NovelToon NovelToon

Antara Dendam Dan CINTA

Jangan Tinggalkan Naura

Happy reading......

Di sebuah restoran, tiga orang mahasiswi tengah merayakan acara ulang tahun sahabatnya. Dan saat ini, salah seorang wanita yang berusia 22 tahun tengah bersiap untuk meniup lilin.

''Tunggu Naura!'' tahan salah seorang perempuan yang bernama Sekar.

''Kenapa Sekar?'' tanya Naura dengan bingung.

''Kamu harus makeuis dulu, baru tiup lilin,'' ujar Sekar.

Naura tersenyum, kemudian dia mulai menyatukan kedua tangannya, lalu memejamkan mata. Setelah selesai mengucapkan keinginannya di dalam hati, Naura pun meniup lilin tersebut hingga padam.

''Yeeay ... happy birthday Naura! Gue doain, semoga di umur yang ke-22, lo bisa bertemu dengan jodoh lo,'' kekeh Zahira salah satu sahabat Naura.

''Aamiin ... makasih doanya, tapi saat ini gue nggak mikirin ke situ dulu. Yang penting wisuda lancar, kuliah gue lulus. Terus kerja deh di rumah sakit yang gue mau,'' jawab Naura dengan tersenyum bahagia.

Kemudian Zahira dan juga Sekar memberikan kado kepada Naura, lalu mereka melanjutkan makannya diselingi canda dan tawa.

Naura Zahra Fazila, wanita cantik berusia 22 tahun dengan rambut sebahu, tinggi semampai dan memiliki tubuh yang ideal, membuat dia menjadi salah satu Primadona di kampusnya.

Naura mengambil jurusan kedokteran, karena dia ingin sekali menjadi seorang Dokter seperti mamanya. Karena setiap kali Naura sakit, pasti mamanya selalu merawat Naura dengan penuh kasih sayang. Ditambah, gadis itu juga sering melihat mamanya mempunyai jasa yang besar terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Saat Naura mengambil ponsel di tasnya, dia kaget, karena Bi Inem menelpon Naura bahkan sampai 20 kali.

''Kenapa Naura? Kok lo kayak orang kebingungan gitu sih?'' tanya Zahira.

''Ini, Bi Inem tumben nelpon gue sampai 20 kali? Apa ada sesuatu hal yang penting ya?'' jawab Naura dengan heran.

''Coba aja lo telepon balik, siapa tahu memang ada hal yang penting,'' usul Sekar.

Naura mengangguk, kemudian dia menelpon Bi Inem. Namun panggilan ke satu tidak diangkat, hingga panggilan ketiga terdengar seseorang mengucapkan salam dengan nada yang panik di seberang telepon.

''Halo, assalamualaikum Bi, ada apa?'' tanya Naura saat telepon sudah tersambung.

Bi Inem : Waalaikumsalam, non. Non Naura di mana? Non Naura harus pulang sekarang!

Terdengar suara Bi Inem begitu panik di seberang telepon sana, membuat Naura sedikit bingung. Karena tidak biasanya wanita berusia 50 tahun itu berkata dengan nada seperti itu.

''Ada apa Bi? Kok Bibi terdengar sangat panik?'' tanya Naura dengan heran.

Bi Inem : Bibi nggak bisa jelasin di telepon non, sebaiknya non pulang ke rumah sekarang! Non, Tuan sama Nyonya non, mereka ....

Belum selesai Bi Iem menjelaskan, teleponnya sudah terputus, karena ponsel Bi Inem lowbat. Akhirnya mau tidak mau, Naura pun pulang ke rumah dengan rasa penasaran yang begitu besar.

''Kenapa?'' tanya Zahira dan Sekar serempak.

''Nggak tahu! Bi Inem kayaknya panik banget? Dia juga nyebutnya nama mama dan papa? Apa terjadi sesuatu ya, sama mereka?'' jawab Naura dengan wajah yang mulai khawatir.

''Ya udah, mendingan sekarang kita pulang! Gue juga ikut deh ke rumah lo, takut kalau nanti papa lo marah-marah lagi,'' ucap Zahira.

