NovelToon NovelToon

Killian'S Queen

Prolog

...〰️K i l l i a n〰️...

Dulu sekali, Ruby pernah bermimpi memiliki keluarga kecilnya sendiri yang utuh dan harmonis. Bercermin dari kedua orangtuanya yang menjunjung kerukunan dan tak malu-malu menunjukan sikap romantis di usianya yang sudah memiliki dua orang anak. Tanpa ia tahu sedikitpun, dibalik semua suasana hangat yang selalu ia rasakan ditengah-tengah keluarganya itu, menyimpan kebohongan besar yang siap melukainya kapan saja.

Diusianya yang menginjak remaja, barulah dia mendapatkan kenyatan pahit yang disimpan rapat-rapat kedua orang tuanya sejak lama. Ruby bukanlah anak kandung kedua orang tuanya saat itu.

Namun tak cukup sampai disana, Ruby seperti kembali mendapatkan pukulan telak kedua kalinya ketika ia mengetahui orang tua angkatnya itu telah memutuskan bercerai. Bahkan ketika ia masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Entahlah. Dipikir berapa kalipun menurutnya, hal ini tidak terasa nyata.

Banyak sekali pertanyan-pertnyaan yang mendadak bergelayutan dikepalanya. Lalu dia ini anak siapa? Apakah dia anak yang dibuang?

"Harusnya kamu gak milih anak itu untuk kita adopsi! Sekarang, lihat? Dia bahkan berani mengabaikan omonganku, ha!"

"Jaga mulut kamu! Dia juga punya perasaan, dan aku tulus menyayanginya. Kamu gak pantes ngomong sembarangan kayak gitu!"

"Denger ya, Mas! aku capek bersandiwara di depan anak sok lugu kayak dia! Aku capek pura-pura baik di depan anak yang diam-diam mencuri semua perhatian kamu sampai keluarga kita jadi berantakan kayak gini!"

Bahkan, masih lekat di kepala Ruby potongan-potongan ingatan menyesakkan tentang keluarganya dulu. Percakapan yang tak seharusnya ia dengar kala itu, diusianya yang masih sangat mendambakan kasih sayang orang tua.

Dibuang, terabai, dan tak diinginkan. Bagi Ruby, itu bukan hal pertmana yang dialaminya. Keberadaannya sendiri berawal di panti asuhan sebelum ia di adopsi. Tentu seharusnya fakta itulah yang pertama membuktikan seberapa tidak diinginkannya dia di hidup seseorang. Bahkan mungkin orang tua kandungnya sendiri.

"Udah laah, gak usah terlalu naro simpati sama cewek kaya dia. Zaman sekarang kan banyak tuh yang ngejual cerita-cerita sedih cuma biar dikasihanin."

"Jangan gitu dong, kali aja emang cerita dia itu beneran."

"Yaa kalopun iya beneran terus kita musti gimana? musti bawa dia balik ke rumah kita terus jadi anak angkat orang tua kita gituh?"

"Nih, dari yang gue denger nih, si Ruby itu justru ngancurin keluarga yang uda adopt dia jadi anaknya, tahu!"

"Eh? Serius anjir?!"

"Iya!! Semua orang uda tahu kali cerita itu, kemana aja lo. Dia bahkan jadi penyebab perceraian orang tua angkatnya, sampe keluarga itu berantakan."

"Ya ampun... jadi inget film Orphan gue. walopun si Ruby waktu itu beneran bocil kali ya, bukan bocil jadi-jadian kaya si Asther wkwk."

Memasuki usia remaja, Ruby berpikir tidak akan ada lagi yang membuatnya kesulitan. Tapi justru, keadaannya yang tak memiliki orang tua dan asal usul yang jelas menjadi bahan lelucon gelap diantara teman-teman sekelasnya.

Bahkan gadis itu sempat mengalami bullying yang cukup mengerikan hanya karena dia berasal dari panti asuhan.

Masa SMP dan SMA yang seharusnya menyenangkan dan penuh kenangan manis, justru malah menjadi ingatan pahit dan meninggaljan jejak traumatis di dalam batinnya.

Ruby ingin menangis, ia sangat ingin. Ruby menderita dan sangat ingin mengeluh bahkan menyerah. Namun segelap-gelapnya masa lalu Ruby, gadis itu tetap ingin melanjutkan hidup. Demi dirinya sendiri.

Entahlah. Ruby sendiri tak merasa menjadi manusia yang kuat menerima semua nasib buruk. Tapi ia juga tak merasa memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya yang malang meski sangat berat.

Baginya, dia hanya seonggok makhluk yang mungkin Tuhan lupakan. Toh bukan keinginannya juga dia terlahir dengan nasib yang malang. Hanya saja, Ruby tetaplah manusia yang juga kadang merasa iri dengan kehidupan normal orang-orang. Dia tahu, di dunia ini bukan cuma dia yang tak memiliki orang tua dan terbuang. Tapi ada satu waktu yang ia rasakan beratnya menjadi yang terbuang. Kenyataan bahwa tidak ada satupun orang disisinya yang bisa ia jadikan tempat mengadu dan berkeluh kesah. Dia sendirian di dunia yang penuh dengan intrik dan kamuflase ini.

Entah apa yang mempertahankan deru napasnya selama ini. Sekali lagi, meski berat, Ruby tetaplah bertahan dengan kedua kakinya. Membungkus semua borok di hatinya yang mungkin akan abadi dengan seulas senyum manis dan sikap polosnya. Seolah dia tak pernah mau tahu dan peduli dengan semua kemalangan yang mengikutinya selama ini.

Apa boleh buat, kan? Aku sendiri enggan untuk mati, karena satu-satunya berkat yang Tuhan kasih ke aku adalah hidup.

Begitulah, bagaimanapun Ruby adalah gadis yang malas berpikir terlalu rumit. Pada akhirnya dia hanya mengikuti kemanapun keinginginan takdir membawanya. Meskipun ribuan luka dan pertanyaan semakin menumpuk di dalam batinnya. Mimpi memiliki keluarga kecil yang bahagia dan harmonis, kini baginya terasa semakin imajiner. Semakin kabur seperti dongeng sang putri dan pangeran yang ia dengar selewat lalu terlupakan.

Entah karena hidupnya sudah kacau sejak awal, atau karena dia memang sudah benar-benar malas meladeni takdir. Tapi disinilah dia pada akhirnya...

"Gimana, Ruby? kamu udah siap?"

"Iya, Ma." Jawabnya seraya meraih tangan wanita yang ia panggil Mama.

Ada sesuatu yang mendesak-desak dipelupuk matanya. Rasa panas dan sesak yang sulit sekali didefinisikan. Namun demikian, kakinya teguh melangkah mantap bersama dengan kebaya putih membalut tubuh rampingnya yang terasa memeluknya hangat.

