NovelToon NovelToon

Hello, My Little Bride

01

"Apa yang sedang kau lakukan di sana?"

Suara seseorang membuat Dita berbalik badan, saat kedua kaki itu masih menyangga sepeda yang baru saja diberdirikan sebab terjatuh.

"Hah."

Belum sempat melihat keadaan kaki yang tadi tertimpa sepeda, Dita harus mendapati kedatangan seorang pria yang mengenakan jas hitam dengan dasi yang menggantung di leher. Bisa ia pastikan, itu adalah pemilik mobil yang tadi ditabrak olehnya.

Tidak langsung menjawab, sejenak Dita menyoroti pria yang bertubuh tinggi itu mengarah padanya.

Wajah yang tampan penuh kharisma bak seorang model ataupun aktor dari Negeri Ginseng, membuat gadis berumur 20 tahun itu membisu dan membelalakkan mata seketika.

"Kau membuat mobilku lecet?" katanya penuh tekanan.

Pria tersebut sudah sedikit membungkuk badan—memperhatikan bagian yang tadi di tabrak oleh Dita tanpa sengaja, tepatnya di badan bagian atas ban.

"Ma-maaf. Aku tak sengaja," ucapnya merasa bersalah, melupakan rasa sakit pada bagian kanan kanannya.

Pria itu menoleh. "Kau bilang tak sengaja? Lihat ... itu lecet."

Pria tersebut menunjuk ke arah goresan yang cukup panjang di atas sana dan bisa dilihat  dengan mata telanjang.

Dita menunduk wajah seketika. Sesaat manik hitam pria asing itu tampak tajam dan sangat mengerikan pastinya.

"Maaf," jawabnya merasa bersalah. "Aku tadi terburu-buru—"

"Maaf kau bilang?" pangkasnya dan kini berkacak pinggang sudah. Tatapan seperti burung elang yang hendak memangsa buruannya dilesapkan ke manik hitam milik Dita. "Kau pikir ... mobilku ini tidak dibeli pakai uang, ya?"

"Maafkan saya, Pak," ucap Dita merasa takut. 

"Apa barusan kau bilang?" tanyanya tak percaya. "Pak? Hey, aku ini bukan Bapakmu. Kenapa kau memanggilku, Pak?"

Seolah merasa tak terima, Dita melihat wajah pria di depannya itu tampak marah. Bukan apa-apa, Dita memang bisa memastikan pria di depannya tampak lebih tua dari dirinya.  Ya, memang dia bisa dikatakan tampan secara keseluruhan, tetapi Dita sangat yakin kalau umurnya dengan pria tersebut memiliki  perbedaan yang cukup jauh. 

"Hah, iya, Om. Maafkan saya," katanya lagi terdengar gugup.

"Om?"

"Lah, jadi aku harus panggil apa?!" Merasa tak sabar, Dita meluapkan rasa kesalnya kini. Bibirnya memberut sudah. 

"Asal kau tahu, aku ini masih single masih belum menikah. Jadi tolong matanya di sesuaikan lain kali."

'Songong sekali dia itu.'

"Tidak ada lain kali, 'kan? kita ini orang asing loh. Jadi, aku harus bagaimana soal mobil itu?" tunjuk Dita pada bagian mobil dengan memberutkan bibir.

"Bagaimana? Kau harus ganti rugi dong. Aku mau kau membayar kompensasi untuk perbaikan dari badan mobilku. Bisa kau lihat sendiri, bukan? Apakah ada kau lihat dari mobil ini tampak lecet pada body lainnya?"

Dita mengembungkan kedua pipi merasa tak terima akan ucapan pria itu. 

"Berapa biaya ganti ruginya?"

"Entahla. Kurasa kau harus ikut denganku untuk membenarkan mobil ini. Jadi, kita sama-sama mengetahui berapa biaya pastinya di bengkel tempat langgananku," jawabnya dengan bersuara serius.

"Hah? Tidak akan!"

Kening pria tersebut berkerut. "Apa kau bilang?"

