Setelah enam bulan mengalami kehidupan pernikahan yang jauh dari kata bahagia, akhir Indira merasakan di ujung kata menyerah dan pasrah nya rasa cinta yang sangat luar biasa dari sang suami.
Suami yang selama ini memperlakukan nya dengan kasar dan dingin mulai memperlakukan nya dengan sangat hangat penuh cinta.
Perasaan Indira yang tadi mati kini mulai kembali hidup dengan harapan baru yang pria itu berikan.
Perlahan hati Indira mulai meyakinkan diri Indira kalau semua nya akan baik- baik saja mulai dari sekarang.
Pria kejam dan dingin itu telah mulai menghangat dan memperlihatkan rasa cinta yang luar biasa.
Untuk sesaat, Indira dapat merasakan kesejukan yang berbeda. Indah dan terasa begitu nyaman.
Namun akan kah semua ini nyata????
🌿🌿🌿
Dengan ragu, Indira membalas pelukan suaminya itu dengan perlahan. Suasana hangat seketika saat Indira menyilangkan kedua tangannya pada punggung Bang Anggara. Ini adalah pertama kali nya dia memeluk bang Anggara dengan perasaan tulus tanpa paksaan seperti ini.
"Mungkin memang sudah saat nya." ujar Indira pada diri nya sendiri. Sudah saat nya untuk mengakhiri perasaan yang tak akan pernah muncul terwujud dengan Dikta. Dan saat nya untuk menerima takdir dari Tuhan apa ada nya.
"Aku senang kamu memeluk ku seperti ini Indira. kita mulai hubungan ini dari awal dan mari kita hapus segala hal yang tidak mengenakan di masa lalu. " ujar Bang Anggara saat pelukan itu masih belum terlepas.
Indira hanya membalas dengan memaksakan senyumnya. Ada gelagat yang sangat berbeda dari suaminya kali ini. Namun apa itu, Indira tak berani menebak nya. Ini masih terlalu cepat menurut Indira.
Bang Anggara masih dengan lembut menggandeng tangan Indira memasuki rumah mereka. Dengan satu tangan memegang koper Indira dan satu tangan lagi memegang tangan Indira dengan sangat hangat.
Indira hanya diam sambil berjalan mengikuti langkah Bang Anggara dari samping bang Anggara.
Jujur saja sebenarnya kepala Indira di penuhi tanda tanya. Apa yang sebenar nya yang membuat suaminya ini bisa menjadi semanis ini? padahal jelas- jelas tadi dia kabur dari rumah. Seharus nya dia marah- marah?! tapi ini??? membuat bingung dan mencuriga kan.
Bang Anggara membuka kan pintu kamar dan mempersilahkan Indira untuk masuk ke dalam kamar dengan suara yang lembut.
"Masuk lah love." ujar Bang Anggara yang membuat jantung Indira tiba-tiba berdebar.
Dan yang lebih membuat jantung Indira tidak stabil adalah setelah mereka sampai di kamar, bang Anggara membaringkan Indira dengan lembut.
Di sentuh nya pipi Indira dengan sangat lembut dan tatapan yang berbeda dari biasanya. Tidak terlihat seperti hewan buas yang lapar kali ini dari cara nya memandang Indira.
"Kamu tahu sayang? Kamu sangat cantik. Aku jatuh cinta pada kecantikan yang bak seorang bidadari ini?" puji Bang Anggara membuat Indira meleleh. Sebagai istri yang selalu mendapatkan perlakuan kejam, tentu saja perlakukan bang Anggara yang super duper melting ini membuat Indira terbang ke angkasa.
Pelan- pelan tapi pasti, bang Anggara langsung ke maksud tujuan nya yang sebenarnya. Dikecupnya kening, pipi, hidung, dan tentu saja bibir Indira.
Namun ajaib nya, kali ini Indira tak menolak sama sekali. Dan jujur saja Indira bahkan menikmatinya. Hingga untuk pertama kali di dalam hidup nya, keinginan nya bercinta dengan bang Anggara muncul. Sebuah desiran yang sangat mendamba.
"I love You Indira,.." Ucap Bang Anggara ketika memulai penyatuan diri nya dan Indira yang penuh rasa cinta.
Satu minggun pun berlalu. Indira yang merasa cinta nya pada bang Anggara kian hari kian tumbuh kini telah menjadi istri nya sempurna untuk bang Anggara.
