Assalamu'alaikum reader's, semoga sehat semua ya. Karya ini merupakan kelanjutan dari Jerat Karma Suami GoibKu. Edisi Maret dengan do'a penyemangat. 🤲 Happy Reading 🧩
.
.
.
Manusia hanyalah makhluk ciptaan Tuhan yang akan berpulang pada-Nya ketika janji batas waktu kehidupan telah berakhir. Sayangnya, meski paham akan kenyataan di dunia yang fana ini, mereka lupa untuk menghargai sesama manusia tanpa membedakan.
Bagaimana rasanya ketika seumur hidup selalu mendapatkan tatapan benci dengan julukan yang menyayat hati? Seperti yang dialami seorang gadis belia berusia tujuh belas tahun dengan penampilannya yang bercadar. Ia hanya ingin memiliki dunia yang normal, tetapi orang-orang mengasingkan tanpa alasan.
"Najwa anak iblis."
Panggilan itu seringkali menyapa gendang telinganya. Seperti saat ini, semua orang menatapnya penuh keanehan. Ada benci, jijik, meremehkan, bahkan marah. Setiap kali mencoba berpijak menapaki dunia normal, justru yang ia dapat hanyalah penolakan. Alasannya karena sejarah keluarga yang memang sudah menjadi konsumsi publik.
"Ka, istighfar. Ayo ikut aku," Diraihnya tangan sang kakak yang terasa begitu dingin menusuk, ia tahu perasaan Najwa pasti terluka. "Ka Wawa seharusnya tutup telinga, sudah ku peringatkan menjauh dari mereka. Apa kakak tahu, semua ini semakin berlebihan dan mereka semakin semena-mena ...,"
Pemuda berwajah tampan yang menuruni garis wajah sang ayah selalu bersikap dewasa. Meski usianya terpaut hanya setahun dari sang kakak, tetap saja memiliki cara pandang dan tiang agama yang bagus. Semua karena ajaran kedua orang tua yang memperketat pengawasan. Namanya Aryan Daza Emir.
Kakak beradik itu terus melangkahkan kaki menuju taman sekolah yang ada di area belakang. Tidak seorangpun akan mempertanyakan karena mereka lebih suka menjauhkan diri dari Najwa. Padahal ruang lingkup pertemanan Emir cukup luas di sekolah tersebut.
Namun dengan satu pengecualian yaitu tidak ada Najwa bersama si pemuda. Mereka kakak beradik yang bisa dipastikan akan selalu saling mendukung, apalagi kondisi dunia tidaklah sama. Satu sisi kehidupan seorang adik yang normal dan sisi lain kehidupan seorang kakak yang penuh tekanan.
"Duduk, Ka!" Emir membimbing Najwa untuk duduk dibangku yang biasa menjadi tempat keduanya berteduh, lalu mengeluarkan sebotol air putih dari dalam tasnya, kemudian diberikan pada sang kakak. "Buat kakak, sekarang apa keputusan masih tetap sama?"
"De, Aku ...,"
Emir menggelengkan kepala tidak lagi bisa mengerti hati kakaknya terbuat dari apa. Setelah dihina dan direndahkan, justru tetap kekeh sekolah ditempat yang semua siswanya tidak punya akhlak untuk menyekolahkan mulut mereka. Jika hati terus terluka, bukankah rasa sakit yang tertumpuk bisa meledak kapanpun.
"Abi dan Bunda udah nyerah nasehatin Ka Wawa yang selalu memberikan alibi. Aku sanggup melewati semua cobaan yang Allah berikan padaku, tapi tanpa kakak sadari bahwa kami ikut terluka atas semua duka yang terpendam di hatimu. Mau sampai kapan semua ini berlangsung?
"Kita ini manusia biasa, Ka. Emir tahu niat kakak sangat mulia," Emir buru-buru meredam emosinya yang kian memeluk rasa. Istighfar yang dilantunkan di dalam hati menyejukkan dada seraya mengembuskan napas perlahan. "Maaf, Ka. Aku tidak bermaksud memaksakan kehendak. Cobalah untuk mencintai diri sendiri sebelum melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim." sambung Emir tak ingin panjang kali lebar melebihi batas.