Mendapat penolakan dari Dita, pria tersebut merasa Dita tidak kooperatif. Pria itu hanya ingin Dita bertanggung jawab akan kerusakan yang telah dibuat olehnya tadi. 

"Apa kau ingin kita menyelesaikan semua ini melalui jalur hukum?"

"Jalur hukum? Apa itu tidak berlebihan? Hanya satu goresan." Dita malah merasa kesal mendengar ucapan yang dikeluarkan oleh pria itu. "Untuk saat ini aku belum punya uang. Bagaimana kalau kita bertemu kembali di sini besok?" 

"Kau menawar?"

"Tidak," jawab Dita dengan menggelengkan kepala.  "Aku ini hanya seorang mahasiswi. Ya, jadi tidak punya uang untuk ikut bersama Bapak ke bengkel tempat yang tadi Bapak maksud."

"Bapak?"

"Tolong berikan nomor ponselmu. Jika besok aku sudah sampai di sini, aku akan memberikan uang perbaikan."

Wajah Dita menampilkan kesungguhan yang tidak dibuat-buat olehnya. 

"Berikan saja nomor ponselmu," ucapnya sudah merogoh saku jasnya. "Kau membuang waktuku. Kau pikir aku ini seorang pengangguran?"

Mulutnya terus berbicara sesaat menggenggam ponsel yang baru saja diambil olehnya dari dalam saku. 

Dita pun mulai menyebutkan nomor ponselnya. Pria itu, dia dengan santai menyentuh layar untuk mengetikkan nomor Dita. 

"Aku akan meminta bawahan ku datang ke sini untuk menagih janjimu di jam yang sama seperti hari ini," katanya seraya menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celana. 

Dita pun mengangguk kepala. 

Tidak ada lagi yang hendak dibicarakan. Sempat melirik kesal ke Dita, pria asing itu membawa langkah sebelum terhenti mendengar seseorang mendekat.

"Ada apa denganmu, Dita?" Pria bernama Lerry datang menghampiri, melewati posisi Pria si pemilik mobil.

"Kak Lerry?"

"Ada apa denganmu, Sayang? Kau terluka?" tanyanya dan setengah duduk di hadapan Dita.

"Hah, i-iya, Kak. Aku tak sengaja tadi menabrak  batu dan terjatuh," adunya dan mendapati tolehan pria asing di depan sana. "Ini akan sembuh."

"Ini berdarah. Kembalilah ke dalam. Aku akan meminta Cika membantumu di sana," perintah Lerry.

"Tidak usah, Kak. Aku kembali ke kos-an kusaja. Aku yang akan mengobatinya sendiri," tolak Dita dengan suara manjanya.

Lerry berdiri. Pria itu tatap Dita penuh kehangatan.

"Apa kau tidak ingin tinggal selagi Kakak datang, Sayang?" 

Dita menundukkan wajah sejenak.

"Aku yang akan mengantarmu pulang," katanya lagi. "Lihat saja sepedamu. Bannya tampak rusak."

Dita segera memandang ke arah ban. Ban itu memang rusak. Peot bagian lingkarnya.

Melihat dan mendengar obrolan keduanya, pria asing tersebut tak sengaja mendapati tatapan Dita yang terarah padanya. Diikuti oleh Lerry pula. 

Bergegas pria asing itu melanjut langkah, mengitari badan mobil untuk masuk ke dalam jok kemudi.

"Pulanglah, Dita. Kakak sangat merindukanmu," kata Lerry, menarik kembali atensi Dita. 

Maju dua langkah, Lerry menyentuh kepala Dita dan mengusap sayang di atas sana.

"Mama sama Papa juga rindu, Dita. Kau jarang pulang sejak memutuskan untuk pindah ke kost-an. Apa sesuatu sedang menimpamu?"

Dita menggeleng. "Tidak, Kak. Dita hanya fokus sama kuliah. Bukankah adikmu ini sedang mengulang?"

Terpaksa Dita berbohong. Padahal, sejak Lerry memutuskan menikah dan tinggal bersama orang tua angkatnya, Dita memilih ngekost di daerah yang tak jauh dari kampusnya.

