NovelToon NovelToon

DENDAM Cinta Dua Dunia

Serangan Buas

Raka menatap langit yang gelap, sesekali petir menyambar sehingga menciptakan suasana menakutkan malam itu. Matanya nyaris tak berkedip hingga berkaca-kaca, menyesali hidupnya yang masih saja merasa sendiri walaupun sudah memiliki istri.

Tujuh tahun yang lalu, kisah cinta Raka dan Bunga di mulai.

Hari-hari bahagia itu berlangsung hingga empat tahun. Usia raka yang terlampau lebih tua dari Bunga membuat sikapnya lebih mendominan atas hubungan mereka.

Bujuk rayu dan janji palsu, semua ia kerahkan hingga akhirnya berhasil merenggut kesucian Bunga yang masih belia.

Sekalinya berbuat, hari-hari berikutnya tak dapat menahan, terlebih lagi setan berbisik bahwa yang terlarang begitu nikmat untuk terus di lakukan.

Namun, sikap menurut gadis itu membuat Raka kemudian berkhianat. Anak kepala desa yang cantik menjadi sasarannya di kala itu, merasa Bunga tak akan tahu, tapi pada akhirnya kebohongan itu terendus, dan kisah mereka putus.

Bunga memilih seorang pemuda yang memang tulus mencintai dan ingin menikahinya.

Tentu saja Raka tidak terima, tapi sayang di sayang usaha mempertahankan sudah terlambat. Meski nyawa dipertaruhkan ketika jodoh sudah bicara dan takdir sudah menentukan. Raka tak dapat mencegah, Bunga dan kekasihnya akhirnya menikah.

Memendam cinta, juga kekalahan yang membuatnya tidak terima, pemuda bernama Raka rela melakukan apa saja termasuk bersekutu dengan iblis demi untuk membalas dendam kepada suami kekasihnya.

"Aku akan merebut kembali milikku. Tidak ada kata tak jodoh dalam hidup Raka Wijaya."

*

*

*

"Aku membawa anak perempuan yang kau minta." ucap pemuda berpakaian hitam itu datang melalui celah pintu yang terbuka.

"Aku juga ingin kau membantuku menghabisi seseorang."

Pemuda tersebut tersenyum sinis. "Kau yang menjadi murid kesayangan gurumu malah meminta bantuanku membunuh orang, aku yakin dia bukan orang sembarangan."

"Kau benar, dan jika Ilmu langka yang kau miliki bersatu denganku, maka kita bisa mengalahkan dia." Raka tersenyum penuh arti.

"Tapi tidak ada yang percuma Raka! Berikan aku kitab milikmu, aku butuh kekuatan yang lain untuk menjadi lebih hebat, aku sudah lelah menjadi pesuruh yang tak di hargai." pinta pemuda itu kepada Raka.

Langsung saja, Raka mengeluarkan sebuah buku dari dalam jaketnya, melempar kepada pemuda itu. "Dan Ilmu ku akan segera sempurna sebentar lagi."

Tawa mereka menggema memecah keheningan malam, terdengar menakutkan.

Pemuda yang baru saja datang itu meletakkan tubuh anak perempuan yang tak sadarkan diri menuju mobil yang sudah terbuka.

Raka kemudian tersenyum melihat di dalam mobilnya sudah ada tubuh kecil yang di butuhkannya malam ini.

Dendam atas pertarungan tujuh tahun yang lalu masih membekas hingga saat ini, tak hanya kalah dalam bercinta, laki-laki yang bernama Gibran kala itu juga membuatnya sungguh tak berdaya.

Hebat, Raka mengakui kehebatan laki-laki pilihan Bunga. Kala itu ia sempat ingin Bunga kembali, namun akhirnya pula ia kalah dan kehilangan seluruh kekuatannya.

Tapi, ambisi untuk memiliki Bunga masih tetap tersimpan rapi, menikah tak membuat hatinya berpaling.

"Sebentar lagi Bunga, kau akan kembali menjadi milikku seperti dulu." ucapnya sambil mengepalkan tangannya.

"Mas Raka."

