“Ayam goreng sambal kemangi sudah jadi, tararra!” teriak seorang gadis cantik berambut panjang yang dikuncir ekor kuda sedang menirukan gaya cheff yang pernah ditontonnya di youtube.
Namanya Aira, hobi memasak dan seorang pemilik salah satu brand kosmetik yang sedang naik daun saat ini. Ia yang masih memakai celemeknya pun dengan bersemangat membawa masakan buatannya tersebut ke meja makan yang berada di ruangan lain yang dibatasi dengan sekat kaca.
“Hah, aku memang pintar memasak. Pasti beruntung yang bisa menjadi suamiku nantinya,” gumamnya sembari meletakkan seporsi ayam sambal kemangi tersebut di samping sekeranjang buah-buahan segar yang dibelinya tadi.
Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu.
“Ah, iya tempe gorengku!” Ia pun langsung berlari ke arah dapur kembali.
Terlihat asap mengepul dari penggorengan. Belum sempat ia mendekati kompor, tiba-tiba saja api sudah menjalar di atas penggorengan. “Api!” teriaknya panik.
Sedetik kemudian ….
BAMM!
**
Saat ini di depan banyak orang terlihat sepasang pengantin yang sedang melakukan ritual pernikahan. Baju merah dengan sulaman benang emas membentuk pola phoenix di jubah pasangan pengantin tersebut sungguh membuat banyak orang yang ada di sana takjub. Namun, tidak ada yang tahu apa yang benar-benar sedang terjadi saat ini.
“Ah, di mana ini?” gumam Aira karena merasa kepalanya pusing.
“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?”
Terdengar keributan yang membuat kepala Aira terasa makin pusing.
“Apa sih yang terjadi? Dan ini apa-apaan?” batinnya karena tidak mengerti kenapa saat ini wajahnya ditutupi kain merah.
Ia pun melihat kalau saat ini tubuhnya di tahan oleh seseorang. “Sebenarnya ada apa ini?” Aira pun makin merasa bingung. Ia pun segera berdiri tegap agar tak lagi dipapah oleh orang lain.
“Nyonya, Anda tidak apa-apa kan?” Suara seorang wanita yang tadi menopang tubuh Aira.
“Nyonya?” Aira terkejut mendengar panggilan tersebut.
Belum sempat Aira menjawab, tiba-tiba saja suara seorang laki-laki yang berdiri tepat di sampingnya berbisik, “Jika kamu berbuat macam-macam, jangan harap keluargamu bisa selamat.”
Mata Aira terbelalak mendengar ancaman tersebut. “Keluarga, keluarga apa?” gumam Aira karena dia sudah yatim piatu sejak umur sepuluh tahun.
Tapi belum sempat ia bertingkah, saat ini sebuah pisau lipat sudah berada di bawah dada kirinya. “Nyonya, tolong tenang dan selesaikan semuanya,” ucap wanita yang tadi menopang tubuh Aira.
“Ini aku diancam?” pikir Aira yang kemudian hanya bisa mengangguk karena tak berani melawan saat ini.
Tak lama kemudian terdengar wanita yang saat ini sedang memegang pisau untuk mengancam Aira berkata dengan cukup lantang. “Maaf, Putri Ailing sedang tidak begitu enak badan. Jadi harap kemurahan hati raja dan ratu untuk membiarkan upacara pernikahan kali ini dipercepat.”
“Hah, pernikahan? Aku menikah? Tunggu, aku menikah dengan siapa? Eh, bukan. Yang menikah adalah Putri Ailing. Terus kenapa aku yang diancam?” batin Aira yang belum bisa memahami apa yang terjadi.
“Baik, silahkan dilanjutkan,” ucap Raja.
“Terima kasih, Yang Mulia,” sahut laki-laki yang ada di sebelah Aira.
Setelah itu acara pernikahan pun kembali berlangsung. Semuanya berjalan penuh hikmat seolah tak ada yang aneh sedikit pun. Bahkan Aira yang saat ini berada di dalam pakaian pengantin perempuan juga merasa bingung karena tubuhnya seolah bergerak sendiri melakukan semua hal yang tentu saja belum pernah dilihatnya sekali pun.
