Brakkk..
Suara pintu mobil yang dibanting keras terdengar. Gadis cantik keluar dari mobil yang tadi membawanya.
"Perasaan tadi pagi di cek semuanya baik baik saja. Ini kenapa sekarang malah nggak bisa nyala sih!!" Gerutunya sambil berkacak pinggang mengomel pada mobil berwarna merah yang biasa di bawahnya ke sekolah.
Gadis cantik yang tengah duduk di bangku kelas 3 di sebuah sekolah swasta ternama di kota A. Dia adalah Arcila Damayanti. Anak tunggal dari seorang pengusaha kaya.
Namun hingga umurnya yang menginjak 18 tahun. Dirinya belum pernah sekalipun bertemu dengan sosok yang disebutnya sebagai ayah. Selama ini, dirinya hanya hidup bersama mama dan juga kakek neneknya.
Arcila yang sudah bosan bertanya tentang keberadaan sang ayah pun akhirnya memilih untuk tak lagi mencari tahu. Karena percuma, baik mama dan juga kakek neneknya hanya akan menjawab jika sudah waktunya nanti sang ayah akan pulang dan bertemu dengannya.
Perusahaan berkembang pesat meski pada kenyataannya sang ayah tak pernah terlihat sosoknya.
Arcila merogoh kantong bajunya. Mengambil benda pipih dan menekan beberapa angka untuk menghubungi Arsen. Pemuda yang merupakan seorang anak penjaga setia di kediaman besarnya.
Arsen dan kedua orang tua dan adiknya bekerja di keluarga itu sejak dulu. Bisa dibilang mereka tahu segala seluk beluk keluarga besar tersebut.
Tak sampai 20 menit, Arsen sudah sampai di tempat Arcila menunggunya. Di pertigaan jalan tak jauh dari sekolahnya.
"Nona." Angguknya sopan sebelum melanjutkan langkah untuk memeriksa mobil Arcila. Sementara gadis cantik tersebut mengekor dibelakangnya.
"Sepertinya akinya bermasalah, nona. Saya akan membawanya ke bengkel terdekat. Jika nona tak keberatan, nona bisa membawa mobil saya untuk kembali lebih dulu. Karena mungkin perbaikannya memerlukan sedikit waktu."
Arcila melihat jam yang melingkar ditangan kirinya. Hari ini kebetulan tak ada acara baik itu les atau jalan jalan yang biasa dirinya lakukan bersama para sahabatnya.
"Aku pengen ikut." Ucapnya sambil tersenyum.
Arsen hanya mengangguk dan mempersilahkan Arcila untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, Arsen merogoh ponselnya menghubungi bengkel untuk mengambil mobil Arcila.
"Apa nona ada kegiatan lain nya?" Arsen memberanikan diri bertanya.
Pemuda 20 tahun tersebut sedikit segan bila berdua dengan Arcila seperti sekarang ini.
"Tidak ada, makanya aku ingin ikut." Arcila yang memainkan ponselnya meletakkan benda pipih tersebut kemudian mengalihkan pandangan ke arah Arsen yang duduk di balik kemudi.
"Pihak bengkel sudah turun tangan, mereka sedang bergerak ke sini. Nona jangan khawatir."
Keduanya masih berada dalam mobil. Arsen tak tahu harus berbuat apa saat ini.
"Kau tidak kuliah hari ini?" Arcila bertanya untuk membuka percakapan dan mengurai rasa canggung diantara mereka.
Entah mengapa, Arcila merasa jika Arsen sedikit menghindarinya. Dia tak yakin memiliki salah pada pemuda dengan hidung mancung dan tatapan teduh di sampingnya tersebut.
Arsen menggelengkan kepalanya. Hari ini dia merasa malas untuk pergi kuliah entah apa sebabnya. Hatinya sedikit gelisah sejak tadi pagi. Bahkan, rasa lapar pun tak dia rasakan padahal hari sudah sangat siang.
Sunyi kembali membayangi keduanya, tak lama sebuah mobil Derek nampak diujung pertigaan. Arsen segera keluar dan memberitahu pada petugas tersebut. Setelah selesai dia kembali masuk kedalam mobil dan melaporkannya pada Arcila.