Panggil wanita berkulit putih itu keluar dari rumah itu. menghampiri Raka yang selalu kedapatan melihat langit yang tinggi ketika malam hari.

Raka menoleh wanita itu, berbalik dan tersenyum sedikit, terlepas dari rencananya untuk kembali memiliki mantan kekasihnya, dia harus memperlakukan istrinya dengan baik.

"Kau belum tidur?" tanya Raka pada istrinya yang sedang mengandung enam bulan.

"Belum Mas." jawabnya seperti biasa. Namun seperti biasa pula wanita itu selalu berpikir. 'Apa yang sedang kau pikirkan Mas Raka, sedangkan aku ada di sini. Apakah ada masa lalu yang tidak aku ketahui?'

"Kita akan kembali ke kampung halamanku." ucapnya memegang kedua belah bahu istrinya.

"Mengapa tidak menetap disini saja, bukankah lebih enak di sini dekat dengan Ibu dan Ayah Ibu ku." jawabnya menyayangkan keputusan Raka.

"Semenjak Ayah meninggal, aku jadi merindukan rumahku di sana. Aku harap kau ikut, tidak keberatan dengan keputusanku."

Sudah jelas bukan, Raka tak mau di tolak. Dewi hanya bisa menurut.

Sebenarnya, istri Raka yang bernama Dewi itu cantik sekali, tak kalah dengan Bunga mantan kekasih Raka. Hanya saja setiap wanita memiliki kecantikan yang berbeda. Jika Dewi berkulit putih dan bibir sedikit lebar dengan mata menyipit, Bunga berkulit putih bening, bibir mungil dan mata yang bening menghanyutkan.

Tapi, tak sudah rasanya jika tidak dapat memiliki Bunga mantan kekasih hati.

Di tengah malam itu.

"Raka." terdengar suara seorang kakek tua memanggil, tentu hanya dia saja yang dapat mendengarkan.

Raka segera pergi dari rumah itu menuju suatu tempat yang tampak mencekam. Sekitar Satu kilometer dari rumah kediaman Raka.

"Guru, aku datang." ucap Raka berdiri tegak di mulut goa.

"Mana anak perempuan untuk persembahan agar ilmu mu sempurna." suara laki-laki tua tersebut.

"Aku sudah membawanya Guru." jawab Raka kemudian membuka pintu bagasi mobilnya.

Tampak seorang anak perempuan sedang tertidur pingsan. Dia akan di korbankan kepada iblis wanita yang butuh energi suci dari jiwa anak-anak yang belum berdosa.

"Hahahah..." laki-laki itu tertawa senang.

"Kita mulai saja." Raka sudah tidak sabar, meletakkan gadis kecil itu dia atas batu dan mulai duduk bersila.

"Wahai penguasa kegelapan, datanglah dan terimalah persembahan dari pemuda yang menginginkan kekuatan." Laki-laki tua itu mulai berkomat-kamit membaca mantera yang sulit dimengerti.

"Datanglah... datanglah..." pintanya mengangkat dua tangannya yang menyangkut tinggi di atas kepala.

Tak lama kemudian datang angin di sertai asap tipis yang menggumpal di bawah cahaya bulan. Lama kelamaan asap tersebut berubah bentuk menjadi seorang wanita.

"Cantik." gumam Raka nyaris tak berkedip.

Wanita itu tersenyum menggoda, iblis seperti dirinya jelas tahu bahkan hanya sekedar isi hati.

"Apa yang kau bawa untukku." ucapnya kepada Raka. melangkah pelan bak putri keraton.

"Dia." jawab Raka menunjuk anak kecil yang pingsan di atas batu.

Wanita itu tertawa keras, sesekali melengking memecah kesunyian malam. Dia teramat senang malam ini, mendapat persembahan yang sempurna, juga budak yang tampan.

"Apa yang kau minta dariku?" tanya wanita itu lagi.

"Aku ingin membunuh sainganku, pemuda yang sudah merebut kekasihku tujuh tahun yang lalu." pinta Raka dengan sangat jelas.

"Hem, itu mudah sekali. Aku akan memberimu kekuatan yang sempurna, asal..!"