Ya, gadis bernama panjang Dita Widjaja adalah anak angkat dari keluarga Widjaja. Dan Lerry, pria itu adalah cinta pertama dalam hidupnya. 

Sangat amat disayangkan, Lerry yang memilih berkuliah di Amerika dipertemukan dengan sosok gadis yang sama-sama merantau ke negara asing demi menuntut pendidikan di jenjang perkuliahan.

Dan pada akhirnya, Lerry mempersunting gadis yang dipacarinya selama 4 tahun itu sebagai istri.

"Kau pasti bisa di wisuda tahun depan. Jangan takut. Kakak akan mengajarimu asal kau mau kembali tinggal di rumah kita. Bagaimana?" tanya Lerry penuh semangat.

Dita tersenyum. "Aku harus memikirkannya terlebih dulu, Kak."

Obrolan keduanya masih didengar oleh pria asing yang sejak tadi duduk di dalam mobil. Tanpa Dita dan Lerry ketahui, pria itu mengamati sejak tadi.

"Baiklah. Kalau begitu … sekarang ikut Kakak dan obati lukamu," katanya membuat Dita mengangguk.

Kepergian mereka menyisakan tanda tanya dari pria berumur 35 tahun bernama Aden Sugianto.

Bersambung.

***

02

Sebelum membaca tolong tulis ulasan di kolom bintang 5 di halaman depan, ya. Tolong kerja samanya untuk like, komen, bintang 5, serta masukkan judul ini ke dalam rak buku kalian. Terima Kasih.

...****************...

"Kenapa Dita kembali?" tanya Cantika, Ibu dari Lerry Widjaja.

Tampak Lerry berjalan bersama dengan Dita dengan merangkul pundak dari adik angkatnya itu memasuki ruang VIP Rumah Sakit.

Cantika sendiri sedang terbaring di atas ranjang pasien dengan selang infus di atas pergelangan tangan. 

Aku bertemu dengan Dita di parkiran, Ma," jawab Lerry membawa Langkah mendekati sang Mama.

Senyum mengembang di bibir wanita paruh baya berumur lebih 50 tahun. 

"Mama tadi sudah bilang sama Dita Kalau sebentar lagi kamu pasti akan datang ke sini. Tapi Dita bilang dia ada keperluan  di luar. Jadi, tidak bisa menunggu kamu. Eh, ternyata kalian ketemu di luar."

Dita sejenak membisu merasa kedapatan kalau dia sedang menghindar dari Lerry. Akan tetapi, Lerry malah tersenyum merekah saat menatap sang Adik yang berdiri tepat di sampingnya dengan memandang malu ke Mama Cantika. 

"Tetapi nasib berkata lain ya, Ma? karena tadi Dita jatuh di jalan dekat parkir mobil dan kakinya itu berdarah. Syukurnya ... aku datang pas di saat yang tepat. Dita sudah kuobati, Ma," katanya lagi dengan bangga.

"Dita," panggil Mama Cantika yang langsung mendapatkan tatapan dari Dita. 

"Ya, Ma?" jawabnya kemudian.

Perlahan tangan sang Mama terangkat untuk menyentuh punggung tangan Dita yang berada di atas sisi ranjang. 

Wanita tersebut memandang kehangatan ke arah manik teduh milik Dita. 

"Sebaiknya Dita pulang dan kembali tinggal sama kami karena Mama sepertinya tidak bisa tidur tenang setelah Dita jauh dari kami semua. Papa juga ingin kamu kembali ke tempat asalmu, Nak. Dita 'kan tahu kalau kami ini benar-benar sangat menyayangi kamu meskipun kamu hanya anak angkat Mama. Tapi Mama sudah merawat Dita sejak Dita lahir loh. Kembalilah, Sayang," ucap Mama Cantika penuh harap.

Dita merasa tidak berguna jika ia terus menolak  permintaan sang Mama yang berulang kali memintanya kembali di kala jumpa. 

