Suara alunan music DJ seakan menambah meriah suasana di club malam ini, alunan musiknya membuat seluruh dinding bergetar seakan hendak roboh, tetapi itu tidak membuat semua terusik dan justru semakin bersemangat untuk meliak-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa dengan pasangan mereka.
Seorang lelaki tampan sedang duduk di salah satu sofa yang terdapat di ruangan VIP club malam ini, dimana ruangan itu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang kaya-raya karena harganya yang begitu fantastic sekali, tapi juga dengan pelayanan begitu mewah lengkap dengan para wanita cantik memakai baju kekurangan bahan yang akan siap memanjakan mata lapar setiap lelaki yang ada didalam ruangan itu.
Seorang lelaki dengan wajah datar menatap lurus ke depan, lelaki itu seakan tidak berselera untuk menikmati suasana yang begitu membosankan menurutnya, padahal disamping lelaki itu sudah ada dua orang perempuan yang menemaninya namun, hal itu tidak membuat lelaki tersebut tergugah untuk menangapi setiap sentuhan manja yang telah kedua perempuan itu lakukan pada tubuhnya.
“Tu-tuan apakah Anda tidak menikmati suasananya?” tanya seorang lelaki dengan kening yang sudah berkeringat dingin.
Lelaki itu adalah Lan, asisten dari Tuan Altair Gerden. Tuan Altair adalah pemilik perusahaan Gerden Group yang paling tersohor di negara ini. Bahkan digadang-gadang perusahaan ini memiliki ribuan karyawan dengan begitu banyak aturan tapi di setiap tahunnya banyak juga orang yang ingin melamar ke perusahaan tersebut karena gajinya yang cukup tinggi dibandingkan dengan pekerjaan lain. Dan hanya sedikit saja yang bisa di terima sebab kebanyakan karyawan memilih bertahan bekerja didalam perusahaan raksasa itu.
“Ganti mereka!” titah Tuan Altair sembari melirik kearah kedua perempuan yang sejak tadi sudah menemaninya.
Kedua perempuan yang ada disamping Tuan Altair pun langsung memasang wajah kaget. “Tu-tuan Altair, maafkan kami jikalau kurang membuat Anda senang, namun kami akan berusaha,” rengek perempuan dengan rambut panjang itu seraya menggoyangkan lembut lengan Tuan Altair dengan wajah nampak memelas.
“Tu-tuan benar apa yang dia katakan, saya juga akan menyenangkan Tuan Altair, mohon berikan kami berdua kesempatan,” rengek perempuan lain yang juga tadi ikut menemani Tuan Altair.
“Lancang!” teriak Tuan Altair seraya mendorong kedua perempuan itu sampai terjengkang ke lantai.
“Saya akan membereskan mereka, Tuan,” ucap Lan seraya menunjuk dengan kedua matanya kearah kedua perempuan itu,
Kedua pengawal langsung menyeret kedua perempuan itu untuk keluar dari ruangan ini. Mereka berdua hanya bisa pasrah saja ketika kehilangan lelaki tampan dan juga mapan seperti Tuan Altair. Padahal awalnya kedua perempuan itu ingin sekali mendapatkan Tuan Altair karena hanya begitu saja kasta mereka akan berubah dan hidup kaya bak ratu namun, harapan itu pupus setelah Tuan Altair mengusir mereka.
Tuan Altair memiliki tempramen yang buruh jadi dia tidak suka jika harus berbicara dua kali.
“Lanjutkan acaranya!” titah Tuan Altair pada semua rekan bisnisnya. Mereka semula yang bernyanyi dan juga berjoget dengan pasangan masing-masing pun harus menghentikan kesenangan mereka setelah melihat kemarahan Tuan Altair. Asisten Lan menganggukkan kepalanya tanda jika semua orang harus mengikuti titah Tuan Altair. Semua orang pun baru bisa bernafas lega ketika bisa kembali menikmati suasana didalam ruangan ini.
Dua orang perempuan malam sebagai pengganti sudah berdiri di pintu ruangan ini dan salah satu diantara mereka menatap Tuan Altair dengan wajah yang nampak menggoda dan yang satunya lagi hanya menundukkan kepalanya dengan kedua tangan saling menggenggam satu sama lain. Hal itu tidak luput dari perhatian Tuan Altair dan juga Lan.