Sadar bahwa ia tengah berhadapan dengan seorang kakak yang selama ini memberi perlindungan hingga detik ini. Meski Najwa tidak pernah mengatakan kisah hidupnya yang masih terpendam, alhamdulillah ia memiliki indra keenam yang selama ini disembunyikan. Semua itu agar kedua orang tua mereka tidak bertambah khawatir.
Kehidupan keluarga dilingkungan pesantren memang selalu baik, bahkan di penuhi kasih sayang semua orang. Akan tetapi begitu langkah kaki keluar dari area pesantren, maka hanya ada cibiran dan ketidaksukaan banyak orang terhadap Najwa. Kenapa bisa seperti itu? Semua itu karena masa lalu Bella.
Orang-orang beranggapan bahwa Najwa bukan putri dari pemimpin pondok pesantren, melainkan dari iblis yang pernah menjadi suami Bella. Miris akan pemikiran yang begitu picik, tetapi semua hanyalah manusia bukannya Tuhan. Bagaimana mengharapkan pengertian? Kenyataan akan selalu mengikuti arah sudut pandang masing-masing.
Najwa mencoba untuk bertahan di tempat duduknya. Semilir angin menelusup, membuat bulu kuduk meremang. Tanpa permisi, ia menarik tangan Emir hingga pemuda itu terjatuh duduk di sebelahnya. Mata yang terpejam merasakan aura dingin semakin menyebar bersama datangnya suara panggilan untuk datang.
"De, bantu Kakak baca sholawat tapi di dalam hati saja!" titah Najwa tanpa membuang waktu, Emir melakukan tanpa menunggu perintah dua kali darinya. "Bismillah ...,"
Dedaunan yang bergoyang, asap putih dengan debu beterbangan menghapus jarak pandang Emir. Sontak saja ia ikut memejamkan mata hingga tanpa sadar mata batinnya langsung terbuka, "Ka, siapa mereka?"
.
.
Para makhluk tak kasat mata yang datang dan terbang mengelilingi mereka berdua. Para makhluk itu membentuk benteng pertahanan karena tidak mengijinkan keduanya untuk pergi meninggalkan taman. Najwa masih melanjutkan bacaan ayat suci Al-Quran dari dalam hati seraya meraih tasbih yang selalu tersimpan di saku jaketnya.
Remaja itu memulai proses pengusiran para makhluk gaib yang ingin memprovokasi emosi hatinya agar menurut terhadap bangsa lelembut. Semua karena darah yang mengalir di tubuhnya bercampur menjadi satu dengan sisa energi batu merah delima milik Pangeran Lucifer.
Ia hanya mengingat pesan dari Abi untuk selalu mendekatkan diri pada Allah SWT dan meminta perlindungan hanya pada Sang Pencipta. Maka dari itu, Abi Azzam secara khusus mengajarkan teknik untuk memberantas para makhluk gaib agar tidak mengganggu manusia.
Begitu juga dengan alasannya tetap melanjutkan sekolah di kota kelahirannya. Setiap tindakan selalu memiliki penjelasan dan alasan, meski hanya ia yang tahu. Bunda, Abi, Kakek, apalagi Emir. Mereka masih tidak memahami tujuan di balik keras kepalanya.
Butiran tasbih memancarkan cahaya kuning keemasan. Dimana cahaya itu hanya bisa dilihat pada makhluk gaib yang langsung membubarkan diri seperti anak kecil takut mendapatkan hukuman lebih dari sekedar percikan sinar penghancuran jiwa.
Dilepaskannya tangan sang adik, lalu memeriksa denyut nadi anak lelaki itu dengan seksama. "Alhamdulillah kamu aman, De. Sebaiknya kita pulang sekarang. Ayo!"
"Ka Wawa!" Emir menahan pergerakan kakaknya yang terkesan terburu-buru akan sesuatu, ia sadar semakin hari justru bertambah keanehan yang menjauhkan ikatan persaudaraan mereka. "Apa kakak tidak sayang Emir lagi? Kenapa masih menganggap aku sebagai anak kecil? Lihatlah, tinggi badan kita saja tidak jauh berbeda."
Penyampaian dengan sindiran halus yang dilakukan Emir seperti cubitan di tangan yang menyentak kesadarannya. Jujur saja, jika bisa memilih pasti ingin bisa bermain bersama teman-teman, berbincang ini itu sepanjang waktu yang bisa dihabiskan. Hanya saja takdir berkata lain. Dirinya bukan gadis dengan kehidupan normal.
