Di sebuah malam yang dingin dan pekat. Tanpa diduga menyeruak hebat ledakan besar dalam sebuah rumah mewah. Beberapa tubuh penjaga terlempar ke segala arah. Membuat semua yang terkena ledakan pun terluka atau bahkan kritis. Tak cukup sampai di sana, potongan tubuh yang terkena ledakan tercecer di mana-mana.
Bukan hanya sekali. Nyatanya ledakan itu kembali menggelegar memecah kesunyian malam yang gelap. Disusul kobaran api yang dengan cepat menyulut beberapa bangunan atau barang di sekitarnya. Api mulai menyambar satu ruangan ke ruangan lainnya.
Lautan darah kian menggenang di lokasi kejadian. Teriakan putus asa terdengar di mana-mana. Asap hitam membumbung tinggi sebagai tanda besarnya kobaran api. Rumah besar itu dibabat habis oleh si jago merah dalam kurun waktu 30 menit sudah sampai di separuh bangunan yang ludes terbakar.
Di satu ruangan seorang gadis tengah berjuang dengan merangkak menuju nakas meja yang terdapat satu patung. Susah payah gadis itu mencoba menggapai pucuk patung tersebut. Akhirnya perjuangannya pun berhasil. Ia berhasil menekan ujung patung itu. Hingga tiba-tiba satu jalan keluar terbuka. Sebuah tangga di bawah sana terlihat gelap.
Tanpa rasa ragu, ia berusaha berdiri. Sesekali tubuh lemas itu sempoyongan ke kiri maupun ke kanan. Asap tebal tak ayal membuatnya terbatuk berulang kali. Pelan tapi pasti. Gadis itu mulai berjalan menuruni tangga. Dalam sekejap mata pintu yang membawanya ke tempat rahasia itu pun perlahan menutup.
"Alice, kamu harus kuat. Uhuk! Bertahanlah sebentar lagi." Gadis bernama Alice itu mencoba menguatkan diri.
Dengan kedua tangan menempel ke dinding untuk menopang tubuhnya, ia berhasil mencapai pintu bagian lainnya. Sekali lagi, tanpa ragu ia membuka pintu tersebut dan menutupnya.
Namun, siapa yang menyangka jika pintu tersebut langsung terhubung dengan sebuah jalan setapak yang lumayan licin. Karena tidak menyadari kondisi jalanan, Alice pun terpeleset dan tercebur ke dalam sungai.
"Argh!"
Suara jatuh tersebut lumayan keras. Tubuh Alice yang lemah itu sontak tenggelam ke dalam air. Beruntungnya, Alice menguasai teknik menyelam. Setidaknya Alice dapat membuat tubuhnya kembali ke permukaan.
"Ah, hah. Aku, aku selamat." Tubuh Alice masih terseret arus sungai. Napasnya pun menderu hebat lantaran kejadian beruntun yang sudah ia alami.
Ia masih belum berenang ke tepian. Matanya kini tertuju pada kobaran api yang membumbung tinggi ke udara. Sepertinya tidak ada lagi yang bisa diselamatkan di sana. Bahkan sebelum ini Alice samar-samar melihat beberapa anak buahnya meregang nyawa karena terpanggang.
"Siapa yang berani melakukan ini kepadaku? Atau musuh sudah menyerang saat aku tak sengaja tertidur? Ini aneh sekali. Aku sangat jarang tertidur ketika sore hari. Aku juga tidak selelah itu untuk bisa tertidur dengan cepat." Alice menggumam sedih.
Akan tetapi buru-buru ia kembali tenggelam ke dalam air. Itu dikarenakan telinganya yang tajam menangkap adanya suara segerombol orang berlarian. Alice tak mampu berbuat banyak selain menahan napas di dalam air.
Meski ia sangat penasaran siapa yang telah meledakkan rumahnya, Alice harus tetap bersembunyi karena ia tidak memiliki senjata apapun. Setidaknya ia harus menyelamatkan diri terlebih dahulu. Perkara balas dendam, Alice bisa mencari cara setelah ia lolos dari kematian.
Tubuh Alice mulai tak mampu menahan napas lagi. Gadis itu pun mengerahkan seluruh tenaganya untuk berenang menjauh dari suara langkah kaki orang. Nasib baik masih berpihak kepada Alice.
