BRAK!!
Seorang pemuda berusia dua puluh tahunan menggebrak meja sekuat tenaga dengan penuh amarah. Untunglah ruangan itu merupakan ruang VIP yang terpisah dari area makan restoran untuk umum, kalau tidak, entah akan ada berapa pasang mata yang tertarik untuk melihat pertengkaran di antara ayah dan anak itu.
"Apa Papa bilang?? Menikah lagi?? Kuburan mama bahkan belum sepenuhnya kering dan Papa sudah memutuskan untuk mencari pengganti mama?!" serunya dengan tangan mengepal di atas meja. Wajah tampan pemuda itu terlihat memerah karena amarah. Rahangnya mengeras, terlihat saling mengetat karena tak mampu menahan gejolak luapan amarah yang saat ini tengah berkecambuk di dalam hatinya.
"Papa juga punya kebutuhan, Dimas. Papa harap kamu tenang dan juga dengerin Papa dulu." Pria paruh baya ini terlihat menanggapi amarah sang putra dengan santai, wajahnya tidak menunjukan amarah karena memang semua ini adalah kesalahannya. Padahal baru tiga bulan yang lalu istrinya meninggal, namun belum genap seratus hari masa berkabung ia telah menunjuk gadis baru sebagai pengganti sang istri.
"Kebutuhan?? Papa sudah gila, ya?? Papa sudah hampir kepala lima tapi mau menikahi dengan wanita yang bahkan usianya lebih muda dari pada Dimas!!!" Ardimas Eka Prasetya, ya, itulah nama pemuda yang saat ini tengah menatap galak ke arah papanya.
"Ralat, usia Papa baru 45 tahun, Dimas!! Papa berhak menikah dengan siapa pun dan kembali jatuh cinta. Papa tidak berbuat zina selama Mamamu hidup, Papa tidak pernah berkhianat, Papa tidak pernah berselingkuh. Kali ini pun pernikahan yang akan Papa jalani dengan gadis itu juga adalah pernikahan yang sah baik di mata hukum atau pun agama." Surya Eka Prasetya, pria itu mulai meninggikan suaranya lantaran putra tunggalnya berani mengumpat padanya.
"Pokoknya Dimas nggak setuju kalau Papa nikah lagi!!" Tapi Dimas tidak takut dicap sebagai anak durhaka karena ia sungguh kecewa berat dengan pemikiran papanya.
"Papa cuma ingin kamu tahu, bukan meminta persetujuanmu!!" Surya menghela napas panjang, berusaha tenang kembali.
"Oh, gitu!! Kalau nggak mau tahu pendapat Dimas, ngapain Papa ajak Dimas bicara di restoran mewah ini???" Dimas membanting serbet makan di atas meja, semakin muak mendengar celotehan papanya. Nafsu makannya pun telah menghilang, menguap bersamaan dengan rasa hormatnya terhadap pribadi sang ayah.
"Untuk mengenalkanmu pada Luna, Dim. Karena setelah ini dia akan jadi mama kamu juga! Kita akan jadi keluarga!" Surya mencoba membuat putranya mengerti dan mau menerima calon istrinya sebagai keluarga. Meski hanya ibu tiri, Surya yakin Luna bisa menjadi pengganti mama yang baik bagi Dimas.
"Gila!! Dimas tidak akan sudi memanggil pe la cur itu dengan sebutan Mama!!"
"JAGA MULUTMU DIMAS!! Luna adalah gadis baik-baik!"
"Gadis baik-baik?? Hahaha ... mana ada gadis baik-baik yang mau diperistri oleh pria yang seumuran dengan bapaknya sendiri?? Dia pasti hanya ja lang kecil yang merayu Papa!! Dia hanya menginginkan harta Papa saja!!" Dimas tertawa sumbang. Baginya Luna tak lebih dari sugar baby sang ayah.