“Asena, kenapa kamu hanya diam saja, angkat kepala kamu dan tunjukkan senyuman manis itu pada Tuan Altair,” pinta Ece yang kini berdiri disamping Asena.
“Ece, aku takut berada diantara mereka,” cicit Asena tanpa menggangkat pandangannya sedikitpun.
“Asena ayolah, kamu juga akan mulai terbiasa nanti,” bujuk Ece sembari menarik Asena mendekati Tuan Altair setelah melihat lelaki berwajah es itu melambaikan tangannya satu kali.
“Ece, Asena takut. Asena ingin pergi saja,” cicit Asena hendak beralih pergi tetapi Ece langsung menghentikannya. Hal itu diperhatikan oleh Tuan Altair.
“Kau tahu siapa lelaki yang akan kita temani sekarang?” tanya Ece. Asena menggelengkan kepalanya. “Dia adalah Tuan Altair,” jawab Ece gemas.
“Siapa itu?” tanya Asena lagi.
Ece sampai mengigit bibir bagian bawahnya kesal dengan tingkah polos sahabatnya ini. Memangnya Asena baru saja keluar dari batu? Sehingga perempuan itu tidak tahu siapa Tuan Altair.
“Nanti aku jelaskan dan sekarang jangan coba-coba kabur atau kau akan mati!” jelas Ece dengan wajah yang nampak serius.
Mau-tidak mau Asena mengikuti langkah Ece dan berjalan mendekati Tuan Altair dengan kepala yang masih tertunduk. Asena menggenggam kedua tangannya yang sudah mengeluarkan keringat dingin bahkan kini sekujur tubuhnya juga bergetar karena rasa tidak nyaman.
“Tuan, bolehkah kami duduk disamping Anda?” tanya Ece pada Tuan Altair dengan gaya manja dan seulas senyuman manisnya.
“Ece, kamu saja. Asena mau berdiri,” tolak Asena.
Tuan Altair menatap kearah Asena dengan wajah datar. Ece langsung membekap mulut Asena yang kurang ajar ini dengan tangannya.
“Diam lah!” ujar Ece memperingati dengan kedua mata yang sudah melotot.
“Ece, Asena takut,” kata Asena lagi dengan kedua manik mata yang sudah berkaca-kaca.
“Astaga, Asena! Ingat tujuan kamu datang ke tempat ini,” bujuk Ece. “Seharusnya tadi aku mengisolasi bibir kamu itu sebelum masuk,” kata Ece kesal.
Tuan Altair menatap kearah keduanya-ralat paling tepatnya kearah Asena dan semua percakapan mereka bisa Tuan Altair dengar, entah suara mereka yang cukup keras atau justru pendengaran Tuan Altair yang sangat tajam.
“Sampai kapan kalian akan berdiri.” Sembur Lan pada kedua perempuan itu. Lan berdiri disamping Tuan Altair dengan wajah tidak kalah datar dengan majikannya.
“Ka-kami akan segera duduk,” kata Ece dengan senyuman manisnya. Didalam senyuman itu Ece merasa kurang nyaman dengan tatapan Asisten Tuan Altair yang menatapnya dengan penuh kebencian.
Ece mendudukkan tubuh Asena disamping Tuan Altair, Asena hendak beranjak berdiri namun, Ece langsung melotot padanya hingga membuat Asena tidak berdaya akhirnya Asena mulai menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Tuan Altair. Hal itu tidak luput dari lirikan mematikan lelaki angkuh itu.
“Kau pergilah!” titah Tuan Altair pada Ece ketika perempuan itu hendak mendaratkan tubuhnya disamping Tuan Altair.
“Saya akan pergi sekarang,” jawab Ece yang mendengar dengan begitu jelas pengusiran itu di telinganya.
“Ece, Asena takut,” kata Asena dengan tubuh yang semakin gemetar.
