Suara tangisan yang menembus gendang telinga membuat tidur seorang pria terusik. Fano membuka kedua matanya dengan perlahan. Cahaya lampu yang ada di atas kepalanya membuat pandangannya silau sehingga mau tak mau ia kembali mengerjap untuk memfokuskan pandangan.
Kepala Fano terasa berat bahkan berdenyut sakit, hingga dengan sendirinya tangan pria itu mengurut dahi hingga ke pangkal hidungnya berulang kali.
Rasa pusing itu belum sepenuhnya hilang ketika Fano kembali mendengar isakan tangis seseorang. Awalnya dia mengira sedang berhalusinasi, apalagi mengingat semalam dirinya memang mabuk berat.
Namun ketika kesadaran Fano mulai kembali sepenuhnya, suara isakan itu justru terdengar semakin jelas. Ia yang semula tengah tidur terlentang, kini memiringkan tubuhnya untuk mencari sumber tangisan itu.
Deg
Jantung Fano seolah berhenti berdetak ketika melihat bahu putih mulus seorang wanita yang terekpos tanpa penghalang apapun.
Fano mengucek kedua matanya berulang kali untuk memastikan apa yang dilihatnya nyata atau tidak. Bahu itu masih terguncang naik turun bersamaan dengan suara tangisan yang semakin keras.
Hingga Fano pun mulai panik. Apalagi ia menyadari jika saat ini dirinya sedang berada di kamarnya sendiri, kamar pribadinya.
Bagaimana jika kedua orang tuanya mendengar tangisan wanita itu? Bisa Fano pastikan jika mungkin dirinya akan langsung masuk IGD karena kemarahan sang papa.
"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di kamarku?" Fano bertanya dengan suara gemetar. Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi setiap sisi kepalanya. Apalagi saat ini Fano baru menyadari jika di balik selimut tebal yang dia gunakan, tubuhnya sudah dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun.
Wanita itu bergerak bangun sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga batas dada. Dan Fano mulai meyakini jika di balik selimut itu juga terdapat tubuh yang sama polosnya dengan tubuhnya.
"Nara? Apa yang kamu lakukan di kamarku?" Fano tersentak kaget ketika melihat siapa sosok wanita yang tengah menangis di atas ranjangnya.
Quennara, seorang gadis yang belum lama ini bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Darmawangsa. Gadis pendiam dan sopan itu baru Fano kenal dua minggu yang lalu saat dirinya baru pulang dari Jepang.
Fano terduduk. Dia menarik selimut yang sama untuk menutupi pangkal pahanya yang bisa saja terekspos. Dan jujur saja sampai saat ini Fano masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi," tanya Fano sembari melirik sekilas ke arah Nara. Wanita itu masih menangis dengan air mata yang sudah kembali membanjiri pipinya, bahkan kedua mata wanita itu sudah memerah seolah mengisyaratkan kemarahan dan ketakutan yang mendalam.
"Jawab!" Fano mulai tak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi dia benar-benar tak mengingat apapun yang terjadi semalam. Dan untuk pertama kalinya Fano menyesali keputusannya mengonsumi minuman beralkohol.
Fano baru dua minggu ini kembali ke Indonesia setelah butuh dua tahun untuk dirinya menyelesaikan program magisternya di Jepang.
Program magister yang memang sengaja Fano ambil jauh dari Indonesia. Bukan tanpa alasan, Fano memilih Jepang agar dia bisa melupakan cinta pertamanya yang telah menikah dengan adik kandungnya sendiri.
Dua tahun memilih untuk tak pernah pulang. Dan selama dua tahun itu pula dia tak pernah melihat ataupun menampakan diri di depan Ayura, mantan calon tunangannya.
Awal kembali tinggal di Jakarta semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan saat bertemu Ello dan Ayura di pernikahan Mike, Fano merasa sudah bisa berdamai dengan masa lalunya.
Namun ternyata kali ini Fano salah. Semakin sering dia melihat kemesraan Ello dan Ayura, maka hatinya semakin sakit. Rasa suka yang sudah berusaha keras dia hapus, ternyata masih tersisa.
