Matanya berkaca-kaca saat menatap wajah wanita yang telah lama menghilang dari pandangannya. Meski air mata hendak bergulir, ia dengan cepat menahan, merasa bahwa sebagai seorang pria, ia tidak layak menangis. Meskipun laki-laki adalah manusia, ia berusaha keras untuk berpura-pura kuat di hadapan wanita ini.
Setelah tiga tahun tanpa bertemu, rasa rindu yang tumbuh selama ini terbalaskan kala menatap wajah yang masih sama polos seperti tiga tahun yang lalu, ketika keduanya sama-sama meninggalkan satu sama lain.
Selama tiga tahun tersebut, dunia baginya seakan terhenti, dan ketika ia kembali merasakan udara bebas, perubahan yang nyata terlihat jelas hanya dalam waktu tiga tahun. Semua ini berkat upaya manusia yang berusaha memperbaiki segalanya dan menghadirkan kemajuan.
Ia tidak dapat mengalihkan pandangannya dari wanita di hadapannya. Rasa kebingungan dan terasa seperti jatuh cinta untuk kedua kalinya kepada orang yang sama muncul di hatinya. Perasaan ini mirip dengan saat pertama kali ia merasakan cinta pada wanita itu.
Dengan berani, Alaska melangkah maju dengan hati yang ragu, meskipun dia tidak percaya bahwa dirinya masih sanggup untuk bertemu dengan wanita ini. Ia berhenti di belakang wanita itu, tangannya bergetar ketika melihatnya begitu dekat. Tiba-tiba, ia menjadi seorang pria bisu, tidak mampu membuka mulutnya untuk menyapa.
Alaska termenung sejenak sebelum wanita itu membalikkan tubuhnya, ia tampak terkejut melihat Alaska di belakangnya. Meski mengerutkan kening, wanita itu berusaha tetap biasa, berpikir bahwa mungkin saja pria itu ingin mengambil tempatnya.
"Silakan, Kak," ucap Julia dengan senyum manis di wajahnya.
Namun, dugaannya salah. Julia merasa gugup karena pria itu terus memandangnya. Ia tidak mengerti mengapa pria itu memandangnya dengan tatapan aneh. Apakah ada yang salah?
Dengan segenap perhatiannya, Julia memeriksa dirinya sendiri, namun tidak menemukan sesuatu yang aneh. Namun, pria itu tetap memandanginya.
"Maaf, Kak. Apakah ada yang salah pada diri saya?"
"Julia," lirihnya dengan tak percaya, seolah-olah kejadian hari ini adalah yang paling berarti dalam hidupnya.
Julia bingung, tidak tahu bagaimana pria ini mengetahui namanya. Ia sendiri bahkan tidak tahu siapa pria ini. Mungkin ini hanya kebetulan bahwa pria itu mengenalnya.
"Kau mengenalku?" tanya Julia dengan antusias.
Alaska tidak tahan dengan sakit di dadanya. Apakah wanita itu benar-benar melupakan segalanya begitu saja setelah sekian lama? Kenapa Julia tidak mengenalinya lagi? Alaska ingat bahwa ia tidak memiliki hak untuk mengendalikan hidup Julia.
"Apakah kau benar-benar tidak mengenaliku?" tanya Alaska, bibirnya bergetar.
Laki-laki itu mengepalkan tangannya, berharap jawaban Julia bisa menenangkan hatinya. Kejadian hari ini membuatnya semakin terluka. Julia melihat ke arahnya, menggelengkan kepala, dan itu sudah cukup untuk memukul mundur Alaska.
"Maaf, sepertinya saya salah orang."
Setelah mengatakan itu, Alaska pergi meninggalkan Julia yang bingung. Julia memandang pria itu dengan bibir terbuka.
"Apa yang terjadi dengannya? Mengapa dia begitu aneh? Padahal dia seperti mengenalku, kenapa dia seolah-olah aku melakukan sesuatu yang salah padanya?" ucap Julia, menggelengkan kepala.
Julia melirik ke belakang sebentar dan melihat seorang penjual boneka di pinggir jalan. Awalnya, ia berniat membeli boneka itu, tapi ia lupa bahwa uangnya dengan Julian.
Julia mengambil napas panjang dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku bajunya. Tiba-tiba, ada seseorang yang menarik tangannya, membuat Julia terkejut.
Wanita itu menatap pria yang menarik tangannya, yang ternyata adalah Julian. Julia merasa kesal dan menghempaskan tangannya.