Ece hendak mendekati Asena tetapi tatapan Tuan Altair membuat sekujur tubuh Ece dirambati dengan rasa takut yang begitu besar dan Ece memilih langsung kabur keluar dari ruangan ini selagi ia bisa dan dengan berat hati membiarkan Asena sendirian dengan lelaki arogan itu.
“Ece, Asena ikut, jangan tinggalkan Asena,” kata Asena seraya hendak beranjak berdiri namun, seseorang menahan tangannya.
“Temani aku!” titah Tuan Altair.
“Tidak mau,” jawab Asena jujur.
Seumur hidup baru kali ini ada orang yang berani menolak permintaan Tuan Altair.
Lan hendak beranjak dari posisinya berdiri untuk menghentikan perempuan kurang ajar yang sudah berani menghina Tuan Altair, tetapi isyarat tangan Tuan Altair menghentikan gerakan Lan lalu asisten handal itu membungkukkan sedikit tubuhnya seraya berkata,
“Tuan, perlukan jika saya panggilkan perempuan lainnya?” tanya Lan.
“Selidiki perempuan itu!” titah Tuan Altair.
“Baik, Tuan,” jawab Lan.
Tuan Altair menggoyangkan cawannya yang berisikan wiski kemudian meminumnya dengan satu kali tegukan saja. Manik Tuan Altair kembali melihat kearah pintu dimana perempuan itu lenyap. “Berani sekali dia menolak ku,” ujar Tuan Altair dengan wajah yang nampak datar.
Di luar ruangan.
Asena mengedarkan pandangannya mengamati sekitar mencoba untuk mencari keberadaan Ece. Kini Asena melihat jika perempuan yang ia cari sedang berbicara dengan seorang lelaki di sudut club malam ini.
“Ece,” panggil Asena.
Perempuan yang di panggil menoleh dan langsung membulatkan kedua matanya ketika menyadari jika Asena berada tidak jauh darinya. Ece berpamitan pada lelaki yang ada dihadapannya kemudian berjalan menghampiri Asena.
“Asena, kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Ece. “Apa Tuan Altair juga meminta kamu keluar,” tebak Ece.
Asena menggelengkan pelan kepalanya kemudian berkata, “Aku keluar sendiri,” jawab Asena jujur.
Ece yang kaget langsung memegangi kedua pundak Asena. “Asena, apa yang kamu lakukan! Lelaki itu terkenal sangat kejam sekali di kota ini bahkan tidak ada satupun orang yang berani menatapnya ketika berbicara,” ujar Ece dengan air muka nampak cemas.
“Ece, Asena takut. Asena tidak mau kerja di club malam lagi, Asena akan kembali kerja di restoran saja,” kata Asena dan langsung pergi meninggalkan Ece.
“Asena, datanglah ke rumahku jika kamu butuh bantuan,” teriak Ece.
Asena tidak menjawab perempuan itu kini sedang sibuk berjalan keluar dari club malam ini. Asena tidak berani mengangkat kepalanya sedikitpun karena ia merasa risih ketika melihat begitu banyak perempuan yang mengenakan baju tipis dan juga terdapat lelaki hidung belang yang terus saja mencoba untuk menyentuh mereka, sungguh Asena merasa takut dan menyesal ia harus masuk kedalam tempat ini.
Asena Lunara perempuan berusia 21 tahun, tapi memiliki wajah seperti perempuan berusia 17 tahun begitu imut dan begitu cantik sekali. Merupakan perempuan cantik dengan tubuh semampai dan juga rambut panjang berwarna ikal, bola matanya berwarna sebiru lautan dan memiliki kulit seputih susu meskipun tidak melakukan perawatan apapun karena ia memang sudah cantik dari lahir.
Kecantikan Asena tidak sama dengan takdir hidupnya. Ia hidup dalam kekurangan, tapi meskipun begitu Asena tidak pernah mengeluh meskipun ia hidup dalam kemiskinan semua itu karena Asena pandai bersyukur dan juga enggan mengeluh.
Sebelum pulang ke rumah Asena lebih dulu mampir ke toilet umum kemudian menghapus riasan wajahnya dan tidak lupa ia juga mengenakan baju yang sederhana. Setelah menempuh beberapa waktu perjalanan akhirnya Asena sampai juga di depan rumahnya.