Berjalan perlahan diatas bentangan karpet panjang berawarna merah dengan kepala sedikit tertunduk.

Rasa gugup bercampur bahagia membuatnya tak karuan. Ruby memberanikan diri mengangkat pandangannya ke depan. Di ujung sana, di ujung karpet merah yang sedang ia tapaki, seorang lelaki tampak terkejut melihatnya dengan tatapan kagum dan memesona. Sampai-sampai ia tak menyadari bola mata jernihnya yang menatap Ruby tanpa berkedip, telah meloloskan bulir air mata yang mengalir hingga ke rahang tegasnya.

Melihat itu, Ruby tak kuasa menahan senyum haru sekaligus gemas di waktu bersamaan. Dan senyumnya ternyata berhasil menular pada lelaki disana yang akhirnya tersadar dari mode terkesimanya lalu cepat-cepat mengusap air mata dipipinya kasar.

"..."

Keduanya hanya saling menatap dalam setelah berhadapan. Bibir keduanya seolah kehabisan kata bahkan hanya untuk sekedar menyapa.

"Bahagia ya, Ruby.. "

Akhirnya lelaki itu berucap dengan nada tenang khasnya sambil tersenyum simpul. Akhirnya, air mata yang sejak tadi Ruby tahan mengalir begitu saja setelah mendengar tiga kata penuh makna dari laki-laki itu. Tidak ada isakan, justru senyum dibibir indahnya semakin merekah diikuti anggukan mantap dari gadis cantik yang menjadi sang pengantin hari itu.

[]

#1 Ruby

...Leviana Ruby Triendl...

...****...

...Enjoy your meal!...

...👓...

...〰️K i l l i a n〰️...

Tolong, siapapun ingatkan Ruby si lemot agar dia melepas helm doraemonnya sekarang!

Bukan apa-apa, tapi sekarang ini dia sedang berdesakan di dalam lift yang penuh sesak. Orang disekitarnya bahkan tak jarang tersundul helm yang masi menutup kepalanya dan melayangkan berbagai macam protes. Tapi anehnya, Ruby masih saja belum sadar kepalanya masih terbungkus helm kucelnya.

Bukan tanpa alasan, tangannya sekarang ini sibuk mengobrak-ngabrik isi tasnya yang didalamnya sudah seperti kantong ajaib Doraemon yang serba ada tapi juga sangat berantakan seperti keranjang cucian.

"D-duuuh mampus..Kalau flashdisknya beneran ilang, bisa dicincang jadi adonan dimsum sama Pak GM.."

*General Manager

Gumamnya gusar dengan fokus yang masih tertuju ke dalam tas yang dibawanya.

Gadis itu sama sekali tidak peduli orang disekitarnya yang menatap aneh atau bahkan berbisik mengomentarinya. Jangankan orang disekitarnya yang berdesakan dengannya, helm dikepalanya saja masih tak ia sadari keberadaannya.

Dia hanya berpikir, kepalanya terasa berat lantaran ia tengah pusing mencari-cari benda keramat yang menentukan hidup dan matinya di perusahaan ini. Bukan berpikir kepalanya berat karena belum melepas helmnya. Selemot dan sesembrono itulah Ruby jika sedang panik.

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai sepuluh, dan orang-orang bergegas keluar.Tubuh kecil Ruby berkali-kali terdorong dan nyaris oleng karena tak seimbang. Sekali lagi itu karena helmnya yang masih setia menemel di kepalnya. Tapi ia masih belum menyerah dan membiarkan tubuhnya bertubrukan kesana kemari demi menemukan benda kecil seukuran jari kelingking bercorak kayu kecoklatan itu.

Sambil berjalan tergopoh-gopoh, Ruby membuka pintu kaca menuju ruangan divisinya dengan tangan yang masih sibuk merogoh-rogoh ke dalam tasnya.

"Eh, itu si Ubi kenapa belom dateng, gais- Eh buset kampret!!"

Darren, salah satu teman yang satu divisi dengan Ruby memekik heboh saat badannya berbalik dan mendapati Ruby yang sudah berdiri tepat didepannya dengan penampilan kacau. Gadis itu masih belum mencopot helmya. Bahunya tampak merosot dengan napas terhela pasrah.

"Ubi, lu gak papa? Buka dulu napa itu helmnya, yaampun.. Emang lu tadi pas di lobi gak ditegor sama Pak Edward apa?" Omel Daren.

FYI, Pak Edward itu satpam. Sebenarnya, Ruby tadi tidak masuk ke gedung kantor lewat lobi depan, melainkan dari lift darurat yang ada di basement. Jadi tentu dia tidak di tegur Pak Edward karena tak berpapasan.

"Bang Darren.. Kayaknya Ruby bakalan dicincang jadi adonan dimsum sama pak GM deh hari ini." ucapnya lesu dengan garis bibir yang melengkung ke bawah.

Darren ngernyit heran denger ocehan gadis yang tinggi badannya hanya sebatas dadanya alias pendek. Laki-laki itu sedikit menunduk untuk melihat wajah Rubi apalagi sebagian wajahnya masih tertutup kaca Helm yang gelap. Darren hanya bisa melihat bibir mungil gadis itu yang terlipat ke dalam karena gelisah.

"Lah emang kenapa? Lu ngelakuin kesalahan tah?" Tanya Darren. Dengan inisiatifnya dia melepas tautan pengunci helm dibawah leher Ruby kemudian melepasnya perlahan. Melihat gadis itu sepertinya sudah tak peduli lagi dengan helm sialan yang dari tadi membuat kepalanya berat.

"Flashdisk yang isinya materi presesntasi buat rapat sama klien hari ini ilang..Dan itu urgent banget, hiks gimana dong.. "

Akhirnya Ruby hanya bisa merengek yang membuat tampangnya semakin terlihat kacau. Wajah yang sedikit lusuh berkeringat dan rambut yang lepek berantakan.

Bukannya kasihan, Darren yang melihatnya malah menahan tawa mati-matian. Sayangnya Ruby menyadari kalau Darren sedang berusaha untuk tidak menertakannya walaupun itu gagal.

Bugh!

"Awwh!! Sakit Ubi!"

Ruby mendelik kesal. Satu pukulan berhasil ia layangkan di lengan Daren dan membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. Walaupun badan Ruby itu sedikit mungil, tapi untuk urusan memukul, mencubit, menyentil, menjambak dan sejenisnya, itu lumayan bisa membuat siapapun yang menerimanya emosi jiwa.

"Ish, gak guna ngomong sama Bang Darren! Orang lagi kena bala malah diketawain."

