Semua tak lagi sama.
Hetty dan Kendranata tidak lagi berada di alur terpisah, satu alur tekad di pelataran parkir pemakaman telah mempertemukan garis takdir yang tercerai berai.
Menerbangkan sayap patah Hetty ke dalam dekapan Kendranata yang membangkitkan kubangan kenangan Pranata—satu-satunya nama yang tersemat rapi di jantung hati Hetty. Si janda tanpa pernikahan, berwajah tirus tak berseri, tinggi semampai dan rambut bergelombang lurus. Cantik dengan riasan natural yang pas di wajahnya yang ayu.
Kendranata tergagap, dalam hati keinginan untuk kabur itu datang menyergapnya bagai lalat yang tertangkap lem perekat. Jerat itu menahannya terang-terangan tanpa celah di hadapan bocah yang belum genap dua tahun.
Sebutan ‘papa’ mampir dari anak kembarannya sendiri yang sudah wafat, Pranata.
Kendranata mengerjapkan mata. Makian menggema di relung hati. Sebab dari segenap rahasia yang keluarganya sembunyikan, keberadaannya memang dijauhkan dari bekas-bekas kekasih kembarannya demi kemudahan perjalanan hidup.
Tidak banyak yang mengetahuinya baik Rastanty Adena kekasih aslinya atau Hetty ‘the brilian mistake’ Pranata semasa kuliah.
Kendranata menghela napas dan bibirnya melepas senyum lemah, ia menunduk dengan badan kaku menatap bocah kecil yang baru sanggup berjalan tak kurang dari dua bulan lalu.
“Pa... pa... Papa...” Suaranya lucu, terbelit-belit lidah yang belajar mengeja bahasa baru yang dipelajari dari ibunya yang kerap membagikan kisah-kisah ayah kandungnya dari barang fisik ataupun video.
“Halo, jagoan.” ucap Kendranata.
Hetty ternganga, dadanya bergerak naik turun, napasnya tidak teratur atas kedatangan seseorang yang tak pernah ia prediksikan dalam hidupnya yang sudah mati suri akan cinta.
Hetty meriuhkan fakta di benaknya, bertanya-tanya benarkah bahwa dia adalah kembaran Pranata. Atau reinkarnasinya?
“Pa... Pa...” Bramasta mengulurkan tangannya ke atas, minta gendong.
Kendranata mengangkat tangannya yang lemas di sisi tubuh, mengelus kepala anak kembarannya dengan Hetty yang bernama Bramasta Putra Pamungkas.
“Ini dia jagoan papa Pranata.” Kendranata membungkuk seraya mengangkat tubuh mungil Bramasta. Ia mendudukkan Bramasta di atas sedan merah, memunggungi Hetty yang tidak tahu harus pingsan atau menjerit-jerit sampai Kendranata menduga Hetty terserang obstreperous batin yang tak karuan.
Kendranata mengamati wajah keponakannya. Sebagian di wajahnya plek dirinya. Yakin ia orang-orang akan menganggap Bramasta anaknya jika tak tahu menahu kebenaran anak itu.
Mirip sekali.
Kendranata berdecak seraya menggelengkan kepala, mengusir prahara yang menggodok pikirannya yang tak sekali pun memimpikan hari ini akan terjadi. Padahal niatnya ke pemakaman hanya membuntuti Dominic dan Rastanty.
Di luar perkiraan siapa pun. Bunga kesukaan Pranata yang diundang Dominic telah membangkitkan awal mula kerunyaman. Tetapi kenapa juga ia membuntuti pasutri itu setelah berkelahi di rumah Rastanty kemarin?
Seandainya aku tahu Hetty ikut di sini, nggak mungkin aku mampir.
Pipinya di sentuh tangan mungil Bramasta yang bertingkah layaknya bocah yang menyukai apa yang ia suka lengkap dengan tingkah polos ala kadarnya.
Harus gimana sekarang! Kabur dari sini? Terus Hetty ke Surakarta cari aku dan ketemu ibu? Masalah besar.
Kendranata memejamkan matanya, di saat nyaris bersamaan Hetty melingkarkan lengannya ke pinggangnya dari belakang.