“Mama, Asena mungkin gagal membawa banyak uang sekarang, tapi Asena berjanji akan bekerja lebih giat lagi. Asena tidak ingin mengecewakan Mama dengan mendapatkan uang haram di dalam club' malam,” batin Asena menyemangati dirinya sendiri.
“Kau mati saja! Kenapa kau pulang tidak membawa uang.” Teriakan seorang lelaki terdengar hingga keluar rumah membuat Asena langsung berlari menuju asal suara itu.
“Mama,” teriak Asena ketika melihat Papanya hendak menampar pipi Mamanya. “Papa, kenapa pulang-pulang selalu marah dan juga mabuk,” kata Asena dengan isak tangisnya.
“Anak tidak tahu diri! Kau masih berani bertanya kenapa aku pulang?” maki Cem yang merupakan Papa Asena. “Kamu sudah dewasa tapi tidak bisa diandalkan, harusnya kamu itu bisa memberikan uang pada Papa dan bukan malah menyusahkan saja,” hardik Cem dengan tidak tahu diri.
Cem adalah Papa kandung Asena yang suka mabuk dan juga hobi berjudi. Lelaki itu memiliki begitu banyak hutang. Cem akan pulang dengan keadaan mabuk ketika uang berjudinya habis dan jika Mama Asena tidak memberikan uang, Cem akan memukuli Mama Asena atau mungkin bisa membunuh perempuan malang itu jika Asena tidak datang tepat waktu. Cem bahkan berhutang dengan salah satu rentenir kemudian dengan tidak tahu diri Cem meminta pada rentenir itu untuk menagih uang pada istrinya yang jelas tidak tahu apa-apa.
Alasan Asena sampai nekat ingin bekerja di club malam tidak lain ialah demi untuk bisa membayar hutang Cem supaya Mamanya tidak terus di sakiti seperti ini, tapi Asena terlalu egois dan ia tidak bisa bekerja di tempat liar seperti itu. Tapi Asena berjanji ia akan mencari satu lagi supaya bisa membayar hutang Cem agar lelaki itu tidak terus memukuli perempuan tersayangnya ini.
“Apakah Papa tidak salah bicara! Justru yang paling menyusahkan di rumah ini adalah Papa, Papa itu sudah tidak kerja tetapi malah minta uang Mama kemudian dihabiskan untuk minum dan juga berjudi.” Asena merasa kesal dan langsung balas memaki Cem.
“Asena, Papa kamu itu sedang mabuk dan dia tidak tahu dengan apa yang sedang ia bicarakan,” kata Sima mencoba untuk menahan lidah Asena agar tidak kurang ajar dengan Papanya.
“Mama, kenapa masih bisa membela lelaki itu,” teriak Asena kesal karena perempuan yang telah melahirkannya itu masih saja membela papanya meskipun telah disakiti berulang kali.
Cem hendak menampar Asena tetapi Sima langsung berdiri dihadapan putrinya dan ialah yang akhirnya terkena tamparan itu hingga tersungkur ke atas lantai dan tidak sadarkan diri, Asena yang melihat Mamanya pingsan pun tidak terima dan hendak memukul Cem, belum sempat tangan Asena mengenai lelaki itu tapi dia sudah terdorong kebelakang dan membuat punggungnya terbentur dinding cukup keras.
“Sekali lagi kalian berdua berani kurang ajar padaku,” ancam Cem seraya menunjuk kearah keduanya secara bergantian. “Aku akan menjual kalian berdua.” Setelah bicara Cem segera melangkah pergi dengan bernyanyi tanpa dosa, bahkan lelaki itu juga berjalan sempoyongan keluar rumah dengan sesekali meneguk minuman beralkohol langsung dari botolnya.
Asena segera melangkah mendekati Sima yang masih tidak sadarkan diri. “Ma, Asena akan melakukan apapun supaya Mama bisa lepas darinya,” ujar Asena yang enggan menyebutkan Cem sebagai papanya.
***
Tuan Altair sedang sibuk berkutat pada tumpukan berkas yang kini ada dihadapannya. Lelaki itu membaca tulisan yang ada di berkas-berkas itu dengan sangat teliti sekali. Lan masuk kedalam ruangan ini tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu karena itu memang sudah menjadi kebiasaannya dan Tuan Altair tidak, masalah dengan kelancangan Lan yang satu ini.
