NovelToon NovelToon

Ilmu Teratai Putih

Part 1 Rahasia Datuak Malelo

Di Penghujung pesisir pulau Sumatra, hiduplah seorang pendekar sakti dengan seorang putrinya yang bernama Mutiara.

Pagi itu, saat cahaya mentari menyentuh tanah, terdengar sayup-sayup suara tangisan seorang bayi dari balik pohon yang rindang.

“Hmm..! sepertinya aku mendengar sesuatu,” desah Datuk Malelo pelan.

Matanya yang tajam dan pendengarannya yang selalu siaga, terus mencari dari mana asal sumber suara itu bergema. Kemudian dengan secepat kilat, pendekar itu langsung melesat hilang dari tempat duduknya.

“Oh, ternyata seorang bayi, perempuan dan cantik sekali. Tapi siapa gerangan orang yang telah membuangnya?” tanya Datuk Malelo pada dirinya sendiri.

Bayi itu di gendong dan di bawanya pulang kerumahnya. Datuk Malelo memandikan dan mengganti kain bedong yang masih melilit di sekujur tubuh bayi tersebut.

“Tega sekali orang tua yang telah membuang mu nak,” gerutu Datuk Malelo seraya membersihkan luka di tubuh bayi itu akibat di gigit semut.

Setelah di mandikan dan diganti kain bedongnya, lalu Datuk Malelo menidurkan bayi mungil itu di ayunan, yang terbuat dari kain panjang lalu di ikat menggunakan tali.

Bayi itu kemudian di rawat dan di asuh oleh Datuk Malelo dengan penuh cinta kasih. Sama dengan Mutiara putrinya sendiri.

Di bawah didikan dan asuhan Datuk Malelo, kedua balita itupun tumbuh sehat dan kuat. Bayi itu pun di beri nama Seruni.

Di bandingkan dengan putrinya Mutiara, ternyata Seruni memiliki kecerdasan yang luar biasa, budi pekerti lembut dan jiwa yang bersih. Berbeda dengan Mutiara yang selalu mengandalkan emosi dalam menyelesaikan suatu masalah. Selain itu Seruni juga bisa berkomunikasi dengan hewan.

Perbedaan watak itulah membuat mereka berdua sering berselisih dan kadang menimbulkan pertengkaran.

Walau demikian Datuk Malelo tetap saja memberikan Pendidikan dan pelatihan yang cukup untuk menempa jiwa dan mental kedua putrinya itu. Agar salah satu di antara mereka tidak merasa tersisihkan.

Hari demi hari, mereka berdua terus saja berlatih dan belajar, sehingga di usia mereka yang masih terbilang anak-anak, keduanya sudah menguasai bermacam ilmu kesaktian yang tak dapat di anggap remeh.

Semakin hari mereka melakukan latihan, maka terlihat semakin jelas perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Seruni selalu mendominasi segalanya, baik berupa kesaktian, maupun keluhuran budi.

Suatu ketika Datuk Malelo berniat hendak memberitahukan tentang jati diri Seruni, karena Datuk Malelo beranggapan, lebih cepat memberitahukannya, maka itu lebih baik untuk mentalnya.

Itu semua sengaja di lakukan Datuak Malelo, agar Seruni tau siapa orang tua kandungnya. Sehingga kelak, Seruni tak menuntut dirinya sebagai orang yang telah memelihara dan membesarkannya.

“Putriku Seruni, ke sinilah nak!” ujar Datuak Malelo di waktu senggang.

“Ada apa Ayah?” tanya Seruni ingin tahu.

“Ada sesuatu hal yang harus Ayah beritahukan kepada mu.”

“Tentang apa itu Ayah?”

“Tentang asal usul mu putri ku.”

“Maksud Ayah apa?”

“Sebenarnya kau bukan putri kandung Ayah sayang.”

“Apa! aku bukan putri kandung Ayah?”

“Iya nak.”

“Jadi aku ini..?”