"Sudah Papa bilang jangan bicara sembarangan tentang Luna. Kamu belum pernah bertemu dengannya jadi jangan me--"
"Tidak perlu bertemu, mendengar namanya saja sudah membuatku muak! Silahkan, nikmati saja makan malam ini berdua dengan ja lang itu, Pa!! Dimas pergi!!"
BRUG!
Suara benda jatuh membuat keduanya menoleh. Tepat di tengah pintu, seorang gadis cantik tak sengaja menjatuhkan tas tangannya saat mendengar keributan antara ayah dan anak barusan. Mata bulatnya bergetar karena menahan air mata. Hatinya merasa pilu mendengar semua adu mulut barusan. Luna memang akan menikah dengan seorang pria berumur, namun ia tak pernah merayu pria apalagi menjual diri sebagai wanita mu rahan.
"Ma ... maaf," latah Luna, ia bergegas jongkok untuk mengambil tas tangan dengan tergesa. Tak ingin membuat keadaan menjadi semakin canggung.
Luna menggigit bibir mungilnya, menahan diri agar tidak menangis, menahan tangannya untuk tidak bergetar. Biasanya hal ini sangat mudah dilakukan, biasanya Luna sangat pandai dalam menjaga perasaan. Tapi entah kenapa, detik itu semua pelatihan yang ia terima sepanjang hidupnya seakan tak berguna. Ucapan yang terlontar dari bibir Dimas jauh lebih tajam dan menyakitkan. Yang bahkan bisa menyayat hatinya meski pun tidak ada bilah pisau yang diayunkan.
Luna sadar ia tak bisa selamanya berjongkok dan lari dari kenyataan. Mau tidak mau ada masalah yang harus dihadapi, keduanya akan menjadi bagian dalam hidup Luna begitu akad nikah dilangsungkan.
Setelah mengambil napas sepanjang mungkin, Luna bangkit dan mengumbar senyuman semanis dan sehangat yang ia bisa. Menunjukkannya pada Surya dan Dimas kalau ia baik-baik saja. Tatapan mata sayunya terarah pada Dimas, Luna bisa melihat dengan jelas sorot mata yang penuh dengan amarah itu tengah menatapnya. Mata elang Dimas sungguh menguliti keberaniannya.
"Oh, jadi kamu calon ibu tiriku. Ck, pantas saja Papaku tergila-gila padamu. Dasar cewek murahan!" Dimas menyunggingkan bibirnya dengan nada mencemooh. “Memang ya, we can’t judge book from its cover.”
Dimas mengamati gadis mungil dengan wajah polos tanpa make up tebal, gaun biru muda selututnya bahkan terlihat sangat sopan. Rambutnya juga hitam dan lurus, tidak ada bekas curly, coloring, atau pun smoothing seperti khas wanita murahan pada umumnya yang suka sekali menata rambut di salon.
"Jaga mulutmu, Dimas!!" Surya tidak suka anaknya terus menyudutkan calon istrinya.
"Cih," decih Dimas, ia tak menghiraukan wejangan sang ayah dan melangkah untuk meninggalkan ruang VIP, dengan kasar ia sengaja menyenggol bahu Luna sebelum keluar.
"Ack--" pekik Luna tertahan, tubuhnya terlalu kecil bila dibandingkan dengan tubuh atletis Dimas.
"Lihat saja!! Jangan harap bisa hidup tenang setelah menikah dengan papaku! Aku akan membuat hidupmu bagaikan di dalam neraka setiap hari!" bisik Dimas sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan ruang VIP di restoran berbintang lima ini.
Luna menunduk, tak berani mengangkat kepalanya. Kenapa penghinaan ini harus jatuh kepadanya? Apa salah Luna? Dia juga tak menyangka kalau jodohnya akan jatuh pada seorang pria dengan umur yang jauh lebih tua darinya.
Kenapa dia harus menikahi Surya?
...— BERSAMBUNG —...
Hai, kalau suka bisa langsung cuss divote, like, dan kasih komentar terbaik kalian ya, jangan lupa juga kasih gift supaya Othor semakin semangat dalam berkarya. Makasih Bellecious
Kenapa dia harus menikahi Surya?