Keluarnya Dita dari rumah keluarga Widjaja memang bukan tanpa alasan dan memang bukan hanya karena Lerry menikah dengan kekasihnya. Hanya saja, Dita selalu mendapatkan kebencian dan ancaman Kakak iparnya, yaitu Istri Lerry sehingga ia memilih ngekost.

"Yang dikatakan Mama itu ada benarnya, Sayang," ucap Lerry kini mengusap sayang kepala Dita. "Sebaiknya, Dita kembali pulang dan tinggal di rumah kita tempat di mana kami memberikanmu kasih sayang penuh seperti keluarga sendiri. Dita jangan pernah merasa menjadi asing. Mama Cantika dan Papa Louis itu adalah orang tuamu. Dan Lerry, aku ini Kakakmu. Orang tua mana dan kakak mana yang tidak kepikiran dan sedih melihat adik semata wayangnya atau anak perempuan semata wayangnya berada di luar sana tanpa pantauan kami, Sayang. Dita tidak boleh merasa asing," jelasnya panjang lebar.

"Kamu nggak kasihan sama Mama, Dita, kita sudah berapa kali ketemu saat Mama terbaring di rumah sakit? Dita seakan-akan sedang menjahui Mama dan yang lainnya," kata Mama Cantika merasa sedih.

"Bukan gitu, Ma," katanya membuka suara dan merengek sedih. Air mata pun menetes sudah. Dita bergerak pindah ke sisi kanan sang Mama dan duduk bersandar memeluk tubuh Cantika penuh sayang. "Dita tidak pernah berpikir untuk menjauhi Mama atau yang lainnya. Dita hanya ingin menjadi anak yang tidak bergantung pada orang tuanya saja. Dita hanya ingin mandiri, Ma," tambahnya, merasa sedih.

Mama Cantika yang sudah menempelkan kepala di sisi kepala Dita, kini mengangkat tangan mengusap lembut pipi sang putri.

"Ya, Mama paham. Mama tahu kalau selama ini kamu sedang bekerja di toko roti dekat kampusmu, 'kan?" Mama Cantika kembali memberitahu dan membuat kedua anaknya terkejut.

"Kerja?" tanya Lerry dengan suara kagetnya.

Mengangguk kepala, Mama Cantika melesatkan tatapan ke arah Lerry. "Bener,  Lerry. Selama ini, Dita bukan hanya keluar dari rumah kita, tapi dia juga bekerja di luar sana."

"Astaga, Dita," kata Lerry menyesalkan perbuatan Dita itu. "Selama kau di luar sana, aku yakin kebutuhanmu sudah terpenuhi dari Mama dan Papa. Begitu juga dengan kakak yang mengirimkan uang jajanmu setiap bulan. Lalu, Kenapa harus bekerja sendiri? Kau harus fokus dengan kuliahmu, Dita."

Ada kekecewaan yang ditampilkan oleh Lerry di raut wajah tampannya.

"Sudah aku katakan, Kak, aku tidak mau terus bergantung pada kalian," jawabnya sudah tertunduk takut.

"Tapi kami ini keluargamu, Dita," kata Lerry merasa tak suka. "Kalau kau bisa beranggapan seperti itu, bagaimana kalau sekalian saja kau tidak menganggap Kakak?"

Refleks Dita mengangkat wajah. Menatap Lerry penuh kaget, Dita merasa takut sekarang.

"Lerry," tegur Mama Cantika.

Dita tak bisa menahan air mata saat sang Kakak tampak marah. 

"Biarin aja, Ma. Dita sendiri 'kan yang nggak mau menganggap kita ada?"

"Bukan begitu, Kak," ucapnya kini sesenggukan. "Dita nggak pernah berkata kayak gitu."

Dita kembali menundukkan wajah dan menangis. Mama Cantika langsung mengusap pundaknya untuk menenangkan. 

Lerry malah tak tega melihat air mata sang adik tumpah setelah mereka tidak bertemu beberapa bulan. Sebab memang, Dita selalu menghindar untuk ketemu.