Beberapa jam berlalu. Setelah menyelesaikan semua prosesi yang cukup melelahkan, akhirnya Aira pun dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan. Dan setelah merasa ruangan tersebut sepi, ia pun dengan cepat membuka penutup wajahnya.
“Di mana ini?” ucap Aira sembari menatap ke sekitar ruangan tersebut. Iya kebingungan melihat seluruh ruangan tersebut yang hampir semuanya berfurniture kayu. Bahkan ia tak melihat adanya lampu dan hanya lilin yang menjadi penerang ruangan tersebut.
“Eh tunggu, kenapa aku bicara seperti ini?” ucapnya yang baru saja sadar kalau dia berbicara dengan bahasa asing. Namun anehnya dia bisa mengerti apa yang dia katakan dan dia bisa berbicara menggunakan bahasa aneh tersebut seolah itu adalah bahasa yang sehari-hari dia gunakan.
Sesaat kemudian kepalanya terasa berdenyut. Tiba-tiba beberapa gambaran muncul di kepalanya, suara-suara orang yang memanggilnya dengan sebutan Ailing pun seolah berdengung di telinganya. Dan setelah beberapa saat memejamkan mata, akhirnya ia pun membuka matanya kembali.
“Ailing,” gumamnya.
Iya pun segera berdiri dari ranjang yang didudukinya. Dengan susah payah menarik ke atas gaun merah yang digunakannya, akhirnya ia pun berhasil mengambil lilin dan membawanya ke arah meja rias yang masih berada di dalam kamar tersebut.
“Ini siapa?” tanya Aira ketika melihat gambaran dirinya di cermin. Sangat jelas kalau itu bukan wajahnya.
Ia pun dengan keras mencubit pipinya sendiri. “Au!” pekiknya yang merasa kesakitan.
“Ini aku? Tunggu,” gumam Aira sembari meletakkan lilin tersebut dan kemudian duduk di kursi yang ada di dekatnya.
Ia diam cukup lama untuk mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Hingga akhirnya munculah ingatan tentang kejadian tempe goreng yang gosong dan gas meledak.
“Aku harusnya mati ‘kan? Atau jangan-jangan aku hidup lagi?” gumam Aira sembari kembali menatap gambar wajahnya yang ada di cermin.
“Berarti aku adalah Ailing itu ‘kan? Hah, kenapa bisa begini?” gumam Aira yang masih tidak habis pikir dengan apa yang terjadi.
Sesaat kemudian terdengar pintu tersebut di buka. Aira pun segera menoleh untuk melihat orang yang datang.
“Wah, gantengnya,” batin Aira ketika melihat laki-laki tampan bertubuh tinggi tegap tersebut.
“Dasar tidak punya aturan,” cemooh laki-laki tersebut.
Kalimat pedas tersebut langsung membuat Aira mengernyit. “Apa maksud kamu?” tanyanya.
Langsung saja sebuah senyum sinis muncul di bibir tipis laki-laki tampan tersebut. “Apa seperti ini cara kediaman jendral mendidikmu?” tanyanya lagi.
“Ah, kamu bicara apa sih,” tukas Airin sembari bangun dari kursinya. “Kamu ini siapa, kenapa tiba-tiba masuk dan mengomel tidak jelas,” komentarnya sembari melepas penutup wajah yang tadi masih menempel di kepalanya.
“Sungguh tidak tahu aturan,” geram laki-laki tersebut sembari berjalan mendekati Aira. “Apa kamu ingin bilang kalau kamu itu hilang ingatan dan melupakan pernikahan kita beberapa waktu yang lalu, Putri Ailing?”
Mata Aira membulat. “Jadi dia yang tadi menikah denganku. Berarti dia juga yang menyuruh orang mengancamku?” batinnya.
“Oh, jadi kamu yang tadi mengancamku! Kamu ini sebenarnya siapa? Kenapa tiba-tiba menikahiku dengan paksa dan sekarang-sekarang ….” Ia kehabisan kata-kata.
Langsung saja laki-laki di depan Aira tersebut mengernyit. “Apa benar kepalanya bermasalah?” pikirnya.
Setelah itu laki-laki tersebut menghela napas panjang. “Aku tidak mau melihat banyak drama. Cepat lepaskan pakaianku dan kita lakukan semuanya. Aku punya banyak urusan,” ucapnya sembari merentangkan tangannya.