''Iya, gue juga ikut deh. Takut nanti lo dipukul lagi sama Bokap lo, gimana? 'Kan kata lo, semenjak perusahaan Bokap lo mulai bangkrut, dia sering marah-marah? Udah yuk! Gue juga penasaran kenapa Bi Inem sampai panik kayak gitu,'' ujar Sekar.

Naura mengangguk, kemudian mereka bertiga pun menaiki mobil Zahira pergi meninggalkan restoran untuk ke kediaman Fazila, di mana rumah kedua orang tua Naura berada.

Saat sampai di sana, Naura heran, karena banyak sekali warga yang berkumpul. Tidak biasanya rumah Naura seramai itu. Dia pun turun dari mobil, dan salah satu ibu-ibu yang merupakan tetangga dekatnya, menghampiri Naura dan langsung memeluk tubuh gadis itu.

''Sabar ya Nak Naura. Ibu yakin, kamu gadis yang kuat,'' ucap Bu Siti kepada Naura.

''Maaf Bu, maksudnya apa ya?'' bingung Naura.

''Nak Naura sebaiknya masuk saja ke dalam, dan lihat sendiri!'' ucap Pak RT yang berada di sana saat melihat Naura pulang.

Jantung Naura berdebar dengan kencang. Entah kenapa, perasaannya menjadi tidak enak saat melihat semua orang menatap dirinya dengan tatapan kasihan.

Dengan langkah yang sedikit gontai, Naura masuk ke dalam rumah, dan ternyata di sana sudah ada Polisi. Naura pun semakin bingung apa yang terjadi, sehingga banyak warga dan juga Polisi berada di rumahnya.

Tiba-tiba Bi Inem datang dan langsung memeluk tubuh Naura sambil menangis. Sementara yang dipeluk hanya menatap bingung ke arah semua orang yang sedang menatapnya dengan iba.

''Bi, ini sebenarnya ada apa? Kenapa banyak sekali warga di depan? Terus, ini kenapa ada Polisi juga?'' tanya Naura kepada Bi Inem dengan raut wajah yang bingung.

''Non Naura, Non yang sabar ya! Bibi tahu kok, Non itu wanita yang kuat,'' ucap Bi Inem sambil menangis tersedu-sedu.

''Iya, tapi kenapa Bi? Maksudnya apa sih? Naura bener-bener tidak mengerti deh!'' tanya Naura yang masih tidak mengerti dengan keadaan sekitar.

''Non, Tuan dan Nyonya, mereka---''

''Mereka kenapa Bi? Mama sama papa baik-baik aja 'kan? Mereka tidak kenapa-napa 'kan, Bi?'' Naura memotong ucapan Bi Inem, saat mendengar wanita itu menyebut kedua orang tuanya.

Bi Inem tidak menjawab, dia masih menangis, sehingga membuat Naura semakin khawatir. Kemudian dia memegang kedua bahu Bi Inem dan menatap wanita itu dengan dalam.

''Bi, ada apa? Mama sama papa baik-baik aja 'kan? Jangan buat aku cemas deh!'' tanya Naura dengan panik.

''Mbak Naura, perkenalkan, saya Pak Ahmad,'' ucap salah satu Polisi sambil mendekat ke arah Naura.

''Ada apa ya, Pak? Orang-tua saya baik-baik aja 'kan?'' tanya Naura kepada Polisi tersebut.

''Kami mendapatkan laporan, jika tuan Abi dan juga nyonya Jevanta bunuh diri. Kami menemukan mereka menggantung dirinya di balkon yang menghadap ke arah taman belakang,'' jelas Polisi tersebut.

DEGH!

Bagaikan dihantam batu yang besar, jantung Naura tiba-tiba saja seperti berhenti berdetak. Dia merasa dunia seakan runtuh saat mendengar kabar yang begitu memilukan.

Tatapannya beralih kepada empat orang yang tengah menggotong jasad kedua orang tuanya, lalu menidurkannya di ruang tengah. Naura pun menggeleng dengan cepat. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini di depan mata.