Sejak kecil selalu mendapatkan bisikan-bisikan aneh. Terkadang untuk memejamkan mata saja harus membaca suratan pendek sampai sepuluh surat, bahkan bisa lebih. Apalagi ketika dimalam hari lahirnya, gangguan mistis semakin tidak bisa dikendalikan.
Hidupnya karena raga yang memiliki jiwa. Cobaan yang selama ini menjadi takdir mulai teralihkan ketika Emir hadir diantara keluarga mereka. Adiknya yang terlahir di malam bulan purnama, tepat saat puasa ramadhan sudah memasuki hari kelima belas. Sejak saat itu, bisikan gaib mulai berkurang bahkan jarang.
"Kita pulang dulu. Malam ini, kakak akan bicarakan masalah penting bersama Abi dan Bunda." Najwa bersikeras tak ingin membahas apa yang ia alami, membuat Emir sang adik harus mengontrol hati untuk tetap tenang.
Manusia terkadang melupakan masa lalu, tapi bagi mereka yang tertinggal tetap mengingat setiap kenangan yang mulai menguap. Selembar kertas usang menjadi teman perjuangannya. Entah sudah berapa lama menetap di dalam rumah tanpa melihat dunia luar. Hatinya tak lagi bisa disembuhkan.
"Aku merindukanmu," Dipeluknya kertas usang yang merupakan selembar foto lama, "Setelah sekian lama akhirnya aku menemukan cara untuk membuka pintu rahasia, tapi darah suci yang murni masih blum terdeteksi. Dimanakah dia yang di dalam tubuhnya tercampur tiga aliran energi dari dua alam berbeda."
Kali ini bukan hanya tentang cinta karena hati terlanjur patah hati. Maka yang tersisa hanya tekad bulat untuk mendapatkan keinginan terakhir dari hidup sebagai manusia yang begitu singkat. Akan lebih mudah jika menyebutnya sebagai obsesi dan hasrat.
Hasrat itu, tidak melulu tentang adegan panas di ranjang karena kata lainnya adalah nafsu. Amarah pun juga bagian dari napsu, begitu juga dengan keinginan manusia yang terlampau mengedepankan kata harus. Ketika manusia bersemangat, tentu itu sangat baik hanya saja tidak dengan hasrat tanpa batasan.
Ditengah rasa rindu yang berusaha dia curahkan ke dalam pelukan, tiba-tiba semilir angin menerjang menghempaskan jendela dan pintu tanpa aturan. Suara gesekan bersambut hentakan keras mengganggu ketenangannya. Sontak ia mengedipkan mata mengaktifkan kekuatan energi hingga menjerat para makhluk tak tahu sopan santun.
"Tidak manusia, tidak lelembut. Kelakuan kalian sama saja," Jemarinya berayun memainkan para tawanan yang kini menjerit meminta pengampunan, "Apa kalian tidak bisa ketuk pintu? Aku tahu kalian itu setan, tapi belajar sopan sedikit bisa 'kan?"
Aneh sih permintaan orang itu. Para makhluk gaib terbiasa datang dan pergi sesuka hati. Tidak memerlukan jendela, apalagi pintu, lah mereka semua bisa menembus batas ruang dan waktu. Jadi gimana caranya belajar sopan santun? Jika manusia baru masuk akal.
Para makhluk terus meronta, tetapi jerat ilusi dengan tali hitam bersinar keunguan semakin terikat kencang. Suara rintihan yang melengking terdengar semakin menyeramkan. Anehnya orang itu justru tersenyum, "Seharusnya dia datang untuk membebaskan kalian, hmm. Apa kalian bukan warga para lelembut ya?"
Pertanyaan sekaligus penyataan yang ambigu. Siapa dia yang dimaksud? Mungkin saja sosok itu enggan bersua kembali. Walaupun begitu, ia tak akan menyerah sampai bisa memenuhi keinginan hati terdalamnya. Tidak peduli jika harus menyatukan dua dunia kembali dengan segala resikonya. Semua harus dilakukan.
Namun, keras kepala itu hanya setitik dari keputusan dia yang bersangkutan. Takdir telah memutuskan kedua dunia terpisah sejak beberapa tahun silam dan kini semua baik tanpa ada permasalahan yang rumit hingga menyeret banyak nyawa untuk melakukan perjuangan hidup dan mati.
