“Aku gak bisa, Tari! Aku gak bisa!”
Mata itu hanya mampu menatapnya tak percaya. Mendengar pengakuan yang dilontarkan pria yang paling dipercaya, membuatnya tak bisa langsung terima begitu saja. Apalagi pengakuan yang terlontar itu cukup mengejutkan dan sangat menghancurkan hatinya. Sesuatu yang sering kali jadi pertanyaan, namun mendapat jawaban yang sama yang begitu menyakitkan.
“Kenapa, gak bisa?”
Pertanyaan dengan nada lirih itu terlontar dan helaan napas kasar pun terdengar.
“Tari, kamu tahu aku. Pernikahan gak pernah ada dalam list kehidupanku, aku bahkan gak pernah sekalipun terpikir untuk menikah.”
“Iya, aku tahu kamu gak percaya pernikahan. Aku tahu itu. Tapi, kenapa, Ga? Kenapa kamu gak bisa menikahi aku? Kenapa?” Kesal rasanya saat pertanyaan yang sama belum juga mendapat jawaban. “Kamu bilang kamu cinta aku, kamu sayang aku, aku adalah milik kamu. Tapi, kenapa kamu gak mau nikahin aku?”
Angga Wijaya Hiro, pria berumur 27 tahun yang merupakan seorang pengusaha. Memiliki wajah tampan dan rupawan, berkharisma juga berasal dari keluarga yang cukup ternama. Hatinya sudah dia jatuhkan pada perempuan di hadapannya yang hanya terpaut usia 3 tahun, Mentari Sukmajati namanya. Perempuan cantik, berpendidikan dan juga pribadi yang mandiri. Berasal dari keluarga yang menengah, status sosial keluarganya berada dibawah keluarga Angga. Hubungan mereka sudah terjalin hampir 7 tahun lamanya. Cinta yang bersemi di bangku sekolah itu mampu bertahan sampai sekarang, mungkin?
Angga berdecak pelan, dia memutar jengah bola matanya. “Itu beda cerita, Tari. Aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu dan kamu milik aku, itu benar adanya. Tapi, untuk menikah? Tar... Aku gak pernah berpikir untuk menikah.”
Mentari tertawa sumbang, “Jadi, kamu gak serius sama aku gitu?” tukas Mentari, dia menatap tajam Angga. “Kamu main-main sama aku selama ini? Jadi, cinta, kasih sayang, semua perhatian, kata-kata cinta dari mulut manis kamu itu, palsu? Iya?”
“Kamu apaan sih? Kenapa merembet gitu?”
Mentari berdecak, dia beranjak dengan kasar dari duduknya. “Emang itu kenyatannya! Kamu tuh gak serius sama aku!” tatapan tajam Mentari layangkan pada Angga yang masih duduk ditempatnya. “Kalau tahu gini, ngapain kita lanjutin hubungan kita? Mending kita—”
“Sekali kata laknat itu keluar dari mulut kamu. Aku bisa berbuat banyak hal.”
Ancaman, selalu ancaman yang dilontarkan Angga setiap kali Mentari hendak melontarkan kata putus untuk hubungan mereka. Dan, ancaman Angga ini bukanlah omong kosong. Banyak hal yang bisa pria itu lakukan, memanglah benar adanya. Terakhir kali Mentari meminta putus pada Angga saat hubungan mereka menginjak satu tahun lamanya, pria itu nekat melakukan aksi yang tak disangka-sangka. Membuat acara di area kampus hanya untuk meminta Mentari kembali padanya. Angga memang tak pernah main-main dengan ucapannya.
Namun, sayangnya tidak untuk kali ini. Mentari tak akan peduli dengan apa yang akan dilakukan pria itu nantinya saat kata putus dia lontarkan. Dia sudah lelah dengan semua ini. Dia ingin semuanya ini berakhir.
Mentari tersenyum pahit, terasa sekali kekecewaannya kini. “Seharusnya aku sadar dan tahu diri, kamu gak mungkin mau serius sama aku. Kamu cuma jadiin hubungan kita ini main-main aja. Harusnya aku sadar dari dulu, dari semenjak kamu tiba-tiba jadiin aku pacar kamu.” ucap Mentari, dia tertawa sumbang.