"Pfft! Ya maap nyai Ubi, namanya juga pengen ketawa.. Sama kaya kentut makin di tahan makin desek-desekan pengen keluar, bunyi deh. Preeet~ Hehe."

Ruby yang mendengar tentu semakin kesal dan kembali mengambil ancang-ancang untuk menyerang Darren.

"E- eeeh iya iya iyaa jangan pukul gue lagi ampuuun, ubi galak banget sih."

Ruby semakin merengut kesal. Keributan mereka ternyata di dengar beberapa teman satu timnya yang duduk tak jauh dari posisi mereka.

"Apa sih ini bocah pagi-pagi uda pada ribut aja. " Timpal Sarah, salah satu tim yang usianya paling tua. Atau biasa mereka bilang, Emaknya tim divisi marketing.

"Tau nih mbak, omelin sonoh anak-anak lu dari tadi berisik banget. Ckck. " Tambah Windy.

Mereka semua sekarang malah ikut berkumpul di work station nya Ruby.

"Mbak Sarah.. Ruby ngilangin flashdisk buat rapat hari ini. Pak GM uda wanti-wanti jangan sampe gak di bawa hari ini. Tapi malah ilang, padahal tadi pas di kosan Ruby inget banget itu flashdisk uda dibawa, kayaknya jatoh di tengah jalan terus kelindes truk.. Huaaaa gimana dong.. "

"Iya emang elu bawa, tuh." Celetuk Leo.

"Iyaa Leo, Ruby tau.. Eh?." Rengekan Ruby seketika berhenti, manik bulatnya menatap Leo tak mengerti.

Darren kembali terlihat mengempit tawanya yang sebentar lagi meledak. Ruby mengernyit heran sekaligus kesal melihatnya.

Leo yang sedari tadi duduk di tempatnya, tepatnya di sisi sebrang work station Ruby dan Darren, hanya diam sambil sesekali melihat adu percakapan dua orang absurd didepannya. Akhirnya dia buka mulut karena merasa sudah terlalu berisik.

"hhh, itu yang ngegantung di leher lu apa, Ruby.." Lanjut Leo jengah sambil menunjuk dengan dagunya.

Ruby mematung sejenak, kemudian perlahan menundukan kepalanya untuk melihat apa yang ditunjuk Leo ke arahnya.

Bingo!

Benar saja. Itu benda yang sedang ia cari-cari. Benda sebesar jari kelingking warna coklat, bercorak kayu dengan sebuah tali dari bahan silikon berwarna transparan mengalung di leher jenjang Ruby.

"Ppfftt- BHUAHAHAHA!!"

Akhirnya, tawa Darren pecah dan membuat orang-orang disekitarnya ikut tertawa. Tentu saja tidak termasuk Ruby yang justru semakin memberengut kesal namun juga terlihat lega sembari menggenggam flashdisk keramatnya.

"Hiiiiinggg~ ternyata kamu dari tadi disini.." Ucap Ruby sambil memegangi dan memandang flashdisk digenggamannya dengan tatapan seperti ingin menangis.

"Dasar, ni anak kucing satu demen banget bikin keributan, hadeehh." Ujar Sarah kesal sekaligus gemas. Setelahnya ia pun kembali ke tempat duduknya seraya mengacak-ngacak rambut Ruby yang semakin berantakan.

Leo yang notabene adalah makhluk yang irit berbicarapun hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman satu timnya. "Kurang-kurangin lagi  lemot sama ogebnya ya, Ubi.. " tapi sekalinya dia berucap, itu bisa membuat hati sedikit ngilu. Atau mungkin busa membuat seseorang 'pundung' berhari-hari.

"..."

Ruby diam dengan bibir mengerucut semakin maju. Tapi Ruby sendiri tak begitu peduli dengan ucapan Leo yang lidahnya kadang bisa setajam pisau cukur G*llete. Dia lebih merasa kesal dengan Darren. Ternyata sedari tadi, laki-laki itu sudah tahu kalau flashdisk yang ia cari ada di lehernya sendiri. Tapi Darren malah iseng dan mentertawakannya tanpa memberitahu. "Iish! Awas lu ya Bang! Gue pecahin ban motor lu pake tusuk konde nya bu Ninong nanti pas pulang."

"Eh Ya Alloh.. Anak kecil ngancemnya serem amat dah. Wkwwk iya iya maap deeh Ubi Cilembuu yg unyu.." Darren masih saja melayangkan candaannya pada Ruby yang kemarahannya sudah di ubun-ubun. Bahkan bukan cuma bibirnya yang semakin maju, tapi matanya juga melotot tajam menatap sengit pada Darren.

Bukannya takut, Darren malah semakin gemas ingin terus menggoda Ruby dan membuat gadis itu kesal.

Akhirnya Ruby yang emosi pun menarik rambut Darren kebelakang samai badannya hampir terjungkal, tangan mungilnya sibuk memukul-mukul lengan laki-laki itu. Darren hanya berteriak kesakitan sambil meminta ampun, yang tentu saja tak didengar oleh Ruby.

Sedangkan yang lain? Mereka hanya membiarkan keributan semacam itu berlangsung.

Bagi mereka, itu hanya salah satu dari sekian banyak keributan yang seringkali terjadi karena dua orang tersebut yang hampir tak pernah akur. Jadi itu sudah biasa, toh setelah beberapa menit atau jam mereka akan kembali normal seperti tak pernah terjadi apapun.

...〰️K i l l i a n〰️...

Jam pulang kantor selalu jadi hal paling menyenangkan layaknya bel pulang sekolah. Tapi, sepertinya kali ini tidak begitu untuk Ruby.

Dia malah terkena evaluasi, gara-gara file untuk bahan presentasi di rapat penting dengan klien tidak ada di flashdisknya. Ini benar-benar fatal sebenarnya. Mengingat dia diberi tanggung jawab yang tidak main-main dan malah ceroboh dalam pekerjaanya.

"Berapa kali saya bilang, Ruby. Periksa kembali setiap kamu menyelesaikan pekerjaan, apa susahnya sih."

Dari tadi, deretan kalimat-kalimat tajam bernada tinggi yang hanya terdengar di ruangan itu. Dimana hanya tersisa dua orang didalamnya. Salah satunya Ruby.

"Kamu bikin saya malu di depan klien-klien saya, kamu tahu?" Lanjutnya lagi sarkas.

"S-saya..benar-benar m-minta maaf pak."

Ruby tak berani mengangkat kepalanya saat berbicara. Bahkan suaranya saja sangat pelan dan sedikit bergetar karena takut.

Laki-laki yang sedari tadi mengomelinya hanya memandang datar dengan sorot mata jengah. Wajah Ruby pucat dan tangannya semakin berkeringat. Kegugupan dan ketakutan seperti sedang mengunyahnya sejak dia dipanggil keruangan atasannya setelah jam pulang kerja.