“Aku pernah mengenal seseorang sepertimu, Nata.” ucap Hetty dengan kepala yang bersandar di punggung yang sama nyamannya dengan punggung Pranata.
“Kami berbeda!” Kendranata balas dengan suara datar. Dihadapkan pada situasi ini. Kendranata tidak bisa salah langkah, ibunya yang baru bertemu dengan Rastanty sekali saja masih mengalami stress berlebih. Apalagi Hetty dan cucunya, bisa-bisa berakhir buruk pada kesehatannya.
Kendranata tidak ingin itu terjadi, setidaknya sebelum ibunya memberi stempel yakin bahwa ia unggul dalam segala-galanya dan pertemuan ini seakan-akan memiliki pedang bermata dua. Maju salah, mundur salah. Kendranata terjebak.
“Dan satu lagi, tak akan pernah sama!” lanjutnya serius sembari menyingkirkan tangan Hetty perlahan-lahan dari pinggangnya meski tatapannya tetap melihat kelucuan Bramasta.
”Tetapi untuk bocah ini, paling tidak saya bisa meluangkan waktu untuk bertemu. Setiap weekend saya kemari.”
Tak apa tangannya di lepas, sudah untung Kendranata tidak mengusirnya atau membentaknya hingga menimbulkan trauma baginya atau Bramasta.
Hetty memutar tubuhnya sedikit dan memandangi wajah Kendranata.
“Kamu serius, Nata? Kamu mau menerima Bramasta, a...” Hetty batal mengucapkan anakmu dan mengalihkan perhatiannya pada putranya. Matanya berair, dadanya sesak. Sepenggal kisahnya dengan Pranata menari-nari di benaknya sekarang.
Hetty membuang pandangannya ke tanah, memandangi sepatunya dan Kendranata yang berbeda. Flatshoes miliknya sudah lusuh sementara meski Kendranata memakai sneaker hitam, sepatunya tampak resik dan baru.
“Terima kasih sudah mau meluangkan waktumu untuk Bramasta, Nata.” ucapnya gugup. Debar jantungnya tidak bisa ia kendalikan. Resah menderanya seperti angin siang hari. “Kami harus pulang, permisi.”
Hetty menggendong anaknya terburu-buru seolah ada sesuatu yang menghantuinya tiba-tiba, akan tetapi rengekan bocah yang menginginkan di gendong ayahnya membuatnya panik.
Sementara itu, Kendranata yang melihat Hetty kepayahan memilih meluluhkan sebagai egonya untuk meredakan tangis Bramasta yang tiba-tiba menyeruput bagai mesin gergaji mesin.
”Ada siapa di mobilmu?” tanya Kendranata, canggung tangannya mulai menepuk-nepuk punggung Bramasta, berusaha menenangkan.
”Mama, sopir.”
Kendranata mengangguk. “Saya antar kalian pulang, suruh mereka jalan terlebih dahulu!”
Hetty menghela napas kecil, ia tahu, sama seperti Kendranata keputusannya memiliki pedang bermata dua. Klise. Tidak bisa memikirkan alasan lain, ia menghampiri ibu dan sopir keluarganya yang menanti dengan cemas.
“Bagaimana sayang?” tanya Mira—Ibu Hetty—sembari memegang tangan anaknya yang gemetar.
“Aku takut, Ma. Gimana kalo pertemuan ini malah membuat keluarganya menculik Bramasta. Dia kembaran Pranata!” katanya gugup seraya menoleh. Kendranata masuk ke dalam mobil, mengajak Bramasta bermain stir mobil.
Mira menahan diri untuk tetap terlihat tenang, meski egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya. Sepak terjang keluarga Pranata tidak pernah terlepas dari ingatannya.
“Terus sekarang apa itu maksudnya?” tanya Mira, sedan merah itu menyala. Ikut menghidupkan nyala kenang di hati Hetty.
“Bramasta nggak mau lepas dari Nata, Ma. Dia mau antar kita pulang. Pak Yadi suruh duluan, kami ngikut dari belakang.” ucap Hetty tergesa-gesa seraya berjalan.
Mira membuang napas kasar dan masuk ke mobil. ”Kita pulang, Pak! Sekalian tolong awasi sedan merah dari spion.”