“Tar, gak kayak gitu. Aku—”
“Angga Wijaya Hiro. Aku, Mentari Sukmajati, perempuan yang kamu pacari 7 tahun lamanya. Hari ini, detik ini juga aku mau hubungan kita selesai. Kita gak pacaran lagi dan aku mau kita putus!”
...***...
‘Seriusan kak Tari putus dari kak Angga?’
‘Tar, ini bukan april mop kan? Mana mungkin lo putus dari Angga.’
‘Kabar lo putus sama Angga, itu cuma prank kan?’
‘Tari sayang, kamu beneran putus sama my Angga?’
‘Seriusan lo putus sama Pak Angga?”
‘Lo putus sama pak bos?’
Mentari mendengus kesal saat isi pesan yang dia dapat menanyakan hal yang sama. Apa putus hubungannya dengan Angga adalah sesuatu yang aneh atau bagaimana? Sehingga membuat orang-orang tak percaya dan banyak bertanya untuk memastikan kebenarannya. Padahal putusnya sebuah hubungan adalah sesuatu yang wajar, ditambah status mereka ini hanya pacaran, bukan status serius yang sampai berhubungan ke arah jenjang pernikahan.
“Apaan sih orang-orang. Lagian, kayak gak pernah lihat orang putus aja deh.”
Bruk!
Pintu yang dibuka secara tiba-tiba serta kasar sehingga menimbulkan suara yang cukup menggema membuat Mentari menoleh seketika. Dia terkejut bukan main, namun langsung mendengus kesal saat melihat siapa pelakunya.
“Apaan sih lo, Yu! Datang tiba-tiba pakai acara banting pintu segala. Ngagetin gue tahu, gak sih!”
Ayumi Sekar, biasa dipanggil Ayu itu merupakan teman dekat sekaligus rekan kerja Mentari di perusahaan. Mereka berteman sejak masih duduk dibangku sekolah sampai akhirnya dipertemukan dan dipekerjakan di perusahaan yang sama dengan posisi yang sama pula. Bedanya, lama kerja mereka di perusahaan terpaut 2 tahun sehingga bisa dibilang Mentari adalah senior Ayumi di perusahaan.
Ayumi bergegas menghampiri Mentari, dengan raut wajah tak percaya dia mendekap erat kedua pundak Mentari. “Bilang sama gue kalau kabar lo putus sama Angga itu gak benar. Iya, kan?”
Mentari memutar jengah bola matanya, untuk kesekian kalinya pertanyaan itu terlantar kembali. Dia melepaskan tangan Ayumi dari pundaknya, menatap malas perempuan itu. “Emang salah, ya kalau gue putus sama Angga? Enggak, bukan?” tukas Mentari, dia berdecak pelan.
“Jadi, itu beneran?”
“Menurut lo?”
Ayumi mendesah pelan, dia mengerucutkan bibirnya, kekecewaan tersirat jelas diwajahnya. “Siapa yang mutusin?” tanya Ayumi.
“Gue.”
“Bego!”
Mentari membulatkan matanya mendengar umpatan dari Ayumi, “Heh, mulut lo!”
“Ya, emang lo bego! Pacaran udah lama, bertahun-tahun dan lo justru minta putus?” Ayumi ternganga tak percaya, dia menggeleng heran. “Otak lo dimana sih? Dipakai gak itu otak?”
“Loh, kok lo jadi ngata-ngatain gue sih?!”
“Ya emang itu kenyataannya.”
Mentari mendengus marah, dia tak terima dengan cemoohan Ayumi. “Bakalan lebih bego lagi kalau gue mempertahankan hubungan yang gak jelas bakal dibawa kemana akhirnya.” ucap Mentari, dia menatap lekat Ayumi yang juga sama menatapnya.
“Maksud lo?”
Mentari menghela napas kasar, dia beranjak dari duduknya kemudian berjalan kearah jendela kamar, menatap keluar. “Lo pikir aja, Yu. Gue sama Angga pacaran bertahun-tahun, tapi sampai sekarang dia gak kasih kepastian apapun sama gue. Jangankan ngomongin married, ajak gue tunangan aja, dia enggak tuh.” tukas Mentari, kecewa sekaligus kesal masih dia rasakan jika mengingat kekasih—mantan kekasih maksudnya.