Memang, biasanya kesialannya itu patut diwaspadai ketika mulai datang di waktu paling awal beraktivitas, pikir Ruby. Hampir setiap ia mengalami kesialan di waktu paling awal atau baru memulai aktivitas, kesialan itu seperti merasa harus mengikutinya hingga aktivitas nya berakhir.

"Saya pikir kamu adalah orang yang teliti, karena sejak awal kerja disini kamu yang paling cepat tanggap untuk ukuran karyawan baru walaupun kamu ceroboh. Tapi penilaian saya salah. Harusnya dari awal saya gak milih kamu jadi asisten saya!"

Ruby seketika merasa dadanya terkena tonjokan. Matanya memanas. Sekuat tenaga dia mengigit bibir bawahnya untuk menahan sesuatu yang membuatnya ingin mengeluarkan isakan.

"Gak masuk akal! Hal sekecil ini sampe terjadi ketiga kalinya, Ruby. Kamu bisa sangat merugikan perusahaan. kalau saja klien kita gak bersedia nunggu kamu nyari filenya dulu yang ternyata lupa kamu pindahin ke flashdisk!"

Cecarnya lagi membuat nyali Ruby semakin menciut.

"I-iya Pak.. S-saya minta ma- "

"Gak usah minta maaf terus! Saya gak butuh permintaan maaf kamu!"

Habis sudah mental Leviana Ruby Triendl. Ia benar-benar ingin menangis sekarang. Bahunya sedikit bergetar. Kendati ia masih berusaha menahan isakannya mati-matian.

Terdengar helaan nafas panjang dari laki-laki yang sedari tadi memarahinya habis-habisan.

"Ruby, dengar.."

Kali ini suaranya sedikit memelan. Namun juga memberikan penegasan secara tak langsung agar Ruby mengangkat wajahnya dan menatap lawan bicaranya.

"Saya tahu kamu memiliki pengalaman tak menyenangkan dengan akun email milik kamu." Lanjutnya berjeda.

"Tapi disini, kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini. Akun Email adalah tangan kanan seluruh karyawan yang bekerja di perusahan ini. Bahkan semua perusahaan besar dimanapun. Harusnya kamu bersikap profesional dan bisa mengantisipasi semua kemungkinan dengan memanfaatkan pengiriman file lewat email."

Ruby tak bisa menjawab apapun karena itu memang kesalahannya.

"Ck. Saya bahkan tak percaya harus mengajari kamu hal seremeh ini. Benar-benar buang waktu saja." Gumamnya sarkas.

Satu bulir air mata lolos di pipi pucat Ruby yang langsung gadis itu usap buru-buru dengan kasar. Sang atasan hanya melihat dengan tatapan remeh dan senyum sinis sambil pergi dari ruangan itu tanpa berkata-kata lagi.

Hening. Suasana terasa sangat dingin dan hening namun juga sekaligus melegakan untuk Ruby. Meskipun dia masih bisa merasakan betapa sakit hatinya dimarahi oleh managernya habis-habisan. Kendati demikian, Ruby hanya bisa menunduk diam dan tak banyak berkata. Ia lebih baik diam dimarahi dengan kata-kata tajam daripada harus dipecat dari pekerjaannya.

"Hufth!! Sabar ya Ruby...wajar Pak Angga marah. Hampir aja calon mitra perusahaan ngebatalin kerja samanya gara-gara kamu ceroboh." Gumamnya pada diri sendiri.

Beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah dan menyeka kelopak matanya hati-hati. Hanya karena ia tidak ingin terlihat habis menangis, padahal diruangan itupun hanya ada dia saja seorang diri.

"Euaaagh~ kayaknya, makan seblak jeletotnya Bu Mimin level 100 paling cocok kalo lagi kena mental breakdance gini deh. " Gumamnya seraya beranjak pergi dari kursi yang terasa membakar bokongnya sedari ia duduk.

Gadis itu akhirnya pulang dengan wajah yang berusaha ia reset kembali menjadi ceria. Rasa dongkol, sakit hati, frustasi dan macam-macam rasa memuakkan yang baru saja ia dapatkan dia tekan dalam-dalam. Entah apa yang ada dipikirannyan saat ini. Ia pulang mengendari motornya sambil sesekali mengusap air matanya yang merembes tetapi bibirnya masih berusaha untuk tersenyum.

...〰️K i l l i a n〰️...

"Sumpah ya, hari ini si Ruby bikin gue darah tinggi lagi, anjir. Kesel gue."

Kata laki-laki yang duduk di sofa merah sambil menghisap rokoknya. Sesekali ia membuang ujung rokoknya yang sudah terbakar kedalam asbak didepannya.

"Gak boleh gitu wey..anak orang lu omelin mulu Ga." Sahut Gavin.

Angga Rajendra Dewa, pria berumur awal 30an itu adalah seorang general manager di Dimitri Company. Iya, manager diperusahaan yang sama di tempat Ruby bekerja.

"Ya abisnya, heran gue. Kok bisa cewek lemot kaya gitu kerja di perusahaan gede model Dimitri group, nyogok apa gimane sih, bikin pusing aja. Hampir aja meeting hari ini fail gara-gara tuh cewek." Dumalnya kesal.

Sepertinya, pria ini juga hidupnya penuh dengan beban pekerjaan. Buktinya, sampai sekarang mulutnya masih belum berhenti mengomel, meskipun dia sudah ada di tempat berbeda dengan orang-orang yang berbeda pula.

"Hmm, jangan terlalu sering marahin anak orang Ga." Timpal Garry.

Angga mengernyitkan keningnya karena tak mengerti maksud temannya itu.

"Entar lama-lama lu malah demen lagi, wkwkwk." Lanjut Garry diakhiri gelak tawanya sendiri.

"Sialan lu." Angga menyahut kesal.

Akhirnya, kalimat terakhir Garry membuat Gavin ikut terbahak dengannya. Angga hanya mendecak sebal melihat teman-temannya mengejeknya.

Angga meneguk sisa kopi di gelasnya. Ingatkan ia untuk tak jadi mentraktir kedua teman brengseknya ini. Nama Ruby akhir-akhir ini sering kali mencuat dan membuatnya sakit kepala. Sepertinya dia harus memikirkan cara untuk memecat gadis itu dari perusahaan, pikirnya. []

#2 Killian

...Killian Riyudha Altez Dimitri...

...***...

...Enjoy your meal!...

...👓...

...〰️K i l l i a n〰️...

"Hmm...iya iya, bentar lagi napa Bel, ini kan hari minggu gue yang berharga..."