Kisah- kisah cinta nya bersama DIkta mulai perlahan menghilang dan terganti kan dengan lembaran baru yang terasa mulai indah.
Senyuman- senyuman manis pun menghiasi wajah Indira.
Tak ada lagi perasaan tertekan dan murung yang berlebihan di wajah nan cantik itu. Tulus iklas semua rasa cinta mulai bersemi di hati nya, hingga pada suatu pagi Indira bangun dan dia tidak melihat bang Anggara ada di samping nya.
**************
Indira yang tidak menemukan bang Anggara ketika la bangun langsung mencari keberadaan suami nya itu.
"Astaga aku lupa!" Ujar Indira yang baru menyadari keadaannya diri nya yang tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya.
Indira tersenyum. Dia menutup wajah nya dengan tangan nya. Malu dan aneh rasa nya karena hampir satu minggu ini dia bangun selalu dalam keadaan sepolos bayi.
Tapi mungkin karena dia sudah mulai menerima kehadiran bang Anggara, maka percintaan nya dengan bang Anggara yang hampir berlangsung nonstop tidak pernah dia sesali.
Indira malah menggigit bibir bawah nya saat dia teringat bagaimana bang Anggara melahap abis bibir nya dan melu mat nya berkali- kali tanpa menghiraukan desa han- desa han yang meluncur dari bibir mungil yang sedang ia santap itu.
Reflek Indira la menyentuh bibirnya sebab teringat kejadian semalam.
Setelah memungut dan mengenakan pakaian- nya, Indira keluar hendak mencari keberadaan suaminya.
Tapi aneh nya yang dicari malah tidak kelihatan di mana pun juga. Bahkan batang hitung nya pun tidak terlihat di mana- mana.
"Kemana bang Anggara? Apa dia pulang ke rumah Mbak Silvia? Tapi kok gak pamit ya? Eh ini kan masih sangat subuh? Masa sih bang Anggara pulang subuh- subuh buta ke Jakarta??" Pikir Indira dalam.
Indira terus mencari hingga dia sampai ke depan ruang kerja suaminya.
Indira terlihat ragu untuk masuk karena biasa nya ruangan itu terkunci. "Apa mungkin bang Anggara ada di dalam??" Pikir Indira yang lalu mencoba untuk mengetes apakah pintu itu terkunci atau tidak.
"Eh ternyata tidak di kunci?" seru Indira saat pintu ruangan itu kini terbuka.
Dengan langkah gontai Indira masuk dan melihat apakah suami nya ada di dalam atau tidak. Saat sedang melihat- lihat tanpa sengaja sebuah amplop tersenggol oleh nya dan jatuh ke lantai.
"Amplop apa ini?"
Indira merasa penasaran melihat isi dari amplop yang ada cap rumah sakit itu.
"Apa bang Anggara sakit? Kalu dia sakit kenapa dia tidak memberitahu ku?" seru Indira yang jadi panik karena takut suami nya kenapa- napa.
Saat Indira akan membuka isi amplop itu terdengar pintu balkon yang ada di ruangan itu terbuka. Suara pintu yang terbuka itu bersamaan dengan suara bang Anggara yang sedang berbicara dengan seseorang dengan menggunakan telpon.
Indira hendak mendatangi suami nya. Namun baru satu langkah dia berjalan dia mendengar sesuatu yang melenyapkan seluruh dunia nya dalam hitungan detik.
Sayup-sayup Indira mendengar suami nya seperti sedang menelpon seseorang.
"Apa bang Anggara sedang menelpon mbak Silvia? Hm- pasti benar!! Dia kan sudah lama tidak pulang ke Jakarta. Sebaik nya aku sembunyi saja. Aku tidak mau menganggu momen romantis mereka. pasti mereka saling melepaskan rindu! Jangan sampai karena kemunculan ku di ruangan ini, mereka tidak jadi melepaskan rindu mereka." batin Indira.
Indira kini sangat menyadari posisi nya sebagai istri kedua. Dia tahu kalau dia harus berbagi bang Anggara dengan mbak Silvia. Apalagi dia lah yang istri kedua disini.
Indira pun buru- buru masuk ke kolong meja.
Dari kolong meja suara bang Anggara terdengar semakin jelas.
"Iya sayang, sepertinya kali ini akan berhasil. Kamu sabar aja dulu ya?"