Gadis itu mampu naik ke pinggiran sungai. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Alice mencoba bangkit berdiri. Ia harus cepat pergi dari tempat tersebut atau ia akan berakhir menyedihkan.
"Aku harus segera pergi dari sini." Dengan tubuh yang menggigil kedinginan, serta tubuh basah Alice berjalan pergi meninggalkan tepi sungai.
Sesekali tubuhnya terhuyung-huyung karena rentetan kejadian yang menguras tenaga. Gelapnya malam dan suasana yang mengerikan tak menyurutkan nyali Alice untuk menyelamatkan diri.
Gadis itu terus menerobos hutan yang lebat. Tak lagi memperdulikan suara-suara binatang malam yang saling bersahutan. Tujuannya hanya satu yaitu menyelamatkan diri.
"Setahuku ini sedikit lagi jalan raya." Alice menggumam lirih.
Gadis itu sangat berharap jika nanti ada yang bisa menyelamatkan nyawanya. Senyuman mengembang di bibir Alice saat ia bisa melihat banyak cahaya yang bergerak.
"Aku selamat." Alice mengerahkan seluruh tenaganya yang ada. Ia berlari cepat menuju keramaian.
Namun saat ia baru saja menjejakkan kakinya di jalanan beraspal tersebut, tiba-tiba tubuh Alice dihantam keras hingga tubuhnya terpelanting dan terjatuh ke jalan. Mata Alice melebar ketika merasakan rasa sakit luar biasa pada tubuhnya.
"Astaga! Ma, papa menabrak seseorang!"
Seorang pria paruh baya berteriak saat mengetahui mobilnya menabrak tubuh seseorang sampai terjatuh. Theo Hamilton tak mampu menyembunyikan wajah paniknya.
Begitu pula dengan Cessie Agata. Wanita yang berada di sampingnya juga tak kalah panik. Terlebih lagi ada banyak orang yang sudah mengerumuni mobilnya. Hal itu tentu saja menyulitkan keduanya untuk melarikan diri.
—
"Papa! Mama!" Seorang gadis cantik berlari mendekati kedua orangtuanya. Wajahnya yang menawan tak bisa menyembunyikan kepanikan dan ketakutan.
"Maise, mama takut. Banyak orang yang tahu kalau Papa dan mama menabrak orang!" Cassie berteriak tertahan. Kedua matanya pun berkaca-kaca ingin mengeluarkan tangisan.
"Ma, bisa diam dulu nggak? Please, Maise punya ide saat kalian bilang menabrak seorang gadis yang usianya hampir sama dengan Maise," ucap Maise.
"Apa maksudmu, Maise? Papa sebentar lagi akan dipenjara dan harkat martabat keluarga Duke dipertaruhkan! Bagaimana bisa kamu menyuruh kami untuk tetap diam?" sentak Theo.
Maise tak segera menjawab. Ia melirik ke kanan dan kiri seperti mengamati keadaan sekitarnya. Senyuman smirk terbit di bibirnya. Ia sudah memikirkan hal ini ketika masih berada di rumah.
"Gadis itu kita bawa ke rumah. Bilang sama dokter kalau keluarga kita akan memberikan perawatan terbaik untuknya. Maise dengar hadiah pernikahan dari kerajaan sangat besar. Jangan menolaknya. Pokoknya, bawa pulang dulu gadis itu." Maise berbisik setelah mengetahui keadaan sepi.
Kedua orangtuanya tampak kebingungan. Meski begitu Theo menganggukkan kepala. Pria paruh baya tersebut berlalu tanpa berpamitan. Cessie ingin sekali bertanya kepada Maise, tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia sadar jika saat ini masih berada di tempat umum.
Setelah melewati banyak prosedur, akhirnya Theo, Cessie dan Maise berhasil membawa Alice keluar dari rumah sakit. Alice yang baru saja melewati masa kritisnya itu hanya bisa pasrah saat ia dibawa keluar dari rumah sakit.
"Setidaknya aku memiliki tempat untuk berteduh. Perkara balas dendam aku masih bisa mencari jalannya. Dengan berpura-pura mengalami amnesia, aku pikir keluarga ini mampu menampungku. Dilihat dari semua yang mereka kenakan, mereka bukan orang sembarangan," batin Alice dalam hati.