Kedua sahabat Naura membekap mulutnya dengan tatapan membulat, saat melihat kedua jasad orang tua sahabatnya.

''Nggak! Ini nggak mungkin. Mama sama Papa nggak mungkin pergi ninggalin Naura 'kan, Bi? Itu bukan mereka 'kan?'' tanya Naura kepada Bi Inem. Bahkan saat ini air matanya sudah menetes membasahi kedua pipi mulus gadis itu.

''Yang sabar ya, Non,'' ucap Bi Inem sambil mengusap bahu Naura.

Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat, tapi kenyataan menampar dan menyadarkan Naura, jika apa yang dilihatnya saat ini bukan halusinasi.

Dia berjalan dengan kaki yang gemetar, mendekat ke arah kedua jasad orang-tuanya. Lalu Naura bersimpuh dengan tangisan yang sudah tersedu-sedu. Badannya gemetar menahan isak tangis sekaligus luka yang begitu dalam, saat melihat orang yang dicintainya telah pergi untuk selama-lamanya dengan keadaan tragis.

''Tidak! Mama, Papa, kalian tidak mungkin meninggalkan Naura, 'kan? Ini bukan kalian 'kan? Mah, Pah, bangun! Jangan tinggalin Naura. Aku mohon, bangun! Mah! Pah!'' jerit Naura hingga suaranya terdengar keluar rumah.

''Tidak! Naura tidak mau ditinggalkan sama kalian. Bangun! Naura mohon, bangun!'' ucap Naura sambil menangis tersedu-sedu dan menggoyangkan tubuh kedua orang-tuanya.

''MAMAAAH! PAPAAH!'' Naura menjerit dengan pilu, membuat semua orang yang ada di sana terdiam merasakan sakit apa yang dirasakan Gadis itu sekarang.

BERSAMBUNG......

Nenek Naura Stroke

Happy reading.....

Naura masih menangis di dalam kamar, saat kedua orang tuanya sedang dimandikan. Dia ditemani oleh kedua sahabatnya, yaitu Zahira dan juga Sekar. Mereka turut bersedih atas kematian orang-tua Naura.

Gadis itu masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja dia alaminya, begitu sangat tiba-tiba. Padahal, baru tadi pagi Naura akan berangkat ke kampus, mereka berfoto bersama di meja makan dengan senyuman yang mengembang indah di kedua wajah orang tuanya.

''Naura, lo jangan merasa sendiri ya. Kita akan selalu ada kok buat lo. Iya, kita tahu, kalau ini tuh pasti nggak akan mudah, tapi percayalah, semua sudah diatur sama Allah,'' ujar Sekar sambil mengusap bahu Naura.

Gadis itu masih saja menangis, dia tidak bisa menjawab ucapan sahabatnya, tetapi jauh di dalam lubuk hati Naura, dia sangat bersyukur. Karena dipertemukan dengan kedua sahabat yang mau ada untuknya di kala senang dan sedih.

''Thanks ya, kalian sudah ada di saat gue sedang terpuruk,'' ucap Naura dengan suara yang serak.

''Sama-sama, udah, lo jangan nangis! Emangnya lo nggak malu sama mata yang udah kayak panda tuh sembabnya,'' kata Zahira sambil terkekeh kecil.

Kemudian mereka berdua mengajak Naura untuk turun ke lantai bawah, karena sebentar lagi jasad kedua orang-tua Naura akan di shalatkan di masjid, setelah itu baru akan dimakamkan.

.

.

Hari telah berganti malam. Saat ini Naura sedang merenung di taman belakang, setelah acara tahlilan selesai. Sejujurnya, Naura masih penasaran, apa yang membuat kedua orang tuanya mengakhiri hidup dengan begitu tragis.

Masih terngiang jelas di kepala Naura, bagaimana senyum kedua orang tuanya tadi pagi saat dia akan berangkat ke kampus. Memang ada kata-kata yang membuat Naura janggal dari kedua orang tuanya.

Naura, harus jadi gadis yang kuat, berani dan juga selalu bahagia. Mama sangat menyayangi Naura, melebihi apa yang Naura rasakan. Satu hal, apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah dengan keadaan. Mama Jevanta.