Dahi Indira mengernyit. "Apa maksud ucapan bang Anggara barusan?" Pikir nya dalam.
Bang Anggara tanpa sengaja menjatuhkan berkas yang dia pegang sehingga Bang Anggara terpaksa berjongkok untuk memungutnya.
Karena hal itu dia pun men-speaker volume handphone nya.
"Sayang... Sedang apa sih?"
Dari bawah kolong meja, Indira jelas dapat mendengar suara itu. Tentu saja suara itu memang milik Mbak Silvia, madunya.
"Ternyata benar mbak Silvia." Batin Anggara.
"ya sayang, aku masih di sini," jawab Bang Anggara.
"Jadi gimana Bang? Kamu yakin Indira akan bisa hamil kali ini?" Tanya mbak Silvia dari dalam telpon dengan nada yang terdengar uwak uwakan.
"Tentu, dr. Dito mengatakan kenapa selama 6 bulan ini, Indira tak juga kunjung hami karena ia tertekan. Mungkin selama ini sikap ku pada nya terlalu keras dan kasar. Maka nya di tertekan. Aku yakin jika aku bersikap sedikit manis untuknya saat bercinta dia pasti bisa menganduk anak kita segera. " ujar Bang Anggara menjelaskan ke Mbak Silvia.
Penjelasan itu pun serta merta menjelaskan segala perubahan sikap manis Bang Anggara beberapa hari ini.
Semua perasaan cinta yang mulai terbentuk di dalam hati Indira serta merta retak seribu.
Ingin sekali rasa nya Indira berteriak tapi sebisa mungkin di tahan nya. Dia membekap mulutnya, saking tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Selepas Bang Anggara pergi dari sana, air mata Indira pun turun bagaikan hujan deras.
Dia sungguh tidak menyangka jika Bang Anggara ternyata hanya bersandiwara!!
pria itu tidak benar-benar melakukannya dengan hati.
Indira merasa telah di bodohi!!!! pelan-pelan Indira keluar dari kolong meja.
Dengan mata yang penuh air mata dia menatap ke arah pintu. "Bang Anggara?" ujar nya lirih.
Ia menunduk, meraba perutnya. Dengan kesedihan yang memenuhi hati nya Indira mulai memukul- mukul perut nya.
"aku tidak mau hamil anak nya!! Aku tidak mau!!!!" la terus memukul-mukul perutnya.
"Aku gak mau hamil anak mereka," rintih. Ia lalu berlari ke kamar. Berkemas.
Kali ini tekad Indira sudah bulat. Ia harus pergi, pergi jauh dari Bang Anggara dan mbak Silvia.
Karena kalau sempat Indira benar-benar hamil, dia tidak ingin anak di miliki oleh Bang Anggara dan mbak Silvia.
Anak itu adalah anak nya. Dia tidak akan memberikan nya pda orang-orang yang ingin merebut hak nya sebagai ibu.
Indira sadar kalau dari awal pernikahan ini, tujuan nya memang adalah hal ini.
Namun harus kah Bang Anggara bermain hati dengan nya?
Kalau Bang Anggara inginkan anak dari nya seperti perjanjian mereka di awal, wes hamili saja diri nya. Untuk apa Bang Anggara memberi kan cinta palsu yang ujung-ujungnya sangat menyakitkan hati nya.
Untuk kesekian kali nya hati Indira kembali berdarah.
"Aku harus pergi! Aku tidak ingin berada di dekat mereka lagi! Semua orang munafik!! Munafik!!! " Indira benar-benar merasa sebagai korban kerja sama yang sangat rapih.
Mulai dari ibu nya yang menjual nya hingga suaminya yang ternyata datang dengan sebuah cinta palsu yang digunakan untuk memperoleh anak dari rahim Indira, membuat Indira merasa di tusuk berkali-kali di tempat yang sama.
Indira secepatnya berkemas. Kali ini dia mengendap dari jendela untuk memastikan tidak ada orang di luar rumah nya.
Satu di dalam pikiran Indira yakni lari sejauh mungkin. Dia ingin memulai hidup nya dari awal lagi tanpa ada satu orang pun dari kehidupan nya yang sekarang ini datang mengganggu nya.
"Aku benar-benar gadis yang gak berharga sama sekali, rintihnya dalam hati. Air matanya kembali berjatuhan di pipi nya.
Indira pelan - pelan mengeluarkan koper nya dari jendela. Setelah itu dia pun keluar dari jendela yang tidak di pasangi jeruji itu.
