sewaan dan Aku menyewanya juga dengan cara berhutang, jadi percuma saja kalian mau merampok Kami, buang-buang energi saja," ujarku.

"Hehehehe, tak ada yang tidak berguna, mencegat Kalian sudah pasti minimal kami mendapatkan kereta kuda itu beserta kudanya, tapi Aku ingin lebih! Aku ingin segala sesuatu yang kalian miliki!" ucap pemimpin bandit itu sembari menyeringai padaku. "Lagi pula kau bilang Kau miskin? Lihatlah betapa bagusnya pakaian dan mantel yang Kau kenakan, jika dijual itu akan sangat mahal! Aku tidak percaya ucapanmu!" Lanjutnya sembari melirik pakaian yang kukenakan.

"Kalau pria kecil ini yang bicara baru kami percaya, hahahahahaha," ucap seorang pria di antara gerombolan yang mengerumuni kami sembari menunjuk kusirku yang sampai sekarang aku tidak tahu siapa namanya.

"Baiklah, jika Kalian tidak memili apa-apa untuk diserahkan padaku, tanggalkan semua pakaian yang kalian kenakan dan berlarilah sejauh mungkin seperti seorang pecundang!" ucap pria berpedang dengan nada meremehkan.

"Terutama semua pakaianmu! Mereka terlihat sangat mahal, dan Aku ingin itu!" sambungnya sembari memegangi mantel coklat kesayanganku.

"Lepaskan tangan kotormu dari mantelku!" Seruku yang kali ini tatapanku langsung berubah pada orang ini.

"Kau boleh mengambil semuanya, tapi jangan Kau sentuh mantelku!" Aku sudah mulai menggila saat pria itu memegangi mantel yang kukenakan.

Harus kuingatkan bahwa aku sangat tidak suka apabila orang jahat menyentuhnya dengan tangan kotor mereka yang penuh dengan dosa. Jika hal itu terjadi, aku akan menggila dan bisa saja menghabisi orang itu tanpa ampun.

"Apa-apaan dengan tatapan i -"

GREB!

Tanpa rasa gentar, aku pun mencengkram pedang yang kapan saja bisa menebas leherku itu sampai-sampai telapak tanganku bercucuran darah karena terkena mata pedang yang ternyata sangat tajam itu.

KREK!

PRANG!

Kekuatan cengkeramanku yang begitu kuat membuat pedang itu hancur sehingga leherku bisa terbebas dari ancaman pedang yang sedari tadi mengancamku.

BUAK!

Semua orang tampak terbelalak melihat aksiku. Namun aku tidak menyia-nyiakan saat-saat itu dan dengan sekeras-kerasnya langsung menendang seperangkat telur dan sosis diantara paha pemimpin bandit itu sehingga ia pun menjerit kesakitan.

"AAARRGGHHHHHH!!!!" teriaknya dengan sekeras-kerasnya sembari memegangi bahan makanan di bagian bawah perutnya.

Bukannya langsung menyerbuku, semua bawahannya dengan bodohnya malah menghampiri pemimpinnya yang sedang kesakitan setengah mati setelah ku habisi adiknya.

"Untung mereka bodoh," batinku.

Melihat kesempatan itu dengan cepat, aku langsung berlari menuju kusirku yang tampak sangat terkejut melihat aksiku dengan mulut menganga. Ku tarik tangannya dan ku ajak dia berlari secepat-cepatnya menjauh dari bandit-bandit itu.

DRAP

DRAP

DRAP

Kami berlari begitu sangat cepat. Kusir ini sungguh payah, jika bukan karena aku menariknya, ia mungkin akan berlari dengan sangat lambat.

"Ku ... Kudanya!" ucap kusir di tengah pelarian kami.

"Tak usah pikirkan kudanya! Kita berlari saja!" seruku.

Kami berlari cukup jauh, saking jauhnya aku merasa bandit-bandit itu sudah kehilangan jejak kami sehingga akhirnya kami pun berhenti berlari.

"Hah ... hah ... hah ..." Kami pun berhenti untuk mengatur napas kami yang sudah terengah-engah karena berlari cukup jauh tanpa berhenti.

"Ah~ Dasar sial?!" gerutuku setelah merasa cukup kuat untuk mengeluh.

"Tuan, Kita meninggalkan kereta kuda dan kudanya di sana, bagaimana Mita akan menjelaskannya pada tuan Philip nanti?" ucap pria itu dengan tampang yang begitu khawatir.

"Hah? Philip? Siapa itu?" Aku sungguh tak tahu si pemilik nama itu.

"Pemilik rental yang berdebat dengan Anda itu," jawabnya.

"Oh si pelit itu ..." Hanya itu reaksiku. Aku memang baru tahu nama pria pelit itu dari pegawainya ini.

