“Bye, Andi. Hati-hati di jalan ya,” pesan Nia pada salah satu muridnya. “Gio, latih lagi kuda-kudamu.” Bocah yang bernama Gio hanya memberikan jempol pada Nia lalu berlari mengejar Andi.
“Sabeum Nia, kami pulang,” ujar murid lainnya.
Kania Syifa melambaikan tangannya lalu menghela nafas lega sambil menatap kepergian murid-muridnya. Tugas pertamanya hari ini sudah selesai. Nia menjadi pelatih Taekwondo untuk anak-anak remaja bertempat di salah satu ruko dua lantai. Pekerjaan lainnya adalah sebagai florist di salah satu toko bunga di wilayah tempatnya tinggal.
Sejak tadi, ada seorang pria memperhatikan Nia sambil tersenyum dengan tangan berada di kantong celananya. Bersandar pada pintu mobil, benar-benar tidak melepaskan pandangan dari gadis yang berdiri di depan sebuah ruko. Pria itu adalah calon suami Nia, mereka akan menikah dalam hitungan hari.
Nia bukannya tidak tahu saat ini dia dalam perhatian seseorang, memilih bergegas kembali ke dalam ruko dan tidak lama kemudian keluar dengan menggendong ranselnya. Wanita itu menghampiri Bayu, calon suaminya.
“Ayo, Bang. Nanti aku telat, weekend begini biasanya banyak pesanan,” ajak Nia lalu membuka pintu mobil tepat di sebelah kemudi.
“Nggak ganti dulu?” tanya Bayu, karena saat ini Nia masih mengenakan seragam bela dirinya hanya mengganti atasan dengan kaos dan alas sandal jepit.
Bagi Bayu Nia tetap cantik dan menarik dengan gaya cuek dan sederhananya. Selama tidak mengumbar bagian tubuhnya, Bayu tidak masalah dengan penampilan Nia. Berbeda dengan penampilan Bayu saat ini, dengan setelan jas bahkan berdasi. Bayu yang bekerja bodyguard keluarga pengusaha Hadi Putra, bahkan dia juga mendapatkan kepercayaan menjadi asisten pribadi putra dari pengusaha tersebut.
“Ganti di sana aja, ayo Bang aku sudah lapar,” keluh Nia memakai seatbelt-nya.
Mobil pun melaju. Nia menggeser duduknya menghadap Bayu.
“Bang, kapan kamu cuti. Katanya nggak boleh loh mau nikah masih aja sibuk kesana kemari. Aku tidak masalah dengan pingit-pingitan yang penting Abang jaga kesehatan.”
Bayu tersenyum sambil fokus pada kemudinya.
“Iya sayang, secepatnya aku akan atur jadwal kerjaku. Saat ini benar-benar tidak kondusif kalau aku harus cuti lebih awal. Putra Pak Hadi pulang ke Jakarta hari ini dan ada RUPS di perusahannya, kamu tahu ‘kan akan seperti apa kondisinya?”
Nia menghela nafasnya, mendengar pernyataan Bayu. Sejak mengenal Bayu setahun yang lalu saat pria itu memesan banyak bunga untuk perayaan di kediaman atasan tempatnya bekerja saat ini, Bayu memang terlihat sangat bertanggung jawab dengan pekerjaannya bahkan mungkin lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi pada keluarga Hadi Putra.
“Loh, kok nggak berhenti. Cafenya sudah terlewat,” ujar Nia.
“Aku buru-buru, nggak masalah ‘kan kita nggak jadi makan siang. Kita drive thru di depan ya.”
Lagi-lagi Nia harus rela ketika Bayu membatalkan janjinya. Sudah biasa dengan hal itu, tapi tidak mengurangi perasaan di antara keduanya. Selama Bayu sibuk bukan karena wanita lain melainkan sibuk bekerja, Nia tidak masalah. Menurutnya, akan ada masa di mana Bayu akan meluangkan banyak waktu untuknya.