"Apa?" sahut Raka cepat.

"Kau bersedia menemaniku." ucapnya setengah berbisik di telinga Raka.

Senyum tipis terbit begitu saja, laki-laki mata keranjang seperti dia tak mungkin menolak sekalipun yang mengajaknya bercinta adalah iblis yang jahat.

Wanita itu menarik aura positif dari anak perempuan yang tergeletak, perlahan wajah gadis kecil itu menjadi pucat, hitam dan memutih seluruh rambutnya.

"Mari kita mulai malam panjang kita."

Wanita yang berpakaian bak putri raja itu menyerang Raka dengan tanpa memberi jeda. Bak ular yang sedang lapar, Raka hanya bisa pasrah dengan serangan yang membuatnya terlena di tengah malam itu.

*

*

*

Terimakasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak, Like Favorit, komen dan Votenya ya...

Semoga sehat selalu... 😘😘😘😘

Wanita itu

Satu Minggu kemudian, Raka sudah kembali ke kampung halaman ayahnya, tepatnya adalah rumah dimana ia dulu tinggal, dan sempat menjalin cinta dengan Bunga kekasihnya.

"Nanti malam aku akan mulai menyerang." Laki-laki, yang malam lalu menemuinya, kini datang lagi menemui Raka.

"Ya, ingatlah bahwa kita sedang bersandiwara." jawab Raka menjelang Maghrib itu mereka bertemu di jalan.

Hingga malampun tiba, kampung yang memang Ramai terjadi pencurian tersebut membuat semua warga waspada, terutama orang-orang berduit. Tak terkecuali rumah seorang pemuda yang bernama Gibran malam ini memang sudah di targetkan Raka dan temannya.

Belum lagi menyerang, baru melangkah masuk pemuda suruhan itu sudah ketahuan.

Gibran segera mengejar pria yang berlari keluar, tak kalah cepat ia bergerak dan berhasil menendang kaki laki-laki misterius itu hingga jatuh menekuk di tanah.

"Kau tak akan lolos!" namun salah.

Pria itu berdiri dan menyerang Gibran dengan jurus yang langka, dan yang membuat ia kewalahan. Dan lebih membingungkan ketika ada lagi seseorang yang datang berpakaian sama dengan pria tersebut. Mereka menyerang lagi hingga kemudian Gibran terjatuh dan mundur.

Kedua orang itu saling tatap dengan kuda-kuda mereka masih siaga, waspada dengan Gibran yang tak diragukan kekuatannya.

Satu orang melesat bagaikan hilang di kegelapan, tapi yang satunya tertangkap oleh Gibran lalu kembali berkelahi dan terjadi saling pukul memukul.

Pemuda misterius itu mundur, lalu mengerahkan telapak tangannya.

Beruntung ada seseorang yang berhasil menahan bahu pemuda misterius itu, mengurungkan pukulan dahsyatnya. Dia memukul lalu mengunci dua tangan pemuda aneh itu di belakang.

Tapi yang membuat Gibran terkejut adalah wajah pria itu, sosok itu tak asing baginya.

"Mas Raka!"

*

*

*

Di rumah Gibran, tentu kehadiran kembali Raka membuat ingatan masa lalu itu terlihat jelas, seolah baru saja kemarin terjadi.

Baik Gibran ataupun Raka keduanya sedang sibuk dengan pikiran masing-masing, malam yang gelap itu pernah menjadi saksi bagaimana mereka mati-matian memperebutkan Bunga ketika itu.

Di seberang jalan, Raka tersenyum sinis mengingat kekalahan lalu.

"Sesuai kesepakatan, aku sudah datang."

Seorang pemuda mengikuti langkah Raka di tengah jalan sepi menuju rumahnya.

Sedikit melambatkan langkahnya dan menoleh pemuda yang baru saja berbicara kepadanya.

"Aku datang bersama sekelompok perampok, sambil menyelam minum air." jawab pemuda misterius itu.

"Bukankah kau sengaja membawa saudara seperguruanmu agar mereka semua cepat mati." jawab Raka tersenyum sinis, melanjutkan langkahnya.