Hujan, rinainya terdengar begitu riuh. Dulu, hujan adalah hal yang paling Luna sukai. Di bawah hujan dia bisa mendapatkan banyak inspirasi untuk tulisannya. Hujan selalu menghadirkan banyak ide romantis yang bisa mengisi lembaran-lembaran kosong dalam buku novelnya.
Namun, hujan yang turun satu bulan lalu membuat Luna tak lagi mencintai hujan. Kenapa?
“Pa? Ada apa?” Luna kaget saat melihat banyak orang berkerumun di halaman, lalu ada beberapa petugas kepolisian dan juga pejabat pemerintahan di dalam rumah. Wajah mereka terlihat tidak bersahabat, dari situlah Luna bisa menyimpulkan kalau ada sesuatu yang salah dengan kelakuan ayahnya.
“Luna,” lirih Benny, dia menatap putri kandungnya dengan sendu, hatinya diliputi oleh perasaan bersalah.
“Papa kenapa diborgol? Mereka siapa, Pa?” Luna menatap bingung semua orang. Namun sampai detik sang ayah digiring ke kantor polisi pun, tidak ada yang memberi tahu Luna kesalahan sang ayah. Mungkin kasihan, mungkin malu, mungkin juga merasa bersalah.
Luna baru tahu keesokan harinya. Benny Ryanto, seorang Jaksa wilayah dituduh menerima suap dan melakukan banyak korupsi pada kasus kasus yang ia tangani. Membuat KPK menangkapnya dan menjebloskan Benny ke penjara. Mereka menyita rumah dan semua harta atas nama Benny.
“Pa?? Apa semuanya benar, Pa?” Luna menangis, terisak-isak di depan sang ayah yang hanya bisa menunduk lesu di balik jeruji besi ruang besuk rutan kelas satu.
“Maafin Papa, Nak. Papa khilaf.” Benny hanya mampu menggenggam tangan sang putri, karena memang hanya tangannya yang bisa keluar. Luna pun semakin terisak. Ternyata benar, sang ayah telah melakukan tindakan kriminal yang membuat mereka harus kehilangan segalanya. Rumah, mobil, harta, dan semua perhiasan disita negara. Hanya satu buah koper berisi pakaian milik Luna yang tersisa.
“Luna tak tahu lagi harus ke mana, Pa. Rumah kita di sita, mereka bahkan tak mengijinkan Luna membawa foto Mama.” Luna kembali menangis, ia mengeluhkan nasibnya. Luna tak punya lagi tempat yang bisa ia tuju, rumah telah di sita, para keluarga besar Ryanto menganggapnya aib karena telah menjadi noktah hitam di atas putihnya kertas reputasi keluarga Ryanto yang berlatar belakang penegak hukum ini.
“Tenang, Luna. Tenang. Papa sudah menghubungi sahabat Papa sebelum masuk penjara. Memintanya untuk menjagamu.” Benny menggenggam tangan Luna, menyelipkan secarik kertas bertuliskan nomor telepon milik Surya, sahabatnya.
Setelah selesai mengunjungi sang ayah, Luna tak punya pilihan selain menghubungi Surya. Luna sama sekali tidak menyangka bahwa sopan santunnya pada Surya saat pertama kali bertemu membuat pria kesepian itu jatuh hati kepadanya. Surya yang telah menduda selama dua bulan mulai merindukan sosok hangat dan juga senyuman manis seorang wanita menghiasi ranjangnya di pagi hari. Ia merindukan aroma manis dari tubuh wanita saat dipeluk.
Istrinya telah menderita sakit parah semenjak tiga tahun lalu, dan selama tiga tahun itu pula Surya tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan kehangatan seorang wanita. Luna yang sopan, manis, dan juga lembut membuat Surya begitu menyukai sosok feminim Luna. Pertama Surya enggan untuk meneruskan perasaannya karena ia sadar betul tentang beda usia mereka yang terlalu jauh.