Bayu menyebutkan pesanan untuk Nia. Setelah memutar dan mendapatkan pesanannya lalu memberikan pada Nia, pria itu kembali menggerakkan mobilnya menuju Adam Flower.
“Abang hati-hati ya,” ujar Nia sambil melepas seat belt.
Bayu tersenyum lalu mengusap kepala Nia. “I love you, Kania.”
“Love you more,” sahut Nia kemudian membuka pintu mobil.
Nia melambaikan tangan saat mobil Bayu perlahan meninggalkannya.
“Nia, cepat. Banyak pesanan buket,” ujar seorang pria dengan gaya agak melambai.
Nia melewati pria tersebut sambil mendengus kesal. “Aku makan dulu, mandi baru deh mulai kerja,” ujarnya sambil berlalu.
“Hehh, lain kali datang udah siap kerja ya. Jangan masih mentah begini, lagian itu laki kenapa nggak turun. Udah lama gue nggak ketemu calon laki lo,” tutur Adam sambil mengekor langkah Nia.
“Ini ngapain ngikutin aku terus, sana ke depan. Katanya banyak pesanan.”
Adam sudah duduk berhadapan dengan Nia di ruangan tempat para pekerja biasa makan dan minum di jam istirahat.
“Gue mau minta bekal maksi punya lo,” sahut Adam tanpa sungkan.
“Idih, punya toko bunga segede gini makan masih nebeng sama karyawannya,” ejek Nia.
Nia dan Adam memang dekat, bahkan sebelum Nia mendapatkan tempat tinggal karena penghasilan bekerja sebagai florist belum begitu besar dia pun diperbolehkan tinggal di toko tersebut. Hal inilah yang menjadi awal persahabatan mereka.
...***...
Bayu sudah berdiri di gate kedatangan luar negeri, bersama dua rekannya. Memperhatikan sekitar untuk memastikan keselamatan pria yang sedang mereka tunggu. Tubuhnya menegak ketika seorang pria dengan gaya cool berjalan ke arahnya.
“Siang Tuan, Elvan. Mari,” ujar Bayu.
Elvan melepaskan kaca mata hitamnya lalu berdecak melihat Bayu dan kedua orang yang terlihat bertugas mengamankan dirinya.
“Kalian terlalu berlebihan, ini pasti karena Papa ketakutan. Tenang saja tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Hari ini hanya RUPS bukan sedang perebutan kekuasaan antar geng,” tutur Elvan. “Bagaimana kalau kamu antar aku ke rumah sakit, aku sudah rindu dengan Alexa.”
“Maaf tuan, saya harus memastikan anda tiba di perusahaan tepat waktu dan aman.”
Elvan kembali berdecak, karena permintaannya ditolak oleh Bayu. Bayu mengarahkan Elvan untuk masuk ke dalam mobil.
“Ini mobilmu, aku ingin naik mobilku sendiri," keluh Elvan.
“Untuk hari ini tolong Anda patuh, mobil anda biar saya yang kemudian. Anda akan aman di sini bersama yang lain.”
Bayu menutup pintu mobilnya, sedangkan dia sendiri menuju mobil Elvan. Mereka sengaja bertukar kendaraan. Sesuai dengan arahan Tuan Yuda Hadi Putra, Ayah dari Elvan Hadi Putra.
Berhasil menjadi pengusaha sukses bukan persoalan mudah, bahkan ada jalan gelap yang harus Yuda lewati di masa lalu termasuk menjadi mafia. Bukan tidak mungkin masih ada pihak yang membencinya dan hal inilah yang membuatnya berhati-hati dan memastikan keamanan anggota keluarganya.
“Kita bergerak,” titah Bayu melalui earpiece. Mobil yang dia kendarai berada di depan mobilnya yang membawa Elvan.
Bayu terlihat gelisah, bahkan sejak meninggalkan bandara dia selalu mengingat Kania. Sambil mengemudi, dia membuka ponselnya. Menghubungi gadis yang tidak lama lagi akan dipersunting.