"Selamat datang di rumah! Maaf ya, kami harus membawamu pulang ke rumah ini. Soalnya ketika kami mencari tahu tentangmu, kami semua tak mendapatkan hasil apapun. Ah, iya. Mulai sekarang namamu Maise! Maise, putri kami. Kau tidak keberatan? Selagi kamu belum tahu siapa keluargamu yang asli," papar Theo.
Alice termenung. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu dibalik kebaikan mereka. Akan tetapi Alice harus tetap mengikuti arus. Ia harus bersikap jika dirinya percaya terhadap satu keluarga itu.
"Maise? Nama yang indah," ucap Alice menyetujui kata-kata Theo.
"Maise Rosaline. Mama memang memberimu nama yang indah. Hanya saja jalan hidup kamu tidak seindah nama yang mama berikan," ucap Cessie.
"Ma, jangan berbicara aneh-aneh," tegur Theo.
"Kenapa aneh? Ini karena Papa yang menyetujui perjanjian gila itu tanpa berbicara dengan mama. Anak mama yang cantik ini harus kabur dari rencana pernikahan paksa itu. Lihat sekarang! Maise-ku yang cantik ini mengalami kemalangan. Putri mama tidak mengingat mama. Ah, betapa malangnya." Cessie terisak.
Alice mulai menangkap sesuatu yang salah. Ia bisa menebak jika saat ini ia sedang ditipu. Mengatakan dirinya memiliki nama Maise. Lalu lari dari pernikahan paksa.
"Apakah mereka berdua sedang mencari pengganti gadis bernama Maise untuk menjalani pernikahan paksa?" tanya Alice dalam hati.
Sebuah perhelatan akbar menyambut keluarga Duke Theo Hamilton. Tentu saja untuk ukuran orang yang serakah, ini sudah membuat mereka semua membusungkan dada dan menjadi besar kepala. Alice mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Semua desain sangat unik. Bahkan sepertinya memiliki arsitek yang sangat berkompeten.
"Selamat datang Duke Theo. Mari masuk ke dalam. Raja Charles sudah menunggu Anda." Seorang laki-laki muda menyambut kedatangan Theo.
"Ah, apakah kami datang terlambat?" tanya Theo.
"Tidak. Hanya saja Raja Charles sudah tidak sabar untuk membicarakan masalah pernikahan Pangeran Arthur. Em? Apakah ini Nona Maise yang terkenal cantik itu?" Laki-laki muda itu menunjuk Alice.
"Ya! Kemarilah! Tuan Alpha mencarimu." Theo Hamilton menarik tubuh mungil Alice untuk mendekat. Situasi itu cukup untuk membuat satu alis laki-laki muda bernama Alpha itu terangkat.
Alice membungkukkan setengah tubuhnya dengan elegan. Lalu ia memperkenalkan dirinya. "Halo, Tuan. Nama saya Maise."
Theo Hamilton dan Cessie Agatha menautkan keningnya. Tak lama kemudian keduanya saling berpandangan. Padahal jelas-jelas mereka belum pernah mengajarkan attitude kebangsawanan pada Alice. Akan tetapi Alice seperti sudah sangat mengenali kode etik bangsawan.
Alpha menganggukkan kepala. Untuk menutupi rasa terkejutnya laki-laki muda itu berjalan tegas ke depan. Alice dapat melihat bagaimana pilar-pilar emas menjulang tinggi itu terlihat sangat kontras dengan ukiran-ukiran nuansa kerajaan. Sambil berjalan mengikuti Alpha, Alice mencoba mengingat setiap sudut kerajaan Inggris tersebut.
"Silahkan Anda semua masuk. Di dalam Raja Charles sudah menunggu." Alpha menghentikan langkah kakinya tepat di sebuah pintu besar berwarna emas dan lagi-lagi menjulang tinggi.
"Anda tidak ikut masuk?" tanya Theo.
"Saya? Maaf. Saya tidak berhak berada di sana bilamana Raja Charles tidak memanggil saya. Masuklah, Dukes," jawab Alpha.
"Sudah, ayo masuk." Cessie Agatha menarik tangan suaminya sepertinya ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Raja Charles.