Tapi apa daya, hati tak bisa ditipu dan cinta itu buta. Surya mendatangi lapas tempat Benny di tahan untuk melamar Luna.
“Aku akan menjaganya, Ben. Sungguh, aku tulus.” Surya sungguh dikuasai dengan perasaannya.
“Gila kamu, Sur!! Kita sahabatan udah lama, kamu mau ngerusaknya?! Luna lebih cocok jadi menantumu dari pada istrimu!” Tentu saja Benny menolak permohonan sahabatnya itu mentah-mentah.
“Coba kamu pikir, siapa yang akan menjaga Luna kalau sampai nanti putusan hakim membuatmu dipenjara seumur hidup?? Bisa kamu bayangkan neraka apa yang akan menunggunya kelak?? Jangankan memperoleh pekerjaan, mungkin saat ini Luna sudah diasingkan oleh para teman-temannya karena memiliki ayah seorang koruptor.” Surya mencoba meyakinkan Benny, Luna akan aman berada dalam lindungan Surya.
Ucapan Surya tidak salah. Nama keluarganya sudah tercemar, Luna pasti kesusahan melanjutkan sisa hidupnya tanpa ada satu pun sanak saudara yang mau menjadi sandaran. Hukuman bagi Benny juga belum mendapatkan kepastian. Bisa jadi ia akan dipenjara seumur hidupnya, tak ada kesempatan baginya menjaga Luna.
Benny mengamati Surya. Wajahnya masih terlihat tampan di usianya. Tubuh Surya juga masih terlihat tegap dan juga atletis. Surya juga punya kepribadian yang baik, setia, dan juga penyayang. Terlebih dari semua itu Surya merupakan seorang pengusaha kaya raya, Luna tak akan hidup berkurangan. Andai saja Surya dua puluh tahun lebih muda dari usianya sekarang, tentu saja ia akan menjadi sosok menantu idaman semua ayah di dunia ini.
“Coba pikir baik-baik dulu, Ben. Kita sahabatan sudah lama. Niatku juga tulus. Dan, kalau kamu mau, aku bisa membantumu menyewa pengacara yang terbaik supaya hukumanmu jauh lebih ringan.” Surya menawarkan sebuah bantuan.
Benny kembali diam, namun tak menutup hati. Ia terus memikirkan apa yang terbaik untuk putri semata wayangnya. Mungkin menerima lamaran Surya bukanlah hal buruk. Tapi bagaimana dengan perasaan Luna? Apa gadis itu mau menerima pernikahan ini?
“Maafkan Papa, Luna. Kamu pasti sangat membenci Papa?” Benny menatap wajah anak gadisnya yang masih syok mendengar penuturan sang ayah.
Menikah?? Dengan sahabat ayahnya?? Sama sekali tak pernah terbesit di dalam benaknya akan bersanding dengan seorang yang jauh lebih pantas ia panggil dengan sebutan papa!
“Kalau kamu nggak mau nggak apa-apa, Sayang. Papa nggak maksa.” Benny menggenggam tangan anak gadisnya.
“Luna mau, Pa.”
“Eh??” Mata Benny membulat, jawaban Luna membuatnya kaget.
“Papa bilang Om Surya bisa membantu Papa membayar pengacara agar Papa bisa keluar lebih cepat. Kalau memang benar, Luna bersedia menikah dengan Om Surya, Pa.” Luna menjawab, meski pun hatinya masih berat, namun Luna sadar, ia tak punya siapa siapa lagi di dunia ini selain ayahnya. Luna bersedia berkorban, agar ayahnya bisa keluar dan tak lagi tersiksa di dalam penjara.
“Maaf, Nak! Hiks … maafin Papamu yang nggak berguna ini. Harusnya Papa sadar dan tidak terbujuk dengan uang suap.” Benny menangis, ia terisak menyesali nasib dan kebodohannya.
“Hiks …” Luna pun juga menangis, gadis lugu berrambut panjang, hitam, dan lurus itu juga hanya bisa menangisi nasibnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, memangnya Luna bisa apa untuk menolak takdirnya?