“Ayah menemukan mu di tengah hutan waktu itu, Ayah sendiri nggak tau siapa orang tua mu. Apakah mereka sengaja membuang mu, atau kau menjadi korban penculikan.”

“Jadi, aku bukan anak Ayah?”

“Iya sayang, mesti demikian Ayah nggak akan berhenti menyayangimu seperti putri Ayah sendiri. Karena selain kalian berdua, Ayah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.”

“Tapi Ayah, kenapa kedua orang tua ku, begitu tega membuang darah dagingnya sendiri, di tengah hutan lagi. Gimana kalau aku dimakan binatang buas, pasti nggak akan ada orang yang tahu.”

“Tenang sayang, kita belum tahu pasti kebenaranya. Jadi kita nggak boleh terlalu cepat memutuskan apa yang belum jelas. Tapi Ayah janji pada mu, akan menyelidiki kasus ini hingga tuntas.”

“Benar itu dek, Ayah nggak mungkin berbohong pada kita, selalin Ayah, kakak juga akan membantu menemukan kedua orang tua mu,” timpal Mutiara dengan tenang.

“Iya kak, aku percaya pada kalian berdua,” jawab Seruni singkat.

“Ya, sudah, sekarang lebih baik kalian tidur, besok pagi kita akan mulai melakukan pencarian.”

“Baik Ayah!” jawab kedua putri Datuak Malelo serentak.

Mereka pun kemudian beranjak menuju kamarnya masing-masing. Di atas ranjangnya yang mungil, Tiara tertidur dengan pulas bersama adiknya Seruni.

Sementara itu di saat kedua putrinya telah tertidur lelap, Datuk Malelo mendatangi kamar putrinya dengan pelan. Air matanya tampak menetes, membasahi kedua pipinya yang mulai keriput.

Hatinya terasa pilu ketika memandangi kedua putrinya yang masih kecil itu. sungguh Datuk Malelo tak menyangka sama sekali, di usianya yang sudah menjelang senja, ternyata dia masih punya dua orang putri yang harus di didik dan di besarkan dengan jiwa dan raganya.

Apalagi istri tercintanya, telah tiada setelah mempertaruhkan nyawa dalam melahirkan Mutiara, anak yang telah mereka tunggu setelah puluhan tahun.

Bayangan yang menyakitkan itu, selalu saja melintas di pikirannya. "Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mu Mariana dan menempatkan mu di tempat yang lebih layak di sisinya, aamiin,” desah Datuak Malelo dengan deraian air mata.

Setelah itu, Datuak Malelo langsung bergegas meninggalkan ruangan kamar putrinya itu, menuju ruang tamu.

Di atas selembar tikar pandan yang lusuh, Datuk Malelo pun tertidur pulas hingga pagi datang menjelang.

“Ayah, Ayah! Bangun Ayah, buka mata Ayah!” panggil Seruni pada Datuk Malelo.

“Iya sayang! tapi hari kan masih gelap,” jawab Datuak Malelo dengan pelan.

“Nggak Ayah! Lihat tu, matahari udah terbit, bukan kah Ayah janji akan membantu ku dalam mencari Ibu dan Ayah,” jelas Seruni seraya menggoyang tubuh Ayahnya.

“Baik, baik! Ayah bersiap-siap dulu.”

“Iya, Ayah! Aku menunggu di depan dengan kak Tiara.”

“Baiklah, Ayah akan segera menemui kalian setelah selesai sholat.”

“Baiklah Ayah,” jawab Seruni seraya berlari riang menuju halaman depan rumahnya.

Setelah bersiap-siap, Datuk Malelo beserta kedua putrinyapun, berlari menuju perkampungan. Ilmu peringan tubuh yang mereka miliki, sungguh sangat luar biasa. Terbukti, mereka bisa menempuh perjalanan jarak jauh dengan sebentar saja.