“Katakan!” titah Tuan Altair tanpa mengalihkan pandangannya kearah berkas-berkas yang ada di hadapannya sekarang.
“Tuan Altair. Perempuan semalam bernama Nona Asena Lunara,” mendengar penuturan Lan, Tuan Altair langsung menyandarkan punggungnya di kursi kerja kemudian menatapnya dengan wajah datar, hal itu menunjukkan jika Lan boleh melanjutkan ucapannya.
“Dia adalah anak tunggal. Mamanya bernama Sima dan dia bekerja di perumahan elit sebagai seorang pelayan sedangkan Papanya bernama Cem dia tidak bekerja dan kerjanya setiap hari hanya mabuk-mabukan dan juga berjudi saja bahkan Cem seringkali memukul anak dan juga istrinya,” lapor Lan. “Nona Asena bekerja di restoran dan kemarin adalah hari pertamanya bekerja di club malam,” lapor Lan lagi.
Tuan Altair mengusap pelan dagunya mengunakan kedua jari kemudian mengulas senyuman devil. Entah apa arti dari senyuman itu hanya dia saja yang tahu.
Asena membuka matanya dan merasakan nyeri yang teramat sangat di bagian punggungnya, ya Asena ingat rasa nyeri ini akibat ulah lelaki kasar dan juga tidak punya belas kasih itu. Asena tiba-tiba teringat dengan mamanya dan ia bergegas bangkit dari posisi tidur kemudian berjalan keluar kamar mencari keberadaan sosok perempuan yang telah melahirkannya itu, Asena bahkan mengabaikan rasa nyeri dibagian punggungnya sekarang.
Helaan nafas lega lolos dari bibir Asena ketika perempuan itu melihat Mamanya sedang membuatkan sarapan pagi untuknya. Asena memeluk mamanya dari arah belakang dan ingin rasanya melindungi perempuan yang ia sayangi ini, tapi Asena tidak cukup kuat untuk bisa melakukannya namun, Asena akan berusaha untuk melakukannya sebisanya.
“Sayang, kamu sudah bangun,” kata Sima seraya mengusap punggung tangan putrinya yang kini masih memeluk pinggangnya.
“Ma, maafkan Asena, karena Asena Mama sampai mendapatkan pukulan darinya,” cicit Asena penuh penyesalan. Asena merasa sangat hancur bahkan hatinya masih terasa begitu nyeri sekali ketika ia membayangkan perlakuan kasar lelaki tak berhati itu semalam.
Sima memutar tubuhnya dan kini ia menghadap kearah Asena. “Kamu tak perlu meminta maaf karena semua ini adalah salah Mama yang tidak bisa mencari lelaki baik untuk dijadikan suami sehingga kini kamu yang menanggung akibatnya,” ujar Sima dengan mengusap perlahan puncak rambut putrinya.
Sima begitu mencintai lelaki itu, lelaki yang telah berulang kali mendaratkan tangannya di setiap anggota tubuhnya, tapi semua yang Cem lakukan tak pernah membuat Sima membencinya bahkan Sima selalu bersikap baik pada lelaki itu.
Asena melepaskan pelukannya, manik biru itu mengamati wajah Sima dan nampak dengan sangat jelas bekas tamparan lelaki itu membuat salah satu pipi Mamanya lebam dan juga membiru, Asena menitihkan air matanya dan mulai terisak. Sima mengulas senyuman tipis seakan mencoba mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Sima dengan lembut mengusap bening dari pipi putrinya perlahan.
“Asena, ini semua bukan kesalahan kamu dan Mama sudah terbiasa dengan semua hal ini, kamu tak perlu sedih,” bujuk Sima yang tak suka melihat putrinya menangis. “Sekarang lekas mandi dan Mama akan menyiapkan sarapan pagi untuk kita," pinta Sima seraya mendorong tubuh Asena menjauh darinya.