“Halo,” ujar Kania di ujung telepon. Bayu sengaja mengaktifkan loudspeaker. Mendengar suara Kania, agak menenangkannya.
“Kania,” ujar Bayu.
“Iya Bang, hm … aku lagi sibuk nih. Abang telpon ada apa?”
Bayu baru akan menjawab saat dia melihat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mendahului di sisi kanannya.
“Melambat, ada bahaya,” titah Bayu melalui earpiece.
Panggilannya dengan Kania belum dia akhiri.
“Abangg … mau bicara apa? Kangen ya,” canda Kania sambil terkekeh.
Di sela kekhawatirannya dan berusaha menghindar dari mobil yang terus mengejar dan menghimpitnya, wajah Bayu mengulas senyum mendengar tawa Kania.
Brakkk.
Bayu menatap center mirror, ada mobil lain menabraknya dari belakang.
“Sial.”
Bayu berusaha mengendalikan mobil yang dikendarai karena tabrakan dari belakang, tapi kembali mendapat tabrakan dari samping menyebabkan mobilnya semakin terhimpit dengan dua mobil lain. Tidak jauh di depan, ada beton pembatas jalan dan mobil dalam kecepatan tinggi akhirnya menabrak.
“Kaniaaaaa,” teriak Bayu.
Mobil yang dikendarai lalu berguling pindah jalur dan bertabrakan dengan mobil dari arah berbeda.
Elvan dan dua pengawalnya menyaksikan mobil yang dikendarai Bayu terguling lalu pindah jalur tertabrak mobil lain yang berlawanan arah.
“Lebih cepat,” teriak Elvan karena dari belakang ada mobil yang mengarah kepada mereka.
Rem diinjak untuk mempercepat laju mobil dari kendaraan lain.
“Hubungi kepolisian dan ambulance atau apapun,” titah Elvan yang khawatir dengan kondisi Bayu. Entah bagaimana kondisi dirinya jika tadi memaksa menaiki mobilnya sendiri.
Brak.
“Shittt,” maki Elvan ketika ada mobil yang menabrak dari belakang. Sepertinya yang berniat jahat terhadap Elvan mengetahui jika Elvan berada di mobil tersebut.
“Amankan di depan,” ujar pria yang sedang mengemudi entah dia memberikan instruksi pada siapa melalui earpiece.
“Tuan Elvan, anda baik-baik saja?”
“Teruskan rencana kalian, bawa aku dari sini dengan selamat. Hubungi siapapun untuk mengurus Bayu,” titah Elvan lagi.
Sedangkan di tempat sebelumnya, mobil yang dikendarai Bayu dalam keadaan terbalik. Bayu mengerang kesakitan, dengan banyak luka di tubuhnya dan kaki yang terjepit. Bahkan kondisi tubuhnya pun terbalik mengikuti posisi mobil.
Bayu terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Abang, itu suara apa?”
Pria itu menoleh sekitar mencari ponselnya.
“Ka … nia,” ujarnya lirih.
Di luar kendaraan, beberapa orang berusaha membantu Bayu untuk keluar.
“Api,” teriak seseorang.
“Kania,” panggil Bayu dengan sekuat tenaganya.
“Abang, kenapa suaranya putus-putus dan ini bising banget. Abang sedang di mana … abang ….”
Panggilan pun berakhir, Bayu melihat ponselnya lalu berusaha menggapai dan berhasil. Dengan nafas terengah dan sesekali terbatuk memuntahkan darah, Bayu menyentuh layar ponsel yang sudah retak di mana foto Kania sebagai wallpaper.
“Api, Pak … ini macet nggak bisa dibuka,” seru orang yang sedang berusaha membantu Bayu keluar dari mobil.
Bayu mengirimkan pesan suara pada Kania, kemudian berusaha melepaskan seatbelt-nya yang ternyata macet.
“Minggir,” ujar Bayu pada beberapa orang yang masih berusaha menolongnya. “Mobil akan meledak,”ujarnya lalu terbatuk. “Minggirlah!”