“Hmm..! ini kampung pertama yang harus kita datangi,” ujar Datuk Malelo pada kedua putrinya.

Di sebuah kedai nasi, Datuk Malelo beristirahat untuk melepaskan dahaganya dan kedua orang putrinya.

“Kalian mau pesan apa sayang?” tanya Datuk Malelo pada kedua orang putrinya.

“Aku pesan nasi Ayah,” jawab Seruni.

“Aku juga Ayah!” timpal Tiara, seraya memakan sepotong tahu yang terletak di atas sebuah piring.

“Kami pesan dua piring nasi, Bu dan segelas kopi hangat,” ujar Datuak Malelo pada pemilik warung.

“Baik Pak,” jawab pemilik warung seraya mengambilkan pesanan Datuak Malelo.

Ketika pemilik warung sudah mengeluarkan pesanan Datuak Malelo, lalu Datuak itu pun bertanya pada pemilik warung.

“Ini Desa apa Namanya Bu?”

“Ini Desa Pedukuhan Pak.”

“Ooo, Desa Pedukuhan ya,” ujar Datuk sembari menganggukkan kepalanya.

“Emangnya Bapak dan anak-anak mau kemana?” tanya pemilik warung pada Datuak Malelo.

Bersambung...

*Selamat membaca*

Part 2 Mencari informasi

“Kami sedang mencari suatu informasi, tetang penculikan di Desa ini, sekitar tujuh tahun yang lalu.”

“Informasi penculikan bayi?”

“Iya, apakah Desa ini pernah terjadi penculikan bayi, Bu?”

“Nggak, Desa kami nggak pernah terjadi penculikan bayi.”

“Ooo, begitu ya.”

“Lalu bagai mana dengan kedua orang tuaku Ayah?” tanya Seruni dengan suara bergetar.

“Sabar nak, kita akan terus mencarinya sampai ketemu.”

“Benarkah itu, Ayah?”

“Iya, benar anak ku.”

“Terimakasih Ayah,” ujar Seruni dengan tersenyum.

“Iya, sama-sama sayang, begitulah kalau ingin jadi anak yang baik, harus bisa menahan diri dengan sabar. Karena jika kita bekerja dengan terburu-buru, hasilnya pasti nggak baik. Sebab, sabar itu merupakan kunci kesuksesan seseorang.”

“Iya Ayah, aku sangat mengerti.”

“Baiklah, kalau begitu mari kita pulang, lain hari kita akan cari lagi. Mudah-mudahan kita mendapat petunjuk,” jawab Datuak Malelo dengan suara lembut.

“Iya Ayah.”

Kemudian mereka pun kembali pulang kerumah, karena masih banyak hari yang menanti, untuk satu tujuan yang mulia itu.

Lama sekali mereka mencari keberadaan orang tua Seruni, bahkan hampir seluruh penjuru dan pelosok Desa mereka tanyai, hasil nya masih tetap nihil.

Dengan gigih, mereka tetap semangat untuk terus mencari. Hingga akhirnya, mereka pun mendapat petunjuk, tetang sepasang suami istri yang terbunuh sekitar tujuh tahun yang lalu, oleh sekelompok makhluk yang menamakan dirinya siluman ratu Genit. Sedangkan bayi perempuan mereka culik.

“Begitulah ceritanya Tuan,” jelas Bu Sofi pada Datuak Malelo.

“Hm..! sendainya saja, bayi itu masih hidup hingga saat ini, apakah dia seusia putriku ini, Bu?” tanya Datuak Malelo.

“Ya, saya rasa anak itu sebaya dengan putri Tuan ini. Usianya, sekitar tujuh atau delapan tahun.”

“Benarkah begitu?” tanya Datuak Malelo kurang yakin.

“Ya, begitulah Tuan.”

“Kalau boleh aku tahu, kenapa ya, keluarga itu dibunuh oleh sekawanan siluman tersebut?”