"Yang penting anak perempuan yang kau minta selalu tersedia." jawabnya lalu pergi.

Raka datang untuk membalaskan kekalahannya, tapi dengan cara yang berbeda.

"Rasanya, kali ini kau tak akan bisa selamat." berhenti sejenak dengan dada kembali menyesak. Sungguh luka di hatinya tak pernah sembuh, walau sesekali ia sadar jika kehilangan Bunga bukan salah Gibran , tapi kesalahan ia sendiri. Namun ada yang janggal ketika mencoba untuk ikhlas, cintanya masih menuntut.

Bulan di atas sana tampak tertutup awan yang gelap, mengingatkan lagi ketika dulu pernah menghabiskan malam panjang bersama gadis itu, pulang menjelang subuh ketika rembulan bersembunyi, enggan menyaksikan perbuatan terlarang yang menyenangkan.

"Apa kabarmu Bungaku?" lirihnya ketika sudah akan menginjak halaman rumahnya. Jalanan yang panjang hingga beberapa tikungan itu tak terasa jauh walaupun Raka berjalan kaki, memikirkan Bunga masih saja menyenangkan hingga saat ini. Menyesal sekali dia selingkuh, sehingga Bunga benar-benar meninggalkannya.

"Dari mana saja Mas?" suara Dewi istrinya membuat Raka terkejut, pukul tiga dini hari istrinya malah duduk di teras.

"Aku ada urusan." tegas Raka dengan suara meninggi, Raka ingin istrinya segera tidur.

Dewi hanya menarik nafas kesal, entah mengapa belakangan ini Dewi menjadi tidak percaya. Selain sering melamun, Raka juga mengunci kamarnya seperti ada yang di rahasiakan dari Dewi.

Namun teringat kembali ketika mereka akan menikah. Seorang dukun keluarga Dewi mengatakan bahwa jangan sekali-kali membantah Raka jika sudah menikah nanti. Tentu Dewi tidak mau kehilangan suami.

Sementara itu, pemuda bernama Gibran masih teringat pertemuan dengan Raka malam ini, pria itu tidak se-seram dulu. Tapi Gibran merasa jika Raka tidak pulang dengan tangan kosong. Gerakan yang gesit menangkap pencuri itu bukanlah kegesitan seperti berilmu karate atau silat biasa, tentu dia memiliki tenaga dalam yang kuat.

Jika boleh curiga, mendadak Raka hadir di dalam kehebohan penuh misteri dikampung ini. Tapi tak mungkin rasanya jika mereka ada hubungannya dengan Raka, Gibran mencoba berpikir positif.

*

*

*

"Mas, Bunga mau pergi ke pasar membeli perlengkapan kamar mandi. Gayungnya pecah, terus shampoo dan pasti gigi pada habis." Bunga bercerita sambil merapikan rambutnya.

di pagi itu.

"Mau Mas antar?" Gibran mendekati Bunga, menatapnya mesra seperti biasa. Tujuh tahun menikah sikapnya tidak berubah.

"Bukannya Mas sibuk?" tanya Bunga mengulurkan tangannya memeluk Gibran .

"Tidak juga. Sesekali pingin pergi berdua sama kamu, mumpung Tiara lagi di rumah Ibu." Gibran terkekeh membalas pelukan Bunga dan mengecup keningnya.

"Kita sedang pacaran." Bunga ikut terkekeh.

"Ya." Gibran meraih kunci mobil di belakangnya, lalu pergi berdua bersama Bunga.

Pasar pagi yang baru saja dibangun beberapa tahun terakhir tampak ramai dikunjungi warga dari berbagai desa tetangga. Semuanya sibuk membeli keperluan masing-masing terutama sayur dan sebagainya.

"Bunga mau beli apa saja." Gibran tak melepaskan tangannya menggandeng istri tercinta.

"Mas mau di masakin apa?" Bunga balik bertanya, melihat banyak pilihan daging juga ikan di depan mereka.

"Apa saja, kalau ayam di rumah kita ada banyak." ucap Gibran memang memiliki banyak ayam kampung di belakang rumah mereka, bahkan sengaja meminta seseorang khusus untuk mengurusnya.