Sehingga mau tak mau Theo Hamilton membuka pintu besar itu dan melangkah masuk. Begitu dua orang itu masuk ke dalam ruangan besar itu, kini giliran Alice yang harus berjalan melewati Alpha. Sekilas, Alice merasa bahwa Alpha sempat mengawasinya. Tentu saja Alice segera menoleh. Namun, Alpha malah memutar tubuhnya dan berlalu begitu saja.
"Kenapa kamu tidak ikut masuk, Maise? Ayo, jangan membuat keluarga kita menerima hukuman hanya karena kesalahan kecil yang kamu buat," tegur Cessie Agatha.
Alice buru-buru ikut masuk ke dalam satu ruangan besar. Di dalam sana rupanya ada sepasang suami istri yang tersenyum ramah kepadanya. Seolah sedang menyambut kedatangannya. Hal yang tak biasa bagi Alice. Membuat gadis itu meneguk ludahnya sendiri. Sebagai seseorang yang memiliki status sosial berlawanan dengan Raja Charles, sedikit membuat Alice gugup.
"Aku pikir Duke tidak akan datang, Theo," sambut Raja Charles.
Theo terkekeh kaku. Laki-laki berusia paruh baya itu membungkuk hormat. "Bagaimana bisa Anda berpikir seperti itu, Yang Mulia Raja? Salam hormat untuk Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu. Semoga kedamaian dan kemakmuran senantiasa mengiringi Kerajaan Inggris ini. Maafkan saya, Raja Charles. Sepertinya saya sudah membuat Yang Mulia menunggu."
"Ah, jangan sungkan, Theo. Kemarilah dan bawa calon menantuku. Aku ingin melihatnya dari dekat," pinta Raja Charles.
"Maise, Raja Charles ingin kamu mendekat. Tidak apa-apa jangan takut. Maaf, Yang Mulia Raja. Bila Maise sedikit takut. Karena sejak pagi dia sangat gugup ketika kami mengatakan bahwa Raja mengundang makan malam. Jadi, maaf jika sikap Maise sedikit mengecewakan, Yang Mulia," papar Theo.
Alis Raja Charles menukik tajam. Ia tersenyum untuk mencairkan suasana. "Kenapa gugup? Kamu akan menjadi menantu di sini. Kemarilah. Duduklah di samping Ratu Meidena."
Alice mengangguk. Lalu ia mendekati Ratu Meidena. Gadis itu tersenyum canggung dan duduk tepat di samping Ratu Meidena. "Selamat malam, Yang Mulia Ratu."
Ratu Meidena tersenyum. Wanita yang mendampingi penguasa daratan Inggris itu menatap Cessie Agatha. "Anak gadis ini terlalu murni, Yang Mulia Raja. Saya pikir, Maise cocok untuk Pangeran Arthur."
"Ratu, apa tidak terlalu cepat untuk mengambil keputusan?" tanya Raja Charles.
"Apakah Yang Mulia Raja ingin kembali mengulang masa lalu? Saya menyukai Maise. Kalau Yang Mulia tidak setuju, juga tidak masalah. Kalau begitu jangan mencari jodoh untuk Pangeran Arthur. Saya hanya ingin menantu yang polos dan murni. Gadis yang masuk ke dalam kehidupan Pangeran Arthur haruslah gadis lemah lembut tanpa tujuan apapun." Ratu Meidena menatap tajam sang suami. Laki-laki yang sedang menarik napas dalam-dalam itu sepertinya mulai setuju dengan keinginan sang istri.
"Duke, sepertinya malam ini bukan tentang makan malam biasa. Tapi juga membahas perihal pertunangan Pangeran Arthur dan Putri Meise. Setelah makan malam, bagaimana kalau kita langsung berbicara mengenai hal itu?" ucap Raja Charles.
Tentu saja Duke Theo sangat menantikan hal ini. Namun, ia tidak menyangka apabila akan mendapatkan kesempatan ini dengan mudah. Ekspresi wajah Duke Theo sama sekali tak dapat disembunyikan. Begitu pula dengan Duchess Cessie yang sama halnya sang suami sangat senang dengan keputusan Raja dan Ratu Inggris itu.
"Oh! Ini sungguh berita baik bagi keluarga rendahan seperti kami, Yang Mulia Raja. Tapi, sungguh Yang Mulia Raja ingin menjadikan Meisi anggota kerajaan? Ah, maaf. Bukan saya tidak menghargai keputusan ini. Hanya saja ini seperti mimpi," sahut Theo.