“Yah, setidaknya Papa tahu kalau Surya adalah pria yang baik. Kamu pasti akan bahagia hidup bersama dengannya, Nak.” Benny mengusap wajahnya kasar, mencoba tegar menerima nasib. Luna mengangguk, memaksakan senyuman untuk menyamarkan kegetiran.
Dan kini terhitung satu bulan dari lamaran Surya. Luna resmi menjadi calon istri dari duda beranak satu. Sebuah cincin berlian menjadi tanda keseriusan perasaan Surya pada Luna.
.
.
.
Luna berada di dalam mobil sedan mewah. Perjalanan menuju ke sebuah restoran bintang lima tempat Surya akan mengenalkan Luna pada Dimas, putra Surya yang kelak juga akan menjadi putranya. Luna tersenyum tipis, menatap jauh ke arah jalanan yang basah. Hujan masih turun sejak sore tadi. Hujan terus singgah saat kejadian terpahit dalam hidupnya datang.
Hujan selalu turun … sampai detik mobil mewahnya berhenti, tiba di depan restoran.
“Nona, silahkan.” Pelayan mengantar Luna ke depan ruang VIP.
Saat Luna membuka pintu, ia mendengarkan pertengkaran antara Surya dengan Dimas. Tanpa sadar tangan Luna gemetaran dan tas tangannya jatuh. Bunyinya menyela atensi kedua pria itu.
Ucapan sarkastik Ardimas sungguh menyakiti hati Luna. Luna berusaha tegar, ia pun mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi amarah Ardimas. Namun, saat mengangkat wajah, saat tatapan Luna bertemu dengan mata elang Dimas, hati Luna langsung hancur.
"Oh, jadi kamu calon ibu tiriku. Ck, pantas saja Papaku tergila-gila padamu. Dasar cewek murahan!" Dimas menyunggingkan bibirnya dengan nada mencemooh. “Memang ya, we can’t judge book from its cover.”
Luna mundur satu langkah karena ketakutan. Luna kembali menundukkan kepala karena malu. Luna seakan sedang tertangkap basah melakukan tindakan yang memalukan.
"Jaga mulutmu, Dimas!!" Surya tidak suka anaknya terus menyudutkan calon istrinya.
"Cih," decih Dimas, ia tak menghiraukan wejangan sang ayah dan melangkah untuk meninggalkan ruang VIP, dengan kasar ia sengaja menyenggol bahu Luna sebelum keluar.
"Ack--" pekik Luna tertahan, tubuhnya terlalu kecil bila dibandingkan dengan tubuh atletis Dimas.
"Lihat aja!! Jangan harap bisa hidup tenang setelah menikah dengan papaku! Aku akan membuat hidupmu bagaikan di dalam neraka setiap hari!" bisik Dimas sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan ruang VIP di restoran berbintang lima ini.
“Jangan dimasukin ke hati, Luna. Ucapan Dimas ngawur karena dia masih kesal. Kalau amarahnya sudah mereda juga dia pasti berubah.” Surya membantu Luna duduk, meredakan kegelisahan hati gadis itu.
“I … iya, Om … eh, maaf, ma… maksud Luna, iya, Mas.” Luna tergagap, ia masih belum terbiasa mengganti panggilan Surya dengan panggilan sayang yang jauh lebih mencerminkan status mereka.
“Tidak masalah.” Surya tersenyum, ia membuka buku menu untuk Luna.
“Ngomong-ngomong, apa kalian sudah saling kenal?” Surya menyelidik. Surya heran, Luna terlihat jauh lebih kaget saat melihat Dimas alih-alih marah karena ucapan kasarnya.
Degh!!
Jantung Luna berloncatan, pertanyaan Surya menggema dalam benak Luna, apa dia mengenal Dimas??
...— BERSAMBUNG —...
Kenal??
Apa kamu kenal sama Ardimas??