"Nanti kita mampir dulu ke restoran di depan ya. Kita makan siang dulu disana." Arsen mengangguk, dia tak bisa menolak meski perutnya tak berselera untuk makan.
"Ada apa denganku? kenapa perasaanku semakin tak enak?" Gumamnya dalam hati. Diliriknya Arcila yang duduk disebelahnya dengan ekor matanya. Gadis itu sedang terlarut dengan ponsel yang digenggamnya.
Arsen kembali memfokuskan dirinya pada kemudi dan jalanan didepannya yang sedikit tersendat.
Arcila tiba-tiba memegang dadanya yang mendadak terasa nyeri. Bahkan ponsel ditangannya sampai terjatuh. Sontak Arsen menoleh dan menjadi sedikit panik. Pemuda tersebut segera mencari tempat aman untuk menepi. Beruntung mobil yang dikendarainya tak sedang berada di tengah kemacetan. Hingga memudahkannya untuk menepi meski harus mendapat sedikit cacian dari para pengguna motor yang melihat mobilnya berhenti di bahu jalan.
"Nona.Apa nona baik baik saja." Arsen menepuk pipi Arcila yang nampak sedang memerah. Gadis itu masih terdiam dengan sorot mata yang sedikit berbeda, terlihat mengerikan namun Arsen tak mengindahkannya. Kesadaran Arcila adalah fokusnya kali ini.
"Nona, sadar!!" Arsen menepuk pipi Arcila sedikit kencang. Membuat wajah itu menoleh dengan dada yang kemudian naik turun menarik nafasnya.
Arsen bernafas legah, dia membiarkan Arcila menenggelamkan wajahnya didadanya. Sejak setahun yang lalu, tepatnya setelah usia Arcila yang ke 17 tahun. Gadis itu sering hilang kendali meski hanya sesaat.
Tak banyak orang yang tahu bahkan keluarga besarnya pun tidak. Hanya mama, kakek nenek serta keluarga Arsen lah yang mengetahuinya. Mereka menyimpan semua rahasia tersebut serapih mungkin, tak ingin orang lain tahu dan memanfaatkan keadaan.
Disaat Arcila kehilangan kesadaran itulah banyak hal yang kemungkinan bisa terjadi tanpa ada yang tahu. Karenanya, Arsen menjadi orang pertama yang selalu berada disisi gadis cantik tersebut. Dia mendapat tugas terberat karena bukan hanya menjaga Arcila namun juga harus menekan rasa dihatinya yang tumbuh tanpa dirinya sadari pada sang nona.
"Nona."
"Arsen, kenapa dadaku sakit dan jantungku berdetak tak menentu begini. Seperti akan ada hal buruk yang akan terjadi. Aku takut!!"
"Kenapa ini, kenapa Nona juga merasakan hal yang sama denganku. Apakah ini sebuah pertanda buruk? tapi apa?" Arsen bergumam dalam hatinya
"Tak ada hal buruk yang akan terjadi, Nona tenanglah!! semua sudah baik baik saja." Arsen menepuk pelan punggung Arcila seperti yang selalu dia lakukan jika hal ini terjadi.
Arsen menyerahkan sebotol air mineral yang segera diteguk hingga tandas oleh Arcila. Wajahnya telah kembali normal dengan pipi yang sedikit merona dengan bekas lelehan air mata yang masih terlihat disana. Sorot mata yang mengerikan juga telah berubah normal kembali.
Arsen menghembuskan nafasnya pelan. Dirinya sempat ketakutan tadi saat sekilas melihat tanda dikening Arcila. Meski hanya sekilas namun itu sudah cukup membuatnya berkeringat dingin.
"Aku tak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu, Cila. Aku akan pertaruhkan segalanya untuk bisa menjagamu seperti janji ayahku untuk selalu menjaga kelauragamu terutama Nyonya. Kau tanggungjawab ku sejak aku mengetahui semuanya tentangmu. Tak akan ada yang bisa melukaimu selama masih ada aku. Aku berjanji untuk itu."