Papa tahu, jika Naura wanita yang berani. Terus menggapai mimpi, jangan pantang menyerah! Sebab Papa sangat yakin, Naura akan menjadi kebanggaan kami. Papah Abi.

Air mata masih terus mengalir tiada henti sejak dari siang. Bagaimanapun Naura mencoba untuk kuat, tetap saja tidak bisa.

''Non Naura, ini sudah malam, angin di luar tidak baik untuk kesehatan. Sebaiknya Non masuk ya,'' ucap Bi Inem yang merasa kasihan melihat Nona mudanya terus bersedih.

Naura menarik tangan Bi Inem dan meminta wanita tua itu untuk duduk di sampingnya. Mau tidak mau, Bi Inem pun duduk. Dia benar-benar kasihan melihat keadaan Naura, bahkan gadis itu tidak mau makan dari siang.

''Bi, tolong jawab Naura dengan jujur! Sebenarnya apa penyebab papah dan mamah mengakhiri nyawanya sendiri? Bibi lihat 'kan tadi pagi, kami tersenyum bahagia? Tapi kenapa tiba-tiba mereka meninggalkan Naura, Bi? Apa Naura membuat salah, atau Naura ini anak yang bandel?'' Gadis itu kembali menangis dengan suara yang purau.

Bi Inem menggeleng, kemudian dia memeluk tubuh Nona mudanya dari samping. Wanita tua itu tahu apa yang dirasakan oleh Naura saat ini. Tidak mudah bagi seorang anak untuk mengikhlaskan kepergian kedua orang tuanya, apalagi Naura adalah anak satu-satunya dari keluarga Fazila.

''Bibi tidak tahu penyebabnya apa, Non. Tadi pagi, nyonya meminta Bibi untuk membeli buah ke pasar, tapi yang Bibi aneh, tumben-tumbennya nyonya meminta Bibi membelikan buah belimbing? Padahal 'kan nyonya tidak suka, tapi bibi tidak ada rasa curiga sedikitpun.'' Sejenak Bi Inem menghentikan ucapannya.

Dia mengingat kejadian, di mana tadi pagi tante Jevanta memintanya untuk ke pasar membeli buah belimbing. Namun, saat pulang ke rumah, Bi Inem tidak mendapati kedua tuannya. Dia pikir, mereka sudah berangkat ke kantor, tetapi ternyata Bi Inem salah.

Saat beliau menyiram bunga di taman belakang, tiba-tiba wanita tua itu dikejutkan dengan dua orang sosok yang menggantung di pagar balkon, dan ternyata kedua orang itu adalah tuan dan nyonya-nya.

''Bibi juga kaget Non. Bibi pikir, mereka sudah berangkat ke kantor, tapi ternyata Bibi harus melihat bagaimana tuan dan nyonya mengakhiri hidupnya. Makanya Bibi langsung menelpon Polisi dan memanggil warga,'' jelas Bi Inem.

.

.

Satu minggu telah berlalu sejak kepergian orang-tua Naura. Dia mencoba untuk membangun hari-harinya kembali, tapi tetap saja seperti terasa hambar, tidak berwarna. Gadis itu banyak murung, tidak seceria biasanya.

Semua orang di kampus beranggapan, orang tuanya Naura depresi akibat perusahaan Fazila Group bangkrut.

''Naura, lo pulang dari kampus mau ke mana?'' tanya Sekar saat mereka sudah selesai skripsi.

''Gue langsung pulang aja. Badan gue juga kurang enak,'' jawab Naura dengan lesu. Kemudian dia beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari kampus.

''Kalau begitu biar gue yang antar ya!'' tawar Zahira. Naura pun hanya mengangguk, kemudian mereka berjalan menuju parkiran.

Sesampainya di rumah, Naura tidak melihat Bi Inem sama sekali. Rumah itu terlihat sepi, padahal biasanya Bi Inem jam segitu masih berada di dapur untuk membuatkan makan malam.

''Naura, ini koper siapa?'' tanya Zahira saat melihat koper berwarna krem berada di ruang tamu.