Bagaimana bisa Luna tidak mengenal Ardimas?? Pria tampan yang acap kali memberinya inspirasi di bawah rinai hujan.
Luna adalah adik kelas Ardimas sejak SMA. Berbeda dari sifat dan pembawaan Luna yang kalem dan introvert. Dimas adalah sosok cowok extrovert yang mudah bergaul dengan siap pun. Dilengkapi dengan wajah tampan, otak encer, dan uang yang seakan tak punya nomor seri, Dimas bisa dengan mudah memikat hati para gadis mana pun.
Selain pintar mencari teman, Dimas juga pintar berorganisasi, ia menjabat sebagai ketua OSIS selama dua tahun berturut-turut. Selain itu, Dimas juga anggota tim basket. Sekali menjadi kapten di tahun kedua SMA.
Luna mulai mengaggumi Dimas saat pidatonya sebagai ketua OSIS diacara penerimaan siswa baru. Hanya setahun jumpa di SMA, singkat, namun Dimas telah berhasil menjadi sosok penuh inspirasi dalam tiap cerita yang ditulis oleh Luna.
Luna belum pernah berpacaran, namun membayangkan Dimas mampu membuat tulisannya penuh dengan makna, mungkin karena Luna menulisnya dengan penuh perasaan sembari membayangkan sosok sempurna Dimas. Mata elang dengan alis tebal adalah bagian yang paling Luna sukai.
Tanpa pernah disangka, takdir mempertemukan Luna kembali saat masuk kuliah. Tanpa sengaja ia masuk ke universitas yang sama dengan Dimas. Jurusan mereka memang berbeda, namun gedung fakultasnya bersebelahan. Dimas mengambil arsitektur sedangkan Luna jurusan sastra.
Mungkin di mata Dimas, Luna hanyalah angin yang berlalu begitu saja tanpa pernah terlihat. Mereka terus berpapasan di area kampus pun Dimas sama sekali tak pernah mengenalinya. Meski begitu, bagi Luna, Dimas bagaikan terang cahaya bintang di langit malam yang gelap. Terlihat sangat mempesona, menarik, dan tak terlukiskan. Ya, Dimas adalah bintang yang tak akan pernah bisa digapai oleh Luna.
Tak masalah bila tidak tergapai, Luna masih bisa mengaguminya dari kejauhan. Menjadi pengagum rahasia, yang menjadikan Dimas sebagai tokoh utama dalam tiap ceritanya.
“Kenal sama Dimas? Mas denger kamu satu kampus sama Dimas?” Pertanyaan Surya memecah lamunan Luna. Gadis cantik itu menelan ludahnya dengan berat. Apa yang harus Luna jawab? Calon anaknya adalah pria yang ia kagumi?? Ayolah, Luna belum sebodoh itu untuk mengaku pada calon suaminya sendiri siapa pria yang ia taksir.
Luna bergeleng, ia mengaku tidak mengenal Dimas.
“Kirain kenal, soalnya Dimas orangnya sangat mencolok, biasanya banyak yang kenal.” Surya beranggapan bahwa Luna akan mengenal putranya yang juga ketua BEM.
Surya menuang air ke gelas Luna. Gadis berparas manis itu menenggak isinya sampai habis lalu tersenyum, berterima kasih atas pengertian Surya. Tenggorokan Luna memang sangat kering karena terus menelan pahitnya takdir yang harus ia jalani.
“Saya paling suka lihat senyuman kamu, Luna. Lesung pipimu manis sekali, bikin gemas.” Surya terkikih, membuat Luna menunjukan senyumannya sekali lagi. Meski pun canggung, ia tetap tersenyum agar calon suaminya senang.
“Kamu mau makan apa?” tanya Surya dengan lembut. Luna menunjuk sebuah gambar, padahal nafsu makannya sudah menghilang, ia tetap berusaha untuk memesan makanan.
“Sup asparagus. Pilihan tepat saat hujan, tapi apa kamu tidak mau makan makanan yang jauh lebih berat?”