Arsen kembali melajukan mobilnya perlahan setelah dirasa Arcila telah tenang. Bahkan gadis cantik tersebut nampak memejamkan matanya dan bersandar pada jok kursi yang ditempatinya. Nampak tenang tak seperti beberapa menit yang lalu. Arsen tersenyum tipis, perubahan-perubahan mendadak yang ditunjukan oleh Arcila bukanlah hal yang mengagetkan lagi baginya. Tak seperti dulu diawal, yang membuatnya syok berat.
Di sebuah rumah besar nampak seorang wanita cantik sedang duduk di sebuah taman dihalaman belakang. Dia adalah anak kedua dari keluarga Gerald. Paling cantik, paling kaya dan juga paling baik diantara para saudaranya yang lain. Juga yang memiliki nama tanpa memakai nama besar keluarganya.
Sena Aulina Sanca, wanita yang merupakan mama dari Arcila tersebut menghabiskan banyak waktunya ditaman belakang. Taman yang nampak asri dengan banyaknya pepohonan serta bunga bunga yang ditanamnya dengan tangannya sendiri.
Sejak kepergian sang suami, Sena memilih menyibukkan dirinya ditaman tersebut. Tempat dimana dirinya bertemu dan berpisah dengan sang suami kala itu.
Perusahaan besar yang dimilikinya dia biarkan sang kakak mengurusnya. Lagipula, kakaknya adalah orang yang tepat untuk memikul beban tanggungjawab tersebut mengingat dia yang paling tua dan juga punya pengalaman.
Kepergian sang suami yang mendadak disaat kelahiran Arcila membuat Sena harus menjalani harinya dengan susah paya. Meski mendapatkan dukungan dari keluarga besarnya. Namun Sena tetap merasa kehilangan.
"Kau masih disini? bukankah akan ada rapat pemegang saham sebentar lagi?"
"Biarkan saja kakak yang Dody yang mengurusnya, ma. Aku yakin dia mampu untuk itu, lagipula, Kak Gio pasti akan memantaunya dari sana." Sena tersenyum, menatap lembut sang mama yang semakin terlihat tua.
Wanita itu mengelus lembut rambut putri keduanya tersebut dengan sayang. Hal yang terkadang membuat iri ketiga saudaranya yang lain. Meski mereka sudah dewasa dan menjalani kehidupan masing-masing. Namun prilaku kedua orang tuanya terasa berbeda mereka rasakan meski semua tak seperti yang mereka bayangkan selama ini.
"Ya sudah, kalau begitu jangan lupa beristirahat. Mama lihat sejak pagi kau betah berada disini. Kau juga harus menjaga kesehatanmu sendiri."
"Iya, ma." Sena tersenyum. Menatap punggung sang mama yang semakin menjauh darinya. Wanita tersebut menatap ke arah sebuah kolam kecil dengan patung ular yang berada ditengahnya sebelum beranjak untuk masuk ke dalam rumah.
*
*
*
"Bagaimana, apa semua sudah siap? ingat jangan sampai gagal karena ini adalah jalan satu satunya yang kita punya." Seorang lelaki tengah melakukan panggilan telfon entah dengan siapa.
Cerutu ditangannya nampak mengepulkan asap setelah lelaki tersebut menghirup benda bernikotin tersebut dengan nikmat. Sebuah senyum tersungging di bibirnya.
Sudah sejak lama dirinya menunggu hingga kesempatan tersebut mulai terlihat dihadapannya.
*
*
*
Arcila menguap pelan, gadis cantik tersebut Mengernyapkan matanya perlahan. Menyesuaikan pandangan matanya yang kemudian terbelalak kaget ketika menyadari dirinya masih berada di dalam mobil Arsen. Tapi di mana pemuda itu?
Arcila menggerakkan badannya yang sedikit kaku, kemudian mulai mencari keberadaan ponselnya untuk menghubungi Arsen. Sudah menjadi kebiasaan baginya, setelah sesuatu yang entah apa muncul dalam dirinya maka tubuh Arcila akan lemas untuk beberapa waktu hingga membuat gadis tersebut tertidur tanpa tahu tempat. Itulah yang membuat Arsen selalu berusaha berada disisi nonanya itu.
"Nona sudah terbangun?" Suara Arsen mengagetkan Arcila yang sedang fokus. Gadis itu memicing namun tak serta merta membuat Arsen takut. Dimatanya, Arcila sangat menggemaskan masih seperti dulu ketika mereka sama-sama masih kecil.