Hingga akhirnya kemarin seolah menjadi titik puncak tolerasi hatinya. Perasaan yang seharusnya sudah terhapuskan itu justru dengan tak tahu malunya tak mau pergi dari hati Fano.
Fano merasa sangat sakit saat tanpa sengaja melihat sang adik berciuman dengan cinta pertamanya. Hal yang memang sudah sewajarnya terjadi pada sepasang suami istri. Namun sialnya hati Fano seakan tak mau mengerti.
Merasa tak mampu lagi membendung sakit di hatinya, Fano memilih pergi ke club dan menghabiskan begitu banyak minuman beralkohol disana.
Ini merupakan salah satu cara ampuh yang biasa Fano gunakan saat di Jepang, ketika dengan tak tau malunya bayangan Ayura kembali hadir di kepalanya, dia akan menghabiskan waktunya bersama dengan botol-botol minuman keras itu.
Namun sepertinya malam ini tubuh Mike sedang tak bisa di ajak kompromi. Tubuh itu tak lagi bisa lagi mentolelir kadar alkohol yang masuk melewati tenggorkannya. Hingga akhirnya Mike mabuk dan pulang dalam keadaan setengah sadar.
"Hiks.. Tuan Fano jahat." Suara serak itu menyadarkan Fano dari lamunannya. Dia menatap Nara yang tengah menutup wajahnya dengan kedua tangan wanita itu. Bahkan saat selimut yang menutupi dua bukit kembarnya melorot, wanita itu sama sekali tak peduli.
Fano menelan salivanya dengan susah payah saat melihat pemandangan indah di depannya. Dia pria normal, yang dengan senang hati akan melahap dua pepaya gantung itu jika di perbolehkan. Ayolah Grafano, tak seharusnya kamu berpikir nakal seperti itu.
"Salah saya apa. Kenapa saya di perlakukan seperti ini?" Nara kembali merancau mengeluarkan semua unek-unek di hatinya.
Fano yang tak tahan dengan godaan dua pepaya gantung itu, langsung menarik selimut untuk menutupinya.
Dia menatap Nara dengan tatapan bersalah. "A-apa semalam kita melakukan itu?" tanya Fano terbata. Sumpah demi apapun, dia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika memang melakukan hal hina itu.
"Saya pikir Tuan Fano sudah cukup dewasa untuk menyadari apa yang terjadi semalam. Apa Tuan pikir, sepasang pria dan wanita yang bangun di pagi hari dengan keadaan polos, hanya menghabiskan waktu semalaman dengan bermain gundu?" cibir Nara dengan wajah menahan kekesalan.
Flashback On
Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam saat Nara medapat kabar dari sang adik jika Ibu mereka kembali masuk rumah sakit.
"Kata doker Ibu harus segera di operasi. Kalau tidak, kondisi Ibu bisa semakin memburuk." Kata-kata sang adik terus berputar di kepala Nara. Dia tahu, bahkan dokter sudah menyarankan operasi pemasangan ring jantung pada Ibunya sejak beberapa bulan yang lalu. Namun karena keterbatasan biaya, Nara tak bisa berbuat apa-apa.
Dua bulan yang lalu Nara memilih merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan menyerahkan tanggung jawab menjaga Ibunya pada sang adik yang masih duduk di bangku kelas dua SMA.
Nara berharap bisa bekerja dan mendapat gaji yang besar agar bisa segera mengoperasi sang Ibu juga untuk biaya sekolah adiknya. Namun karena hanya berbekal ijazah SMK, Nara hanya bisa puas dengan mendapatkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di sebuah kediaman salah satu konglomerat di Jakarta.
Gaji sebagai asisten rumah tangga di kediaman Darmawangsa bisa di bilang cukup tinggi di bandingkan di tempat lain. Namun tetap saja, setinggi apapun gajinya sebagai asisten rumah tangga, Nara tetap belum bisa membiayai operasi sang Ibu.
"Nara harus gimana Bu?" Air mata itu sudah sejak tadi membanjiri wajah Nara. Hati dan pikirannya mulai kacau. Setelah cukup lama Ibunya tak mengalami keluhan di jantungnya, malam ini sang ibu justru harus di larikan kembali ke rumah sakit.