“Nggak, Mas. Nanti gaunnya nggak muat kalau Luna makan banyak-banyak.” Luna menolak tawaran Surya dengan alasan klasik.
“Oke, biar Mas pesenin.”
Luna menatap Surya yang tengah menghadapi pelayan, memesan makanan untuk makan malamnya. Perhatian Surya membuat Luna jauh lebih tenang setelah pertemuannya dengan Dimas. Bila diamati, memang ada sedikit kemiripan antara Surya dengan Dimas. Luna berdecak dalam hati, tak dipungkiri genetik Dimas memang diwarisi dari sang ayah, mereka sama-sama memiliki mata yang berbinar sangat tajam.
Keduanya berbincang akrab, Luna bisa melihat sorot mata Surya yang menatapnya dengan penuh damba. Sorot mata penuh cinta, Luna harusnya bersyukur, ada pria yang mencintainya dengan tulus. Namun hati Luna sama sekali tak tergerak, bahkan tak ada debaran sama sekali.
“Oh, ya, kamu suka gaunnya?” Surya mengalihkan ke topik seputar persiapan pernikahan mereka.
“Iya, Mas, suka.”
“Kamu yakin nggak mau ngundang siapa pun??”
“Enggak, Mas. Yang penting sah saja,” jawab Luna.
Pernikahan sederhana karena memang tak ada yang Luna undang. Semua keluarga telah mengucilkan Luna karena menganggap papanya aib. Teman-temannya di kampus juga kini menjauhi Luna dan menganggapnya sebagai anak seorang penjahat. Mereka menjauhi, mencemooh, bahkan tak jarang mengganggu Luna dengan kekerasan fisik.
“Tapi bukan karena malu soalnya kamu nikah sama orang tua kayak saya kan??” Surya menggenggam tangan Luna.
“Malu?? Enggaklah, Mas. Malu sama siapa? Harusnya Luna yang nanyain itu. Mas nggak malu nikah sama anak seorang koruptor?” Luna merasa miris dengan title yang tersemat pada namanya.
“Hahaha … memang kenapa sama anak koruptor?? Yang penting saya tahu sifatmu dan sudah kenal dengan pribadimu. Pendapat orang ma saya nggak peduli. Yang anaknya orang baik baik juga belum tentu punya pribadi yang baik sepertimu.” Surya tertawa, Luna bisa bernapas lega.
“Oh, ya, Mas. Setelah kita menikah, Luna masih bolehkan meneruskan kuliah??” Luna memberanikan diri bertanya seputar masa depannya pada calon suami. Baginya yang seorang wanita, ucapan suami mutlak untuk dipatuhi.
“Tentu saja, Luna. Saya akan mendukung semua yang kamu cita-citakan, nggak usah sungkan untuk meminta. Mobil, tas, atau apa pun yang kamu mau juga Mas akan membelikannya."
“Nggak … nggak ada. Luna hanya ingin menjadi sarjana seperti harapan terakhir mama sebelum beliau mangkat.” Luna tak butuh barang mewah, lulus saja sudah cukup baginya. Naif memang, sifat lugunya sangat berbanding terbalik dengan sang ayah yang kini dipenjara.
"Baiklah, Luna. Pokoknya katakan saja, jangan sungkan. Kita akan menjadi suami istri."
"Iya, Mas." Luna merasa Surya sangat baik.
Lupakan Dimas, Luna. Dia bahkan sama sekali tak pernah menganggapmu ada, batin Luna.
Luna berpikir sembari tersenyum kecut, perlahan ia pasti akan mencintai Surya. Cinta bisa hadir karena terbiasa.
"Oh, iya. Kita akan tinggal serumah dengan Dimas setelah menikah. Kamu nggak keberatankan??" Surya balas meminta pendapat Luna.
"Eh, serumah?? Dengan Dimas juga??" Mata indah Luna melebar. Bagaimana bisa ia melupakan Dimas kalau tinggal serumah?
...— BERSAMBUNG —...
Masukin ke rak buku kalian ya, jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!