Tidak lama ... mobil pun terbakar, tepat setelah orang-orang di lokasi menghindar karena percikan api yang semakin besar.
“Tuan Elvan, mobil akan terguling. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak terlalu mencelakai Tuan. Jika kita tetap melawan mereka, kita tidak akan selamat,” ujar pria yang sedang mengemudi.
Elvan menghela nafasnya, kemudian memastikan seatbelt terpasang dengan benar.
“Lakukan, lakukan yang terbaik,” ujar Elvan.
Mobil semakin cepat termasuk dua mobil yang menghimpit dari kanan dan belakang, sama seperti saat mencelakai Bayu. Dalam posisi yang dirasa aman, mobil pun sengaja menabrak pada pembatas beton tidak jauh dari keramaian.
Ketiga penumpang dalam mobil tersebut dalam kondisi luka-luka. Suasana lokasi langsung ramai, sedangkan mobil yang sejak tadi mengejar memilih menghindar.
Sedangkan di tempat berbeda.
“Abang, kenapa suaranya putus-putus dan aku mendengar suara bising. Abang sedang di mana … abang ….,” ujar Nia lalu panggilan berakhir. “Ini kenapa sih?”
“Kenapa, berantem sama laki lo?” tanya Adam yang sedang ikut membuat buket bersama Kania.
“Nggak tahu, dari tadi suaranya nggak jelas gitu,” sahut Kania.
Ternyata ada pesan suara dari Bayu, belum sempat Kania buka karena Adam mengarahkan untuk meneruskan buket yang sedang pria itu kerjakan. Belum membuka pesan dari Bayu, Kania penasaran dan menghubungi Bayu.
“Kok malah nggak aktif sih,” gumam Kania. Kania beranjak dari duduknya dan ….
Prank.
“Astaga, Nia. Lo ngapain marah-marah pake pot gue di pecahin,” pekik Adam.
Kania menatap lantai di mana beberapa pot kosong pecah. Jelas-jelas dia tidak menyenggol atau menyentuh tapi kenapa bisa jatuh.
...***...
Yuda Hadi Putra sedang berada dalam sebuah pertemuan, bahkan sedang bercakap-cakap dengan rekannya. Tiba-tiba salah seorang asisten menghampiri dan berbisik, membuat Yuda terdiam lalu beranjak tanpa pamit pada yang hadir dalam pertemuan tersebut.
“Sekarang dimana Elvan?”
“Dalam perjalanan ke Rumah sakit, sudah ada tim yang mengawal.”
“Pastikan clear dari pemberitaan, lalu Bayu?”
“Mobil terbakar, kecil kemungkinan dia selamat.”
Yuda menghentikan langkahnya mendengar laporan tentang Elvan yang diburu bahkan Bayu menjadi korban.
“Kamu yakin?” tanya Yuda.
“Yakin pak.”
Yuda menghela nafasnya, tidak pernah membayangkan jika Bayu yang sudah ikut bekerja dengannya lebih dari sepuluh tahun akhirnya menjadi korban saat melindungi Elvan.
“Pastikan kondisi Bayu, kalaupun ternyata buruk. Urus dengan baik bersama dengan keluarganya,” titah Yuda.
Menjelang malam, suasana di Adam Flower sudah sepi. Kania pun pamit karena dia harus mampir ke tempat tinggal Bayu dan keluarganya untuk mengecek kartu undangan yang akan disebar. Membuka ponselnya dan teringat dengan pesan suara yang dikirim oleh Bayu.
“Kania … jaga dirimu baik-baik. Maaf aku tidak bisa menepati janjiku, hiduplah yang baik. Aku cinta sangat mencintaimu.”
“Abang kenapa sih?” gumam Kania lalu kembali menghubungi Bayu dan lagi-lagi tidak aktif.
Bergegas keluar dari toko karena ojek online yang dia pesan sudah tiba.
“Mbak Kania?”
“Iya. Agak cepat ya, kayaknya mau hujan,” titah Kania sebelum memakai helm.