"Ratu sudah mengatakannya sendiri. Mari, kita selesaikan makan malam ini. Setelah selesai kita akan membahas hal-hal yang harus kita siapkan. Duduklah. Apa kalian ingin berdiri terus?"
Setelah kata-kata Raja Charles selesai, Cessie Agatha dan Theo Hamilton mulai duduk. Keduanya tersenyum seraya melirik ke arah Alice yang menatap sinis ke arah keduanya. Sontak saja, mata Theo melotot membalas tatapan Alice. Gadis itupun segera memalingkan wajah begitu Theo menatapnya tajam.
Makan malam pun terlaksana dalam diam. Tidak ada yang berani berbicara saat makan malam itu berlangsung. Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Akhirnya mereka semua telah selesai makan malam. Alice merasa tidak nyaman ketika berada di sana. Karena Theo berulang kali meliriknya dengan tajam. Seolah itu merupakan sebuah peringatan untuknya.
"Maaf menyela, Yang Mulia Raja. Apakah saya boleh ke kamar mandi?" Alice berdiri. Ia memilih menatap Raja Charles saat menyadari Theo meliriknya tajam.
"Boleh. Di depan biasanya ada pengawal. Putri bisa meminta salah satu untuk mengantar ke kamar mandi," kata Raja Charles.
"Baik. Terima kasih." Alice membungkuk setengah badan dan berlalu dari sana. Meninggalkan Cessie dan Theo di sana.
Namun ketika sampai di luar ruangan megah itu, Alice justru meminta untuk diantar menuju ke taman. Alice cukup muak dengan suasana yang berada di sana. Theo terlalu memonopoli. Sedangkan karakter Alice, ia merupakan seorang yang tidak bisa diatur karena sebelum ini Alice seorang ketua mafia.
"Hah. Lebih enak di sini. Pikiran jauh lebih tenang." Alice duduk di bangku kayu yang panjang. Matanya menatap gelapnya malam dengan sendu.
"Alpha, apakah dia ada di depan sana?"
Sebuah suara bariton cukup mengejutkan Alice. Gadis yang tengah memejamkan kedua matanya itu menoleh ke kanan. Terlihat di sana Alpha yang menemuinya di depan tadi sedang membawa seorang laki-laki muda di kursi roda. Alice mengerutkan keningnya. Lantaran di tengah gelapnya malam, laki-laki itu malah mengenakan kacamata hitam.
"Benar, Pangeran. Putri Meise tepat berada di depan Anda. Putri sedang duduk di bangku taman," jawab Alpha.
"Apakah dia sedang menatapku dengan bingung?" tanyanya kembali.
"Benar, Pangeran Arthur."
"Bawa aku lebih mendekat," pinta Pangeran Arthur.
Alpha tak membalas kata-kata Pangeran Arthur. Akan tetapi Alpha langsung membawa Pangeran Arthur untuk lebih mendekat ke tempat Alice. "Selamat malam, Putri Meise. Perkenalkan ini Pangeran Arthur."
"Kenapa tak menjawab? Apa kamu sedang berpikir betapa menyesalnya dirimu bahwa calon suamimu ini tidak hanya buta. Tapi juga lumpuh. Begitu?" Suara bariton itu lagi-lagi menyudutkan Alice.
"Maaf, tapi saya sedang tidak berpikir apa-apa," sahut Alice.
"Bohong!"
Teriakan itu membuat Alice tersentak kaget. Bukankah mereka baru bertemu? Mengapa laki-laki tak dikenalnya itu malah membentaknya? "Apa maksud laki-laki ini?"
"Kenapa kamu diam saja?" Pangeran Arthur bertanya.
Satu alis Alice terangkat. Ia mengernyit bingung dengan sikap Pangeran Arthur yang terlalu arogan. Alice menatap Alpha dengan bingung. Terlihat Alpha tak ingin menjawab kebingungan Alice. Membuat Alice mengerucutkan bibir dan mengendikkan bahu.
"Saya pikir tidak ada yang perlu dibahas di sini, Pangeran. Kalau begitu saya permisi dulu." Alice memilih untuk menyudahi hal ini.