Asena menatap kearah Mamanya seraya melangkah menjauh. Sima menunjukkan senyuman manisnya pada Asena agar perempuan itu tak merasa cemas akan kondisinya. Setelah melihat punggung putrinya menghilang di balik pintu kamar, Sima jatuh terduduk ke lantai meratapi kesedihannya, andaikan saja waktu itu Sima tidak salah memilih pasangan hidup pasti Asena tak harus hidup dalam ketakutan dan juga kesedihan seperti ini. Sima lekas mengusir kesedihan itu dan menyiapkan sarapan pagi, Asena akan semakin sedih jika melihatnya menangis.
Asena keluar dari kamarnya kemudian melangkah menuju ruangan makan dan mereka berdua menghabiskan makanan di piring masing-masing.
“Ma, Asena akan berangkat kerja sekarang,” pamit Asena setelah ia selesai mencuci piring-piring kotor di dapur.
“Kita berangkat bersama,” jawab Sima.
“Mama mau kemana?” tanya Asena penuh selidik.
“Kemarin Mama sudah mendapatkan pekerjaan dan sekarang adalah hari pertama bekerja,” ujar Sima dengan senyuman ceria.
Asena menundukkan kepalanya dan bulir bening itu kembali menetes membasahi kedua pipinya. “Maafkan Asena, Ma. Asena masih belum bisa membahagiakan Mama,” cicit Asena penuh kesedihan dan juga tak berdaya menghadapi takdir yang seakan semakin mempersulit kehidupan mereka.
Sima mengangkat dagu putrinya kemudian membingkai wajah cantik Asena seraya berkata, “Sayang, jangan pernah menitihkan air mata lagi karena itu sungguh menghancurkan hati Mama. Kita adalah perempuan yang kuat dan juga tangguh dan kita bisa melewati semua ini bersama,” ujar Sima memberikan motifasi pada putrinya itu.
Melihat tekat kuat yang kini terpancar dari manik mata Sima membuat Asena senang sebab Mamanya memang perempuan yang tangguh dan tak pernah mengeluh akan takdir hidupnya, Asena harus bisa sepertinya. Asena menghirup nafas dalam kemudian menghembuskannya dari mulut seakan mencoba untuk membuang kesedihan didalam hatinya lewat nafas yang terbuang dan bercampur dengan udara pagi.
“Asena tak akan bersedih dan akan melanjutkan hidup ini, Asena akan menirukan tekat Mama dan ayo kita berangkat kerja bersama,” ujar Asena.
Mama dan juga anak itu berjalan sembari bergandengan tangan dan sesekali terdengar canda tawa dari bibir keduanya. Kesedihan dan juga beban akan terasa lebih ringan jika mereka hadapi bersama dan itulah yang sekarang coba Asena dan juga Mamanya hadapi. Sampai di persimpangan jalan keduanya berpisah dan pergi ke tujuan masing-masing.
***
“Tuan Altair, siang hari ini Anda ingin makan siang di dalam kantor atau di restoran?” tanya Lan. Lan berdiri dihadapan Tuan Altair sembari berdiri dengan tegap dan dengan pandangan tertunduk hormat.
“Restoran,” jawab Tuan Altair irit bicara seperti biasanya.
“Akan saya pesankan makanan Anda,” jawab Lan dengan begitu paham apa yang akan diinginkan oleh majikannya itu.
“Kita pindah restoran kali ini!” titah Tuan Altair ambigu.
Ingin sekali Lan menanyakan restoran yang mana namun, ia takut terkena marah oleh Tuan Altair, akhirnya Lan hanya mengikuti majikannya, nanti juga di tengah jalan ia akan tahu kemana sang majikan ingin pergi sebab Tuan Altair adalah tipe orang yang tidak suka makanan sembarangan dan dia paling pemilih mengenai setiap restoran yang akan ia datangi.
Di tempat lain.
Asena sedang sibuk melayani para tamu yang datang ke restoran tempatnya bekerja. Restoran ini tidak terlalu besar dan juga memiliki harga cukup terjangkau bagi kalangan menengah kebawa, namun memiliki rasa masakan yang bisa bersaing dengan hotel bintang lima.