“Lepaskan pakaiannya? Banyak urusan? Maksudnya dia mengajakku melakukan itu, dengan gayanya yang seperti itu? Cih, tidak sudi,” batin Aira sembari menyipitkan matanya pada laki-laki tampan tersebut.
“Jangan mimpi!” tolak Aira sembari memilih untuk lanjut melepas pakaiannya sendiri yang terasa seperti bungkusan kue lemper, berlapis-lapis.
Sesaat kemudian, tiba-tiba saja Aira merasakan ada bahaya mendekat. Ia dengan cepat mundur karena laki-laki di depannya tersebut mengayunkan pedangnya ke arah Aira. Dan dengan insting yang tidak tahu dari mana, tiba-tiba saja Aira mengambil sebuah pedang yang menjadi hiasan dinding di kamar itu.
Ia pun balas menyerang. Perkelahian tak terhindarkan, mereka berdua beradu pedang. Tangan Aira bahkan terlihat lincah memainkan pedang tersebut.
“Ah, tidak tahu. Yang pasti ini bukan anggar yang aku pelajari. Tapi terserahlah, yang penting aku tidak mati dulu saat ini,” batin Aira sembari terus mengayunkan pedang.
Hingga ….
Brak! Pintu ruangan tersebut terbuka.
“Tuan!” panggil seseorang yang masuk dengan tiba-tiba. “Eh!”
Suasana pun berubah canggung ketika saat ini Aira, laki-laki yang baru saja menjadi suaminya, dan laki-laki yang baru saja masuk tersebut saling berhadapan.
“Keluar!” bentak suami Putri Ailing tersebut.
Langsung saja laki-laki tersebut mundur kembali dan dengan cepat menutup pintu kamar tersebut.
“Sudah, aku tidak mau bermain lagi,” ucap Aira sembari melempar pedang di tangannya dengan santai.
Kembali suami Putri Ailing tersebut tersenyum sinis. “Tidak menyangka, ternyata gosip jika putri dari kediaman Jendral Lee adalah gadis bodoh adalah kebohongan belaka. Pantas saja Jendral Lee sangat percaya diri saat mengatakan kalau putrinya pantas menjadi tebusan.”
“Dia ini sedang memuji atau meledek?” batin Aira sembari terus memperhatikan perkataan laki-laki yang ada di depannya.
“Apakah kamu sudah selesai bicara? Jika sudah, silahkan kamu bisa pergi,” ucap Aira dengan tenang.
“Kamu mengusirku?” geram suami Putri Ailing.
“Tidak. Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu ada urusan? Jadi silahkan pergi, aku tidak akan mengganggumu lagi,” ucap Aira dengan tenang sembari berbalik.
Tanpa berkata apa pun lagi, akhirnya laki-laki tampan tersebut keluar dari ruangan tersebut.
“Dasar kucing kecil,” gumamnya ketika menutup pintu kamar tersebut dengan kasar.
Sedangkan Aira saat ini berjalan dengan gemetar dan kemudian duduk di ranjang yang ada di sana. “Gila, ini gila. Kenapa bisa begini,” gumamnya sembari menatap tangannya yang masih gemetar karena tadi baru saja menggunakan pedang sungguhan untuk bertarung.
Ia kemudian merebahkan tubuhnya di ranjang tersebut. “Aira … Ailing. Baiklah, karena aku sudah di sini dan ini bukan mimpi, maka aku akan menjadi Ailing dan menjadi wanita sukses seperti saat aku masih hidup. Mulai saat ini namaku adalah Ailing. Ingat, Ailing si wanita sukses,” tekadnya lalu tertawa keras.
**
Keesokan paginya.
Pagi ini tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu di kamar tersebut. Ketukan yang awalnya pelan pun pada akhirnya berubah menjadi sebuah gedoran.
“Astaga, apa sih,” gumam Ailing sembari membuka matanya.
“Nyonyaku!” panggil wanita yang ada di luar pintu tersebut dengan suara yang berubah seperti histeris.
“Masuk! Masuk!” Aira tak tahan dengan suara mengganggu tersebut.
Sesaat kemudian pintu kamar tersebut terbuka lebar. Masuklah seorang gadis yang seumuran dengan Ailing sedang menangis tersedu-sedu. “Nona, Nona tidak apa-apa ‘kan?” tanyanya.