"Kenapa kamu pergi? Apa karena aku ini buta dan lumpuh sehingga kamu bisa bertindak seenaknya? Betapa sombongnya dirimu! Setidaknya sebelum kamu menghinaku, kamu harus sadar diri status kebangsawanan keluargamu. Keluarga Duke Theo Hamilton merupakan keluarga yang sama sekali bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kerajaan Inggris!" Kalimat penuh penekanan dilemparkan oleh Pangeran Arthur.
Satu sudut bibir Alice tertarik. Membuat Alpha terkejut. Alpha mengamati setiap perubahan mimik wajah Alice. Gadis itu sama sekali tidak terbebani dengan intimidasi dari Pangeran Arthur. Gadis di depan mereka kali ini bahkan masih berdiri tegak tanpa rasa takut.
"Anda salah besar bila berpikir bahwa status kebangsawanan itu penting untuk saya. Silahkan saja lakukan apa yang Anda inginkan. Saya tidak peduli. Di dunia ini hukum saja bisa dibeli. Apalagi harga diri seseorang. Saya hanya ingin menjalani hidup dengan tenang. Itu saja." Alice tersenyum dan kemudian dia berlalu meninggalkan Pangeran Arthur dan Alpha.
"Putri Maise pergi, Pangeran. Apakah Anda ingin saya menyusulnya?" tanya Alpha.
"Bagaimana ekspresi wajahnya?" balas Pangeran Arthur.
"Datar. Tidak terlihat emosi apapun, Pangeran. Maafkan saya. Mungkin saja saya tidak sengaja melewatkan sesuatu," jawab Alpha.
Hening melenggang. Pangeran Arthur tampak berpikir. Alpha tidak berani menegur. Akan tetapi jelas sekali tatapan gadis yang baru saja pergi itu seolah tidak memiliki emosi apapun. Alpha sudah banyak bertemu dengan orang dari berbagai status sosial. Tidak banyak dari mereka yang memperlihatkan berbagai ekspresi secara terang-terangan. Berbeda dengan gadis yang baru saja mereka temui.
"Menarik."
"Apa maksud Pangeran?" tanya Alpha bingung.
"Sudah berapa tahun aku buta, Alpha? Kamu yang selama ini menjadi pengganti kedua mataku. Aku selalu mempercayai penglihatanmu. Aku pikir tidak salahnya menerima perjodohan ini. Dia sedikit menarik." Jawaban Pangeran Arthur membuat Alpha kebingungan.
Pasalnya tidak pernah tuannya itu bersedia menerima perjodohan pernikahan yang diatur oleh Raja dan Ratu Inggris. Meski begitu Alpha nyatanya juga tak berani mengeluarkan pendapatnya.
"Ayo, kita kembali ke ruang makan," ajak Pangeran Arthur.
Alpha segera mendorong kembali kursi roda Pangeran Arthur. Mereka berdua menuju ke ruang makan di mana tempat mereka semua berkumpul sebelumnya. Di sisi lain, Alice tersudut. Ketika dirinya kembali tadi, ia sudah ditodong dengan berbagai pertanyaan.
"Kami tidak sabar menggelar acara pertunangan ini," ucap Cessie.
"Benar, Duchess. Ini semua harus kita pikirkan dengan matang. Saya ingin pernikahan Pangeran Arthur ini digelar dengan meriah." Ratu terlihat sangat antusias.
"Bagaimana, Putri Maise? Setidaknya kami juga harus mendengarkan keinginanmu dalam pesta pertunangan dan pernikahanmu dengan Pangeran Arthur nantinya. Kami juga akan mengadakan pesta itu sesuai keinginanmu kapan tepatnya kamu ingin mengadakan pesta pertunangan maupun pesta pernikahan." Raja ikut menimpali dengan ekspresi wajah yang bahagia.
"Bagaimana kalau pesta pernikahan itu digelar secepatnya, Ayah? Boleh? Anggap saja ini sebagai permintaan dari seorang anak yang tidak berguna. Setidaknya dengan aku menikah kalian tidak akan repot-repot lagi untuk mencari calon lagi bukan?" Suara Pangeran Arthur terdengar membahana. Membuat semua orang menoleh ke arah pintu utama.
"Arthur? Kamu sudah menyetujui pernikahan yang kami atur?" tanya Raja.