"Sini, dompetku. Kau membawanya. Aku ingin membeli boneka itu," ucap Julia, menuntut kembarannya untuk memberikan dompetnya.
Namun, Julian tetap diam, wajahnya tampak gugup. Seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.
Julian menatap keramaian di pasar, ia menemukan pria tadi. Tatapannya dingin, namun terselip senyum manis di wajahnya. Pakaiannya lebih rapi dibandingkan tiga tahun yang lalu.
Pria itu memandang ke arahnya, seakan memantau Julia. Napas Julian memburu, dan ia naik pitam. Tatapannya yang tidak bersahabat membuat pria itu paham dengan perasaan Julian.
Julian pun cepat-cepat menarik tangan Julia, menjauh dari keramaian. Sepertinya ia tidak ingin Alaska bertemu kembali dengan adiknya. Ia akan menjauhkan Julia dari Alaska sejauh mungkin.
"Julian! Apa yang kau lakukan? Aku ingin membeli boneka itu!! Lepaskan aku!"
"Jangan membantah. Jika bertemu dengan pria yang memiliki goresan di wajahnya tadi, segera pergi darinya. Dia sangat berbahaya."
Julia terkejut mendengar ucapan Julian. Ia melihat ke arah pria tadi yang telah menghilang dari pandangannya. Ia tidak menyangka bahwa pria itu orang jahat, tapi mengapa wajahnya terlihat begitu polos dan menyimpan sesuatu yang menyakitkan? Julia mulai meragukan kakaknya.
"Aku tidak percaya. Kau sok kenal, bahkan mungkin kau tidak tahu namanya."
"Namanya tidak penting. Yang penting, jauhilah darinya."
Julia mengerucutkan bibirnya dan membiarkan dirinya ditarik oleh Julian. Dalam hatinya, ia terus mengumpat Julian yang bertindak aneh. Apa kesalahan pria itu sampai membuat kakaknya kesal kepada laki-laki itu.
Dari jauh Alaska tersenyum tipis, "lebih baik jika kau memang tidak mengenaliku lagi dari pada mengingatku tapi kau membenciku seumur hidupmu."
Sesampainya kembali ke rumah, Julia terus merasa penasaran dengan sosok pria tadi. Penasaran ini semakin membuncah karena Julian sepertinya sedang berusaha melindunginya dari pria tersebut. Andai saja Julian tidak menyuruhnya menjauhi laki-laki itu, mungkin rasa penasarannya tidak akan sebesar ini.
Julia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Otaknya terus berpikir tentang pria itu. Apakah ada hubungan di antara mereka? Mungkinkah pria itu adalah orang dari masa lalunya?
Semakin dipikirkan, semakin Julia kepikiran. Julia memutuskan turun dari ranjangnya dan menemui Julian yang sedang santai di ruang tamu. Melihat Julian yang bersantai dengan segelas kopi dan TV menyala di depannya, Julia langsung mencibir.
Dia mendekati Julian dan duduk di sampingnya. Wanita itu memandangi kakaknya yang masih tidak menyadari kehadirannya. Merasa sangat kesal, Julia memukul kepala Julian hingga terdengar keluhan dari kakaknya.
"Apaan sih, Dek."
"Jelaskan ke Julia, kenapa Julia harus menjauhi pria itu? Memangnya dia siapa? Kan Julia dan dia juga tidak saling mengenal, jadi kenapa aku harus menjauhinya? Jangan membuat aku penasaran, Kak," pinta Julia sembari menggoyangkan tangan kanan Julian.
Julian pun sedikit kesal dengan ulah kembarannya itu. Ia hanya menatap sebentar ke arah adiknya sebelum meninggalkannya.
Julia memasang wajah muram. Ia berusaha mengingat sosok laki-laki itu. Kenapa tiba-tiba merasa tak asing?
Pikiran tentang perkenalan dengan pria itu muncul dalam beberapa detik. Julia memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Wanita itu pergi ke kamar dengan rencana untuk beristirahat.
Di dalam kamar, Julia mencari obatnya yang tersimpan di dalam laci. Tanpa sengaja, ia menemukan sesuatu yang membuatnya heran. Julia berusaha menahan rasa sakit sambil mengamati barang yang baru ditemukan.
Sebuah foto kecil berbentuk polaroid yang sudah usang dan terdapat sobekan. Julia memperhatikannya hingga terkejut menyadari bahwa di foto itu adalah dirinya bersama seorang laki-laki yang ditemuinya kemarin. Ada juga kakaknya di foto tersebut.