“Kata warga, suami perempuan itu adalah pemuja ratu Genit. Pria itu selalu saja mencari tumbal seorang bayi di Desa ini dan Desa lainnya. Suatu hari dia kesulitan untuk mendapatkan bayi untuk dijadikan tumbal.”

“Apa itu penyebabnya, ratu Genit marah?”

“Iya Tuan, ratu Genit marah, dan memerintahkan para bawahannya, untuk membunuh suami perempuan itu. Karena suaminya dalam bahaya, istrinya ikut membantu, saat itulah prajurit ratu genit tahu kalau dirumah itu ada bayi, dan mereka pun membawanya kabur, entah kemana.”

"Hm...!" Datuak Malelo pun manggut-manggut.

“Maaf, apa ya maksud Tuan, menanyakan masalah ini pada saya?”

“Ah, nggak ada apa-apa, Bu. Hanya sekedar memastikannya saja.”

“Memastikan apa maksud Tuan?”

“Memastikan apa yang dikatakan warga yang lainnya, apakah benar di Desa ini telah terjadi penculikan seorang bayi.”

“Iya, itu benar Tuan, saya menyaksikannya sendiri, begitu juga dengan beberapa orang warga lainnya. Tapi saat itu, kami semua tak ada yang bisa membantu, kami semua hanya menyaksikannya saja dari tempat ini, dan tak dapat berbuat apa-apa.”

“Hm…! baiklah, kalau begitu kami permisi dulu ya, Bu. Terimakasih atas informasi yang Ibu berikan.”

“Ya, sama-sama Tuan.”

Setelah mendapat Imformasi dari perempuan Tua tersebut, Datuak Malelo beserta kedua putrinya langsung meninggalkan Desa itu, mereka kembali pulang kerumah. Namun di perjalanan menuju rumah mereka, Seruni menemukan sesuatu.

“Ayah lihat!” seru Seruni seraya berhenti.

“Ada apa sayang?”

“Aku menemukan sesuatu,” ujar Seruni seraya memungut benda yang ditemukannya.

“Apa itu sayang?” tanya Datuak Malelo penasaran.

“Lihat ini Ayah!” ujar Seruni seraya menyerahkan sesuatu pada Ayahnya.

“Tusuk konde! Sepertinya benda ini sangat mahal.”

“Kok, Ayah tahu benda ini sangat mahal?”

“Terlihat dari benda yang berada di sekelilingnya, terbuat dari berlian yang sangat indah.”

“Benarkah?”

"Iya sayang."

"Aneh di hutan seperti ini, kenapa ada tusuk konde yang sebagus ini ya, tidak salah lagi.”

“Tidak salah, apa maksud Ayah?” tanya Tiara ingin tahu.

“Kisah di temukannya Seruni, sepertinya sama dengan cerita Ibu tadi. Artinya tidak salah lagi, pasti Seruni lah anak yang telah di curi itu.”

“Itu maksudnya, kedua orang tua ku telah meninggal Ayah?”

“Belum pasti.”

“Belum pasti apa maksud Ayah?”

“Mungkin saja mereka masih hidup, tapi dibawa oleh sekawanan siluman tersebut.”

“Bukankah Nenek tadi bilang, kalau kedua orang tuaku sudah mereka bunuh. Lalu kenapa Ayah yakin, kalau keduanya masih hidup?”

“Seruni, biasanya orang yang memuja iblis itu, matinya tidak semudah itu sayang. Siluman tersebut, pasti membawa kedua orang tuamu, untuk di jadikan budaknya.”

“Berarti kedua orang tua ku, juga mengalami hal yang sama, Yah?”

“Bisa benar dan bisa pula salah.”

“Lalu bagai mana dengan kedua orang tua ku itu, Ayah?” tanya Seruni tak tenang.

“Baiklah. Kalau begitu, mari kita datangi Ibu tua itu lagi, siapa tau dia mempunyai informasi yang lebih akurat dari yang sebelumnya.”