Disetiap jalan pasti akan ada persimpangan. Tugas manusia menentukan pilihannya sendiri, berusaha mencapai tujuan yang telah digariskan Tuhan. Akan tetapi, manusia menyukai kerumitan. Ketika mempertanyakan hidup yang mereka miliki, lalu tanpa sebab menyalahkan Sang Pencipta.
Bukan hanya itu saja, manusia lebih sering mendominasi pemikirannya sendiri hingga lupa dengan sudut pandang orang lain. Terkadang kenyataan A, tetapi menjadi rumit karena tidak ingin memahami dan mengambil kesimpulan setelah menyelidiki. Terbiasa menilai dulu, baru mencari tahu.
Kembali lagi pada para lelembut yang menikmati siksaan jerat tali pengikat jiwa. Setiap detik yang berlalu terus mengeratkan jeratan hingga secara perlahan menghisap energi negatif dari para jiwa yang tersesat. Jeritan rasa sakit melepaskan entitas terakhir tanda keberadaan terakhir mereka hingga berubah menjadi butiran debu tak berarti.
"Rinduku hanya milikku sendiri. Menyedihkan, tapi mau sampai kapan kamu bersembunyi dariku? Haruskah aku basmi rakyatmu tanpa aturan? Jika waktu tidak mengubah keras kepala di antara kita, maka bersiaplah untuk perang hati yang membawa guncangan di kedua alam berbeda." ucapnya seraya menghilangkan energi kuat yang selama bertahun-tahun tidak pernah ia gunakan.
Meninggalkan kesedihan hati akan kasih yang tak sampai. Najwa dan Emir baru saja sampai di depan rumah utama keluarga mereka, tetapi kedatangan yang langsung di sambut anak-anak santri berlari memberondong mereka dengan permintaan kecil agar bermain bersama-sama. Seperti biasa Emir akan langsung menyanggupi, sedangkan Najwa memilih masuk untuk berganti pakaian.
Suara tawa anak terdengar riuh memenuhi halaman rumah, membuat Najwa bergegas masuk ke dalam rumah. Waktu menunjukkan pukul satu siang, itu berarti Abi masih di pondok mengajarkan ilmu tafsir, Bunda sibuk di dapur menyiapkan makan siang untuk keluarga kecil mereka.
Langkah kakinya terhenti ketika mencapai pintu kamar yang berhias boneka panda, "Bismillahirrahmanirrahim," Di putarnya knop, lalu di dorong ke depan bersambut semilir angin menghantarkan aroma bunga melati yang begitu kuat.
Hatinya sudah tetap dengan keyakinan tanpa keraguan, meski detak jantung berpacu begitu cepat hingga terdengar tanpa menggunakan alat pendeteksi denyut jantung. Langkah demi langkah memasuki kamar seraya melepaskan knop pintu dan tak lupa menutupnya sebagaimana yang diajarkan Abi karena ia seorang perempuan yang harus menjaga aurat.
Apa kabarmu, Humaira? Sampai kapan kamu mengabaikan keberadaan ku? Apakah semua yang terjadi masih belum cukup? Percayalah padaku.~suara gema yang terdengar memenuhi seluruh kamar, lebih tepatnya hanya Najwa yang bisa mendengar setiap ucapannya.
Rasa takut tak lagi menetap, ia hanya memasrahkan diri pada Allah melalui lantunan doa di dalam hatinya. Kepercayaan akan makhluk dunia lain, tak membuatnya jatuh dalam perangkap. Setiap nasehat yang Abi sampaikan akan menjadi tameng agar tetap pada dunia nyata.
Suara bujukan terus mengusik tanpa henti, hingga aliran air wudhu menyentuh membasahi tangan. Di saat itulah semua kembali normal, Najwa terbiasa melakukan kegiatan sama setiap memasuki kamar dan itu hanya untuk menjauhkan diri dari gangguan tak kasat mata. Gadis itu hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk menjaga diri sendiri tanpa membebani orang lain.
"Alhamdulillah, dia pergi. Aroma melati juga sudah pergi," ucapnya bersyukur seraya mengambil handuk untuk mengelap tangan dan kakinya, lalu ia berjalan meninggalkan kamar mandi, kemudian bergegas mengganti pakaiannya yang lebih santai dan nyaman.