“Lah, yang nangis kamu. Kenapa kamu malah tanya ke aku, apa aku nggak apa-apa, gimana sih,” batin Ailing sembari menggaruk-garuk kepalanya.
“Kamu siapa?” tanya Ailing pada gadis yang saat ini duduk di lantai dekat ranjangnya.
“Nona, nona lupa pada Xin Ya? Apa Xin Ya melakukan kesalahan pada, Nona? Nona tolong ampuni Xin Ya,” ucap gadis tersebut sembari berlutut di lantai.
“Lah, kenapa jadi sujud begitu?” pikir Ailing yang terkejut.
Kemudian ia memperhatikan pakaian gadis bernama Xin Ya tersebut. Hanbok yang digunakan oleh Xin Ya, persis seperti kostum yang pernah ia sewa saat acara drama kerajaaan korea di sekolahan dulu.
“Jangan-jangan aku ini berada di jaman kerajaan korea lagi,” batin Ailing yang baru saja mendapat informasi baru tentang dirinya.
“Sudah, berhenti sujud seperti itu. Aku tadi terkena amnesia ringan,” ucap Ailing sembari bangun dari ranjang tersebut.
Xin Ya pun mendongakkan kepalanya. “Amnesia? Apa itu amnesia, Nona?”
“Ah iya, jika ini di masa lalu. Mungkin saja mereka belum mengerti istilah-istilah ini,” batin Ailing sembari mengusap-ngusap wajahnya.
“Hilang ingatan maksudku,” beber Ailing sembari mengulurkan tangannya dan membantu Xin Ya untuk berdiri.
“Nona, apakah ini semua karena Pangeran Song yang meninggalkan Anda semalam?” tanya Xin Ya yang terlihat penuh kekhawatiran.
“Sembarangan, bukan.” Ailing menjawab dengan cepat.
“Eh, Pangeran Song? Jangan-jangan yang menikah denganku itu adalah pangeran,” batin Ailing sembari menepuk-nepuk wajahnya sendiri.
Langsung saja Xin Ya kembali menangis. “Nona, apa Anda menjadi gila karena kejadian semalam?” raungnya.
“Haiss, apa mulutnya nggak bisa difilter,” pikir Ailing.
“Jangan sembarangan, tidak ada yang seperti itu,” sangga Ailing. “Oh iya Xin Ya, tolong ceritakan semua yang terjadi. Ini itu tanggal berapa dan siapa aku ini,” pintanya karena Ailing yakin hanya dari gadis ini bisa memberi tahu semuanya.
“Anda benar-benar tidak ingat?” Sekali lagi Xin Ya bertanya.
Ailing pun mengangguk.
“Ini adalah dinasti Jeoson. Anda adalah Putri Ailing berusia enam belas tahun dari kediaman Jenderal Lee,” ucap Xin Ya.
“Suamiku?”
“Dia adalah pangeran perang, Pangeran Song. Dia merupakan adik kandung dari raja Dong. Dia sangat berwibawa, berkuasa dan memegang kekuatan utama kerajaan ini,” beber Xin Ya.
“Jadi dia adik raja, pantas saja tingkahnya sok banget,” cibir Ailing di dalam hati.
“Apa aku punya saudara? Atau apa aku punya saingan cinta di sini?”
“Anda memiliki dua saudara yang lebih tua. Mereka adalah Panglima Seok yang menjaga perbatasan selatan dan pejabat Hyung yang bekerja di kota Longtse. Sedangkan untuk selir, Pangeran Song tidak memiliki sama sekali. Dia bersih dari segala skandal selama ini,” beber Xin Ya dengan sangat jelas.
“Wow, orang ganteng kaya begitu nggak punya skandal. Gila. Kalau di dunia modern dia pasti sudah jadi idol, udah jadi playboy cap naga,” pikir Xin Ya sembari menggeleng perlahan.
“Jadi Xin Ya, kamu ini adalah?”
“Saya adalah pelayan yang Anda pungut saat Anda masih kecil. Saya sudah berjanji untuk terus mengikuti Anda sampai kapan pun. Apa Anda ingin melihat kontrak saya?” tawar Xin Ya.
“Tidak perlu,” tolak Ailing dengan cepat.
“Ah, lebih baik aku nggak melihat tulisan mirip pager itu,” batinnya.