Naura menoleh ke arah belakang, dan dia sangat hafal dengan koper itu. ''Loh, itu 'kan kopernya nenek? Berarti nenek sudah pulang dari Belanda!'' ucap Naura dengan kaget.

Di kediaman Fazila, memang Naura tinggal bersama kedua orang tuanya dan juga neneknya, yaitu ibu dari papahnya. Namun, kemarin neneknya sedang liburan ke Belanda bersama teman-teman arisannya. Jadi dia tidak tahu tentang kematian kedua orang tuanya.

Dengan cepat Naura segera berlari menuju kamar neneknya, dia takut wanita tua itu akan syok. Namun ternyata saat di sana tidak ada siapapun, bahkan kasurnya pun masih rapi.

''Bagaimana? Apa nenek Intan ada di atas?'' tanya Sekar.

Naura menggelengkan kepalanya. ''Tidak ada! Sebentar, aku telepon bi Inem dulu, mungkin dia tahu keberadaan nenek di mana,'' jawab Naura sambil mengeluarkan ponselnya.

Kemudian dia mulai menelpon bi Inem, dan tak lama telepon pun tersambung. Raut wajah gadis itu seketika menjadi kaget saat mendengar jika sang nenek saat ini tengah berada di rumah sakit.

''Apa! Rumah sakit? Nenek di rumah sakit mana, bB? biar Naura ke sana,'' ucap Naura dengan wajah yang kaget.

''Ada apa?'' tanya Sekar saat Naura selesai menelepon.

''Nenek di rumah sakit. Kita ke sana yuk! Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya,'' jawab Naura dengan wajah yang cemas.

Mereka bertiga pun berangkat ke rumah sakit, setelah menempuh perjalanan 35 menit, mereka sampai dan langsung menuju ruangan ICU di mana saat ini neneknya tengah diperiksa oleh Dokter.

''Bagaimana keadaan nenek, Bi? Apakah nenek baik-baik aja? Dia pasti sangat kaget ya, saat mendengar kematian papa dan mama?'' tanya Naura saat melihat Bi Inem duduk di ruang tunggu yang berada di koridor.

''Nyonya besar ... nyonya besar ... nona ...'' Bi Inem tidak sanggup untuk mengatakan kebenarannya kepada Naura.

''Ada apa Bi, sama nenek? Jangan membuat aku menjadi panik deh,'' ucap Naura.

''Kata Dokter, jika nyonya besar mengalami kelumpuhan dan juga stroke,'' jelas Bi Inem dengan wajah yang sendu.

Seketika tubuh Naura merosot ke lantai. Air matanya sudah tidak terbendung lagi, memikirkan cobaan demi cobaan yang menerpa hidupnya datang silih berganti.

Baru saja dia kehilangan orang tuanya, kini sang nenek pun harus mengalami stroke dan kelumpuhan total. Dan itu membuat Naura benar-benar merasa seperti seorang diri.

''Ya Allah, kenapa engkau mengujiku dengan begitu berat? Tidakkah kau puas telah mengambil kedua orang tuaku? Sekarang kau membuat nenekku lumpuh dan juga stroke? Apa sebenarnya rencanamu, ya Allah?'' Naura berkata dengan suara yang mulai serak karena Isak tangisnya.

BERSAMBUNG......

Sabar ya Naura😭😭😭

Di Sita

Happy reading....

Naura tidak pulang ke rumah. Dia masih berada di rumah sakit untuk menemani neneknya. Sementara bi Inem pergi untuk mengambil baju ganti Naura, dan kedua sahabat Naura juga sudah pulang.

Namun, saat sampai di rumah, bi Inem kaget karena melihat ada dua orang yang berpakaian hitam sedang menunggunya.

''Zahira, kok lu balik lagi?'' tanya Naura saat melihat Zahira masuk kembali ke dalam ruang rawat inap milik neneknya.

''Iya, ponsel gue ketinggalan. Nih dia!'' jawab Zahira sambil mengambil ponselnya yang berada di meja.

''Dasar nenek-nenek pikun!'' ledek Naura

Terlihat neneknya Naura bergumam seperti ingin mengatakan sesuatu. Naura pun mendekat dan memegang tangan neneknya.