Restoran ini terbilang sangat bersih sekali dan terdapat taman mini di depan restoran. Di jam istirahat kerja maka restoran ini akan selalu ramai di kunjungi oleh para pekerja yang hendak menghabiskan waktu makan siang mereka di restoran ini, selain makan mereka juga bisa menikmati pemandangan sekitar.
Asena begitu kaget sekali ketika melihat para lelaki yang mengunakan jas serba hitam tiba-tiba melangka menghampiri semua meja yang ada didalam ruangan ini dan disaat yang bersamaan semua orang yang ada di meja tersebut segera menyelesaikan makan siang mereka kemudian berjalan keluar dari restoran ini.
“Ada apa ini?” tanya Asena pada rekan kerjanya.
“Entahlah aku juga tidak tahu,” jawab rekan kerja Asena dengan mengangkat kedua pundaknya. “Asena, coba kamu tanyakan pada para lelaki yang menggunakan kemeja serba hitam itu tentang apa yang terjadi,” pinta rekan Asena. Rekan Asena tak ingin terkena masalah jadi ia meminta pada Asena yang bertanya. Sungguh licik sekali.
“Aku takut,” jawab Asena. Asena sudah bergidik melihat bentuk tubuh tegap dan juga wajah datar para lelaki yang mengunakan baju serba hitam itu. apalagi harus bertanya pada mereka. Asena tidak berniat sama sekali.
“Kalau sampai pemilik restoran ini datang dan tahu semua pengunjung restoran keluar tanpa membayar maka kita berdua akan mati,” jelas rekan kerja Asena.
“Apa? Para pengunjung yang keluar dari restoran ini belum membayar sama sekali?” tanya Asena mencoba untuk memastikan dan rekan kerjanya itu langsung menganggukkan kepalanya.
Asena membuang nafasnya lelah bercampur frustasi sepertinya ia tak memiliki pilihan lain.
“Aku akan bertanya kalau begitu,” ujar Asena.
Asena melangkah menghampiri salah satu lelaki yang menggunakan kemeja serba hitam dengan langkah yang ragu dan kedua tangannya juga bergetar penuh ketakutan namun, Asena harus tetap melangkah maju sebab pekerjaannya ini sedang dipertaruhkan. Akhirnya Asena berada dibelakang lelaki yang menggunakan kemeja hitam kemudian memberanikan diri mengarahkan satu jari telunjuknya untuk menyentuh lengan kekar dihadapannya.
“Tu-tuan bolehkan saya bertanya?” cicit Asena dengan suara yang bergetar di ujung lidahnya. Asena berperang dengan hatinya yang terus berguncang ketakutan, tapi ia harus memperjelas semuanya sebab ini menyangkut pekerjaannya.
“Ya, katakan,” jawab lelaki berjas hitam itu dengan suara penuh intimidasi.
“Kenapa setiap meja yang Anda dan juga rekan Anda hampiri semua orang-orang yang tadinya sedang menikmati hidangan didalam piring masing-masing langsung memutuskan untuk segera keluar dari restoran ini? Mereka bahkan belum membayar semua hidangan yang telah mereka nikmati?” tanya Asena dengan kepala yang tertunduk.
“Tuan kami akan membayar semua hidangan yang telah mereka makan,” jawab lelaki bertubuh kekar itu.
“Siapa nama Tuan Anda jika saya boleh tahu, sebab nanti saya akan memberikan nota pembayaran semua hidangan yang telah para pengunjung pesan padanya?” tanya Asena masih dengan tubuh yang gemetar ketakutan.
“Tuan Altair,” jawab lelaki itu.
“Sepertinya aku pernah mendengarkan namanya, tetapi dimana,” batin Asena didalam kebisuannya.
Asena melihat para pengawal mulai membungkukkan tubuhnya hormat dan Asena pun memutar tubuhnya menatap kearah pintu restoran ini. Kedua bola mata Asena seakan hendak keluar dari kodratnya ketika melihat lelaki semalam masuk kedalam restoran ini dengan jas serba hitam dan ada kaca mata berwarna senada yang bertengger di wajah tampannya, Shith! Kenapa Asena mengatakan lelaki mengerikan itu tampan, matanya mungkin sudah rabun sekarang.
"Di-dia adalah lelaki semalam."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!