Tak lama kemudian, ketukan pun muncul kembali di pintu masuk ruangan itu. Ailing pun segera menyuruh masuk agar tak ada adegan seperti Xin Ya tadi.
“Nyonya, sarapan Anda sudah siap,” ucap pelayan tersebut dengan wajah dingin.
Tak lama kemudian pelayan tersebut menurunkan makanan yang ada di nampannya dengan kasar di atas meja.
Xin Ya yang tadi berdiri di dekat Ailing pun segera mendekati makanan tersebut. “Apa ini? Kenapa hanya roti dan sup?” tanyanya yang tentu saja tak senang.
“Tentu saja roti dan sup, apa lagi yang kamu mau!” sergah pelayan tersebut.
“Tapi Nyonya adalah istri dari Pangeran Song, apa kamu berniat menghinanya? Apa kamu tidak takut hukum?” cecar Xin Ya.
“Hukuman?” Pelayan tersebut tersenyum sinis.
“Apa maksudnya, kenapa pelayan bersikap sombong,” batin Ailing sembari mengernyit.
“Kamu pikir istri yang tidak dicintai seperti dia bisa melakukan apa?” Pelayan tersebut lalu melirik ke arah Ailing dengan tatapan mengejek.
Wajah Ailing berubah kaku. Ia langsung berdiri dan melangkah ke arah meja. “Jadi begini aturan di sini?”
“Nyonya.” Xin Ya bergumam ketika melihat Ailing yang acak-acakan mendekat ke arah mereka.
“Jadi kamu mau memberikanku menu lain atau tidak?” tanya Ailing yang kini sudah berada tepat di depan pelayan tersebut.
“Tidak ada makanan lain di dapur,” jawab pelayan tersebut sembari melengos.
“Bagus kalau begitu,” ucapnya sembari mengambil sup yang hanya berisi beberapa irisan kentang tersebut dan menyiramkannya tepat ke wajah pelayan.
“Akh!” teriakan pelayan tersebut bertambah ketika tiba-tiba saja Ailing menendangnya dengan keras.
“Pergi!” bentak Ailing.
Pelayan tersebut pun langsung kabur dari kamar itu.
“Nona, bagaimana ini? Mereka—“
“Diam dan ikut saja!” perintah Ailing sembari mengambil pedang yang ada di lantai.
“Nona!”
Saat ini Ailing melangkah keluar dari kamarnya sembari melepas jubah merahnya semalam. Sedangkan Xin Ya saat ini berjalan di belakang Ailing sambil memunguti aksesoris rambut yang dilepas sembarangan oleh Ailing.
“Di mana dapur?” tanya Ailing dengan rambut yang sudah tergerai bebas.
“Nona, tolong berhenti,” pinta Xin Ya karena Ailing saat ini hanya menggunakan selapis pakaian. Sedangkan seorang bangsawan, setidaknya harus menggunakan tiga lapis pakaian ketika keluar.
Namun Ailing tak menghiraukannya dan kembali bertanya, “Di mana?”
“Di sana, Nona,” jawab Xin Ya sembari menunjuk ke timur.
Langsung saja Ailing melanjutkan langkahnya. Ia memegang erat pedang yang digunakan untuk melawan Pangeran Song semalam. Dan ketika sudah sampai di dapur, ia dengan seenaknya menendang pintu dapur.
“Di mana juru masak?” tanya Ailing dengan nada tinggi.
Langsung saja semua orang menatap ke arah Ailing. Namun bukannya langsung berlutut, mereka justru tertawa keras melihat Ailing.
Langsung saja Ailing mengangkat pedangnya dan menebas sayuran, juga benda-benda yang ada di dapur.
“Ampun Nyonya, ampun!” ucap semua orang yang kini berubah ketakutan.
“Beraninya kalian hanya memberiku sup dan roti kering! Kalian akan mengira aku kucing sakit kalau tidak begini!” amuk Ailing.
Langsung saja semua orang yang ada di sana berlutut. “Ampun Nyonya, kami mohon ampun,” ucap mereka.
Langsung saja Ailing menoleh ke arah seorang laki-laki bertubuh gemuk di sana. “Kamu juru masak?” tanya Ailing sembari menempelkan ujung pedangnya di leher laki-laki tersebut.