Indira pun berlari menjauh dari rumah bang Anggara untuk kedua kali nya.
Di tikungan jalan ia menghentikan sebuah taksi.
Di dalam taksi itu Indira terus menguatkan diri nya.
“Aku harus tegar, hal sekecil ini tidak boleh menggoyahkanku. Aku harus tegar,” seru nya dalam hati.
Di dalam rumah, bang Anggara yang tidak melihat keberadaan Indira di dalam kamar mulai panik. Apalagi setelah dia cari ke seluruh rumah tetap tidak dia temui..
Dengan nafas tergesa-gesa dan wajah yang terlihat gusar dan panik bang Anggara terus mencari Indira.
Karena tidak menjumpai Indira dimana pun, bang Anggara pun memutuskan untuk menghubungi Silvia, Dikta dan bang Ridwan.
Mungkin Indira tidak akan menghubungi Silvia. Tapi Dikta dan bang Ridwan, bang Anggara memiliki sedikit keyakinan. Karena dia orang ini sangat dekat dengan Indira. terutama Dikta.
Dengan bantuan dari ibu tiri nya bang Ridwan berhasil membujuk Dikta untuk membantu nya menemukan Indira.
Walaupun itu sama hal nya dengan menusukkan sendiri pisau ke hati nya, dengan berat hati Dikta terpaksa melakukan nya.
Apalagi jika dia teringat kata- kata ibu nya, Indira adalah kakak ipar nya. Tepis jauh semua perasaan yang tersisa. Dan jangan terikat dengan takdir yang tak akan pernah menjadi nyata.
***
Semua orang kembali berkumpul setelah beberapa lama mereka mencari Indira namun tetap tidak mereka temukan.
"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja?" Usul DIkta.
Bang Anggara terlihat setuju saja dengan usulan itu karena entah mengapa kali ini dia begitu takut kehilangan Indira.
"Jangan! Hm- maksud ku sebaik nya kita jangan lapor sekarang. Aku tidak mau hal ini membuat nama baik keluarga kita terseret- seret ke hal yang tidak baik ujung - ujung nya." Larang mbak Silvia.
"Lantas kalau tidak melapor ke polisi, bagaimana cara nya kita tahu dimana keberadaan indira." Ujar Dikta yang tentu saja masih mencemaskan mantan kekasih nya itu.
Mulut DIkta mungkin boleh memuntahkan semua penolakan terhadapa apa yang di rasakan. Tapi hati nya tidak akan pernah bisa berbohong. Jauh di dalam sana masih tersimpan nama Indira dengan rapi seperti dahulu.
CInta yang DIkta rasakan pada Indira tidak pernah berkurang sedikit pun hanya saja saat ini tertutup oleh rasa benci dan pilu.
Semua orang pun mengangguk setuju dengan apa yang Silvia katakan. Mereka memang harus hati hati dalam hal ini. Karena Anggara bukan lah orang biasa.
Mereka berempat pun kembali berpencar untuk mencari keberadaan Indira.
****
Hari kini sudah menjelang malam saat Indira duduk termenung di sebuah taman.
Kopernya dibiarkan begitu saja di tanah yang ditumbuhi rerumputan. Sementara kaki nya terus bergoyang - goyang bagaikan seorang bocah yang sedang duduk termenung menunggu kedatangan orang tua untuk menjemput nya.
Indira mende sah dalam rasa pilu nya. Menyesali semua perasaan yang sempat tercipta untuk bang Anggara.
"Kenapa Tuhan begitu membenci diri ku? Apa yang selama ini telah aku perbuat? Aku selalu menjadi anak baik bagi keluarga ku! Aku tidak pernah menyusahkan mereka bahkan aku sering membantu keluarga ku! Atau apa Tuhan bosan melihat ku menjadi orang baik? Tuhan ingin aku memperlihatkan sisi gelap ku?" seru nya yang semakin ngacok dalam keputus-asaan nya.
"Baik kalau memang begitu! Aku sudah tidak akan memikirkan siapa- siapa lagi. Aku hanya akan mendengar apa yang hati ku katakan. Dan aku hanya akan bersama orang yang aku ingin kan."
Dalam keraguan, Indira menekan sederetan nomor yang sangat di hapal. Meski ragu apakah nomor itu masih tetap aktif atau tidak, Indira tetap mencoba nya.