''Nenek butuh apa?'' tanya Naura.

Namun wanita tua itu tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa bergumam sambil menggerakkan matanya ke kanan dan ke kiri.

''Nenek ingin minum?'' tanya Naura yang terlihat bingung, apa yang ingin neneknya katakan.

Namun mata neneknya bergerak ke kanan dan ke kiri, seperti mengatakan tidak. Zahira yang melihat itu mengusap bahu sahabatnya. Dia tidak menyangka, jika cobaan yang Naura hadapi begitu berat.

Tiba-tiba saja ponsel Naura berdering, dan ternyata itu dari bi Inem. Lalu Naura pun langsung mengangkatnya.

''Apa Bi! Ya udah, Naura pulang sekarang,'' ucap Naura dengan nada yang kaget.

''Kenapa Ra?'' tanya Zahira dengan bingung.

''Gue pulang dulu ya! Katanya bibi, di rumah ada yang nyari gue. Kalau gitu gue duluan.''

Zahira menawarkan diri untuk mengantar, dengan alasan lebih cepat. Akhirnya Naura pun mengangguk, sedangkan sang nenek dititipkan kepada Suster.

Terlihat jelas raut wajah Naura begitu cemas, sepanjang jalan dia terus aja meremas kedua tangannya, seperti ada sesuatu hal yang mengganjal di dalam hatinya.

Sesampainya di rumah, Naura langsung masuk ke dalam ruang tamu. Dan dia melihat dua orang yang memakai jaket berwarna hitam sedang duduk dan menunggu dirinya.

''Non,'' sapa bi Inem sambil menundukkan kepalanya.

''Bi, mereka siapa?'' tanya Naura.

''Perkenalkan, nama saya Ahmad, dan ini rekan saya, namanya Zafran. Kami dari Bank, ingin menyita rumah ini. Karena bapak Abi memiliki hutang sebanyak delapan miliar, dan tidak bisa melunasinya,'' ucap pria yang bernama Ahmad.

''Apa! Hutang? Delapan miliar?!'' kaget Naura sambil memegang dadanya.

''Betul. Beliau sudah menggadaikan rumah ini, dan ini adalah buktinya, silahkan dibaca terlebih dahulu!'' tutur pria tersebut sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Naura.

''Tapi Pak, saya mau tinggal di mana, kalau rumah ini disita?'' tanya Naura dengan wajah yang bingung.

''Maaf Nona, itu bukan urusan kam. Tugas Kami hanyalah menyita rumah ini, dan besok sudah harus dikosongkan ya, Nona! Jika tidak, kami akan menyeret Anda keluar!'' ancam pak Ahmad. Setelah itu, kedua orang tersebut pergi dari rumah Naura.

Tubuh gadis itu merosot ke lantai, lagi-lagi air matanya jatuh. Dia memukul sofa beberapa kali, mencoba meredakan amarah di dalam hatinya.

Naura benar-benar bingung, kenapa setelah kepergian orang tuanya malah banyak masalah. Dari mulai neneknya yang stroke. Dan sekarang, rumah tersebut harus disita. Sedangkan Naura tidak punya rumah lagi selain itu.

''Non yang sabar ya,'' ucap bi Inem sambil memeluk tubuh Naura.

Wanita itu begitu sedih, saat melihat Nona mudanya menangis, bahkan terpukul. Dia juga tidak menyangka, cobaan begitu banyak datang menghampiri Naura, setelah kepergian kedua orang tuanya.

''Kenapa sih, Bi, mama dan papa malah ninggalin aku? Dan sekarang, mereka meninggalkan masalah? Lalu kita akan tinggal di mana, Bi? Naura tidak punya rumah selain ini,'' ucap Naura dengan suara yang purau.

Zahira merasa kasihan kepada sahabatnya, kemudian dia berjongkok dan mengusap bahu Naura. ''Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku dulu,'' ucap Zahira.