“Be-be-benar Nyonyaku,” jawabnya dengan tubuh gemetar.
“Kamu selesaikan memasak dan bawa ke tempatku!” perintahnya. “Dan yang lainnya, kumpulkan semua pelayan dan bawa mereka ke taman!”
“Baik Nyonya!” jawab semua orang serempak dan kemudian berbondong-bondong berlari meninggalkan tempat tersebut.
“Huh, aku akan mengajari kalian yang namanya disiplin pada atasan,” batin Ailing sembari tersenyum smirk.
“Xin Ya, di tempat ini ada taman kan?” tanya Ailing yang sebenarnya belum tahu sama sekali tentang tempat ini. Tetapi dari komik yang pernah dia baca, rumah seorang pangeran pasti memiliki taman yang luas.
“Ada, Nyonya,” jawab Xin Ya dengan cepat.
“Kalau begitu ayo kita ke sana,” ajak Ailing sembari menoleh dan memberikan pedang di tangannya pada Xin Ya.
**
Empat jam kemudian di tempat Pangeran Song. Saat ini Pangeran Song tengah berjalan keluar dari ruang belajarnya bersama orang kepercayaannya.
“Di mana semua orang?” tanya Pangeran Song pada Jongki yang kini berjalan di belakangnya.
“Semua orang sedang berada di taman, Pangeran,” jawab Jongki, tangan kanan Pangeran Song.
“Di taman? Apakah ada sesuatu yang menarik di sana?” tanya Pangeran Song sembari menatap sekitar tempat itu.
Jongki lalu menelan ludahnya. “Itu ….” Ia menceritakan semua hal yang terjadi pagi ini secara detail.
Lalu Pangeran Song pun tersenyum kecil. “Jadi dia menghukum semua orang,” gumamnya.
“Pangeran tersenyum? Ada pertanda apa ini?” batin Jongki yang terkejut karena Pangeran Hansong memang jarang sekali tersenyum.
“Benar Pangeran, Nyonya sedang ada di taman.”
“Baik kalau begitu, ayo kita lihat apa yang bisa kucing pemarah itu lakukan,” ajak Pangeran Song.
“Baik, Pangeran,” sahut Jongki dengan sopan.
Beberapa menit mereka melangkah, akhirnya mereka pun sampai di taman. Terlihat keadaan taman yang kacau. Puluhan pelayan sedang menggali tanah di taman tersebut. Sedangkan Ailing sedang berbaring di bawah pohon yang rindang sembari menyesap minuman di tangannya.
“Bagus sekali,” ucap Pangeran Song sembari melangkah mendekati Ailing.
Ailing pun menoleh dan kemudian dengan malas memutar matanya. “Mau apa sih dia,” gerutunya di dalam hati.
Xin Ya yang melihat hal itu pun langsung mundur agar tak menghalangi jalan Pangeran Song. “Apa yang sedang kamu lakukan?”
“Ck, apa dia buta,” batin Ailing.
“Aku sedang membantu kamu mengatur lahan kosong,” jawabnya dengan mulus.
“Oh ya, lalu apa yang kamu rencanakan?” tanya Pangerang Song sembari duduk di sebuh kursi yang ada di samping Ailing.
“Nanti akan ada kolam ikan, jadi nanti dapur bisa mengambil ikan segar dari sini. Terus di atasnya akan di tanami sayuran,” beber Ailing dengan santai.
“Sayur di atas air?” Pangeran Song mengernyit.
“Iya, nanti sayurannya di tanam di atas air,” jawab Ailing sembari meletakkan minumannya di atas meja.
“Ah iya, aku lupa. Apa di jaman ini metode seperti itu sudah ditemukan, ya?” batin Ailing yang baru saja sadar.
“Dari mana kamu tahu metode seperti ini?” tanya Pangeran Song yang tentu saja penasaran karena tak pernah melihat ada hal yang seperti itu.
“Aku yang menciptakannya,” jawab Ailing dengan asal.
Tentu saja hal ini membuat Pangeran Song semakin merasa aneh.
“Sudah, kamu lihat saja nanti. Setelah semuanya berhasil, kamu bisa menilai sendiri,” imbuh Ailing yang malas untuk mencari alasan.
Kemudian Pangeran Song pun melirik ke arah Jongki. Dan sesaat kemudian Jongki pun segera mengangguk.