Suaranya terdengar serak dan malas-malasan. Bahkan, badannya saja masih setia bergelung didalam selimutnya yang hangat. Sesekali ia membetulkan ponsel yang ia tempelkan begitu saja ditelinganya supaya tidak jatuh.

"iishh, oke! kasi gue 30 menit lagi deh yaa~" Gerutunya pada orang disebrang ponselnya.

Matanya yang masih terasa lengket, mau tidak mau ia paksa terbuka karena suara dari ponselnya sangat berisik. Tepatnya suara omelan.

"Ya ampun Bella, iya iyaaaa bawel banget sih. Yauda iya, ini mau siap-siap dulu!"

Tuuut!

Dengan kesal, Ruby menutup sambungan teleponnya dan menyibakkan selimutnya kasar.

Ini hari minggu. Tentu saja Ruby libur bekerja. Dan harusnya, ia bisa tidur sampai tengah hari nanti, pikirnya. Tapi Bella, sahabatnya, malah menelepon sepagi ini dan mengajaknya hang out. Ralat. Bukan mengajak, tapi memaksa. Mau tak mau, Ruby menyetujuinya karena Bella berjanji akan mentraktirnya tiket konser BTS nanti. Siapa yang bisa menolak, kan?

"Huuu, maaf ya kasur.. Bukannya Ruby gak kangen, padahal biasanya hari minggu gini kita kelonan sampe siang ya.. " Ucapnya sambil tengkurap memeluk kasurnya yang berantakan.

Ya, Ruby ini termasuk gadis yang senang menghabiskan waktu akhir pekan dengan kasurnya. Hanya saja, kali ini Bella sahabatnya dari jaman kuliah terus saja mengomelinya agar dia jalan-jalan setidaknya sesekali. Kata Bella, sudah waktunya dia punya pacar sungguhan, bukan oppa-oppa yang ada dihalusinasinya apalagi pria-pria gepeng webtoon yang digilainya. Sialan, pikir Ruby. Menohok tapi perkataannya tidak salah juga.

Bukannya tidak menyukai laki-laki di dunia nyata. Hanya saja.. Akh! Sudahlah, sangat rumit menjelaskannya. Sama rumitnya dengan isi kepala Ruby.

...〰️k i l l i a n〰️...

"Astagah... Omegot omegot Ruuu... Liat deh cowok yang disana ganteng banget gilaaak.." Pekik Bella heboh.

"Gak. Gantengan Taehyung." Ruby menyahut cuek sambil menyeruput boba milktea-nya.

Bella yang mendengar tanggapan Ruby yang selalu sama untuk yang kesekian kalinya, hanya mencebik sebal. Temannya ini memang sulit sekali disembuhkan dari kegilaannya terhadap Kpop dan biasnya yang segudang. Belum lagi, Ruby ini juga pecandu pria-pria 2D alias tokoh komik yang Bella sendiri bingung gimana cara melihat kegantengannya.

Bella sendiri, sebetulnya sama gilanya kalau menyangkut biasnya dan Kpop merangkap per-drakoran. Tapi, dia masih ingat juga kehidupan nyata yang katanya berat dan tak lupa untuk punya pacar.

"Ck gak asik lo, nongki tuh cuci mata liat-liat yang ganteng kali Ru..jangan halu mulu, kalo gini kapan lu punya pacar biar bisa gue ajak double date.."

Ruby menoleh dan hanya memberikan cengiran sekilas.

"Ya gimana, gue cintanya ama Taehyung, Jungkook, Chanyeol, Cha Eunwoo, Sehun, Kang Daniel, Jaehyun, Taeyong, BI, Suho, Bob-"

"Ssshhtt ssshhtt sshhyuttt!!"

Ocehan Ruby terpotong dengan desisan kesal Bella. Sahabatnya itu terlampau kesal sampai-sampai air liurnya sedikit beterbangan yang membuat Ruby refleks memundurkan badannya dengan wajah jijik.

"Itu cinta apaan kok kaya koleksi tas kulit biawak gue, banyak banget?!" Sindir Bella

"Hehe. Abisnya lu kayak emak-emak kebelet pengen punya mantu, nanyain pacar mulu ke gue kerjaannya." Tanggap Ruby dengan kekehan yang membuatnya hampir tersedak boba.

Bella mendelik jengah. "Nih ya Ubiii, gue tuh care sama lu, bukan cuma biar gue bisa mewujudkan impian double date di Prindavan sama lu aja, tapi gue pengen ya lu ada yang jagain aja, biar ada pawangnya gitu.."

"Heh! Lu pikir gue queen cobra!"

"King, bego!" Koreksi Bella cepat.

"Ya pokoknya itu! Lu pikir gue uler nagin yang musti punya pawang-pawangan segala. Cowok gue uda banyak dan mereka semua gak pernah bikin gue pundung apalagi sakit hati." Protes Ruby tak terima.

Bella hanya bisa menghela napas jengah. Tidak ada gunanya dia debat seperti idiot begini dengan sabahabat paling pintarnya ini. Setidaknya, dulu ketika masih di bangku kuliah, Ruby termasuk mahasiswa pintar dalam bidang akademik. Tapi justru sangat bodoh dalam hal yang berkaitan dengan laki-laki, pikir Bella.

"Ya gimana bisa bikin lu pundung, dia tau lu bernapas aja enggak, hadeeh."

Ruby mendelik tak suka mendengar komentar Bella. Padahal Bella sendiri dibelakang pacarnya sama-sama pemuja abs oppa seperti dirinya. Kendati begitu, Ruby cukup paham kenapa Bella sebawel ini memintanya segera berpacaran.

Sahabatnya ini hanya sedang mengkhawatirkannya. Ruby sangat tahu, didunia ini mungkin yang benar-benar peduli padanya sekarang hanya Bella.

Ia ingat kejadian beberapa tahun ke belakang ketika masih duduk si bangku kuliah, saat dirinya sempat diteror penguntit yang membahayakannya. Bella sampai ketar ketir mencari kosan baru untuknya dan mengurus semuanya sendiri. Bahkan sampai melaporkan penguntit itu ke polisi. Lebih gila lagi, hampir saja Bella membelikan satu unit apartemen untuk Ruby, karena merasa si penguntit masih akan muncul lagi seperti di drama-drama yang ia tonton jika saja Ruby tak habis-habisan menolaknya.

Teman Ruby ini memang sultan, sih. Ruby kadang lupa hal itu.

"ck udah ah, pokoknya gue belom ada niatan pacaran buat sekarang. Titik. " Final Ruby.

Bella akhirnya menyerah. Ya, untuk sekarang. Dia hanya bisa geleng-geleng kepala seraya menyedot kembali minumannya.