"Halo, Indira??"
****
Indira memandangi jam tangan dalam pergelangan tangan nya. Saat ini dia sedang menunggu kedatangan seseorang yang barusan dia telpon tadi.
"Sudah lama?" Sapa sebuah suara dari belakang tempat Indira duduk saat ini.
Jantung Indira berdebar saat mendengar suara yang sangat ia rindukan.
Indira tidak menjawabnya.
Pelan- pelan dia berpaling dan memberi senyum yang begitu dirindukan Dikta.
Ya! Dikta lah orang yang akhir nya Indira hubungi dalam keputus-asaan nya itu.
Seketika rasa bahagia menyeruak di dalam hati Dikta saat melihat senyum merekah dari bibir Indira.
Tak bisa DIkta pungkiri bahwa jauh di dalam lubuk hati nya ia masih sangat mencintai perempuan yang memiliki senyuman yang memesona itu.
"Kenapa kau malah lari kepadaku? Bukannya Bang Ridwan atau suamimu itu?" tanya Dikta mengawali pembicaraan setelah sekian lama mereka tidak saling bicara.
Dikta berjalan mendekat dan duduk di samping Indira dalam sunyi nya taman malam itu.
"Kau sendiri- kenapa kau malah datang saat aku menelpon mu??" Balas Indira dengan nada yang sama.
Dikta langsung menatap ke dalam manik mata Indira. "Apakah pertanyaan itu masih harus ku jawab Ay?" jawab Dikta sambil menyertakan panggilan sayang antara mereka dahulu.
"Ay?" Seru Indira yang sangat merindukan panggilan itu.
"Aku merindukan mu Ay.." Sebut Dikta sambil menyatukan jari jemari nya dengan Jari jemari Indira.
"Maafkan aku," ucap Indira tiba-tiba sambil tertunduk sedih.
"Aku menyesal karena dulu tak pernah mengucapkannya padamu," lanjut Indira. Ia memejamkan mata untuk merasakan angin malam menyusup ke tubuhnya.
"Kita tidak perlu menyalahkan takdir 'kan?" ucap Dikta mencoba bijak lalu mengelus pipi Indira dengan tatapan mata yang masih mengikat tatapan mata Indira pada nya.
"Kau masih belum berubah," balas Dikta dengan senyum tipis.
"Maksud mu?" tanya Indira salah tingkah.
"Indira, bagaimana kalau kita mulai kembali hubungan kita. Aku bisa menerima mu apa ada nya?" tawar Dikta.
Indira mengalihkan pandangan nya. Dia tidak berani menatap Dikta.
"Apa kau tak mencintaiku lagi?" TDesak Dikta ke Indira.
"Aku masih bersuami Dikta." Jawab Indira sambil tertunduk lesu.
"Itu bukan jawaban dari pertanyaan yang aku berikan pada mu." Desak Dikta lagi dan lagi.
Dikta memegang lembut dagu Indira dan mengarahkan wajah Indira lebih dekat ke wajah nya.
"Lihat aku Indira." Ucap Dikta membuat semua bulu roma Indira berdiri.
"Bisakah kau sedikit menghormatiku sebagai wanita yang sudah bersuami? Atau paling tidak, sebagai kakak ipar mu?" ucap Indira berat dengan hati yang terasa sesak karena harus mengatakan hal itu pada orang yang dia cinta.
Walau seperti apapun beratnya Indira harus tetap mengingat status nya sebagai seorang istri. Dia harus bisa menjaga batas dengan laki-laki yang bukan suaminya. Meskipun laki- laki itu pernah mengisi relungnya yang terdalam.
"Apakah kau sudah benar- benar melupakan tentang kita?" tanya Dikta yang terdengar sangat pilu di telinga Indira. Lalu Dikta menguarai pegangan tangan nya di dagu Indira.
Tanpa menunggu jawaban dari Indira, Dikta pun berdiri.
Dikta menarik nafas panjang dan dalam lalu berkata, "Ayo?" ajak Dikta.
"kemana?" Tanya Indira bingung karena sikap random Dikta. Jelas- jelas tadi DIkta bertanya sesuatu dengan serius pada nya. Namun belum sempat Indira menjawab, Dikta malah mengajak nya untuk pergi.
"Ke tempat yang lebih hangat dari taman ini. Ini sudah malam Indira. Dan sunyi pula. Tidak baik jika kita berdua berlama- lama di tempat ini." Ujar Dikta.