“Baik Ayah,” jawab kedua putri Datuk Malelo serentak.

Setelah sepakat, lalu mereka kembali kedesa tersebut. Di antara pepohonan yang rindang dan menjulang tinggi ke angkasa, tampak ketiganya melesat bagai kan kecepatan angin yang berhembus.

Mereka bertiga, kembali menuju Desa. Untuk menemui perempuan tua, yang di mintai informasinya, tentang keluarga Seruni yang di culik tujuh tahun yang lalu.

Datuk Malelo sengaja melakukan semua itu, agar informasi yang di dapatnya jelas dan tak rancu.

“Maaf Bu, kami datang lagi,” ujar Datuak Malelo dengan suara lembut.

“Oh, kenapa tuan datang lagi?” tanya perempuan tua itu.

“Saya hanya ingin tahu, di mana kedua pasang suami istri itu di kuburkan, oleh warga Desa, Bu.”

“Malam itu, saat kami datangi rumahnya, kedua mayatnya sudah nggak ada lagi di dalam rumah itu.”

“Apakah warga nggak ada yang curiga saat itu?”

“Curiga sih ada, tapi kami semua nggak bisa berbuat apa-apa, karena kami merasa takut, kalau kami terlalu banyak ikut campur, eh malah keluarga kami sendiri yang mereka culik untuk di jadikan tumbal.”

“Apakah warga Desa nggak ada yang mencari keberadaan kedua orang itu Bu?”

“Ada, kami semua telah berusaha mencarinya, tapi mereka berdua itu tiba-tiba saja menghilang entah kemana.”

“Berkemungkinan besar mereka itu masih hidup, dan saat ini sedang di sekap di suatu tempat,” ujar Datuk Malelo pelan.

“Ya begitulah, kata seorang ustad dari Desa seberang, tuan.”

“Hm..! kalau begitu terimakasih informasinya Bu.”

“Sama-sama tuan.”

Datuk Malelo kemudian melanjutkan perjalanannya. Di tengah hutan di tempat dimana Seruni di temukan, Datuk Malelo dan putrinya menyempatkan diri mampir untuk mencari bukti-bukti lain yang bisa di jadikan petunjuk.

“Ayah, lihat ini! aku menemukan secarik kain yang berwarna pink!” seru Tiara.

“Aku juga Ayah, aku menemukan ujung pedang yang patah!”

“Berarti di sini telah terjadi pertempuran, dan kain ini seperti sebuah cadar.”

“Boleh aku pakai Ayah, siapa tau cocok untuk ku.”

Mendengar permintaan Seruni, Tiara langsung memberikan secarik kain yang dipegangnya kepada Seruni.

Bersambung...

*Selamat membaca*

Part 3 Bertemu syekh Abdullah

“Kakak, mau memakainya?”

“Nggak dek, kakak nggak suka memakai cadar.”

“Berarti, kain ini untuk ku aja ya, kak.”

“Ambilah, siapa tau kau cocok memakainya.”

Seketika itu juga, secarik kain itu di ambil Seruni dari tangan Tiara dan dia langsung mengikatkannya.

“Gimana Ayak, apakah aku cocok memakainya?”

“Tentu sayang, kau sangat cocok memakainya.”

Mendengar kata pujian itu, Tiara merasa sedih. Wajahnya yang cantik terlihat merengut di hadapan Datuk Malelo dan Seruni.

“Kamu kenapa sayang?” tanya Datuk Malelo pada Tiara putrinya.

“Kenapa nggak aku aja yang memakai cadar itu, bukankah aku yang menemukannya tadi.”

“Benar sayang, cadar itu memang kamu yang menemukannya, tapi yang kehilangan orang tua itu, saat ini Seruni, sementara kamu nggak kehilangan siapa-siapa bukan?"

“Tapi, kenapa harus Seruni yang memakainya Ayah?”