"Eh Ru, gue ke toilet bentar ya, kebelet nih." Seru Bella tiba-tiba sambil terburu

menaruh kembali minumannya.

"Hm, sonoh sonoh. "

Ruby hanya menjawab malas sambil mengibas-ngibas tangannya. Sepeninggal Bella yang ke toilet, dia hanya memainkan ponselnya sebagai ganti teman mengobrol. Mengecek beberapa notifikasi, siapa tahu ada salah satu biasnya yang salah ketik nomor dan tersambung ke nomornya. Namun jelas itu tidak mungkin. Gebetan nyata saja Ruby tidak punya.

Pada akhirnya dia kembali melihat koleksi pria-pria tampan gepengnya di webtoon. Tapi baru beberapa menit ia men-scrol komik yang dibacanya, dia dikagetkan dengan seorang laki-laki tak dikenal duduk dihadapannya serta merta. Tepat ditempat Bella duduk sebelumnya.

Karena terkejut, Ruby sontak terperanjat dan hampir menyemburkan boba yang sedang dinikmatinya.

"Mulai sekarang, dengarkan perkataan saya." Ujar laki-laki itu pelan namun sangat tegas dan tajam.

Ruby jelas sangat kebingungan. Bahkan ia belum sempat bertanya apalagi mencerna situasinya saat ini. Tiba-tiba saja, seorang lelaki dengan pakaian serba hitam, lengkap dengan topi dan masker hitam duduk didepannya dengan gerak gerik sangat mencurigakan.

"Mohon maaf mas, kalo mau bikin konten jang- "

Cekrek!

Tidak. Itu sama sekali bukan suara rana kamera.

Belum selesai gadis itu protes, tangan laki-laki misterius itu terangkat seraya menodongkan revolver yang siap ditarik pelatuknya kearah Ruby. Mata Ruby membola. Jantungnya kontan terpacu lebih cepat. Apa-apaan orang ini pikirnya. Apa Ruby sedang ada di acara jebakan Ironman sekarang? Oh, kalau begitu mungkin saja sekarang disekitarnya sudah ada kamera tersembunyi. Dia harap sih begitu.

"L-lho lho lho! Mas jangan bercanda, ya. Anda siapa, dateng-dateng bersikap gak jelas kayak gini!" Ujar Ruby masih berusaha tetap tenang. Berbanding terbalik dengan suaranya yang terdengar panik. Bahkan, ia sengaja mengeraskan suaranya untuk menarik perhatian orang-orang. Walaupun Ruby tak tahu ini sungguhan atau ia memang sedang dijadikan bahan konten random, tapi yang jelas, mungkin laki-laki didepannya sekarang memang berbahaya.

Wajah yang hanya terlihat setengah dari tulang hidung yang cukup tinggi itu terlihat menatap lurus ke arahnya. Sorot matanya tajam dan dingin. Ruby merasa sedikit terintimidasi karenanya. Disaat seperti ini, kenapa Bella sangat lama sekali pergi ke toiletnya. Bella, tolongin gue, ada psikopet lagi, hiks~

"Apa sekarang gue kelihatan lagi bercanda, Ruby?"

Deg!

Ruby mengerjap beberapa kali. Apa ini? Orang itu tahu namanya dari mana? Otak Ruby mendadak sibuk memikirkan berbagai kemungkinan sampai rasanya hampir nge-hang. Ini gila. Masa di hari minggu seperti ini dia masih diikuti sama jurig sial, pikirnya

"I-ini gak lucu ya!! Sa-satpa-..."

DOR!!

"KYAAAAK!!!!"

saat itu juga, semua orang didalam kafe riuh, mencoba lari dan mengamankan diri ketika satu tembakan diluncurkan ke salah satu kaki kursi kosong di samping Ruby.

Tubuh Ruby membeku. Matanya membola melihat ke arah kaki kursi yang pata dengan sisa-sisa asap putih tipis disekitarnya. Mampus! I-itu pistol beneran?

Beberapa security sudah masuk dan mencoba mendekat. Tapi laki-laki berakaian hitam itu lekas mengikis jarak dan membuat ujung moncong pistol menempel di jidat mulus Ruby.

"masih keliatan kayak ngelawak, ya?" Gumamnya dengan nada mengejek.

"S-saya.. s- saya salah a-apa.." Gagap Ruby dengan tubuh yang mulai gemetar takut. Ia bahkan merasa hampir ingin kencing ditempat saking ketakutannya.

Mata lelaki itu melirik sekilas ke arah belakang tubuh Ruby. Entah apa yang dilihatnya. Ruby sama sekali merasa buntu karena terlalu takut. Ia tak bisa memikirkan apapun sekarang.

Tapi, beberapa detik kemudian...

PEREPEEEEEEPPP!!!! DUAAARRR!!!

"SURPRISEEEE!!!!"

Bella datang dari arah belakangnya dengan membawa kue tart strawberi. Bahkan sudah ada Karen, Hanin, Dimas, Melvin dan Cristian dibelakangnnya yang ikut menghamburkan confetti dan meniup terompet. Tak lupa mereka semua mengenakan topi kerucut yang terlihat kekecilan dikepalanya.

What the hell. Ruby sampai menganga. Otaknya kembali berputar kebingungan melihat situasi absurd sekarang. Jantungnya bahkan belum kembali berdegup normal gara-gara ditodong pistol laki-laki tak dikenal.

"HAPPY BIRTHDAY UBI CILEMBYUU KU YANG UNYUUU... "

Bella, Hanin dan Karen memekik heboh.

"GIMANA? HEBAT KAN SUSSURUPRISS GUA?" Tambah Bella lebih heboh dengan suara melengkingnya tanpa mempedulikan Ruby yang masih jadi patung ditempat saking kagetnya.

Dengan gerakan kaku, Ruby kembali menoleh ke arah lelaki didepannya yang sudah menurunkan pistolnya. Tapi Ruby tak melihat ada perubahan ekspresi dari matanya yang masih menatap datar. Orang itu bahkan belum juga membuka maskernya.

Karena tak kunjung mendapatkan respon dari Ruby, Bella menaruh kue tartnya dimeja dan menghampiri Ruby.

"Ru..?" Panggil Bella.

"hiks.. "

Isakan samar tiba-tiba saja keuar dari bibir gemetar Ruby. Mata Ruby yang memerah berkaca meloloskan air mata ke pipinya. Bella menaikan sebelah alisnya heran, walaupun belum menghilangkan senyum menyebalkan dibibirnya.

GEDUBRAK!!

"UBIII!! YAAMPUN!!"

Lagi-lagi, ketiga sahabatnya memekik heboh tak terkontrol.