“Jadi, karena Angga gak juga nikahin lo, lo minta putus sama dia. Gitu?”
Mentari mengangguk saja menjawab pertanyaan Ayumi.
“Tar, harusnya lo tuh omongin ini semua sama Angga. Ajak dia diskusi masalah ini, bukannya malah putusin dia. Lo pikir—”
“Lo pikir gue gak obrolin ini sebelumnya? Berkali-kali gue bahas hal yang sama sama dia. Tapi, jawabannya apa? Sama, dia gak bisa nikahin gue. Dia gak mau married sama gue.”
Ayumi menghela napas kasar. “Gue jadi bingung harus dipihak siapa.”
Mentari membalikkan cepat tubuhnya, “Ya, dipihak gue lah. Udah jelas-jelas disini yang paling sakit hati itu gue, yang sahabat lo juga gue kan. Jadi, lo harus di pihak gue. Jangan mentang-mentang dia bos kita, lo jadi mau dipihak dia.”
“Nah, itu Tar masalahnya!”
Mentari mengerutkan keningnya.
“Angga itu bos kita. Lo putus sama dia, itu nanti apa kabar di kantor? Gak bisa kebayang rasanya kalau gue jadi lo yang harus ketemu mantan yang ternyata bos lo sendiri.” Ayumi terdiam, membayangkan dan bergidik ngeri. “Lo gak takut apa kalau nanti lo dibuat gak nyaman di kantor?”
Mentari jadi ikut terdiam, memikirkan ucapan Ayumi. Angga dan segala tingkahnya memang luar biasa, ancaman yang pernah pria itu lontarkan pun bukan hanya omong kosong. Akan bagaimana Mentari nanti dikantor saat bertemu Angga? Apakah pria itu akan melakukan hal gila atau justru sebaliknya?
Melihat diamnya Mentari membuat Ayumi semakin meringis pelan, “Tuhkan, lo aja mikirin bakalan gimana nanti di kantor. Udahlah, lo minta balikan aja sama Angga. Omongin semuanya baik-baik.”
“Dih, ogah! Males banget kalau harus balikan sama dia. Kalaupun nanti dia buat gue gak nyaman di kantor, ya, gampang aja. Gue tinggal resign.”
“Ya ampun, Tari... Batu banget sih lo.”
“Bodoamat! Lagian, kabar gue putus sama Angga, kenapa orang-orang bisa tahu sih? Lo tahu darimana?” tanya Mentari, dia bingung sebenarnya kenapa orang-orang bisa tahu putusnya hubungan dirinya dengan Angga.
“Lah, lo gak lihat postingan Angga?”
“Postingan? Postingan apa?”
“Lo gak tahu emang? Seriusan?”
Mentari menggeleng dengan wajah bingung nya.
“Bentar-bentar, nih!”
Mentari menghampiri Ayumi yang langsung menunjukkan sesuatu dari handphone perempuan itu. Mentari langsung membulatkan matanya, mendengus kesal melihat postingan dari Angga.
‘I'm single, thats means I'm free’
“Dih, alay banget sih!” dengus Mentari, dia menatap sebal postingan Angga, dimana Angga menunjukkan wajah tampannya dengan caption yang sudah pasti membuat orang-orang akan berpikir banyak. Tak ayal, banyak yang bersorak gembira di kolom komentar postingan pria itu.
“Lihat, Tar. Hidup lo baru aja di mulai dan permainan ini, lo sendiri yang ciptain.” ucap Ayumi, dia meringis pelan membayangkan apa yang akan terjadi pada sahabatnya ini nanti.
Mentari menatap lurus kedepan, “Dan, gue takut. Gue juga gak peduli. I'm single, i'm free.” ucap Mentari, mengopi apa yang dituliskan Angga di postingan pria itu. Dia menatap Ayumi, “Iya kan?”