Merasa tak tega, Lerry mendekati tubuh sang adik dan menariknya ke dalam dekapan.

"Maafkan Kakak, Dita," ucapnya mengusap puncak kepala Dita. "Kakak hanya ingin kau itu berpikir. Betapa banyak yang sayang denganmu. Dan itu tulus dan murni, Sayang. Kenapa harus memilih bersusah sendiri di kala semua keluargamu berkelebihan. Kau memilih susah. Benarkan?"

Dalam dekapan sang Kakak, Dita mengangguk kepala.

"Dita yang salah, Kak."

Baru mendengar jawaban Dita, di depan sana tampak daun pintu terbuka. Mama Cantika maupun Larry sama-sama menoleh ke arah yang sama.

"Cika?" Mama Cantika bersuara.

Refleks, Dita menarik tubuhnya dari kedua tangan sang Kakak. Lerry kaget mendapati reaksi spontan dari adiknya itu.

"Hay, semuanya," jawab Cika dari sana. "Kau sudah datang, Lerr?" tanyanya seraya menutup pintu kamar.

"Kau dari mana, Cika?" Lerry menyambut kedatangan sang istri.

Dita berdiri kini.

"Ma, Kak," katanya dengan cepat. "Dita izin pulang dulu, ya?"

"Kamu tidak menyapa Kakak iparmu, Sayang?" tanya Mama Cantika lagi.

Dita yang sempat menundukkan wajah dan mendapati tatapan Lerry, seketika langsung menoleh ke arah Cika yang memasang senyum palsu di samping Lerry.

Dita sedikit menggerakkan kepala sebagai sapaannya. "Hallo, Kak."

"Hallo, Dita. Apa kabar?"

"Kalian tadi tidak bertemu?" tanya Lerry bingung.

"Dita hanya sebentar dan terburu-buru, Lerry," jawab Mama Cantika. "Sedangkan Cika, tadi dia dipanggil dokter."

"Oooo. Lalu, bagaimana kau akan pulang? Kakimu terluka dan ban sepedamu rusak, Sayang," ucap Lerry membuat sang istri tak suka atas perhatiannya ke Dita.

"Aku akan naik angkutan umum dan nanti aku akan meminta temanku untuk membawanya ke bengkel sepeda, Kak," jawab Dita.

"Lebih baik, Lerry saja yang mengantarkan Dita," itu perintah. "Sebelum Lerry mengantar Dita ke kosannya, Mama ingin Dita pulang ke rumah hanya untuk makan siang di rumah kita."

Dita langsung memandang kaget ke sang Mama.

"Ini perintah, Dita. Mama gak ingin kamu menolak. Mama lihat, Dita sekarang sangat kurus."

"Ma," ucap Dita menimpali.

"Baiklah, Ma. Biar Lerry bawa Dita pulang, ya? Dan Cika, tolong temani Mama dulu sebelum aku tiba di sini."

"Baik, Lerry," jawab Cika tak berani menolak.

"Ayo, Dita," ajak Lerry, yang langsung merangkul pundak sang adik.

Mau tak mau, dengan sangat terpaksa Dita  menerima dan mengikuti langkah yang sama dengan Kakaknya setelah izin pada ipar dan Mamanya untuk kembali pulang.

Bersambung

***

03

"Bagaimana ini?" tanya Aden pada mobil mewah berwarna hitam metalik keluaran terbaru dan terbatas.

"Kau sedang apa di sana, Den?" Seseorang lainnya datang dari pintu masuk.

Aden menoleh ke kanan dengan mata yang disipitkan. Sebabnya, matahari sedang terik-teriknya menyinari bumi siang itu.

"Itu … mobilku lecet, Jack," katanya sudah berkacak pinggang sambil membenarkan posisi berdiri sedikit menekuk kaki kanan. "Ada anak kecil yang sengaja jatuh di depan body mobilku. Ini gila!"