Pemuda itu tersenyum tipis ketika melihat Arcila keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam restoran. Perutnya sudah terasa sangat lapar sejak beberapa jam yang lalu.
Arsen mengikuti langkah Arcila, wajahnya yang semula tersenyum kembali dibuat datar. Dia hanya ingin menunjukkan senyumnya pada Arcila seorang. Sesuai pesan sang ayah yang selalu diucapkan lelaki paruh baya tersebut padanya. Dia yang kehilangan ibunya semenjak lahir merasa berhutang budi dengan Nyonya Sena yang telah menganggap dirinya juga sebagai anak sama seperti Arcila.
Memendam cinta pada Arcila mungkin adalah satu kesalahan terbesar yang dia lakukan. Namun Arsen tak pernah menyesali perasaan tersebut. Dia hanya menyinta bukan hadir menjadi seorang yang mengharuskan Arcila menerima cintanya.
"Saya sudah memesan makanan untuk, Nona." Arsen membawa Arcila duduk di sebuah meja pojok direstoran tersebut.
Dua cup es krim dengan rasa strawberry dan coklat segera diantar oleh pelayan ketika keduanya baru saja duduk. Arcila tersenyum manis. Tak menunggu lama, gadis cantik tersebut segera menikmati makanan manis yang lumer dimulutnya tersebut dengan nikmat.
Tak berapa lama makanan yang dipesan oleh Arsen pun datang. Binar mata Arcila kembali terlihat. Perutnya semakin meronta ingin cepat diisi. Namun belum sempat keduanya menikmati makannya, dering ponsel Arsen mengalihkan fokus mereka.
"Ya ayah." Pemuda tersebut segera menjawab panggilan dari sang ayah. Namun anehnya, lelaki disebrang sana hanya sempat mengucapkan beberapa kata sebelum suaranya hilang tak lagi terdengar.
"Hallo ayah, ayah." Arsen berusaha beberapa kali menghubungi ayahnya kembali namun lelaki tersebut tak lagi bisa dihubungi.
"Ada apa?" Arcila yang sejak tadi menatap Arsen kemudian bertanya.
"Entah, non." Arsen menjawab singkat dengan tangannya yang masih sibuk mencoba menghubungi sang ayah.
"Paman bilang apa?"
"Ayah hanya mengatakan..." Arsen terdiam, menatap Arcila yang balik menatapnya bingung.
"Bilang apa? kenapa malah diam Arsen."
"Ayah meminta kita untuk tidak pulang saat ini dan menyuruhku membawa Nona pergi." Arsen berujar pelan.
"Kenapa begitu? apa ada hal buruk yang terjadi dirumah? bagaimana dengan nenek dan mama." Arcila menjadi sedikit panik.
Arsen terdiam sesaat. Pemuda itu nampak mengkaitkan segala hal yang terjadi beberapa hari ini. Gelagat aneh sang ayah dan juga banyaknya wajangan yang disampaikan padanya terkait dengan keselamatan Arcila. Serta firasatnya sejak pagi yang memang terasa tak baik baik saja.
"Nona, kita pergi dari sini!!" Arsen menarik pelan lengan Arcila yang kembali menatapnya bingung.
"Kita keluar dulu dari sini, setelah itu kita pikirkan hal lainnya. Nona tolonglah, untuk kali ini Nona percaya sama saya." Arsen mengajak Arcila masuk kedalam mobil.
Dengan cepat pemuda tersebut menghidupkan mobilnya. Namun sebelum itu, Arsen mematikan ponsel nya dan juga Arcila dan menyimpan ke dua benda tersebut dalam saku jaketnya.
"Kita mau kemana?" Arcila yang baru kali ini melihat wajah serius Arsen tentu saja takut. Namun dia percaya pemuda disampingnya tersebut tak akan mencelakai dirinya.
"Kita cari tempat yang aman terlebih dahulu. Setelah itu kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita tak bisa langsung pulang dalam keadaan begini, Nona pasti paham dengan apa yang ayah katakan tadi." Arsen memutar kemudinya,memilih jalan kecil untuk bisa keluar dari kota. Setidaknya dia harus mencari jarak aman dari segala jangkauan orang-orang yang tak dia ketahui siapa dan keberadaannya.