***
Memasuki area kantor, semua mata langsung tertuju pada mereka. Lebih tepatnya pada Mentari. Semua orang di kantor sudah mendengar dan tahu mengenai putusnya hubungan Mentari dengan bos mereka.
“Lihat, Tar. Semua mata tertuju sama lo.” bisik Ayumi, dia mendekatkan tubuhnya pada Mentari.
Mentari mendongakkan wajahnya, dia sama sekali tak menunduk atau menyembunyikan wajahnya. Tak salah apapun, untuk apa merasa rendah. Toh, menjadi pusat perhatian bukan hal baru padanya. Sejak sekolah, memenangkan banyak penghargaan, dirinya sudah terbiasa dipandang banyak mata. Ditambah menjadi kekasih dari seorang Angga yang merupakan anak dari orang ternama, membuat Mentari semakin dikenal.
“Gue gak peduli.”
Ayumi mengerucutkan bibirnya, mendengus kesal melihat sikap acuh yang ditunjukkan Mentari. Hingga langkahnya ikut terhenti saat Mentari tiba-tiba berhenti. Dia mendongak melihat siapa yang ada di hadapan mereka, bola matanya membulat sempurna.
Rasanya, waktu seperti berhenti untuk beberapa saat. Tatapan mata mereka bertemu, debaran dihati pun masih ada dan bisa dirasakan. Namun, rasa kecewa lebih terasa.
Seulas senyum Mentari tunjukkan, tujuannya hanya untuk formalitas saja. “Selamat pagi, Pak Angga.” sapa Mentari dengan senyum manisnya, dia hanya menghormati Angga saja sebagai atasannya. Pekerjaan dan cinta bukanlah hal yang sama.
Bukannya membalas sapaan Mentari, Angga justru melengos pergi begitu saja meninggalkan Mentari yang langsung mendengus kesal. Lain halnya dengan Ayumi yang semakin membulatkan matanya, tak percaya.
“What the—” Ayumi menggeleng-geleng, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. “Bertahun-tahun gue kenal lo, tahu gimana bucin nya Angga sama lo. Dan, sekarang apa yang gue lihat? Seorang Angga yang sangat memuja-muja Mentari, yang cinta mati dan rela berkorban untuk seorang Mentari, tiba-tiba ketus dan acuh sama pujaan hatinya? What the—help me, please!”
Mentari mendengus kesal karena respon Ayumi yang menurutnya berlebihan, ditambah karena respon Ayumi pula semua mata semakin tertuju pada mereka.
“Apaan sih lo!” kesal Mentari, dia melangkah pergi meninggalkan Ayumi memasuki lift.
Cepat-cepat Ayumi memasuki lift, berasa di lift berdua dengan Mentari.
“Lo gak lihat, Tar gimana Angga tadi cuekin lo? Seorang Angga gak peduli sama Mentari? Percaya, gak lo itu?”
Mentari memutar malas bola matanya, “Gak usah lebay. Lagian, itu bukan hal aneh.”
“Nyesel kan lo udah mutusin Angga?”
“Enggak kok. Lagian, gak disenyumin dia bukan hal aneh buat gue, toh gue gak rugi dalam hal apapun kalaupun dia gak senyum. Gak usah lebay deh.”
Ayumi terkekeh pelan, dia menggeleng tak percaya. “Thats my girl!”
Dan, sayangnya apa yang terjadi pada Mentari kali ini berbeda. Status dirinya yang bukan lagi kekasih dari bos di perusahaan membuat semua menatapnya berbeda. Yang biasanya akan cari muka dengannya, kini tidak. Namun demikian, Mentari hanya mampu tersnyum simpul saja.
Oh... Gini ternyata mereka, pikir Mentari. Dia sih santai saja menyikapinya.
“Tar, lo kerjain, ya berkas ini. Ditunggu buat nanti siang.”
Mentari mendongak dari layar laptopnya, dia menatap Swari yang merupakan rekan kerjanya. Keningnya mengerut bingung melihat isi berkas yang disodorkan Swari padanya. “Loh, ini kan bagian Nara. Kenapa dikasih ke gue?” tanya Mentari. “Lagian, gue gak ngerti bagian project satu ini. Orang gak ikutan meeting.”