Sementara di dapur, seorang wanita duduk termenung menatap keluar jendela. Aroma masakan yang menyebar bahkan tidak mengalihkan perhatiannya. Entah kenapa hati merasa dipenuhi kegelisahan dengan detak jantung yang berpacu begitu cepat. Perasaan takut yang dulu kembali datang.
Rasa mencekam hidup di dunia luas, tetapi ternyata hanya bisa menikmati penjara kehidupan karena makhluk gaib. Rasa itu seakan mengatakan bahaya semakin mendekat hanya saja sang suami selalu mencoba untuk menghindari pembahasan yang sensitif menyangkut masa lalu.
Rasa gelisah semakin menyulut ingatan waktu yang telah berlalu hingga sentuhan tangan terasa menggenggam pundak kanannya. "Wawa, kamu udah pulang, Nak?"
"Iya, Bunda. Kenapa melamun, nanti Abi lihat bisa ngambek loh." jawab Najwa meledek sang Bunda yang membalasnya dengan senyuman manis.
Wajah imut nan menggemaskan menurun darinya. Setiap kali melihat Najwa, maka ia merasa seperti tengah bercermin melihat keberadaannya. Kembar identik kecuali warna mata yang mengikuti milik Azzam. Cadar yang biasa menutupi wajah hanya tersingkap setiap berada di dalam rumah.
"Bisa aja kamu, Nak. By the way, gimana sekolah kalian? Semua baik dan aman 'kan?" tanya Bella menatap lekat anaknya yang tampak ceria seperti biasanya.
Namun pertanyaan itu begitu sering dipertanyakan. Apalagi kata *aman* menjadi satu keraguan yang bisa dia rasakan dari sang Bunda tercinta. Seperti biasa hanya seulas senyum bersama anggukan kepala yang menjadi jawabannya. Tidak bisa lebih, apalagi kurang.
Bella mengangkat tangan menyandarkan pada pipi gadis yang kini beranjak remaja. Najwa tidak seperti dirinya yang memiliki jiwa penasaran begitu tinggi, maka rasa takut sebagai seorang ibu bisa diminimalisir. Jujur saja ia pernah berpikir, bagaimana perasaan ibunya dulu?
Dimana sebagai seorang ibu yang selalu mengalah dihadapan seorang putri yang keras kepala dengan rasa penasaran yang mengakibatkan bencana keluarga. Pasti lebih cemas dan khawatir dari rasa yang dia rasakan saat ini. Setelah sekian lama, nyatanya bayangan masa lalu enggan untuk pergi. Satu keyakinan yang ia percayai bahwa semua itu sudah berakhir.
Kini hidupnya kembali normal dan memiliki keluarga kecil yang saling mengasihi. Setiap sujud menyisipkan doa agar terhindar dan dijauhkan dari semua marabahaya. Rasa syukur tidak pernah pudar karena setelah semua siksaan yang menjauhkan ia dari segalanya. Allah memberi ganti yang lebih baik.
Tanpa sadar Bella melamun di hadapan Najwa, membuat remaja itu mengecup pipi sang Bunda agar kembali pada dunia nyata. "Aman terkendali, Bunda. Sini biar kakak yang siapin makanan ke meja makan. Emir masih main bareng anak-anak, jadi Bunda aja yang panggil."
"Makasih, Nak. Bunda ke depan dulu," pamit Bella dengan langkah kaki beranjak meninggalkan tempatnya, sedangkan Najwa sibuk melantunkan suratan pendek yang akan menjadi hapalan malam nanti.
Meski ia sudah khatam Al-Quran. Abi selalu mengulangi dari awal lagi hingga setiap surat menjadi pemahaman dan bekal kehidupan. Termasuk Emir, karena keduanya tidak dibedakan. Meskipun seperti itu, tetap saja harus ikut belajar dengan anak pondok pesantren yang seusia sesuai dengan kelas masing-masing. Maka dari itu memiliki kegiatan sehari-hari yang cukup padat.
Sepuluh menit telah berlalu, kini ke empat anggota keluarga sudah berkumpul duduk di kursi masing-masing bersiap menikmati hidangan makan siang ala rumahan. Hanya saja tidak bersama kakek yang memang tengah melakukan ibadah suci ke tanah Mekkah untuk melaksanakan umroh yang ketiga kalinya.