Yadi mengangguk, terang-terangan tanpa bisa dia cegah ia berkata. ”Untung masih nginjak tanah, Bu. Kalo melayang sedikit saja aku bakal pingsan. Mirip banget dengan mas Pranata.” Ia geleng-geleng kepala sambil menghidupkan starter mobil.
*
*
Ini kisah Kendranata dan Hetty, serta sekelumit kenangan dari Pranata. Hope you'd find joy in reading this. Happy reading dear reader.
Love,
Skavivi Selfish. 💚
Di sedan merah yang melaju ke daerah Timoho, Hetty menatap keramaian lalu lintas kota Jogjakarta yang telah berubah. Keramaiannya lebih serius dari tahun-tahun yang ia lewati sebagai kekasih simpanan Pranata.
Benaknya bergemuruh, ia bertanya-tanya kenapa sedan ini ada pada Kendranata sementara hari-hari biasanya mobil ini slalu terparkir di halaman rumah Rastanty, kadang di pakai untuk menjemur pakaian dan kerak nasi.
Meski begitu benaknya langsung digenapi jawaban, sesuatu sudah terjadi antara mereka. Tapi kapan?
“Mama, mimi...” Tangan mungil Bramasta menarik kerah blouse dusty pink ibunya setelah lelah menangis dan bermain stir mobil dan mendusel nyaman di pangkuan ibunya.
Nggak mungkin aku menyusui Brama sekarang. Jantungku saja masih belum aman apalagi harus... Hetty membuang wajahnya yang merona ke pemandangan di luar mobil.
Nata.
“Mama, mimi cucu...” Dengan lihai tangan bocah yang paham dimana letak sumber makanan pertamanya sewaktu bayi menepuk-nepuk dada ibunya.
Gimana ini, kenapa slalu saja aku ditempatkan di posisi sulit.
Kendranata mengamati sekilas Bramasta yang mulai merengek-rengek sampai kakinya menendang persneling mobil.
“Kenapa kau diamkan saja Brama kehausan? Apa kemarin-kemarin kau juga membiarkan dia begitu?” Kendranata berdehem.
Hetty menoleh. Tatapannya yang malu berubah menjadi mata elang yang siap menerkam mangsanya tanpa ampun. Lupa akan Pranata, lupa siapa orang di depannya. Sihir pesona itu terputus sekejap saja. Ia kembali pada kenyataan bahwa ada ketakutan yang mengintai sengit di sana-sini.
“Aku tidak bisa menyusuinya di depanmu, biarkan saja dia haus sebentar! Sekilo lagi sampai rumah. Lagian...”
Kendranata mendadak menepikan mobilnya seraya tergesa melepas sabuk pengaman, membuka jaket yang ia pakai.
“Aku tidak akan pernah mau mengintip bekas Pranata sekalipun itu indah, tapi jaket ini akan membantumu merontokkan pikiran naif mu dan tangisan Brama!”
Kendranata mencondongkan tubuhnya, menempelkan tatapannya di sorot mata Hetty yang menelusuri kejujuran mulut pedasnya.
Kendranata tersenyum pada polah Bramasta yang lagi-lagi ingin menggapainya dengan tangan mungilnya.
“Mimi dulu, ya—” katanya lembut. Ia mengikat lengan jaket di tengkuk Hetty seraya menyelipkan masing-masing resleting yang terpisah di kedua bahu Hetty dengan ekspresi sinis.
Niat hati ngerusuh kebahagiaan Rasta dan Dominic malah kena karma langsung.
Kendranata mendengus. “Kau bisa mulai memberinya mimi.”
Hetty mengeluarkan napasnya yang tertahan dengan kasar. Lega, Kendranata kembali menjauh dari wajahnya.
“Terima kasih, ini sangat membantu. Tapi aku tidak setuju kamu menuduhku membiarkan Brama kehausan kemarin-kemarin. Aku memberinya ASI eksklusif sampai dia berusia enam bulan dan asal kamu tahu, aku membelikannya susu formula paling mahal dan makanan organik tanpa sedikitpun bantuan dari keluargamu!”