Dua hari yang lalu. Ayahnya, pelayan tua Andres yang menjadi kepercayaan tuan besar dan nyonyanya untuk melayani keluarga itu. Mengajak Arsen untuk melintasi tempat ini, dia juga menunjukan sebuah rumah yang tak begitu besar sebagai tempat yang dikatakannya aman jika suatu saat ada hal buruk terjadi.
Ayahnya juga berpesan, agar Arsen selalu berada disekitar Arcila mulai saat itu. Hal itu pula yang membuat Arsen lebih memilih untuk bolos kuliah dan menuruti permintaan sang ayah.
Mobil yang dipakainya saat ini pun seolah telah disiapkan oleh ayahnya untuk dia bawa pergi. Yang Arsen tahu, semua mobil dan kendaraan lain yang digunakan keluarga Gerald dilengkapi dengan peralatan canggih. Dan sang ayah selalu memintanya untuk berganti mobil jika hendak keluar.
Di sebuah cafe kecil yang dia tahu masih milik kerabatnya itulah. Arsen menitipkan mobil keluarga Gerald dan berganti dengan mobil yang telah dipersiapkan oleh ayahnya.
"Ayah, aku tak yakin dengan apa yang ayah lakukan sebelumnya. Tapi kini aku sedikit mengerti, jika memang ada sesuatu yang tak bisa ayah jelaskan padaku selama ini. Ayah berjanjilah untuk tetap bertahan dan temui aku setelah ini." Arsen mengusap kasar wajahnya.
Arcila yang masih terpaku ditempat duduknya hanya terdiam. Menatap lurus kedepan, kesebuah rumah dengan halaman yang tak seluas kediamannya. Namun asri dengan banyaknya pohon palem yang ditanam disekelilingnya.
"Arsen, rumah siapa ini?" Tanyanya ragu.
Arsen membuka pintu mobil, berjalan mengitari bagian depan mobil kemudian membuka pintu untuk Arcila. Gadis cantik itu menurut, keluar dengan ragu dia memeluk erat lengan Arsen.
Arsen membawa Arcila masuk, semua masih tertata rapih seperti yang ayahnya katakan.
"Ayah membeli rumah ini setahun yang lalu. Beliau bilang, rumah ini akan menjadi tempat dimasa tuanya menghabiskan waktu."
Arsen menghela nafasnya berat, pemuda tinggi tegap tersebut membuka jendela lebar lebar membiarkan angin masuk kedalam ruangan. Kemudian mengambil duduk di sebuah sofa tak jauh dari Arcila berada.
"Ayah baru memberitahukan rumah ini padaku Dua hari yang lalu. Banyak sekali pesan yang sebenarnya membuat aku sendiri bingung untuk mengartikan bagaimana. Tapi sekarang aku berpikir, apa yang dia katakan merupakan suatu pertanda atau firasat. Semua seperti berhubungan, namun aku juga belum bisa mengatakan jika semua itu benar sebelum memastikannya."
"Nona, untuk sementara kita akan tinggal disini. Aku harap Nona bersedia, sebelum kita memastikan semuanya terlebih dahulu."
"Tapi untuk apa? bukankah disana lebih banyak orang yang dapat membantu kita? ada paman juga yang tentunya akan membantu."
"Jangan terlalu naif Nona. Kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Jadi sebaiknya kita lebih waspada, kita tak tahu siapa lawan dan siapa kawan yang harus kita hadapi."
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Arcila menatap televisi yang menyala dengan tatapan nanar. Air matanya seolah enggan berhenti mengalir meski tak lagi terdengar isakan pilu seperti beberapa jam lalu.
Gadis cantik tersebut masih bergeming menatap pemberitaan hangat yang sedang ditayangkan. Tak ada keinginan untuknya mengganti canel atau sekedar mematikan benda datar tersebut. Tatapannya yang kosong membuat siapa saja yang melihatnya ikut merasakan kesedihan yang terpancar disana.