Julia semakin penasaran dan sakit kepala kian menderanya. Ia mencari obat dan menemukan keping obat, langsung memasukkannya ke mulut.
Setelah merasa aman, Julia kembali memperhatikan foto itu. Ia masih terpana dan seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jika menanyakan pada Julian, pasti ia tidak akan menjawab rasa penasarannya. Lebih baik pergi ke pasar kemarin dan mencari pria itu.
Keputusan Julia sudah bulat. Ia langsung pergi ke kamar mandi dan berganti pakaian. Semoga pria itu ada di sana dan bisa menjawab rasa penasarannya. Julia perlu bertemu dan membicarakan sesuatu kepada laki-laki tersebut.
Jujur saja, Julia tidak tega melihat tatapan pria tersebut kemarin yang sedang menahan sesuatu. Tampaknya ada rasa sakit yang mengganjal pada diri pria itu, dan itulah yang membuat Julia memutuskan untuk mencari tahu siapa sebenarnya laki-laki itu.
Julia sudah siap dengan pakaian rapi, dan pergi diam-diam dari rumah agar aksinya tidak diketahui oleh Julian.
---
Julia mendesah panjang. Ia tidak menemukan pria kemarin yang membuatnya sangat sedih. Julia berjalan menunduk, menahan kesedihan dengan memegang dadanya.
"Akhh," lenguh Julia saat tidak sengaja menabrak seseorang. Julia mengangkat wajahnya dan melihat bahwa orang itu adalah pria yang ditemuinya kemarin. Senyum Julia langsung terpancar.
"Kau?"
"Ada apa, Nona? Apa yang membuatmu sangat senang sekali? Maafkan saya yang tidak sengaja menabrakmu tadi."
"Ck, sudahlah. Aku yang salah karena berjalan tidak melihat-lihat lagi," ujar Julia antusias.
Ia menarik tangan laki-laki itu ke sebuah restoran di samping mereka. Alaska sangat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh wanita itu.
Selama ini, Alaska menahan diri dalam diam dan mengamati Julia dari jauh. Bahkan ia sengaja kembali ke tempat ini setelah menghabiskan malamnya di kos-kosan kecil dengan penuh kerinduan kepada Julia.
Semalaman, pikirannya hanya dipenuhi oleh Julia, dan tak ada nama lain yang muncul di otaknya.
"Julia," gumam Alaska tanpa sadar.
"Kau benar-benar mengenalku," ucap wanita itu yang membuat Alaska tersadar.
Alaska tidak bisa banyak bicara dan membiarkan Julia berceloteh. Rupanya, wanita itu masih sama seperti dahulu.
Alaska terus mengamati apa yang dilakukan oleh Julia hingga tatapannya terpana melihat wanita itu mengeluarkan sebuah foto dan meletakkannya di depan.
Alaska mengamati foto tersebut dan tidak bisa berkata-kata melihat foto itu. Itu adalah foto yang mereka ambil di pantai pada liburan hari itu sebelum tragedi naas terjadi.
"Apa kita saling kenal?" Alaska langsung memandang ke arah Julia dengan bibir terbuka.
Entah kenapa saat ini mulutnya beku dan tidak bisa berbicara, meskipun hanya satu kata. Seperti ada magnet yang menahan agar bibirnya tidak terkatup.
"Hey!" serunya pada Alaska hingga membuyarkan lamunan Alaska.
"Ya?"
"Kau mengenalku, bukan? Ceritakan apa hubungan kita. Kau sepertinya orang terdekatku. Ku mohon beri tahu aku masa laluku, karena semua orang tidak ada yang ingin mengatakannya. Apakah setragis itu? Aku benci kenapa harus kehilangan ingatan."
Alaska langsung terkejut mendengar apa yang baru saja dinyatakan oleh Julia. Kenapa ia baru tahu jika Julia kehilangan ingatannya. Ia ingin protes kepada keluarga Julia yang tidak memberitahukannya. Tapi siapa dia sehingga harus mengetahui seluk beluk kehidupan Julia?
Mungkin menyembunyikan lebih lama dan berbohong kembali adalah jalan terbaik demi kebaikan Julia. Ia tahu orang tua Julia juga tidak akan ikhlas dengannya.
"Maaf, sepertinya kami hanya mirip. Tapi aku tidak mengenalmu."