Swari memutar bola matanya malas, “Lo gak lihat apa tuh Nara lagi ngerjain banyak berkas? Bantuin kek dia. Toh, lo juga sekarang bukan lagi pacar nya bos, jadi gak usah manja deh.”
Mentari menarik sudut bibirnya, tersenyum sinis. “Loh, apa hubungannya sama kerjaan gue?”
Swari tersenyum sinis pada Mentari, sebelah alisnya terangkat. “Lo pikir, lo diistimewakan disini tuh selama ini kenapa? Ya, karena lo pacar bos! Orang-orang mana ada yang berani merintah ini itu sama pacar bos, gak ada!” tukas Swari. “Dan, berhubung sekarang lo bukan siapa-siapa nya bos lagi. Jadi, lo udah gak istimewa. Ngerti?”
Mentari kesal bukan main mendengar nya, dia sudah siap melontarkan balasan lagi untuk penghinaan yang diberikan Swari. Namun, Ayumi lebih dulu mencegahnya, perempuan itu menahan Mentari.
“Udah, udah, Tar. Gak usah lo tanggepin. Gak akan ada selesain nya.” ucap Ayumi, dia mengusap pelan lengan Mentari. “Dan, lo Swari. Lo harusnya gak usah ngomong kayak gitu, lo juga harusnya lebih profesional. Masalah kita dulu jaman sekolah, gak usah lah lo bawa-bawa kesini. Lagian, udah bertahun-tahun lamanya, lo masih belum move on juga dari masalah kita? Iyuh, kampung tahu gak sih lo!”
Swari mendengus kesal, “Diam lo, Yu! Gak usah ikut campur!”
“Oh, tidak... Gue akan ikut campur karena lo udah mengusik ketenangan teman gue. Kenapa? Lo gak suka?”
Swari menggertak marah, dia segera pergi begitu saja meninggalkan mereka.
Ayumi tersenyum senang melihat kepergian Swari, dia menatap Mentari kini. “Udah, Tar. Gak usah lo pikirin.”
“Ini semua tuh gara-gara, Angga! Nyebelin banget sih tuh cowok!”
“Kak Tari... Aku beneran gak nyangka kalau kakak putus sama kak Angga.”
Mentari yang tengah menyantap makan siang bersama mantan adik iparnya itu tersenyum simpul mendengar penuturannya. “Ya, namanya juga orang pacaran, Bell. Kalau gak dilanjut ke jenjang serius, ya, berarti harus putus.” jawab Mentari, dia menikmati kembali pasta nya.
Arabella Permata Hiro, adik dari Angga Wijaya Hiro yang terpaut usia 7 tahun. Mereka saudara kandung, hanya saja berbeda ibu. Saat ini Bella duduk dibangku perkuliahan semester awal. Bella memiliki paras yang cantik, rupawan dan juga sedikit bawel orangnya. Persis seperti Angga yang selama ini Mentari kenal. Dan, mereka akan benar-benar jadi diri sendiri saat merasa sudah nyaman dengan orang tersebut, jika belum maka sikap dingin dan pendiam akan mereka tunjukkan.
Bella mengangguk-angguk, “Iya sih, kak. Tapi, aku masih gak terima kalau kakak putus sama kak Angga. Aku tahu kalian loh, tahu banget gimana hubungan kalian selama ini. Gimana bucin nya kak Angga, apa-apa harus tentang kakak. Pokoknya sebucin itu kak Angga sama kakak. Jadi, gak terima aja aku kalau kalian putus tuh.”
Benar ucapan Bella. Mentari itu dunia Angga, semua hal tentang Angga harus ada Mentari didalamnya.
“Ya, mau gimana lagi? Ini udah jalannya.” balas Mentari, dia melirik jam di pergelangan tangannya. “Duh, Bell. Kayaknya kakak harus balik sekarang deh. Jam istirahat bentar lagi nih. Takut telat kakak.”
Bella menganggguk-angguk, “Oh, yaudah kak gakpapa.”
Mentari meletakkan sejumlah uang di hadapan Bella. “Nih, buat bayar makanan kita, ya, Bell. ” ucap Mentari, dia tersenyum simpul pada Bella sambil bergegas mengemasi barang-barangnya.