Dalam perjalanan, Nia memikirkan pesan yang dikirim Bayu. Mendadak perasaannya tidak enak apalagi kontak Bayu tidak bisa dihubungi. Jantung Nia berdetak lebih kencang dari biasanya. Motor melaju semakin kencang karena sudah mulai gerimis.
Tepat saat ojek menurunkan Nia dan kembali melaju, hujan turun dengan deras.
“Nia, cepat masuk.” Ibunda Bayu membuka pintu rumah dan mempersilahkan calon menantunya untuk masuk.
“Abang sudah pulang Bun?” tanya Nia setelah mencium tangan Ibunda Bayu.
“Belum. Kayaknya nggak pulang, mau ada UPS, eh RPS apalah itu.”
“Hm, aku pikir sudah di rumah. Aku hubungi tapi kontaknya tidak aktif,” ujar Nia.
“Dia memang sibuk, makanya Bunda minta setelah kalian menikah dia berhenti dari pekerjaannya sekarang. Lebih baik bekerja yang jam kerjanya normal, walau gajinya tidak sebesar yang sekarang asalkan halal. Dari pada begini, bikin khawatir terus. Bunda nggak mau, kamu merasakan apa yang pernah bunda rasakan.”
Nia tersenyum mendengar kekhawatiran calon Ibu mertuanya.
“Ayo masuk, mau sholat dulu atau gimana? Udah makan belum?” tanya Bunda.
Hampir pukul sembilan malam, Nia sudah harus pulang. Walaupun dia hanya tinggal sendiri di rumah kostan khusus putri tapi dia berprinsip tidak boleh berada di luar rumah sampai larut malam meskipun itu dengan Bayu atau berada di rumah Bayu.
Hidup mandiri dan berusaha hidup dengan benar, apalagi Nia tidak ada keluarga bahkan kedua orangtuanya sudah lama tiada saat dia masih tinggal di kampung.
“Bun, aku pulang ya,” ujar Nia.
“Tapi Bayu belum datang,” sahut Ayah Bayu.
“Iya, Bunda nggak tega kamu pulang sendiri mana sudah malam dan masih hujan.”
“Aku bisa pakai taksi, Bun.”
Terdengar bel pintu. Ayah Bayu pun beranjak untuk membuka pintu rumah dan menuju pagar. Nia serta Ibunda Bayu memperhatikan dari beranda rumah, menduga Bayu yang pulang.
“Itu siapa Bun? Kok pakai setelan mirip Abang ya,” ujar Nia yang sudah mengenakan tas ranselnya.
“Entah, Bunda juga baru lihat. Apa teman Bayu, ya?”
Ayah berjalan menghampiri istrinya bersama seorang pria.
“Selamat malam, saya rekan kerja Bayu. Mohon maaf harus menyampaikan informasi ini. Mobil yang dikendarai Bayu kecelakaan, Bapak dan Ibu tolong ikut kami ke rumah sakit untuk memastikan apakah jenazah itu benar Bayu Andika,” tutur pria itu.
“Bayu ….”
“Nggak ini pasti salah, Mas-nya pasti salah, Abang masih hubungi aku waktu tadi siang,” ungkap Nia.
“Mbak pasti Kania, mohon maaf kami turut berduka cita.”
“Tidak, ini salah. Bayu janji akan pulang, kami akan menikah,” pekik Nia lalu berlari meninggalkan kediaman Bayu.
Yuda berjalan mondar-mandir di luar ruang tindakan operasi. Istrinya duduk di salah satu kursi tunggu stainless sambil sesekali mengusap air matanya. Menunggu tindakan operasi yang sedang berjalan, di mana putra mereka yang menjadi pasien.
Elvan dan dua rekan Bayu tiba di rumah sakit milik keluarga Hadi Putra dan langsung mendapatkan perawatan. Selain khawatir dengan kondisi putranya, Yuda pun terpukul dengan informasi bahwa jenazah yang berada di dalam mobil Elvan adalah benar Bayu Andika bahkan pihak keluarga sudah membenarkan ciri-ciri jenazah itu adalah Bayu Andika.