“Siapa tahu dengan memakai cadar itu, Seruni bisa mendapatkan petunjuk tentang keberadaan kedua orang yang melihatnya. Lagian kau nggak suka memakai cadar bukan?”

“Ya Ayah, aku mengerti sekarang,” jawab Tiara pelan.

“Terimakasih atas pengertian mu putri ku, karena nggak mudah menerima, jika kita kehilangan orang tua yang kita cintai.”

“Ya Ayah.”

“Nah, kita kembali pulang kerumah. Untuk selanjutnya akan kita pikirkan di rumah saja.”

Lalu mereka pun kembali melesat, berlari dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk di tengan pepohonan yang rindang. Hutan belantara yang lebat, tidaklah menjadi rintangan buat mereka untuk berjalan dan berlari secepat mungkin kearah mana yang mereka suka.

Mesti terbilang masih kecil, tapi ilmu peringan tubuh yang di miliki oleh kedua putri Datuak Malelo itu, tak bisa di anggap remeh. Ilmu peringan tubuhnya cukup sempurna. Jika di bandingkan dengan orang dewasa.

Semua itu, tentu tak terlepas dari pelatihan diri yang di ajarkan semenjak dini, oleh Datuk Malelo. Hal itulah yang membuat mereka berdua cepat menyerap dan mendapatkan ajaran Ayahnya itu.

Malam itu, Datuk Malelo duduk dalam kesendiriannya. Pandangan matanya begitu hampa, hatinya terasa sedikit lirih. Apalagi jika Datuk Malelo teringat dengan istri tercintanya. Air mata itupun langsung mengalir tak terasa.

Sebenarnya Datuk Malelo tidak sendiri saat itu, ada ribuan anak muridnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Saudara seperguruan dan saudara dekat yang sengaja dia tinggalkan membuatnya semakin sepi.

Datuk Malelo sengaja menyendiri, menghindar dari hiruk pikuknya dunia persilatan. Niatnya untuk membesarkan putri tercintanya terus diwujudkannya. Karena menurutnya semakin lama dunia persilatan itu semakin menggila.

“Tapi..! dengan cara melatih kedua putriku dengan ilmu-ilmu tingkat tinggi, itu sama artinya aku kembali ke dunia yang sudah lama aku tinggalkan. Hmm…!” ujar Datuk Malelo seraya menarik nafas panjang.

Dengan pelan lalu Datuk Malelo melangkah menuju halaman rumahnya, mencari udara segar untuk melepaskan rasa jenuh yang menggelayuti pikirannya.

Sedangkan Seruni, malam itu matanya juga sulit untuk di pejamkan, bayangan kedua orang tuanya yang masih hidup, selalu melintas di benaknya.

“Aku harus pergi dari sini! Aku harus cari orang tua ku! Apa pun resikonya,” gumam Seruni pelan.

Sepertinya niat Seruni sudah bulat, untuk mencari kedua orang tuanya. Secara perlahan Seruni mengumpulkan pakaiannya dan membungkusnya dengan selembar kain, sehingga menyerupai sebuah buntalan kecil.

Malam dingin yang sangat mencekam itu, Seruni manatap tajam kearah luar. Tak satu ekorpun Seruni mendengar suara binatang liar yang bersuara, semuanya diam seribu bahasa. Namun malam itu merupakan malam terakhir bagi Seruni untuk menatap wajah kakaknya, Tiara.

Dengan cara mengendap-endap, Seruni keluar menyelinap lewat pintu dapur. Di kedinginan malam, Seruni terus saja berjalan mengikuti kata hatinya yang tak pasti.

Yang jelas, dia harus pergi sejauh mungkin dari rumah Ayahnya, Datuk Malelo. Agar Ayahnya tak bisa menemukan keberadaannya.

Setelah merasa jauh dari rumahnya, Seruni pun beristirahat sejenak. Di buatnya api unggun untuk menghangatkan tubuhnya yang gemetar melawan cuaca yang semakin dingin.