Bunga terkekeh, lalu memilih seekor ikan yang berukuran besar untuk dibawa pulang.

"Di potong Mbak?" tanya penjual itu menanyai Bunga.

"Kecil-kecil pak." jawab Bunga meminta penjual memotong ikannya.

"Saya mau ikan pak, tapi cepat sedikit." seorang wanita juga memilih ikan yang sama, namun menutup hidungnya karena tidak suka dengan bau amis.

"Sabar ya Mbak, ini punya Mbak Bunga." jawab bapak penjual ikan.

Wanita itu gelisah dengan hidungnya di tutup lalu kemudian di buka serba salah. Mungkin dia sedang mengidam sehingga tidak suka dengan bau ikan, tampak dari perutnya yang sudah besar, begitu pikir Bunga.

"Berikan saja Pak, tidak apa-apa." ucap Bunga mengerti wanita itu sedang tak nyaman.

"Iya Mbak." penjual itu memasukkan potongan ikan ke dalam kantong plastik.

Wanita itu menoleh Bunga yang juga sedang tersenyum ke arahnya, namun tak terlihat ia membalas tersenyum, bahkan tatapan matanya tak terlihat senang.

"Ini mbak." penjual itu memberikan kepada wanita tersebut.

Dan wanita itu pergi begitu saja setelah meletakkan uang lima puluh ribu.

"Orang baru sepertinya." ucap jual itu. Tentu Bunga juga berpikiran sama.

Hingga siang hari kemudian di rumah Raka, Dewi sedang bersantai menonton televisi.

"Dewi, Mas Mau pergi sebentar mencari sepeda motor untuk mas pergi-pergi." Raka sudah berganti pakaian.

Raka berlalu meninggalkan Dewi keluar tanpa menunggu jawaban.

Dewi menutup pintu setelah suara mobil Raka menjauh.

Dewi menuju kamar depan itu dengan terburu-buru, memasukkan kunci yang diambilnya ketika Raka tertidur pulas.

Pintunya berhasil di buka.

Dewi tersenyum senang dan sudah tidak sabar masuk ke dalam untuk melihat isinya, mana tahu di dalam sana adalah alasan mengapa Raka sering melamun dan tak sepenuh hati mencintainya.

Pintu sudah terbuka lebar. Bola matanya menangkap banyak sekali foto di dalam sana tertempel di dinding seperti Mading sekolah dasar.

Selangkah ia masuk dan semakin penasaran dengan siapa wanita itu, hingga kakinya merasa menginjak sesuatu.

Dewi meraih foto tersebut dan melihatnya. Matanya tak berkedip memandang siapa yang ada di dalam foto tersebut.

"Dia!" Dewi mengingat wanita yang ada di pasar tadi pagi. Matanya kembali melihat bahkan semakin dekat memastikan wajahnya sama persis.

Dewi semakin berpikir, dadanya naik turun dengan perasaan tak karuan.

"Dewi!" Bentakan Raka terdengar mengerikan, mengejutkan Dewi yang tak menyangka suaminya kembali lagi.

Bertemu Bunga

"Dewi, keluar!" perintah Raka sekali lagi. "Jangan sampai aku kehilangan kesabaran karena kau tidak menurut."

"Tidak menurut?" tanya Dewi pelan.

Raka mengepalkan tangannya, ia sungguh sedang kesulitan menahan amarahnya kepada Dewi.

"Aku selalu menurut Mas, aku tidak pernah membantah apa yang kau inginkan. Tapi aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya kau sembunyikan."

"Kau tidak perlu tahu karena tidak ada hubungannya denganmu." ucap Raka masih menunjuk keluar.

"Tentu saja ada Mas! Setiap malam kau melihat langit memikirkan sesuatu yang sudah jelas bukan aku. Dan akhirnya aku tahu apa yang sering engkau pikirkan." Dewi mengarahkan telunjuknya pada dinding yang terdapat banyak foto Bunga. "Dia."