"Apa aku harus menjual salah satu ginjalku?" gumam Nara frustasi. "Ya sepertinya itu pilihan terbaik agar ibu bisa di operasi."
Meski takut karena harus merelakan salah satu ginjalnya, namun Nara tetap meraih ponselnya dan mulai menjelajahi situs penjualan orang tubuh.
Melihat harga ginjal yang mencapai milyaran, membuat wajah Nara sedikit berbinar. Setidaknya jika satu ginjalnya terjual, dia masih memiliki satu ginjal lagi untuk bertahan hidup.
Selain melihat situs penjualan orangan tubuh, Nara juga mencari informasi tentang efek mendonorkan ginjal untuk kesehatannya kedepan.
Nara menelan salivanya dengan susah payah saat melihat efek jangka panjang pada pendonor ginjal. Apa dia bisa hidup normal lagi setelah ini?
Ketakutan-ketakutan itu belum hilang, namun Nara justru di kagetkan dengan suara bel di rumah majikannya.
Nara melihat jam di dinding kamarnya, waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Siapa kira-kira tamu yang datang lewat tengah malam seperti ini?
Jangan-jangan maling. Nara mengusap bahunya. Dia tiba-tiba merinding. Apalagi saat ini di rumah majikannya hanya ada dirinya saja. Karena Tuan dan Nyonya Darmawangsa berangkat keluar kota malam tadi.
Sedangkan asisten rumah tangga yang lainnya sudah pulang. Karena mereka memang datang pagi dan akan pulang sore harinya.
Suara bel itu sudah terhenti, hingga Nara bisa bernapas lega. Namun nyatanya itu hanya beberapa saat saja, karena menit selanjutnya, terdengar suara pintu yang di gedor dengan kuat.
Nara berjalan keluar dari kamar berukuran tiga kali tiga miliknya. Bukannya berjalan ke pintu utama, Nara justru berbelok ke dapur untuk mengambil teflon.
Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Nara pun berjalan menuju pintu utama dengan jantung berdetak kencang. Kalau saja satpam rumah ini gak izin sakit, pasti maling itu tak akan bisa menganggunya.
Dor.. Dor.. Dor..
"Buka!" Teriak seseorang dari bali pintu utama. "Woey, buka!"
Tubuh Nara semakin bergetar karena takut. Apalagi dia bisa memastikan suara itu merupakan suara seorang pria.
Walaupun teriakan meminta untuk di bukakan pintu itu terus terdengar, namun Nara tak lantas melakukannya. Gadis itu justru berjalan menuju jendela untuk mengintip siapa sosok yang membuat kebisingan di tengah malam seperti ini.
"Tuan Fano." Menyadari sosok di luar sana merupakan putra pertama majikannya, membuat Nara berbegas membuka pintu.
Ceklek
Begitu pintu di buka, Nara bisa mencium bau alkohol yang cukup menyengat. Nara mundur dan dengan reflek menutup hidungnya. Jujur saja dia merasa mual mencium bau itu.
"Dasar lamban. Buka pintu aja lama banget," rancau Fano sembari berjalan masuk. Namun setelah beberapa langkah berjalan, tubuhnya terhuyung jatuh di pelukan Nara.
"Tuan!" Meski tak tahan dengan bau alkohol yang menguar dari tubuh Fano, namun Nara masih waras dengan berusaha untuk tak mendorong tubuh majikannya itu.
Dengan susah payah, Nara menyeret tubuh Fano dan menidurkannya di atas sofa ruang tamu. "Gila berat banget."
Dengan nafas terengah, Nara ikut menjatuhkan tubuhnya di sisi sofa yang lainnya.
Nara menatap Fano dengan pandangan tak percaya. Selama dua minggu di rumah ini, Fano termasuk pria yang ramah dan baik pada siapapun termasuk dirinya.
Saat pertama melihat Fano, Nara kagum dengan ketampanan yang di miliki pria itu. Berwajah sebelas dua belas dengan adiknya, namun karena usia Fano lebih matang, di mata Nara pria itu nampak lebih menawan di banding Ello yang masih saja terlihat seperi brondong walau sudah memiliki anak.