“Gak usah kak, biar—”
“Gak papa. Yaudah, ya aku pergi dulu. Kamu hati-hati, ya pulangnya. Langsung pulang ke rumah, jangan keluyuran lagi.”
Bella mengangguk cepat, dia tersenyum lebar. “Iya, kak Tari. Kakak juga hati-hati, ya. I love you.”
“Love you too... Bye!”
“Semoga kakak berubah pikiran deh, semoga aja kita beneran jadi ipar, ya.”
Mentari hanya terkekeh saja, dia bergegas meninggalkan Bella yang kembali melanjutkan makannya yang belum selesai itu.
Mentari tak henti-hentinya melirik jam di pergelangan tangannya, takut jika dirinya sampai telat di kantor. Beruntungnya, dia sampai di meja kubikel nya tepat waktu, sepertinya.
“Kamu pikir ini kantor kamu?”
Mentari yang hendak menjatuhkan bokongnya di kursi, diurungkan seketika saat mendengar suara itu. Karena ucapan itu pula semua mata yang ada diruangan yang hanya diisi 8 orang itu tertuju ke sumber suara.
Mentari mendongak, menatap malas Angga yang kini menghampirinya. Semua mata tertuju pada mereka, namun saat Angga memperhatikan, tentu semuanya langsung beralih, berpura-pura tak peduli padahal mereka amat sangat ingin tahu akan kelanjutannya.
“Kamu pikir ini kantor kamu?”
Pertanyaan yang sama dilontarkan Angga.
“Enggak kok, saya gak merasa dan berpikir kalau ini kantor saya.” jawab Mentari, dia santai saja menanggapi ini semua.
Angga mendengus kesal dalam hati melihat respon Mentari. Dia masih kesal dengan perempuan itu karena memutuskan sepihak hubungan mereka. Rasa cinta itu masih ada, teramat besar malah. Namun, rasa kecewa juga tak bisa hilang begitu saja. Biarkan saja, Mentari harus tahu akibatnya jika bermain-main dengannya.
“Ya, terus maksud kamu datang telat itu apa?”
“Siapa yang datang telat?” kesal Mentari.
Menjalin hubungan yang cukup lama, diketahui semua orang dikantor, tak serta merta membuat semua orang tahu bagaimana interaksi mereka sebenarnya. Karena sejujurnya, Mentari sendiri sangat membatasi itu jika posisi mereka dikantor. Bagi Mentari, kantor adalah tempatnya bekerja. Hubungan percintaan dan pekerjaan, jangan disatukan di tempat yang sama. Meskipun sebenarnya bisa, tapi akan lebih baik sedikit dikurangi. Jadi, belajarlah profesional dengan bersikap layaknya karyawan dengan bos seperti biasa saja. Tapi, sepertinya tidak untuk saat ini. Ada dendam terpendam yang sengaja ingin di lampiaskan.
“Kamu gak punya jam atau gak tahu waktu?”
“Apaan sih, pak Angga. Lagian saya gak telat, ya. Saya datang tepat waktu.”
“Apa perlu saya putar CCTV di ruangan ini kalau kamu baru aja telat 35 detik.”
Semuanya terkejut mendengar ucapan Angga, begitupun Mentari yang langsung ternganga dibuatnya.
“Apaan sih,” cicit Mentari, dia menatap sinis Angga yang mendongak penuh angkuh.
“Sebagai hukuman kamu yang telat datang ke kantor setelah jam istirahat. Hari ini kamu lembur!”
Baru saja Mentari hendak melontarkan protesnya, namun Angga lebih dulu mengangkat tangannya.
“Saya gak terima protes apapun! Kamu lembur!” ucap Angga penuh penegasan, dia berlalu begitu saja meninggalkan Mentari dengan kekesalannya dan semua orang yang ternganga tak percaya.
“Eh, sorry, sorry gue tel—Pak Angga, siang Pak.” sapa Ayumi, dia tersenyum canggung saat masuk ke ruangannya dan justru menemukan Angga disana.