Pria bertubuh tinggi bernama Jacky Sugianto tak kalah ganteng dari Aden sedang menuruni anak tangga halaman rumah mewah milik keluarga Sugianto dengan memandang ke arah Aden yang berputus ada di depan mobil barunya.

"Seorang anak kecil?"

Aden kembali menoleh serta mengangguk. "Lebih tepatnya seperti itu. Bagiku dia anak kecil."

"Gadis maksudmu?" Jacky sudah berdiri di samping kanan Aden dan memandang ke tempat yang sama seperti sepupunya itu.

"Hemmmm. Gadis kecil. Katanya dia seorang mahasiswi. Aku meminta ganti rugi dengannya, Jack," adunya.

Jacky tersenyum disusul dengan tangan yang bersedekap di atas bidang dadanya.

"Cantik tidak?" 

Sejurus kemudian, Aden langsung melesatkan tatapan nanar ke arah Jacky.

"Sebaiknya … kau itu belajar yang banyak soal perusahaan. Agar kau dan aku bisa membesarkan kerja keras Kakek selama ini. Kepalamu itu hanya diisi dengan wanita saja!" maki Aden kesal.

Jacky tertawa renyah. "Daripada kau! Kau itu pria kaku yang sama sekali tak pernah pacaran. Jatuh cinta pun tak pernah. Isi kepalamu hanya pekerjaan saja. Tidak tahu malu!"

Aden mengangkat tangan seolah ingin memukul kepala Jacky yang langsung menghindar.

"Kau ini!"

Masih tertawa, Jacky mengolok-ngolok Aden yang kembali memandang pada body mobil kesayangannya itu.

"Jangan tertawa! Aku benar-benar sedang kesal hari ini."

"Kau ini! Kau tinggal meminta ganti rugi dengannya. Mengapa kesal sendiri?" ucap Jacky setelah menyurutkan tawa.

Aden menghembuskan napas panjang.

"Kurasa … dia tak bisa mengganti rugi body mobilku. Dia itu masih anak-anak. Dan kau tahu betapa rendahnya mobil mahalku ini dibuatnya?"

Kedua orang itu saling tatap satu sama lain. Jacky sudah menggeleng kepala.

"Tidak tahu. Apa yang membuat mobil itu rendah?"

"Dia menabrak mobilku dengan sepeda bututunya! Sialan," ucapnya masih kesal.

"Hah, jadi bukan mobil mewah atau sejenisnya, ya? Kalau begitu … kau ikhlaskan saja."

"Tidak akan!" kata Aden semakin kesal.

"Kau ini perhitungan sekali dengan anak kecil! Ya sudah. Kalau begitu, kau bisa langsung menuntut ke orang tuanya. Kau punya nomor hapenya, 'kan?" 

"Punya," jawabnya santai.

"Kalau begitu … telepon saja. Tanyakan padanya alamat rumah dia di mana. Kau datangi orang tua anak itu dan mintalah ganti rugi," kata Jacky bersiap meninggalkan Aden. "Hah, aku akan ke rumah sakit sebentar lagi. Kau di rumah, bukan? Kalau begitu … tolong kau bawa Milo berjalan-jalan di seputaran komplek."

Setelah mengatakan semua itu, Jacky meninggalkan Aden yang tampak masih kebingungan.

Mengusap kening yang berisi peluh, Aden berniat meninggalkan lokasi di mana mobil terparkir di depan teras rumah.

Sempat melirik pada bagian yang lecet itu, ia meringis seperti tak tega saja mobilnya terluka. Ada raut kekesalan di wajah.

"Aku harus menuntuk anak kecil itu untuk membuat si hitam kembali molek," katanya dan berlalu masuk ke dalam rumah.

Jan lupa tinggalkan ulasan bintang lima dan likenya, ya. (iklan)

Sudah selesai bersih-bersih, Aden langsung keluar dari rumah untuk membawa hewan peliharaannya bernama Milo itu berjalan santai. Setelah tadi langit tampak terang, kini  ruang luas yang terbentang di atas bumi itu sudah terlihat teduh.