Sudah beberapa jam tindakan operasi berlangsung, akhirnya pintu ruang operasi pun terbuka dan lampu tanda operasi sedang berjalan pun padam. Keluarlah beberapa petugas medis termasuk dokter yang menangani tindakan Elvan.
“Bagaimana kondisi putra saya dok?” tanya Yuda.
“Tuan Yuda, operasi berjalan lancar dan pasien masih tidak sadar menunggu observasi pasca tindakan,” jelas dokter. Tentu saja informasi itu membuat Yuda dan istrinya lebih lega.
“Sudahlah, Elvan sudah aman,” ujar Yuda menenangkan istrinya. “Ada hal lain yang perlu kita kita pikirkan, keamanan hidup kita ke depan dan keluarga Bayu.”
...***...
Nia menggeliat dan terjaga dari tidurnya, merasakan nyeri di kepalanya. Ponsel yang berada di atas nakas terus bergetar tapi gadis itu mengabaikannya. Dia enggan menjawab panggilan yang masuk atau bahkan membaca pesan. Setelah mendengar kabar mengenai Bayu, Nia berlari di bawah guyuran hujan. Tangisnya saru dengan suara gemuruh, bahkan air matanya tidak kentara dengan air hujan yang menerpa wajahnya.
Kedua mata Nia bengkak dan sembab, dia berharap berita yang dia dengar semalam adalah mimpi. Walaupun mendengar dan melihat langsung saat informasi itu disampaikan. Bayu sudah tiada, Bayu sudah meninggalkan dunia termasuk dia untuk selamanya.
“Tidak, ini salah. Abang nggak mungkin ingkar janji,” gumam Nia.
Terdengar ketukan pintu. Dengan malas, Nia pun menurunkan kedua kakinya lalu berjalan gontai menuju pintu.
“Heh, punya ponsel itu dipakai jangan cuma buat cadangan,” marah Adam langsung melebarkan pintu dan masuk ke dalam kamar Nia.
Nia kembali menutup pintu lalu duduk di salah satu sofa.
“Nia, gue tahu lo sedih. Tapi lo harus ikut gue, kita antar laki lo ke tempat istirahat terakhirnya,” tutur Adam. Semalam Nia menghubungi Adam dan menceritakan musibah yang dia alami sambil menangis. Saat ini Adam sudah mengenakan setelan hitam walaupun tetap dengan gaya agak melambai.
“Aku nggak bisa, aku nggak sanggup,” ujar Nia lalu terisak dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Adam berpindah duduk di samping Nia, merangkul bahu gadis yang sedang terpuruk. Berusaha menenangkannya, karena paham akan kesedihan yang dialami oleh Nia. Bagaimana tidak, mereka akan menikah dalam hitungan hari tapi takdir berkata lain.
“Nia, yang kuat ya. Gue percaya lo bisa, jangan sampai suatu saat lo menyesal karena tidak pernah melihat atau mengantarkan Bayu untuk terakhir kalinya,” tutur Adam.
Hati Nia merasakan dilema antara harus pergi atau tidak. Begitu ingin memastikan kalau apa yang terjadi adalah kenyataan tapi dirinya seakan tidak sanggup.
Adam dan Nia tiba di kediaman Bayu. Ada tenda biru terpasang di rumah tersebut, bukan menandakan perayaan atau pesta tapi kedukaan. Ketika melihat beberapa bendera kuning tertancap di pagar dan ujung gang, hati Nia terasa teriris.
Nia terpaku tepat di depan kediaman keluarga calon suaminya. Sudah ramai pelayat, termasuk juga rekan kerja Bayu. Adam kembali merangkul bahu Nia, keduanya melangkah pelan sampai akhirnya berada di ruang tamu di mana jenazah terbaring dan telah siap dikebumikan.
Tangis Nia kembali pecah, manakala melihat foto Bayu tepat di atas kepala jenazah. Ibunda Bayu yang tidak mengetahui kedatangan Nia menoleh dan langsung memeluk gadis itu. Gadis yang seharusnya menjadi putrinya karena akan menikah dengan putranya.