Julia berkaca-kaca mendengar ucapan Alaska. Apakah Alaska sama seperti orang terdekat lainnya yang selalu menolak untuk menceritakan masa lalunya.
"Kau berbohong. Aku tahu itu."
"Tapi aku tidak berbohong," ucap Alaska dan menyesap jus pesanan Julia lalu pergi begitu saja.
Julia menatap ke arah punggung pria itu yang berjalan keluar dari restoran. Julia menangis pilu melihatnya.
Namun, tiba-tiba kepalanya terasa berat dan Julia merasa seperti itu adalah titik terendah dalam hidupnya. Ia berteriak karena sakitnya, dan tiba-tiba bayangan masa lalu muncul seolah memberikan jawaban untuk Julia.
Julia memandang ke arah Alaska yang hendak membuka pintu restoran. Ia tersenyum lebar seraya menatap pria itu.
"Alaska, aku mengingat semuanya!"
Alaska sontak berhenti melangkah. Pria itu merasa tubuhnya bergetar, dan secara perlahan ia membalikkan badannya.
Mata Alaska penuh dengan kerinduan, dan mata Julia juga menatap sama seperti Alaska.
"Kau!"
"Ya, pada saat itu kita masih duduk di SMA."
Julia seolah mengulang ingatannya yang terlihat seperti sebuah novel.
Pada hari itu, pagi sangat cerah dan tetesan embun begitu menyejukkan, seolah ingin mengatakan kepada dunia bahwa hari ini adalah hari yang paling baik.
Julia, yang baru saja naik ke kelas 12, sedang menahan senyumnya. Ya, semester kemarin ia mendapatkan nilai terbaik kedua. Walaupun ia sangat bahagia, tapi di dalam hati kecilnya terdapat rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan oleh wanita itu. Bagaimana tidak, ia selalu mendapatkan juara umum pertama, namun tahun lalu ia mendapatkan juara umum kedua. Julia sendiri merasa sangat bangga dengan pencapaian dirinya, tapi orang tuanya lah yang tidak sehingga membuat Julia merasa sedih.
"Julia," tegur Julian melihat adiknya termenung, padahal mereka sudah berhenti di depan sekolah.
Julia terkejut dengan panggilan itu, dan ia langsung memutuskan untuk memandang ke arah sang kakak dengan tatapan kesal. Julia mendengus dan lalu turun dari dalam mobil begitu saja. Sementara Julian tidak habis pikir dengan sikap kembarannya itu. Ia benar-benar menyebalkan di mata Julian.
"Kenapa aku bisa memiliki adik seperti itu, benar-benar mengesalkan. Kenapa dia harus lahir satu embrio dengan ku," ucap Julian yang lebih mirip dengan sebuah keluhan.
"Kakak! Aku tahu isi hati mu, aku juga membenci mu jadi jangan harap jika aku bangga memiliki kembaran seperti mu," ucap Julia dengan ketus dan lalu kemudian meninggalkan area parkiran dan masuk ke dalam sekolah dengan langkah yang gembira.
Kelas akan disusun ulang di semester baru ini. Julia sangat tidak sabar ingin menantikan namanya yang terpilih di salah satu kelas yang paling favorit dan juga kelas yang terkenal dengan keindahannya. Letaknya pun strategis dan menurut Julia jika belajar di sana pasti akan sangat menyenangkan.
Julia membaca namanya di sebuah kertas HVS yang tertempel di mading. Seketika wajahnya langsung berubah gembira karena kelas yang ia harapkan merupakan kelas barunya. Julia bahkan melompat dan berjingkrak senang. Tapi wajahnya seketika berubah muram saat melihat Julian yang tengah melipat dada dan menatap ke arah dirinya.
Untuk apa pria itu memandanginya seperti itu? Apakah ada yang salah? Atau jangan-jangan....
Julia langsung menatap ke arah mading tersebut dan benar saja di bawah namanya ada nama Julian yang itu artinya ia akan satu kelas dengan sang Kakak. Kegembiraan itu hanya berhenti di situ dan Julia langsung pergi begitu saja sembari menghentakkan kakinya kesal.
"Jangan harap aku juga sudi satu kelas dengan mu." Julia hanya melirik sebentar ke arah sang kakak dan lalu kemudian wanita tersebut pun pergi. "Jadi siapa yang akan pindah kelas? Aku sih tidak akan mau," lanjut Julian.