Lebih miris lagi ketika melihat dalam pemberitaan tersebut menyebutkan bahwa pelayan kepercayaan keluarga Gerald yang tak lain adalah Andres, ayah dari Arsen dinyatakan sebagai orang yang bertanggungjawab atas semua kejadian yang menimpa keluarga Gerald. Tuan dan nyonya Gerald ditemukan tewas di lantai 2 rumahnya. Sementara Sena, mama dari Arcila ditemukan terkapar di pintu samping menuju halaman belakang rumah mewah tersebut.
Sementara Andres, pelayan tua tersebut ditemukan bersimbah darah tak jauh dari tubuh Sena ditemukan. Menurut pengakuan mereka yang ada disana. Andres berusaha kabur saat kejadian, namun belum sempat dirinya keluar sudah keburu terpergok oleh security yang sedang berkeliling saat itu.
Arcila yang nampak kacau terpaksa ditinggal bersama seorang pelayan dan dua orang pengawal yang memang telah dipersiapkan disana entah sejak kapan oleh Andres.
Sementara Arsen, pemuda tersebut nekat datang ke kediaman keluarga Gerald meski harus menyamar. Selain untuk memastikan kebenarannya, Arsen juga tengah mencari keberadaan sang adik. Leo tak ditemukan di tempat kejadian perkara itu yang disebutkan polisi tadi membuat tanda tanya besar di benak Arsen. Leo yang saat itu sedang berada di halaman belakang tempat binatang peliharaan tuan besar Gerald berada. Pemuda yang usianya hanya terpaut 3 tahun darinya itu memang memiliki tugas membersihkan kandang hewan setiap harinya. Leo yang masih duduk dibangku kelas 2 sekolah menengah tersebut baru saja pulang sekolah saat Arsen keluar dari gerbang.
Arsen menatap rumah mewah tersebut dari kejauhan. Matanya memanas kala nama sang ayah dijadikan kambing hitam oleh orang-orang yang entah siapa. Arsen tak menyangka, jika kata tersendat dari sang ayah yang memintanya untuk pergi adalah kata terakhir yang didengarnya dari lelaki yang menjadi kebanggaannya itu.
"Aku akan menjaganya seperti menjaga diriku sendiri ayah. Tak akan aku biarkan pengorbanan yang ayah lakukan menjadi sia sia. Aku akan pastikan Arcila selamat hingga nanti tepat waktunya dia bangkit. Aku juga akan mencari keberadaan Leo, aku yakin dia selamat. Ayah tenanglah disurga." Lirihnya dalam hati.
Arsen menyeka air matanya sebelum beranjak pergi. Dia tak bisa terlalu lama berada di sekitar rumah tersebut, karena pasti banyak orang yang sedang mencarinya kini.
*
*
*
Di sebuah ruangan pengap yang entah dimana. Seorang pemuda Mengernyapkan matanya mencoba untuk terbuka perlahan. Leo nampak kebingungan karena tak mengenali dimana kini dirinya berada.
Yang dia ingat, siang itu dirinya sedang membersihkan kandang kelinci. Kebetulan letak kandang tersebut sedikit tersembunyi dibandingkan dengan kandang kandang hewan lainnya. Leo yang sedang asyik dikejutkan dengan suara teriakan dari Sena. Leo mengedarkan pandangannya namun dirinya tak beranjak dari posisinya yang sedang berjongkok.
Dari balik rimbun tanaman bunga dirinya dapat melihat beberapa orang berpakaian serba hitam dengan penutup kepala menusuk Sena yang saat itu sedang dalam posisi hendak berlari. Leo yang terpaku ditempatnya tak bisa bersuara pun bergerak.
Tubuhnya menengang hebat kala tatapan matanya tak sengaja tertuju pada sosok yang sudah tergeletak tak jauh dari Sena yang saat itu masih terdengar merintih. Leo yang mengenali tubuh tersebut semakin membeku hingga tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya.
Air matanya mengalir begitu derasnya kala mengingat apa yang telah terjadi pada sang ayah dan juga nyonya nya. Dia tak tahu bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini sekarang, karena setelah melihat tubuh sang ayah terkapar dengan darah yang membasahi tubuhnya, Leo tak mengingat apapun lagi.
Tak jauh dari tempatnya terbaring. Nampak beberapa pasang mata mengawasi pergerakan Leo. Mata yang menatap tajam dengan desisan yang sesekali terdengar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!