Belum sempat Bella kembali bicara untuk menjelaskan, tubuh Ruby malah lemas dan terhuyung. Beruntung, pria bermasker tadi cepat tanggap dan refleksnya cukup bagus. Ia menangkap hanya dengan sebelah lengannya yang kekar tubuh Ruby yang kerkulai kesamping.

Rupanya, kejutan yang disiapkan Bella susah payah berhasil dan benar-benar mengejutan Ruby sampai gadis itu pingsan.

...〰️K i l l i a n〰️...

"Gimana ini Bell, kok dia belum bangun juga sih?" Ucap Hanin gusar.

Sekarang ini, mereka semua sedang berkumpul disatu tempat yang sudah direncanakan.

Tempat yang tak lain adalah panthouse milik Bella, yang rencananya akan dijadikan tempat untuk merayakan ulang tahun Ruby. Ya, Bella ini termasuk anak sultan ibu kota.

Tapi, justru dia sangat tidak suka tampil mencolok dan kerubuni teman-teman gadungan. Makanya, dia hanya memiliki sedikit teman sama seperti Ruby, dan salah satu sahabat terbaiknya ya Ruby sendiri. Tentu saja status dan latar belakang bukanlah masalah untuk Bella.

"Ini dia pingsan atau kebablasan molor sih. Uda hampir 5 jam lho ini? Kalo dia kenapa-napa gimana.. " Karen menimpali.

"Elu sih Bell, dapet ide gila kaya gini darimana coba? Kebanyakan nonton drakor unfaeda lu yaa..." Tambah Dimas ikut memanasi.

"Tau nih mentang-mentang sultan..satu kafe di mall disewa plus orang-orangnya cuma buat pura-pura kaget.. " Sahut Christian tak mau kalah.

Bella merengut tak suka dipojokkan teman-temannya. Dia yang sedari tadi duduk disamping Ruby yang masih tertidur, seketika berdiri dan menatap kesal mereka semua.

"Iiii, kok lo semua malah nyalahin gue sih!! Mana gue tau nih anak bakalan oleng. Kan lu semua juga ikutan ngeprank. Lu lagi Ren, tadi yang semangat pengen bikin Ruby termewek-mewek sampe ngompol di tempat siapa, hah!?" Sewot Bella tak terima dan menunjuk Karen yang beberapa jam lalu paling bersemangat dengan idenya.

"Yeee..kan gue cuma nyemangatin Bebel.." Sahut Karen pelan tapi juga tak mau ikut disalahkan.

"Ayaaaank... Mereka semua malah ngomelin aku masa, iiih!!"

"Dih, cepu!" Sindir Dimas.

"Hhh...uda uda, ah. Kasian Ruby entar malah tambah males bangun denger kalian ribut mulu." Jawab Melvin berusaha netral.

Bella mencebik. Mendengar jawaban kekasihnya yang sama sekali tak ada niatan membelanya. Walaupun sekarang bahunya sedang dirangkul lengan kekar favoritnya itu, Bella tetap merasa kesal karena Melvin tak menanggapi keluhannya.

Melvin tampak menghela napas melihat Bella yang sepertinya akan merajuk. Ekspresi teman-temannya juga belum begitu tenang, melihat sahabat mereka yang biasanya paling gila tiba-tiba saja pingsan. Walaupun Melvin dalam hati mewajarkan, sih. Siapa juga yang tidak shock, tiba-tiba ditodong senjata api tepat dikepalanya. Bella ini memang terkadang lain dari yang lain pikirnya. Dia juga sebernarnya setuju kalau ide pacarnya ini agak gila.

"Udah, kalian gak usah terlalu khawatir. Ruby cuma shock aja, plus kayaknya tuh anak emang kecapean. Gue uda suntikin obat tadi." Tambah Melvin.

Dari awal, Melvin dengan sigap memeriksa kondisi Ruby sekaligus memberi tindakan. Sebab, dia sendiri adalah seorang dokter spesialis. Inilah alasan kenapa mereka tak lantas membawa Ruby ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan Melvin, tidak ada hal serius yang terjadi pada Ruby. Dipastikan 100% dia hanya shock karena terlalu terkejut, ditambah kondisi fisiknya yang memang kelelahan.

Mereka semua akhirnya diam. Suasana mendadak jadi sangat sunyi dan beku. Ruang tengah penthouse Bella yang sudah dihias berbagai macam birthday stuff jadi tampak agak menyedihkan.

Balon-balon nitrogen berwarna pink dan ungu muda yang menempel di langit-langit, kue tart berbentuk bulatan bokong berpita dihiasi gambar bias-biasnya Ruby disekeliing kue yang teronggok dimeja, rumbai-rumbai berwarna metalik dan tulisan 'HBD mblo' dari balon foil yang terpampang di dinding.

Ditengah kebisuan mereka, tiba-tiba saja terdengar suara dari arah sofa.

"hhhh~ udahan ah capek gue pura-pura molor. Uda laper juga!"

Doeng!

Suara itu berasal dari mulut Ruby. Dengan santainya dia bangun dari sofa sambil meregangkan badannya.

"Anjir!" Gumam Dimas.

"Eh? " Karen dan Hanin yang kebingungan.

Mata Bella membola dan mulutnya menganga lebar. Dia sampai lupa caranya menjaga image, walaupun sudah tau dirinya pasti tetap cantik dimata Melvin. Tapi justru dia sekarang benar-benar terkejut.

"Ubi..." Gumamnya.

"UBIIIII! JADI DARI TADI LO CUMA PURA-PURA ANJIR??!" Hebohnya sambil terburu menghampiri Ruby dengan tangan yang sudah siap-siap melayangkan berbagai serangan.

Ruby yang menyadari sumber bahaya dari mak lampir bernama Bella, tentu saja tak diam dan langsung meloncat lincah dari sofa.

"AMPUN NYAIIII...EMANG ENAK GUE PRANK BALIK, WLEEE, AWOKAWOKWOK!!"

"ANJING, AWAS LU YA RUBLOK... GUA CINCANG LU JADI BAKSO BERANAK!!"

"Heh! Nenek lampir Bellasungkawa! niat banget ya lu ngeprank gue sampe nyewa aktor bermuka psikopet buat ngejedor pala gue?? Mentang-mentang holkay lu, seenak jidat mau bikin gue mampus gara-gara jantungan. Ultah gue uda lewat seminggu ngapain ngasi surpriss abal-abal gini woy.. "

Tak hanya adu mulut, Ruby juga sibuk membalas gebukan Bella dengan bantal sofa. Dan jangan lupakan tangan mereka yang saling mencengkram rambut satu sama lain layaknya adu mekanik ala emak-emak.

"Heh, biji rakun! Sembarangan aja lu kalo ngomong. Rencana gue uda terkonsep secara matang dan sistematis, ye. Jujur aja, lu tadi ketakutan kan sampe pengen ngompol dicelana?" Tukas Bella tak terima rencananya dibilang abal-abal.