Kehidupan Fano sangat berbanding terbalik dengan kehidupan Nara. Jika Fano bak terlahir dari sendok emas, maka Nara hanyalah centong kayu yang biasa di gunakan untuk memasak nasi hajatan di kampung halamannya.
Dengan latar belakang yang tak biasa seperti itu, lalu kenapa Fano yang tengah mabuk berat terlihat sangat menyedihkan.
"Harusnya kamu cobain hidup di posisiku biar kamu bisa lebih bersyukur."
Mengingat kehidupannya membuat Nara kembali teringat dengan Ibunya. Sampai sekarang, Nara belum memutuskan jalan keluar seperti apa yang harus dia ambil.
Nara menatap setiap sisi ruang tamu. Satu set sofa yang terlihat elegan dan mewah, ada pula dua buah guci besar yang katanya berharga fantastis hingga membuat setiap asisten rumah tangga dirumah ini harus berhati-hati jika membersihkannya.
Andai saja Nara menjadi salah satu pemilik rumah ini, sudah Nara pastikan lukisan Madurese Boat at Beat karya Affandi yang tergantung di dinding itu akan dia jual untuk pengobatan Ibunya.
"Salah satu pemilik rumah?" gumam Nara lalu melirik Fano yang terlihat sudah teridur pulas di atas sofa. "Apa perlu aku melakukan jebakan pernikahan agar bisa menjadi bagian pemilik rumah ini?"
Menjebak Fano agar menikahinya? Nara menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pemikiran jahat yang tak seharusnya melintas di pikirannya.
Nara memang baru mengenal Fano. Tapi sejauh ini Nara menilai jika anak majikannya ini adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga tak pernah meninggikan suaranya jika ada asisten rumah tangganya yang membuat kesalahan. Fano biasanya hanya akan menegurnya dan meminta untuk berhati-hati agar tak kembali mengulangi kesalahan yang sama.
Selain itu, Fano juga orang yang cukup royal dan dermawan. Ketika dia memesan makanan di luar, sesekali ia akan memesan dengan porsi lebih yang kemudian akan di bagikan untuk para pekerja di rumahnya. Lalu bagaimana bisa Nara tega menjebak pria sebaik ini.
Tapi ingatan tentang ucapan adiknya beberapa saat yang lalu kembali berputar berulang kali di kepalanya, hingga membuat Nara berada dalam kebimbangan.
Jika dia tak tega menjebak pria sebaik Fano, lalu apakah dia tega membiarkan Ibu kandungnya sendiri terus berada dalam kesakitan karena tak segera di operasi?
Sumpah demi apapun, kali ini Nara benar-benar bingung kemana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu dekat, sedangkan biaya pengobatan Ibunya itu pasti tidaklah sedikit.
Mungkin Nara memang bisa menukar satu ginjalnya dengan uang yang cukup banyak. Namun belum tentu dirinya cepat mendapatkan pembeli yang cocok. Dan jujur saja Nara takut akan kondisi kesehatannya untuk kedepan.
Apalagi setelah menjual ginjalnya nanti, dia masih harus tetap bekerja dan bagaimana bisa dia bekerja sebagai asisten rumah tangga jika seseorang yang sudah mendonorkan satu ginjalnya saja tidak boleh bekerja terlalu berat. Belum lagi resiko kesehatan yang lainnya, yang hanya dengan membacanya saja sudah membuat Nara bergidik ngeri. Bisa-bisa bukannya dia untung yang ada malah buntung.
Ini bukan karena Nara lebih mementingkan kesehatannya sendiri di bandingkan dengan kesehatan sang ibu. Namun Nara tetap harus realistis, jika setelah operasi ibunya, hidup Nara masih harus terus berjalan, bukan untuk dirinya saja, tapi juga untuk ibu dan adiknya yang sudah menjadi tanggung jawab Nara sepenuhnya sejak sang ayah tiada.
Nara mernaik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Hal itu ia lakukan berulang kali untuk mengenyahkan perasaan bersalahnya pada Fano.
Ya, pada akhirnya Nara memutuskan untuk menjebak Fano agar menikahinya.