Angga mengacuhkan Ayumi, dia melenggang pergi begitu saja.
Helaan napas lega Ayumi saat Angga berlalu pergi, dia menatap bingung semua orang yang terdiam dan semua mata tertuju pada Mentari yang menunjukkan wajah kesalnya.
“Ada apa nih? Gue ketinggalan hot news kayaknya.”
***
Angga tahu jika Mentari paling benci jika harus lembur. Dan, kejadian tadi sebenarnya hanya alasannya untuk membuat Mentari melakukan hukumannya. Dia akan membuat pelajaran berharga untuk perempuan yang berani-beraninya memutuskan dia disaat dia sangat cinta.
“Maaf, mbak tapi—”
“Apaan sih? Orang gue mau ketemu Angga! Minggir! Angga...”
Angga mendongak saat pintu ruangannya dibuka tiba-tiba dengar kasar, dia menatap jengah perempuan yang berdiri diambang pintu itu.
“Maaf, pak. Saya udah melarang Mbak Amel masuk, tapi beliau memaksa.”
“Orang gue mau ketemu Angga. Ngapain lo larang-larang coba!?”
Amelia Widyawati Pandji, anak dari Pandji Saputra yang merupakan pembisnis sekaligus rekan kerja ayah Angga. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Amelia gencar sekali mendekati Angga, terus menerus menggoda dan merayu agar Angga mau jadi kekasihnya. Sayangnya, Angga tak tertarik sedikit pun dengan rayuan Amelia.
Amelia cantik, Angga akui itu. Sayangnya kecantikan yang dimiliki Amelia bukan sesuatu yang menarik. Cantik hanya karena riasan, tak ada daya tarik sedikit pun. Beda sekali dengan Mentari yang cantiknya alami. Mentari di mata Angga itu melebihi segala, cantiknya perempuan itu berbeda. Karena Mentari sendiri bukan hanya cantik wajah, namun juga hatinya.
Lagi, lagi Mentari.
“Kamu boleh keluar, Dell.”
“Baik, pak saya permisi.”
Amelia menatap sinis Dellia yang merupakan sekertaris Angga, dia memutar jengah bola matanya. Dan, langsung tersenyum lebar saat menatap Angga, dia bergegas menghampiri pria itu yang masih duduk ditempatnya.
“Angga... Oh my god. Aku senang banget dengar kabar kalau kamu putus sama cewek kampungan itu. Keputusan yang kamu ambil ini, sangat tepat! Karena dia tuh gak pantas sama kamu. Status sosial kita tuh beda. Dia cuma—”
“Siapa yang putus?” potong Angga cepat, dia menatap datar Amelia.
Amelia mengerutkan keningnya. “Loh, bukannya kamu baru aja putus, ya sama cewek kampungan itu?”
“Cewek kampungan siapa maksud lo?” Angga tertawa sinis, “Lagian, berita darimana coba?” kesal Angga.
“Postingan kamu? Bukannya itu artinya kamu putus sama Mentari?”
“Postingan gue?” Angga menaikkan kedua alisnya. “Ada yang salah sama postingan gue? Perasaan gue gak posting sesuatu yang ada sangkut pautnya sama hubungan gue deh.”
Amelia ternganga, dia tak percaya.
“Lagian, gini deh. Gue pacaran sama Tari udah lama, gue tahu dia, keluarganya dan
begitupun sebaliknya. Lo juga tahu gimana bucin nya gue sama Tari. Hubungan gue sama dia juga baik-baik aja. Jadi, gak mungkin lah, gak ada masalah apapun, tiba-tiba putus.” Angga tertawa hambar. “Gak make sense juga kali gosip gue putus sama Tari cuma karena postingan itu? Gila aja!”
“Jadi, kalian gak putus?”
“Menurut lo? Gue yang cinta mati sama Tari, begitupun sebaliknya. Kenapa putus?”
...***...
Salah satu hal yang tidak Mentari suka adalah lembur. Dia paling tak suka dan tak bersemangat ketika diperintah lembur disaat teman-temannya yang lain justru sebaliknya. Dia rasa, bekerja dari pagi hingga sore dengan gaji yang diterima sudah cukup baginya. Jadi, tak perlu lah untuk lembur. Tubuhnya juga butuh istirahat. Bukan hanya tubuh sebenarnya, semua hal yang ada pada dirinya juga perlu istirahat dari kesibukan yang dijalani hampir 8 jam lamanya.