Raka tercekat ketika istrinya menunjuk foto-foto Bunga. Meski dalam keadaan marah namun rasa bersalah tetap ada di dalam hatinya.

"Aku juga sudah bertemu dengannya." ucap Dewi kemudian keluar dari kamar tersebut, sesuai dengan permintaan Raka.

Dengan perutnya yang besar ia masuk ke dalam kamar yang merupakan kamar orang tua Raka ketika itu. Dewi tahu persis tentang semua itu, karena masih tersimpan beberapa pakaian milik ibu Raka.

Dewi duduk di atas ranjang dengan air mata berjatuhan. Seorang wanita hanya memiliki air mata untuk meluapkan kesedihan, tapi tak punya tenaga untuk berlari dari kenyataan. Begitu lah Dewi saat ini, hamil besar dan tak akan mampu jika sendiri tanpa Raka bersamanya. Meskipun ia tahu cinta Raka tak sepenuh hati dengan Dewi, tapi perhatian dan tanggung jawabnya tetap selalu ia penuhi.

Wanita mana yang tak teriris hatinya jika mengetahui suaminya mencintai wanita lain.

Wanita mana yang tidak menangis jika tahu suaminya setiap malam memikirkan orang lain.

Di tambah lagi dengan pertemuan tadi pagi dengan Bunga.

"Dia sangat cantik." gumam Dewi sambil menghapus air matanya. Tapi kemudian ia mengingat jika ada pula seorang laki-laki yang setia menemani wanita itu, bahkan memeluk pinggangnya ketika membeli ikan di pasar tadi pagi. Sepertinya pria itu adalah suaminya.

Dewi jadi penasaran dengan wanita itu, ingin tahu bagaimana sebenarnya kisah mereka sehingga Raka belum bisa melupakan wanita itu hingga saat ini. Bahkan setelah Dewi mengandung anak mereka.

Terdengar suara pintu di buka, bisa di tebak jika yang masuk adalah Raka.

Raka mendekati Dewi dan berdiri di hadapan wanita yang menunduk sedih itu. "Tidak perlu dipikirkan tentang apa yang kamu lihat, lebih baik kau fokus saja dengan kehamilan ini." mengulurkan tangannya mengelus perut Dewi. "Ingatlah dia butuh ibu yang kuat, jadi jangan menangis."

Dewi mendongak wajah Raka menatap wajah pria tiga puluhan itu dengan pasrah.

"Aku menyayangi mu Dewi Lestari. Kau sedang mengandung anakku, jadi tidak perlu berprasangka atau membayangkan hal yang hanya menyakiti perasaanmu." sambungnya lagi.

"Aku hanya ingin tahu Mas, sebagai wanita tentu saja hatiku diliput rasa penasaran juga cemburu. Aku ingin tahu siapa dan seperti apa wanita yang membuatmu sulit melupakannya. Dan aku sudah tahu sekarang, juga sudah bertemu dengan wanita itu." jelas Dewi menghembuskan nafas yang sempat menyesak.

"Di mana kau bertemu dengannya?" tanya Raka tak bisa menyembunyikan rasa penasaran di dalam hatinya.

"Di pasar tadi pagi ketika aku membeli ikan, dia memberikan ikan yang besar itu untuk segera ku bawa pulang dan dia menunggu setelah aku. Dia berbelanja bersama suaminya yang tidak pernah melepaskan walaupun sedang belanja, mereka selalu berdua."

Mendengar kalimat terakhir membuat masam wajah Raka laki-laki itu tak pernah bisa menyembunyikan rasa tak suka pada siapapun terlebih lagi sudah menyangkut Bunga. Hatinya masih saja cemburu walau berusaha mati-matian untuk tidak mengakui.

"Aku juga sudah bertemu suaminya. Jadi, tidak perlu kau memikirkan tentang dia." Raka memilih keluar dari kamar itu, meninggalkan Dewi sendiri.

"Aku tahu Mas, kau masih mencintainya. Bahkan kata-kata cinta itu tak pernah kau ucapkan ketika bersamaku."

Dewi hanya bisa menangis. Siang yang harusnya ia habiskan untuk tidur, kini menjadi tangisan yang membasahi bantal miliknya.