“Ya Allah. dinginnya malam ini,” desah Seruni sembari memangku tangannya di depan api unggun yang menyala.

Mesti begitu dingin, tekat Seruni tetap saja ingin pergi meninggalkan rumahnya.

Di saat itu tiba-tiba saja sekelebat bayangan melintas di hadapannya. Desiran anginnya menerpa wajah Seruni hingga terasa dingin.

“Astaghfirullah..! siapakah itu gerangan!” seru Seruni.

“Aku!” sahut suara itu.

“Aku siapa?”

“Justru aku yang harus bertanya kepada gadis kecil seperti mu. kenapa berada di tengah hutan sendirian di malam yang gelap begini. apa kau nggak merasa takut?” tanya suara tak berwujud tersebut.

“Nggak! aku nggak takut sama sekali,” jawab Seruni dengan suara lantang.

“O ya? benar kamu nggak takut?”

“Kenapa mesti takut, bukankah Allah selalu ada bersama orang yang lemah seperti aku.”

“Benar, kau gadis yang benar. Di dunia ini memang nggak ada yang perlu ditakutkan. Hanya Allah lah seorang tempat kita takut. Takut akan azab dan siksa yang di berikan kepada orang yang selalu berbuat durhaka kepadanya.”

“Orang bicara, selalu menampakkan batang tubuhnya. Tapi tuan bicara selalu menyembunyikan wujud tuan. Apakah tuan takut berhadapan dengan ku,” ujar Seruni dengan suara yang lantang.

“Kamu ternyata cerdas juga gadis kecil!” ujar suara itu sembari menghampiri Seruni.

“Tuan siapa?” tanya Seruni ingin tahu.

“Bapak, Sekh Abdullah. Kebetulan saya hendak ke Gunung Pangilun. Kamu kenapa berada di tengah hutan sendirian malam-malam begini?”

“Nama ku Seruni, tuan. Aku hendak pergi mencari keberadaan orang tuaku yang hilang, delapan tahun yang lalu.”

“Hilang delapan tahun yang lalu? maksudnya apa ya, Bapak nggak mengerti.”

“Orang tua ku menghilang ketika aku masih bayi, menurut penduduk kampung yang ku temui, orang tua ku di culik oleh sekelompok siluman yang menamai dirinya ratu genit.”

“Ratu genit.”

“Kata para penduduk, kedua orang tua ku mereka culik dan mereka bawa ke sarang ratu genit untuk di jadikan budak.”

“Tunggu sebentar, biar Bapak terawang dulu,” ujar sekh Abdullah seraya meletakkan kedua ujung jemari tangannya di kening.

“Tuan lihat sesuatu?”

“Bapak nggak menemukan apa-apa, selain gumpalan kabut hitam yang tebal.”

“Apa maksudnya itu tuan?” tanya Seruni ingin tahu.

“Itu artinya. Keberadaan orang tua mu, telah mereka lindungi dengan menggunakan rajah ghaib. Sehingga begitu sulit bagi kita, untuk mengetahui keberadaan kedua orang tuamu itu.”

“Wah..! kalau begitu, aku nggak bisa ketemu mereka berdua dong tuan,” ujar Seruni dengan dahi berkerut.

“Sabar, suatu saat nanti, jika Allah berkehendak, kalian pasti akan di pertemukan.”

“O ya,” jawab Seruni sembari tertunduk sedih.

“Kamu nggak perlu sedih, karena bukan hanya kamu sendiri yang kehilangan orang tua. Di dunia ini begitu banyak anak yang sama penderitaannya dengan mu.”

“Tuan, maukah tuan mengajarkan aku ilmu penerawangan yang tuan miliki?”

“Boleh saja, tapi Bapak harus tahu dulu, kau ini murid siapa sebenarnya.”

“Nama Ayahku Datuk Malelo tuan. Dialah yang mengajariku ilmu dan dia juga telah memungut aku di tengah hutan.”

Bersambung...

*Selamat membaca*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!