Dan, Angga tahu itu. Tapi, pria itu sengaja memberikan lembur untuk Mentari.
Oke, mungkin jika Mentari lembur nya dengan rekan kerjanya yang lain, dia akan lebih bisa menerima perintah Angga itu. Masalahnya adalah Angga hanya melemburkan dia seorang disini.
“Nyebelin banget emang tuh mantan!” kesal Mentari, dia mengetikkan dengan malas file dokumen dilayar laptopnya. “Padahal ini dokumen juga bukan yang urgent banget, besok juga bisa dikerjain. Ngapain pakai lembur segala sih!”
Tak henti-hentinya Mentari melontarkan kekesalannya.
“Argh... Pegel banget! Mana ngantuk lagi!”
Mentari melirik jam di pergelangan tangannya, masih ada satu jam lagi untuknya bisa menyelesaikan pekerjaannya saat ini. Dia beranjak dari duduknya, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.
“Bikin kopi dulu deh, biar gak ngantuk.”
Mentari berjalan seorang diri kearah pantry, mengambil gelas kosong dan langsung menuangkan kopi instant yang disediakan gratis disini. Semua yang ada di area pantry memang gratis diambil siapapun, semuanya disediakan kantor untuk karyawan mulai dari snack, kue dan berbagai jenis minuman.
“Yakin minum kopi. Emang bisa tidur nantinya?”
Mentari yang tengah mengaduk kopinya seketika terdiam, debaran itu masih dia rasakan namun dengan cepat dia coba enyahkan. “Bisa.” jawab Mentari singkat tanpa menoleh sedikitpun karena dia tahu orang yang bicara padanya kini tengah berjalan menghampirinya dan berdiri di sampingnya.
“Kamu tuh gak bisa ngopi, Tari. Aku tahu kamu.”
Mentari menoleh, menatap lekat pria itu. Angga.
“Bisa kok,” jawab Mentari, dia siap menyeruput kopinya, namun langsung dicegah oleh Angga. Pria itu merebut begitu saja cangkir kopi milik Mentari.
“Pak Angga itu kopi saya.”
Angga menatap kesal Mentari yang begitu formal padanya. “Aku gak suka kamu siksa diri kamu sendiri. Kopi bisa bikin kamu gak tidur semalaman Tari dan kamu mau siksa badan kamu sendiri? Aneh!” cibir Angga.
“Saya ngantuk, pak dan kerjaan saya belum selesai. Jadi, saya butuh kopi.”
Mentari tersenyum malas menatap Angga yang terdiam. “Bapak lupa siapa yang buat saya harus lembur? Padahal kalau dipikir-pikir, saya gak telat tapi dikasih hukuman. Sedangkan, tadi ada yang benar-benar telat, tapi apa? Dibiarin aja tuh.”
Angga berdecak kesal saat Mentari terus saja melawan. “Tari, aku gak suka kamu yang pembangkang kayak gini.”
“Pembangkang gimana? Saya lembur loh, pak sesuai perintah bapak.”
“Tari—”
Mentari merebut kembali cangkir kopi ditangan Angga, dia tersenyum pada Angga yang menatapnya kesal. “Saya permisi, ya pak. Mau kembali bekerja.” ucap Mentari penuh penekanan, tak melepas sedikitpun senyuman paksanya sampai dia melenggang pergi melewati Angga.
Angga mendengus kesal, dia menahan lengan Mentari.
“Jadi, kamu gak mau dengar omongan aku?”
Mata mereka saling bertatapan, saling menghunus kekesalan. Tapi, tetap saja, ada buih-buih cinta yang masih terasa.
Mentari menggeleng. “I'm single, i'm free.” Mentari melemparkan senyumnya dan melepas tangan Angga dari lengannya kemudian pergi meninggalkan Angga yang dirundung kekesalan.
“Ngeselin banget, Tari. Untung gue cinta!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!