Tapi tidak hanya menangis, Dewi berpikir jika sesuatu harus dilakukan untuk mempertahankan Raka bersamanya. "Mbah Diman pasti bisa membantuku."

Sedangkan di luar sana, Raka jadi sibuk memikirkan ucapan-ucapan istrinya tentang Bunga. Jujur saja jika Raka rindu sekali dengan wajah cantik Bunga. bahkan jika ada kesempatan ingin sekali menyapanya dan melihat senyumnya.

Raka jadi memikirkan bagaimana cara untuk melihatnya walau sekilas.

"Oh, iya. Kalau tidak salah di Dudung kemarin bercerita bahwa dia menempati salah satu rumah kontrakan milik Gibran dan tempatnya dekat sekali dengan rumah Gibran ." Raka tersenyum senang, mengusap wajahnya lalu kembali tersenyum penuh arti.

Ia membelokkan mobilnya menuju arah yang berbeda. Tujuan untuk membeli sepeda motor itu berubah menjadi pergi ke rumah teman lama, sekalian ingin melihat mantan kekasihnya walaupun hanya menonton dari rumah tetangga.

Raka tersenyum-senyum sendiri.

Benar saja jika rumah Dudung hanya berjarak satu rumah dari rumah Gibran dan Bunga.

"Akhirnya kau datang juga." Dudung menyambut Raka dengan tawa dan memeluk teman lama tersebut.

"Aku akan menetap di desa ini lagi bersama istriku." jelas Raka sambil duduk di depan rumah Dudung.

"Aku penasaran dengan istrimu, di sosial Media saja aku tidak pernah melihatnya." ucap Dudung kepada Raka.

"Dia ada di rumah, sedang hamil." jelas Raka namun menoleh ke arah rumah di sampingnya.

Dudung terkekeh dengan tingkah Raka, dia paham sekali jika tujuan laki-laki itu bukan untuk berjumpa Dudung sepenuhnya, melainkan melihat Bunga.

Menyadari sikap Dudung yang sedikit tertawa, Raka juga ikut tertawa. "Pingin lihat, bagaimana wajahnya setelah tujuh tahun." jelas Raka tak menutupi maksud kedatangannya.

"Ada kok, biasanya sebentar lagi dia keluar, menjemput Tiara di rumah Bule." Dudung menunjuk rumah bersebrangan yang merupakan rumah orang tua Gibran.

"Oh." jawab Raka tapi semakin memanjangkan lehernya melihat ke rumah Bunga lagi.

Dan tak lama kemudian seorang wanita cantik keluar dengan dress panjang menyentuh kaki, rambutnya di kuncir sederhana berjalan menuju rumah ibu mertuanya.

Raka keluar terburu-buru menuju warung di rumah yang berbeda, berpura-pura membeli sesuatu lalu keluar dan bertemu Bunga seolah tidak sengaja.

"Bunga?" tegur Raka seolah terkejut padahal yang sebenarnya sangat terkejut adalah Bunga.

"Mas." ucapnya seperti berbisik namun masih dapat terdengar oleh Raka.

Raka tersenyum. "Apa kabar Bunga?" tanya Raka tak melepaskan pandangan di wajah Bunga.

"Baik Mas." Jawab Bunga. "Maaf Bunga sedang terburu-buru." Bunga tersenyum kaku, lalu segera meninggalkan Raka yang masih terlihat rindu, tak puas hanya melihat saja.

Raka masih menatap punggung Bunga hingga menghilang masuk di balik pintu rumah mertuanya. Pandangannya jelas sekali masih mengagumi juga rindu ingin memiliki.

Dari kejauhan, tepatnya di samping rumah Bunga, Gibran menyaksikan bagaimana Raka memandangi istrinya. Tatapannya juga sikapnya masih seperti dulu, dapat dipastikan jika Raka belum melupakan Bunga.

"Kau masih saja menginginkan istriku." gumam Gibran menatap Raka yang berjalan menuju rumah Dudung, tapi beberapa kali ia berbalik menoleh rumah ibunya, dimana Bunga berada.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!