“Aku nggak sanggup Bun, ini pasti salah. Abang pasti bercanda, dia akan tepati janjinya,” tutur Nia bersamaan dengan isak tangis.
“Bunda pun merasakan hal yang sama, rasanya bunda tidak akan sanggup menjalani hidup tanpa dia. Dia satu-satunya harta paling berharga yang Bunda miliki.”
Tidak ada yang bisa menahan kesedihan melihat kedua wanita itu saling menguatkan diri dan memastikan kalau yang mereka alami adalah kenyataan.
“Bunda, Nia, sudahlah. Bayu harus segera dimakamkan,” tutur Ayah.
Saat di pemakaman, Nia kembali menangis bahkan tidak sadarkan diri ketika tanah mulai diturunkan dan menimbun tubuh Bayu yang sudah terbujur kaku.
“Nia, woy kenapa pingsan,’’ seru Adam. “Buset mana panas banget badan lo,” pekiknya lagi.
Salah satu rekan Bayu membantu Adam membawa Nia ke salah satu mobil lalu menuju rumah sakit. Adam tidak tenang menunggu di depan UGD, karena Nia sedang dalam pemeriksaan.
“Lo bisa duduk nggak, mondar mandir gak jelas,” ujar Rekan Bayu yang membantunya membawa Nia ke rumah sakit.
“Eh, gue khawatir sama temen gue. Wajar kalau ekspresi gue kayak gini, bukan kayak lo yang pasang muka datar dan kaku kaya kanebo kering,” sahut Adam. “Nama lo siapa sih?”
“Bimo,” jawab pria itu yang kemudian berdiri dan mengeluarkan kartu nama diberikan kepada Adam. “Tolong hubungi gue terkait kondisi Nia,” titah Bimo.
Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kediaman Hadi Putra. Yuda sedang berada di ruang kerjanya mendapatkan laporan terkait pemakaman Bayu.
“Berikan yang terbaik untuk kedua orang tua Bayu, pindahkan mereka dari sana,” titah Yuda. Sudah bertemu dengan keluarga itu semalam dan dia menyaksikan sendiri bagaimana kesedihan orang tua yang kehilangan putranya.
“Bagaimana dengan tunangan Bayu, Pak?”
“Tunangan?” tanya Yuda.
“Betul, Pak. Bayu akan menikah dalam waktu dekat bahkan calon istrinya tadi tak sadarkan diri, Bimo yang membawa ke rumah sakit.”
Yuda menghela pelan lalu mengetikkan jarinya di atas meja. “Cari tahu identitas gadis itu termasuk perkembangan pelaku penyerangan. Aku tidak akan biarkan mereka tenang setelah membuat putraku celaka,” ancam Yuda.
“Bimo dalam perjalanan, dia dan timnya sudah mendapatkan kejelasan kasus ini,” ujar asisten Yuda.
Yuda menyadari jika dia memiliki banyak musuh, karena masa lalunya. Masih ada yang menyimpan dendam dan tidak akan tinggal diam melihat Yuda yang saat ini semakin sukses. Pembalasan dendam yang dia terima salah satunya dengan menyakiti keluarganya dan saat ini sedang Yuda terima.
“Halo,” ujar Yuda yang menjawab panggilan telepon dari istrinya.
“Pah, Elvan sudah sadar. Ini sedang diperiksa dokter,” seru sang istri di ujung telepon
Yuda menarik nafas lega, artinya dia akan fokus pada pelaku dan wanita yang ditinggalkan oleh Bayu. Bagaimanapun dia merasa bersalah dan harus bertanggung jawab, apalagi Bayu berkorban demi keselamatan putranya. Walaupun dia paham, umur manusia diatur oleh pemilik kuasa tapi Elvan selamat karena Bayu berinisiatif menukar kendaraan yang mereka gunakan.
“Tuan Yuda, Bimo sudah tiba,” ujar asisten Yuda.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!