Indira pun setuju dengan apa yang Dikta katakan. Memang sebaik nya mereka tidak terlalu lama berduaan di tempat sepi seperti itu.
"Ayoo.." Ajak Dikta sekali lagi.
Indira menyambut uluran tangan DIkta dan berjalan bersama Dikta sambil terus berpegangan tangan. Hingga....
"Terima kasih telah menemukan istriku, Dik." Ujar Anggara yang telah menunggu di tepi jalan raya.
Indira menatap lekat pada Dikta. Dia sungguh tidak percaya akan apa yang sedang terjadi pada nya. Bagaimana bisa ini terjadi?
"Ya bang." Jawab DIkta dengan sebuah lubang di hati nya saat melepaskan tangan Indira. Indira memandanginya penuh harap. Harap yang tinggi. Harap agar kiranya Dikta tak melepaskan genggaman tangannya.
Namun harap Indira sia- sia. Pria yang pernah mengisi hatinya dengan sejuta cinta itu sama sekali tidak mencoba meraih kembali tangan nya.
Dikta sadar bahwa diri nya tidak memiliki hak apa pun untuk merebut milik orang lain. Apalagi milik abang nya sendiri.
Kendati hati nya terasa sangat sakit, namun hal itu tetap harus dia lakukan.
Meski malam saat itu tidak terlalu terang, Dikta tetap dapat melihat mata Indira yang memohon agar Dikta tidak membiarkan bang Anggara membawa nya.
Namun sekali lagi, DIkta kembali diam dalam sejuta rasa yang hancur di dalam hati nya.
****
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Indira terus saja merutuki dirinya sendiri. Menganggap dirinya bodoh karena telah menyiakan kesempatan di depan mata.
Ia menyesalinya, kenapa tadi tidak menerima apa yang DIkta tawarkan. Kalau perlu dia bercinta saja dengan DIkta di taman tadi sekalian!. Mengapa dia masih tetap mengingat batas norma di saat peluang besar menghampirinya. Indira menangis, ia begitu menyesal.
"Kenapa?" tanya Bang Anggara, "Apa kau menyesal?" lanjutnya sambil menyetir.
Indira terhenyak, ia memandang Bang Anggara sekilas. Kemudian menunduk lagi. Dipandanginya langit malam ini. Hingga mobil mereka masuk kembali ke pekarangan rumah mereka.
Sesampainya di dalam kamar...
"Kenapa hanya diam? Ayo sini peluk aku sayang.." Bang Anggara kembali ke temperamen kemarin. Temperamen yang sangat ditakutkan Indira. Lelaki itu tersenyum, tapi sinis. Matanya menyiratkan sebuah kemarahan yang teramat besar.
"Sini kubilang," aum Bang Anggarabak harimau kelaparan.
tubuh Indira gemetar karena rasa takut yang menyusup hingga ke tulang- tulang. Dengan langkah tertatih ia mendekati suaminya.
"Kenapa sih sayang? Kamu takut? Kenapa?" belai bang Anggara lembut tapi membuat darah di dalam tubuh Indira bagaikan air terjun yang benar- benar terjun bebas. Jangan tanya seperti apa Adrenalin nya saat ini.
"kemari mendekatlah!" Ucap bang Anggara yang terdengar sebagai titah di telinga Indira.
Indira beringust meringkuk di samping suaminya. Mematuhi apa pun yang diperintahkan suaminya.
Indira memejam mata sekuat mungkin. Dia takut akan perlakuan kasar yang mungkin sebentar lagi akan bang Anggara lakukan.
Namun ternyata tidak ada perlakuan kasar yang Indira rasakan malam itu. Bang Anggara malah memeluk dengan sangat lembut sembari berkata, "tidurlah,"
Indira bertanya- tanya dalam hati nya, apa ini juga adalah bagian dari sandiwara nya agar benih nya dapat tumbuh di dalam rahim Indira?
*********
Hampir satu bulan ini Indira dilarang keras bekerja. Entah itu memasak, mengepel, apalagi mencuci.
Hal ini mulai berlaku sejak diri nya di nyatakan hamil oleh dokter. Penjagaan super ketat pun di mulai.
Hidup nya yang tadi nya sudah terkekang kini semakin terkekang. Apalagi di rumah itu kini ada istri pertama suami nya yang kerjaan nya selalu mengawasi Indira.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!