“Lalu minuman apa yang sedang di minum Nyonya ini?” tanya Pangeran Song yang melihat minuman aneh milik Ailing.
Lalu Xin Ya pun menjawab, “Izin menjawab. Itu adalah susu sapi yang sudah diolah dengan madu dan di tambah dengan buah semangka yang dihaluskan, Pangeran. Nyonya menyebutnya, semangka squas.”
“Kamu juga yang membuat minuman ini?” tanya Pangeran Song.
“Bukan. Orang dapur yang membuatnya,” jawab Ailing dengan dingin.
Kemudian Pangeran Song pun beralih menatap ke arah Xin Ya. “Bawakan aku seperti yang Nyonya minum,” pintanya.
“Baik, Pangeran,” jawab Xin Ya yang kemudian dengan cepat meninggalkan tempat tersebut.
“Ikut-ikutan,” cibir Ailing.
Pangeran Song yang tentu saja mendengar hal itu pun langsung kembali menoleh pada Ailing. “Apa yang kamu katakan?” tanyanya.
“Tidak ada,” jawab Ailing sembari menoleh ke arah lain.
“Dia memang sangat jauh berbeda dengan apa yang dirumorkan,” batin Pangeran Song sembari menatap Ailing dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Kemudian ia menyadari kalau saat ini Ailing hanya menggunakan satu lapis pakaian.
“Kenapa kamu berpakaian seperti ini?” tanya Pangeran Song sembari menatap ke arah lain.
Ailing pun kembali menatap pakaiannya. “Ah iya, kata Xin Ya aku harus memakai tiga lapis. Jangan sampai dia menggunakan ini untuk menghukumku,” batinnya.
“Panas, cuacanya sangat panas,” jawab Ailing dengan sembarangan.
“Aku harus mengalihkan pembicaraan ini,” batinnya.
“Oh iya Pangeran, aku membutuhkan uang untuk mengisi kolam ini nantinya,” pinta Ailing.
“Uang itu akan ditanggung oleh kas kediaman,” jawab Pangeran Song dengan tenang.
“Kalau begitu aku ingin membeli beberapa barang.”
“Aku ingin keluar dan bersenang-senang, tapi kata Xin Ya kami tidak punya uang. Kalau begitu, apa pun yang terjadi aku harus mendapatkan uang dari dia,” batinnya.
“Barang apa yang ingin kamu beli? Dan berapa yang kamu butuhkan?” tanya Pangeran Song dengan tatapan menyelidik. Bagaimanapun juga, sejak kejadian semalam ia merasa curiga dengan Ailing ini. Ia bahkan sudah menyuruh orang untuk menyelidiki tentang kehidupan Ailing yang sesungguhnya.
“Aku ingin lihat apa yang akan dia lakukan?”
“Aku bisa memberikanmu satu keping emas untuk—“
“Sekeping emas?” Mata Ailing melotot. “Bahkan semangka saja harganya hampir setengah keping,” protesnya.
“Kalau kamu ingin lebih, maka layani aku seperti tugasmu,” tekan Pangeran Song.
“Melayani ya?” Ailing berdiri dari tempat duduknya. “Mana uangnya?”
Langsung saja Pangeran Song menengadahkan tangannya. Dan seperti biasanya, Jongki pun langsung memberikan beberapa lembar uang kertas ke tangan Pangeran Song.
“Ambil ini jika kamu—“ Kalimat Pangeran Song terhenti ketika tiba-tiba saja Ailing merebut uang di tangannya.
Ailing kemudian dengan berani mengangkat kaki kanannya dan meletakkan lututnya di kursi Pangeran Song. Ia mengungkung tubuh Pangeran Song dengan kedua tangannya yang berpegangan di sandaran kursi Pangeran Song.
“Ambil uang ini untuk memperbaiki otakmu,” bisik Ailing sembari menyelipkan uang tersebut di jubah suaminya itu.
“Apa uang itu kurang?” tanya Pangeran Song sembari kembali menengadahkan tangannya.
Dan ketika Jongki sekali lagi meletakkan uang di tangan Pangeran Song, dengan cepat Ailing merebut uang tersebut dan melemparkannya ke wajah suaminya itu. “Makan uangmu!” teriaknya.
Langsung saja Jongki menarik pedangnya dan ….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!