"Tuan, Anda lebih marah saat dia menyentuh mantel anda dari pada saat mengetahui bahwa mereka akan merampas kereta kuda Kita, Anda sungguh tidak masuk akal!" komentarnya yang akhirnya mengeluarkan banyak kata setelah ia selama perjalanan tadi hanya diam saja.

"Well, kereta kuda beserta kudanya itu bukan milikku, untuk apa aku meratapinya! Tapi mantel ini ... Ini milikku dan aku akan melindungi apa yang menjadi milikku!" seruku dengan rasa bangga dan sok yang tergambar di wajahku.

"Oi Tuan, apa Anda lupa bahwa barang-barang MILIK Anda yang lainnya juga berada dalam kereta yang mereka rampas?" tanya pria itu dengan sinis.

Aku diam membeku mendengar itu karena memang aku baru menyadarinya. Itu membuatku makin malu karena mengingat semua yang kulakukan di dalam kereta itu hanyalah memandangi barang bawaanku saja tanpa sempat memikirkan cara untuk membawanya bersamaku.

Tapi penyesalan itu tidak berlangsung lama setelah kuingat tidak semua barangku tertinggal di kereta itu.

"Hehehe, Aku tidak kehilangan begitu banyak kok ... Jeng jeng!" Kutunjukan amplop berisi sisa uang yang sangat sedikit itu dari saku di dalam mantelku tepat di depan muka kusir itu.

"Aku masih punya uang! Hehehehe, asal masih ada benda ini aku tidak peduli dengan benda lainnya!" sambungku dengan riangnya.

"Pantas saja dia sangat marah saat bandit itu memegang mantelnya," gumam kusir itu.

"Tuan, bagaimana jika Anda pikirkan saja bagaimana cara Anda mengganti rugi pada Tuan Philip atas hilangnya kereta kuda beserta kuda miliknya itu, Saya yakin jumlahnya tidak akan sedikit," ucapnya padaku.

"Ah, Kau benar! Well, bagaimana pun juga Aku tidak akan membuat pria pelit itu memegang sisa uangku yang sangat sedikit ini ... Sudahlah, yang lebih penting sekarang adalah Kita pikirkan saja cara untuk sampai ke penginapan itu!" ungkapku sembari memasukkan kembali amplop yang berisi uang itu ke dalam saku bagian dalam mantelku.

Tanganku yang terluka karena pedang tadi mulai terasa nyeri. Aku baru merasakannya sekarang setelah dari tadi aku hampir saja tidak merasakan apapun. Sadar-sadar aku baru melihat bercak darah di mantelku bekas tadi saat aku mencari amplop itu di dalamnya.

"Ah, Anda akhirnya sadar juga dengan luka itu," ucap kusir itu yang memandangiku tengah diam meratapi luka yang cukup dalam itu.

Ia lalu merobek lengan bajunya yang panjang, lalu menjadikannya perban sementara untuk telapak tanganku.

"Terima kasih!" ucapku sembari menaikan kedua alisku.

Dia hanya mengangguk sembari menyelesaikan memerban tanganku.

Pria ini memang tidak banyak bicara, tapi dia orang yang sangat baik. Dia ini tipe orang yang tidak banyak bicara tapi banyak bekerja, sungguh sangat efisien dari pada orang yang banyak ba**t.

"Well, Kau pasti masih tahu jalan untuk kesana kan? Jadi jika dengan berjalan kaki, berapa jam lagi Kita akan sampai ke kota Ringfelsental?" tanyaku setelah lukaku tertutup dengan sempurna.

"Well, mungkin 6 jam jika Kita tidak beristirahat," jawabnya.

"6 jam ya ..." gumamku sembari melihat jam tanganku untuk memperkirakan jam berapa kita akan sampai di kota itu.

"AH! KITA TIDAK PUNYA WAKTU LAGI! AYO CEPAT KITA HARUS BERGEGAS!" teriakku yang seketika panik setelah memperkirakan kami akan sampai di tempat yang dijanjikan pada sekitaran tengah malam.

"Tunggu dulu! Aku tidak bisa memanggilmu sebagai kusir lagi mengingat sekarang Kau sudah tidak berkuda ... Jadi, siapa namamu?" tanyaku yang akhirnya terpikir untuk bertanya sesuatu yang penting pada teman perjalananku ini.

"Tristan, Tuan," jawabnya dengan tegas.

"Baiklah kalau begitu Tristan, ayo Kita bergegas menuju ke sumber uangku!" seruku dengan semangat berjalan di depannya.

Di mulai dari sini, aku dan Tristan pun melanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki.

Bersambung ...

...----------------...

Author : Tenang, tenang aku tidak akan memecatmu kok.

Ebert : Tentu saja! Pasti karena aku sangat berguna disini dan cerita ini tidak akan jalan tanpa adanya aku kan.

Author : Bukan, bukan! Tapi karena aku masih belum puas mengerjaimu!

Ebert : APA?!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!