Rubi sedikit terkejut. Ia merengut mengingat dia memang sempat shock ketika melihat peluru yang ditembakkan lelaki bertopi itu seperti peluru sungguhan. Tapi Ruby jelas tak mau mengakuinya. "MANA ADA!!" Sahutnya cepat.

Bella tersenyum remeh. "Aaah, ternyata lu juga tadi sawan ya. Sama gue juga kalap pas liat lu pingsan tadi hehe. " Kata Bella.

Akhirnya pertarungan berakhir. Mereka berdua bangkit dari posisi saling menyerang, kemudian saling merapikan rambut mereka yang berantakan.

"Happy birthday lagi ya mbeb. Moga abis ini lu dapet cowok real, bukan oppa-oppa halu ato cowok gepeng lu itu." Ucap Bella santai sambil memeluk Ruby hangat.

"Makasih, mak Bell. Gabut banget lu ya ngerayain ultah gue sampe dua kali gini. Tapi makasih, gue beneran terkejut tadi. " Sahut Ruby dengan cengiran khasnya.

"Yaa, soalnya kan kemaren yang ngerayain cuman kita doang ciwi-ciwi, belom ada party. Gue kepikiran bikin party kecil-kecilan sambil ngasi surprise spektakuler buat lo lah Ruuu."

Keduanya kembali akur dan berbincang normal seolah beberapa detik lalu tidak terjadi perang makian.

"Eh by the way, kok elu bisa dapet talent yang punya muka psikopet gitu, sih? Hebat bener, sultan emang beda ya. Sewa dimana? Jangan-jangan lu sampe hunting ke agensi di korea ya buat nyewa talent begitu? Anjay~ Gue sampe gemeter liat matanya doang, serem banget gilak. Mukanya yang ketutup masker sama topi, ngingetin gue sama si penguntit mesum brengsek yang dulu neror gue."

Ruby mengoceh heboh sambil ia bumbu-bumbui dengan kemampuan halu-nya yang menyangkut-pautkan dengan agensi korea. Meskipun hal itu memang mungkin saja Bella lakukan. Mengingat uang temannya terlalu banyak.

"Nih ya, tadiya, sebagai defends, gue mau sirem mukanya pake boba punya lo, tapi gue keburu liat bayangan lo bawa kue tart di asbak porselen yang di atas meja. Dari situ deh gue tau gue lagi di prank. Wkwkwk" Tanpa sadar, bibir Ruby terus nyerocos tanpa henti diakhiri gelak tawanya sendiri.

"Eh? Psikopet?" Bingung Bella seperti melupakan sesuatu

Semua orang hanya bisa mentaksikan interaksi keduanya tanpa niat menyela. Hanya dengan melihat battle legend-nya Ruby vs Bella saja sudah membuat mereka semua yang ada diruangan merasa lelah.

Dari battle saling gebuk dengan bantal sofa, adu jambak, sampai battle memaki dan mengumpat indah satu sama lain. Dan akhirnya, kedua gadis itu akan berpelukan sambil mengobrol tidak anggun seolah hanya ada mereka saja didunia ini.

Bagi Karen, Hanin, Melvin, Dimas dan Christian, hal mengerikan ini sudah sering mereka lihat. Bahkan mungkin mereka pernah menyaksikan yang lebih ekstrem dari ini. Tapi tidak untuk satu orang yang lain di ruangan itu.

Satu orang yang sejak awal tak mengeluarkan sepatah katapun. Sosok lain yang hanya diam terpisah di sudut ruangan sambil menghisap rokoknya santai.

"Astagaaah, gue sampe lupa ngenalin ke elu, Ubi!" Pekik Bella yang membuat Ruby mengernyit bingung.

Dia menarik lengan Ruby ke sudut ruangan yang agak sedikit jauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya. Sampai dimana tubuh Ruby menegang ketika berdiri tepat dihadapan seseorang.

"Nah. Kenalin nih, abang gua. Baru balik dari Belanda kemaren." Ucap Bella.

Tak ada respon dari Ruby. Malah raut mukanya menjadi tegang dan kaku. Tubuhnya juga malah kembali seperti patung kayu yang kaku.

"Eh? Tenang aja Ru, dia bukan psikopet beneran kok, walopun mukanya emang nyeremin gini." Tambah Bella yang menyadari raut tegang Ruby.

Padahal bukan itu yang membuatnya menegang. Sosok didepannya sekarang duduk santai tanpa mengenakan masker ataupun topi.

Demi apapun, Ruby ingin sekali menyumpal mulut Bella dengan kaos kakinya Dimas. Disaat seperti ini, kenapa Bella malah tidak peka dan terus mengoceh soal psikopat.

Berarti, sedari tadi orang itu menyaksikan ia mengumpat dengan kosa kata anggunya, plus mengatainya dengan sebutan psikopat dan brengsek mesum. Kayaknya gue layak dapet penghargaan di ajang 'mempermalukan diri sendiri'.

"Dia ini yang tadi nodongin p-pistol?" Gumam Ruby pelan tapi masih bisa didengar oleh Bella.

"Hooh. Ini abang gue, namanya Killian. A Ian ih! Ajak kenalan temen gue napa! Malah diem aja kaya rak sendal. " Sahut Bella pada laki-laki yang dia panggil 'A Ian'.

Ruby semakin merasa tak enak. Ternyata orang ini kakaknya Bella. Tamatlah riwayatnya, pikirnya. Sudah dipastikan kesan pertamanya hanya akan diingat sebagai ratu mengumpat. Walaupun kakaknya Bella berwajah datar nyaris tanpa ekspresi, siapa yang tahu mungkin saja saat ini laki-laki itu sedang menahan illfeel padanya.

Killian merubah posisi duduknya sedikit. Matanya menelisik wajah Ruby yang gugup dengan tatapan datar.

"Killian." Ucapnya singkat seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"..."

Ruby masih terdiam. Semua orang yang melihat sedikit keheranan. Namun semua menduga karena Ruby masih ketakutan melihat wajah datar Killian yang memang dingin dan agak menyeramkan. Apalagi setelah adegan menodongkan pistol di jidat jenong Ruby, pasti gadis itu masih sedikit ngeri melihat wajah Killian.

"Ru-Ruby."

Jawab Ruby. Sorot mata keduanya saling terkunci dengan berbagai definisi. Tidak ada yang tahu kecuali mereka sendiri masing-masing.

'Mampus lu Ruby...ini lagi abangnya Bella kenapa gantengnya kayak Jeon Jungook BTS, anjir! ' Sekilas dari berbagai teriakan dalam batin Bella. []

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!