"Kau pikir aku juga mau? Aku tak akan sudi pindah kelas. Ini kelas yang aku impikan dari awal masuk," ucap Julia dan langsung masuk ke dalam kelas tersebut.
Seketika matanya disihir dengan keindahan kelas itu. Hatinya yang penuh dengan amarah seketika mencair saat melihat pemandangan tersebut. Inilah surga dunia sesungguhnya. Bahkan di dalam kelas tersebut terdapat ruangan perpustakaan khusus yang merupakan tempat kesukaan Julia.
"Wah, kelas ini benar-benar sungguh bagus. Tidak mungkin aku pergi dari kelas ini. Kecuali dia," ucap Julia dalam hati sembari melirik ke arah sang kembarannya tersebut. "Menyebalkan sekali, kenapa lagi-lagi harus sekelas dengannya. Tidak di rumah dan di sekolah selalu saja bertemu dengannya, lama-lama hidupku bisa gila."
Julia menarik napas panjang dan lalu kemudian memilih kursinya di paling depan. Namun baru saja ia hendak duduk, tiba-tiba ada orang yang menghalanginya. Julia terkejut dan menatap ke arah orang itu. Rupanya orang tersebut adalah gurunya.
"Ibu?"
"Maaf Julia, kamu tidak bisa duduk di sini. Kamu hanya bisa duduk di belakangnya saja. Karena yang duduk di sini adalah juara satu umum semester kemarin, dia memiliki keterbatasan penglihatan sehingga tidak bisa duduk di belakang."
Jujur saja Julia sangat terkejut dengan ungkapan gurunya itu. Namun tidak mau ambil pusing, Julia lebih memilih duduk di belakang dari meja tersebut. Tapi siapakah sebenarnya orang yang telah merebut posisinya itu? Julia tak ada pada saat pembagian raport sehingga ia tidak tahu rupa orang itu.
"Ck, kasihan sekali," ungkap Julian yang seolah tengah mengejek Julia.
Julia menatap sinis Julian dan lalu kemudian tak ambil pusing, ia hanya mengabaikannya saja. Perempuan itu membuka tasnya dan mengeluarkan buku yang merupakan pelajaran hari ini.
Julia mengerutkan keningnya. Kenapa orang yang digadang-gadang sebagai juara satu umum tak juga masuk ke dalam kelas, apakah hari ini ia tak masuk? Padahal Julia sudah sangat penasaran dengannya.
"Siapa sebenarnya dia? Kenapa belum juga datang?" Julia melirik ke seluruh kelas yang penuh dengan orang-orang pintar itu dan juga semua bangku sudah terisi kecuali bangku yang ada di depannya.
Julia pun menarik napas panjang dan seketika menciut saat melihat bayangan guru dari luar yang akan masuk ke kelas ini. Wajah Julia merekah, dan senyumnya langsung hilang pada saat melihat orang yang ada di samping guru tersebut.
Mereka telah berdiri di depan, dan Julia masih bertanya-tanya dalam hati siapakah gerangan pria itu. Kenapa ia terlihat sangat tampan dan juga sedikit culun, selain itu, ia juga terlihat pendiam dan sangat introvert. Julia merasakan hawa jika orang itu tidak bisa bersosialisasi.
"Anak-anak, kenalkan ini adalah Alaska Ananda Argantara. Dia adalah penerima beasiswa di sekolah ini dan juga orang yang berhasil mendapatkan juara umum di sekolah ini. Alaska, kamu duduk di depan."
"Anak pintar perlu perkenalan ya?" tanya Julia dalam hati.
Alaska mengangguk, lalu mengeluarkan kacamatanya, dan duduk di depan Julia. Julia masih terpana dengan pria itu, bukan jatuh cinta, tapi di matanya seolah tak menyangka bahwa inilah orang yang berhasil merebut posisinya.
"Benar-benar luar biasa, apakah aku harus berkenalan dengannya?" Julia sudah sangat antusias.
Ia pun menarik baju Alaska hingga Alaska tersadar dan melirik ke arah Julia.
"Hey, aku Julia, juara umum kedua. Biasanya aku selalu mendapatkan juara umum pertama. Wah, kau hebat, pasti penuh kerja keras untuk mendapatkan posisiku."
"Oh," ucapnya cuek, "aku tidak pernah belajar, dan aku baru semester kemarin pindah ke sekolah ini."
Julia terkejut dengan pria ini. Sombong sekali, padahal tanpa Julia sadari dialah yang pertama kali menyombongkan diri.
_______
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!