Membawa turun kaki dari atas tangga menuju lantai 1 yang tampak sunyi, kini kakinya menuju taman belakang di mana Milo memiliki rumahnya sendiri.

"Hai, buddy," sapa Aden pada hewan kesayangannya berjenis Golden Retriever yang kini bergerak heboh melihat kedatangan majikannya tersebut. Tampak ekornya dikibas-kibaskan sesaat Aden mengelus kepala serta wajahnya. "Ayo, kita akan berjalan-jalan dulu sebelum aku membuat perhitungan pada anak kecil tadi."

Membawa Milo keluar dari taman belakang rumah menuju gerbang di depan, Aden yang mengenakan kaos putih oblong serta celana ketat pendek berwarna hitam dengan sendal jepit berwarna putih, merasa senang memiliki waktu untuk sekadar berjalan-jalan di seputaran komplek mewah yang diisi oleh banyaknya pengusaha.

Ya, Aden memang tinggal sejak lama bersama Kakeknya. Hidup tak punya kedua orang tua, Aden memang dibesarkan hanya dengan cinta seorang Kakek dan Nenek kala itu. 

Kedua orang tua Aden meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan tunggal dan merenggut nyawa keduanya saat Aden berumur 7 tahun.

Sedangkan sang Nenek, meninggal dunia ketika Aden berumur 12 tahun yang disebabkan oleh komplikasi penyakit.

Tinggallah Kakek Devan Sugianto. Pengusaha makanan terkenal dengan kekayaan yang cukup membuat Aden hidup dalam berkelimpangan harta.

Namun, seorang Aden bukanlah hidup dengan menumpang saja. Sang Kakek merubah pria berumur 35 tahun itu menjadi penerusnya setelah dia tiada. 

Dan pada akhirnya, Aden hanya sibuk dengan belajar yang berujung dengan pekerjaan. Jacky-lah yang selalu menemaninya tinggal bersama sang Kakek. 

"Milo!" teriak Aden, sesaat tali pegangannya lepas, ketika gukuguk berbulu lebat berwarna kuning itu tak sengaja menyentak dan berlari ke sembarang arah.

"Astaga, Milo!" 

Aden berlari untuk mengejar hewan berkaki empat itu. Tapi sayangnya, Milo semakin berlari ke jalan meskipun majikannya itu memanggil dan mengejarnya.

Sampai di tekongan perumahan yang menghubungkan dengan perumahan lainnya, Aden tak sanggup lagi. Ia setengah menunduk dengan kedua tangan berada di atas lutut. Napasnya naik turun. Dada pria tegap itu pun kembang kempis mengatur napas.

"Milo! Aku sedang tak butuh olahraga hari ini," gumamnya dan kembali melanjutkan larinya dengan rasa berat.

"Anj*ing!" teriakan itu membuat Aden menuju ke arah suara.

Berlari dengan cepat, Aden tak ingin mendapat masalah di hari yang sama. 

Apakah ini hari penuh sial untuknya?

"Pergi sana!"

Suara teriakan yang mengandung ketakutan dengan suara gonggongan dari hewan peliharaan Aden semakin membawa kedua kaki Aden yang berlari menuju salah satu lahan kosong yang ditumbuhi dengan pepohonan rindang.

Melihat seorang anak perempuan tengah memanjat pohon dan digonggong oleh Milo, sontak saja Aden memacu kecepatan untuk mendapati Milo.

"Dasar kau, Milo! Jangan seperti ini!" Marahnya dan menggenggam tali yang terikat di leher Milo.

"Sana pergi!" rengek anak tadi masih tak melihat ke belakang.

"Sudah. Dia sudah kupegang. Kau boleh turun," ucap Aden mendapati tatapan ketakutan dari atas sana.

Melihat wajah perempuan itu meringis serta takut, Aden langsung terlonjak kaget. Pun dengan perempuan yang setengah naik memeluk pohon.

"Kau?!"

"Kau?!"

Sontak keduanya merasa terkejut. Dan mereka kembali dipertemukan dengan masalah masing-masing.

Bagaimana permisa?

Bersambung

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!