"Benar, Ayah. Aku merasa kami berdua bisa langsung naik pada tahap pernikahan. Setidaknya untuk menekan biaya supaya tidak membesar. Bukankah dengan langsung menikah akan menghemat biaya pesta pertunangan yang digelar? Itu tidak perlu. Aku sudah berbicara dengan Putri Maise ketika di taman tadi." Pangeran Arthur menjelaskan keinginannya dengan lantang dan tegas.
Hal itu tentu saja membuat Raja dan Ratu berbahagia. Namun di samping itu, ada Duke Theo dan Duchess Cessie yang lebih berbahagia dan lega. Tentunya karena rencana mereka telah berhasil dengan mulus. Pengganti putri mereka setidaknya berguna untuk menyelamatkan reputasi mereka yang bisa saja hancur kapanpun.
Di sisi lain Alice yang sadar telah dikorbankan itu menatap penuh amarah pada sosok Alpha. Meski tidak terlihat ekspresi apapun, tapi Alice benar-benar marah karena harga dirinya direndahkan. Alice menatap tidak suka ke arah Alpha.
"Kenapa tidak ada yang bersuara lagi? Apakah kalian tidak setuju karena aku ingin mempercepat semuanya?" Suara Pangeran Arthur membuat Raja dan Ratu menoleh. Keduanya sadar karena terlarut dalam euforia kegembiraan yang tiada terkira.
"Ehem. Duke Theo, bagaimana jika kita langsung membahas pernikahan? Putra kami sepertinya sangat menyukai Putri Maise. Mengingat ini merupakan keinginan darinya. Karena selama ini Pangeran Arthur memang tidak tertarik dengan banyak calon yang kami pilihkan. Untung saja kami mengingat ada Putri Maise yang terkenal ini. Syukurlah," papar Raja.
"Apa aku boleh minta Putri Maise menemaniku, Ayah? Ada banyak yang ingin kami bicarakan. Aku juga ingin memberi tahu semua yang ada di kerajaan ini. Supaya nantinya dia mengenal tempat ini. Bolehkah, Ayah?" Pangeran Arthur sedikit memohon. Membuat Ratu tidak tega dan ia menyentuh tangan Raja.
"Baiklah, Nak. Silahkan bersenang-senang. Putri Maise bisakah Putri mengabulkan keinginan anakku?" Pertanyaan dari Raja hanyalah sebuah perintah.
Tentunya Alice tidakn akan bisa berkutik. Gadis itu mengukir senyuman dan berdiri. Kemudian dia mengambil alih posisi Alpha yang berdiri di belakang Pangeran Arthur.
"Maaf, Tuan Alpha. Bisakah Anda minggir sebentar. Saya yang akan menggantikan posisi Anda sekarang. Pangeran Arthur yang meminta saya untuk ikut melihat kerajaan Inggris. Bisakah Anda minggir?" Kata-kata Alice membuat Alpha mau tak mau mundur.
Ia membiarkan Alice mengambil alih. Setelahnya Alice berpamitan kepada semua orang sebelum akhirnya ia membawa Pangeran Arthur menghilang dari ruangan besar itu. Dengan terburu-buru, Alpha mengikuti keduanya dari belakang.
"Malam yang indah. Apakah Anda ingin saya menikmati keindahan ini bersama Anda?" tanya Alice.
"Apakah kamu sedang berpikir bahwa aku sedang jatuh hati kepadamu?" balas Pangeran Arthur.
"Tidak. Saya cukup sadar diri siapa saya. Tapi ngomong-ngomong, apa yang ingin Anda katakan? Bisakah Anda memberitahu saya?" Alice kembali bertanya tanpa basa-basi.
Hening. Pangeran Arthur tidak segera menjawab pertanyaan Alice. Laki-laki itu tampak seperti sedang berpikir. "Kamu seperti sudah paham arah pembicaraanku. Aku bahkan hanya mengatakan hal-hal yang ambigu."
"Ya. Setidaknya saya benar untuk itu," sahut Alice.
"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu." Pangeran Arthur mulai mengubah topik pembicaraan langsung pada intinya.
"Sepertinya kita juga harus membahas keuntungan yang akan saya dapatkan, dari kesepakatan kita, Pangeran," sarkas Alice.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!