Seperti perjanjian awal, dimana pernikahan Azzam mengakhiri masa kepemimpinan sang ayah dan menyerahkan tanggung jawab pondok pesantren pada penerus yang sudah siap secara lahir dan batin. Apalagi setelah kedua cucu semakin beranjak dewasa dan memiliki kesibukan begitu menyita waktu. Sebagai orang tua mulai merasa kehilangan kebersamaan.
"Mas, mau pake lauk apa?" tanya Bella tanpa menoleh ke arah Azzam, sedangkan yang ditanya masih fokus pada bayangan hitam yang mengintai rumah mereka. "Mas Azzam sayang!"
"Bunda, cuma sayang ama Abi ya? Kok aku gk dipanggil juga." celetuk Emir dengan ringisan menahan diri, ia tahu Abinya sibuk dengan hal lain hingga terpaksa menyenggol kaki sang ayah dengan tendangan ringan, tetapi malah di balas tanpa aba-aba.
Ditatapnya sang suami dan putranya yang tampak saling melindungi. Sebagai seorang istri dan ibu, maka ia paham perbedaan dari perubahan suasana dan emosi dari orang-orang terkasih yang ada di dalam hidupnya. Benar saja, Azzam masih berdzikir dengan tasbih ditangan kanan tak berhenti bergerak. Semilir angin menerobos menghantarkan pesan tak bertuan.
"Wawa, bantu Abi mu!" titah Bella ingin semua segera selesai.
Remaja itu tak menunggu perintah dua kali, perlahan menghirup udara di sekitar begitu dalam seraya memejamkan mata. Fokus pikiran mulai teralihkan menajamkan indra ke enam bersama doa yang ia panjatkan tanpa henti. Pandangan mata batin menyambut kedatangan bayangan gelap bak awan mendung sebelum badai datang menerjang.
Semakin memusatkan diri hingga sekilas cahaya merah menyambar bagaikan kilat ditengah kegelapan bulan purnama total. "Abi, apakah itu mereka?"
Sabarlah, kita hanya bisa membentengi diri. Keluarlah! Buka matamu, Nak. Saat ini tubuhmu masih belum siap, percayakan pada Abi untuk menghalau mereka. ~balas kata hati Azzam, ia tak ingin sang putri terkena kilatan dendam dari para makhluk asral yang ingin memporak-porandakan keluarga mereka.
Tubuh tersentak karena dipaksa untuk kembali sadar. Tatapan matanya masih terus terpatri pada ingatan yang baru saja ia dapatkan. Keringat dingin banjir membasahi tubuh, membuat Bella panik hingga meminta Emir untuk mengambil minyak kayu putih. Makan siang yang berubah menegangkan menyisakan rasa takut berlebihan.
Satu jam kemudian, Azzam datang ke kamar putrinya yang tengah terlelap ditemani Bella. Setelah kejadian tak mengenakkan di meja makan, remaja itu terpaksa harus istirahat karena tiba-tiba terserang demam yang tinggi. Wajah yang imut, tetapi kehidupan menguji dengan kerasnya perbedaan dimensi ruang dan waktu.
"Alhamdulillah demamnya udah turun," Azzam bersyukur karena aura negatif sudah meninggalkan tubuh Najwa yang memang belum siap mendapatkan serangan. "De, makanlah dulu! Emir menunggumu, jangan biarkan anak kita kelaparan dan Wawa biar aku yang jaga."
"Aku akan datang, tapi Mas Azzam harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Jangan lagi menghindari pertanyaan yang bisa membuat rasa penasaran seorang Bella kembali lagi. Assalamu'alaikum, Mas." Bella pamit meninggalkan kamar bersama pernyataan yang tidak bisa di ganggu gugat lagi.
Bagaimana ia menjelaskan? Ketika secara tidak sengaja kehidupan masa lalu datang kembali untuk mengambil hak yang memang menjadi milik dunia lain. Selama ini berpikir semua baik-baik saja hingga sebuah mimpi datang menghangarkan isyarat masa depan keluarganya. Satu alasan sudah cukup untuk melindungi setiap anggota terkasih yang menjadi warna hidupnya.
"Abi, apakah Bunda tidak tahu jika jantungku memiliki setengah dari batu permata merah milik Dia?" tanya Najwa mengalihkan perhatian Azzam hingga menerawang ke dinding kosong yang ada di depan mata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!