Namun Naura segera menggeleng. Dia tidak ingin merepotkan sahabatnya. ''Tidak usah Zahira! Nanti biar aku cari kosan saja besok!'' tolak Naura. Kemudian dia menatap ke arah bi Ine. ''Bi, aku minta tolong beresin barang-barang yang penting! Besok kita akan pergi ke kontrakan, atau jika bibi keberatan, tidak apa-apa, Bibi bisa pulang. Naura sudah tidak bisa menggaji Bibi. Lagi pula, perusahaan papa juga sudah bangkrut 'kan? Naura tidak punya apa-apa,'' jelas gadis itu dengan wajah yang sendu.

Bi Inem menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin meninggalkan Nona mudanya dalam keadaan seperti itu. Wanita tua itu sudah mengasuh Naura sejak kecil, dari umur dua tahun sampai sekarang berumur dua puluh dua tahun. Bagaimana mungkin bisa, dia meninggalkan Naura yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri.

''Tidak Nona! Bibi tidak mungkin meninggalkan Nona dalam keadaan seperti ini. Kita akan melalui semuanya bersama-sama. Bibi akan membantu untuk membereskan barangnya,'' ucap Bi Inem.

Setelah itu, Zahira pamit dari rumah Naura. Dan gadis itu masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Setelahnya dia membuka lemari dan mengeluarkan perhiasan yang dia punya, pemberian dari sang mama.

''Hanya liontin ini yang aku punya, dan beberapa perhiasan. Sepertinya cukup untuk aku jual dan bertahan hidup, sambil mencari pekerjaan. Di tabunganku juga hanya ada sedikit,'' gumam Naura sambil melihat kotak perhiasannya

Gadis itu kemudian mengambil foto kedua orang tuanya, lalu memeluknya dengan erat. Naura begitu merindukan mama dan Papanya. Dia merasa rumah itu sepi tanpa adanya mereka.

''Mah, pah, biasanya jam segini kita sedang duduk nonton tv sambil bercanda ria, tapi sekarang rumah ini terasa sunyi dan akan disita oleh Bank. Kenapa kalian meninggalkan Naura dengan begitu cepat? Bahkan setelah kepergian kalian, Naura malah harus menanggung penderitaan.'' Gadis itu berkata sambil menitikan air matanya.

.

.

Pagi hari sebelum Naura pergi ke kampus, dia bertanya-tanya tentang kontrakan yang murah. Namun entah kenapa, Naura merasa ada yang sedang mengikuti dirinya, tetapi saat dia menengok ke belakang tidak ada siapapun.

''Mungkin, itu hanya perasaanku saja,'' gumam Naura. Kemudian dia melanjutkan jalannya dan bertanya tentang kontrakan kepada warga sekitar.

Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di sampingnya, dan ternyata itu adalah Zahira dan juga Sekar.

''Hai Naura! Kamu mau ke mana?'' tanya Zahira.

''Aku mau cari kontrakan. Kamu 'kan tahu, nanti sore rumah itu sudah harus kosong,'' jawab Naura.

Kemudian Zahira, meminta Naura untuk masuk dan mereka mencari kontrakan bersama-sama. Setelah satu jam berkeliling, mereka pun menemukan kontrakan yang pas, tidak terlalu mewah. Walaupun sederhana namun, terkesan sangat nyaman dan asri. Harganya pun, terjangkau di kantong Naura saat ini.

''Gimana, lo suka nggak sama kontrakannya?'' tanya Sekar.

''Iya, gue suka kok. Lagi pula, hanya rumah seperti ini yang sekarang gue bisa dapatkan. Tidak masalah, yang penting kami tidak kehujanan bukan?'' jawab Naura sambil tersenyum.

Zahira dan Sekar mendekat ke arah sahabatnya, kemudian dia memeluk gadis itu. ''Tenang saja, kami ada kok untukmu! Kita 'kan best friend. Iya nggak?'' ucap Sekar.

''Makasih ya, kalian selalu ada buat gue. Kalau gitu kita ke kampus yuk! Sebentar lagi 'kan mata kuliah akan dimulai,'' tutur Naura. Kemudian mereka bertiga pun meninggalkan kontrakan tersebut dan pergi ke kampus.

BERSAMBUNG....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!