Fano pria yang baik, hingga Nara yakin jika setelah menikah nanti pria itu tak akan mungkin mengabaikan kesehatan ibunya.
Tekat Nara sudah bulat. Setelah hampir satu jam berperang batin dan pikiran, Nara akhirnya bangkit dari duduknya. Dia berjalan mendekati Fano yang masih tertidur pulas dalam kondisi mabuk berat. Entah sudah berapa liter minuman haram itu masuk ke dalam tubuh pria itu, hingga membuatnya tak berdaya seperti ini.
"Maafkan aku."
Nara memapah Fano menuju lift di sudut kanan ruang tamu. Nara patut bersyukur karena rumah ini memiliki fasilitas kotak ajaib itu, hingga dia tak perlu menaiki tangga untuk bisa menuju lantai dua dimana kamar Fano berada.
Bisa di bayangkan jika mereka naik melewati tangga, bukannya sampai ke atas, justru keduanya mungkin akan mengelinding jatuh ke bawah lagi karena Nara yang tak akan kuat menahan bobot tubuh Fano.
Lagi-lagi Nara bersyukur karena begitu lift terbuka, ia hanya perlu melangkah beberpa meter untuk bisa sampai ke kamar Fano.
Nara menghela nafas lega setelah berhasil merebahkan tubuh Fano di atas ranjang king size milik pria itu.
Keringat sudah membanjiri dahi dan tubuh Nara. Berat tubuh Fano benar-benar membuat pinggangnya seakan mau patah.
Mungkin saja ini yang dinamakan the power of kepepet. Nara bisa sampai di kamar ini setelah mengelurkan seluruh tenaganya yang tersisa. Ternyata makan mie instan di jam sebelas malam tadi bukanlah ide yang buruk.
Setelah mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Nara memulai aksi penjebakannya.
Hal yang pertama yang harus Nara lakukan ialah meloloskan semua pakaian yang di kenakan Fano saat ini.
Wajah Nara memerah saat kaos berwarna hitam itu terlepas hingga menampakkan tumpukan roti sobek di perut Fano yang seakan meminta untuk segera di gigit.
Nara memejamkan matanya sejenak, menghalau pikiran liar yang tiba-tiba menelusup di kepalanya. Jujur tangan mungilnya sempat tergoda untuk mengelus perut indah itu.
"Ayo Nara, fokus sama tujuan awal lo." Setelah menetralkan debaran halus di dadanya, Nara kembali berusaha meloloskan celana jeans yang di kenakan Fano. Meski dengan susah payah, pada akhirnya Nara berhasil melakukannya.
Nara menelan salivanya dengan susah payah saat melihat tonjolan di balik kain terakhir milik Fano. Nara tak bisa membayangkan seperti apa dan bagaimana bentuk senjata yang ada di balik kain segitiga itu.
Nara menggelengkan kepalanya, lagi-lagi ia berusaha menghalau pikiran kotornya yang sudah mulai berkelana.
Dengan tangan yang mulai gemetaran, Nara berusaha meloloskan kain terakhir itu dengan kedua mata yang tertutup rapat. Nara tak mau melihatnya, dia tak mau kedua matanya ternodai semakin jauh.
Begitu berhasil melepaskan kain segitiga itu, Nara langsung menutup tubuh polos Fano dengan selimut.
"Huh, panas." Nara mengibaskan tangan di depan wajahnya, mengipas-ngipas agar rasa panas yang merambat di kedua pipinya segera musnah.
Setelah merasa lebih baik, Nara berjalan ke sisi ranjang yang lainnya. Dia mengigit ujung jarinya, setelah mengeluarkan darah, Nara lantas meneteskannya di atas sprei. "Anggap saja ini darah keperawanan gue."
Rencana jebakan yang Nara buat memang gila. Namun gadis itu bisa apa? Karena saat ini dia sungguh berada dalam posisi terjepit. Dia membutuhkan bantuan Fano.
"Semoga suatu saat jika kamu tahu ini hanya jebakan, kamu mau maafin aku."
Setelah melepaskan seluruh pakaiannya, Nara naik ke atas ranjang dan bersiap memulai aktingnya sebagai wanita yang telah di nodai dengan paksa.
Fllashback Off
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!