Tangan kanannya melepas kancing kemeja dengan kesal. Perih di dadanya menjeluak lewat suara. Ia menyusui Bramasta sambil mengepalkan tangan sementara Kendranata tak acuh bila wanita itu memuntahkan kepahitan hidupnya. Wong hidupnya juga pahit, hanya saja pria sekeren Kendranata mana mungkin menggembar-gemborkan kemelut hidup dan cemas lewat suara seperti wanita disampingnya yang menangis diam-diam.
“Sabar.” Kendranata mengulurkan tisu tanpa memindahkan tatapannya dari jalanan. Ia mengingat-ingat rumah Hetty yang pernah sekali dua kali dia pantau langsung.
“Rumahmu mana?” tanya Kendranata akhirnya, sudah banyak rumah-rumah gedong baru yang mendiami tanah-tanah kosong dua tahun lalu serta buka-tutup jalan.
Duduk gelisah dengan ribuan pertanyaan, uluran tisu yang jatuh ke jaket Hetty ambil. Ia membersit hidungnya yang mancung alih-alih menghapus air matanya.
”Lurus terus belok ke kiri, paling ujung. Warna abu-abu.”
“Pindah?”
Hetty menoleh, ia menjureng menatap Kendranata. Merasa yakin dia tahu rumah orang tuanya yang sudah di pugar dan sekarang kebingungan.
“Bukan pindah, tapi rumahku sendiri.”
Kendranata mengikuti petunjuk yang diberikan Hetty, tak keliru dia sampai ke rumah abu-abu yang memiliki ayunan bercat biru dan putih di depannya.
Mira dan Pak Yadi pun telah menunggu di depan gerbang dengan cemas.
”Boleh nunggu sebentar? Brama belum selesai mimi...” ucap Hetty malu. “Dia mau tidur siang.”
Kendranata berdehem malas seraya membuka kaca mobil di sisi Hetty sewaktu Mira mendekat seraya melongok ke dalam.
Sebentar saja, Kendranata yakin, Mira yang begitu menyayangi cucu dan anak semata wayangnya di hampiri seluruh kegelisahan yang getir padanya.
”Siang tante.” sapanya formal dan sangat terdengar malas-malasan.
“Siang.” jawab Mira dingin.
“Ma—” timpal Hetty sambil menggelengkan kepala. “Brama mau tidur siang, jangan berisik.”
Mira mendelik begitu juga Kendranata. Lelaki di dalam sedan merah itu memalingkan wajah sambil tersenyum kecil di saat Mira menanyakan keadaan wanita di sampingnya.
Pranata... Pranata... Rastanty kamu eman-eman, Hetty kamu ajak senang-senang. Emang edan kamu dua-duanya kamu sakiti, sudah begitu ninggal ibu yang sakit-sakitan. Komplit Pra... seperti kamu nggak rela aku hidup mulia.
Hetty menyentuh bahu Kendranata ragu-ragu karena lelaki itu setengah melamun.
“Brama udah selesai, terima kasih jaketnya.”
Kendranata menerima jaketnya kembali seraya memakainya. Cepat, ia sadar Mira dan Pak Yadi sudah masuk ke mobil sementara Bramasta yang sudah terlelap terlihat masih menggerakkan mulutnya.
”Saya yakin masih ada pembicaraan lebih lanjut setelah kita bertemu, Hetty.”
Hetty menelan saliva-nya dengan susah payah. Sebab kini Kendranata menatapnya, menunggunya mengatakan sesuatu.
“Jangan ambil Bramasta dariku, keluargamu tidak pernah menganggapnya ada!” ucap Hetty memperingati sembari mengeratkan dekapannya.
Seringai di bibir Kendranata terlihat, ia mencondongkan tubuhnya. Berusaha memahami bahwa Hetty cemas alih-alih seperti Rastanty yang kemarin terkagum-kagum dengan keberadaannya.
”Saya juga tidak yakin keluargaku mempunyai keinginan untuk menemui bocah ini. Bagi kami hamil di luar nikah itu aib besar yang memalukan. Saya rasa Bramasta aman di sini.”
Hetty mendorong pintu mobil dengan rahang mengeras. “Bagus kalau begitu, aku jauh lebih tenang jika tadi kami tidak bertemu kamu. Keluargamu jahat sekali!”
Kendranata mendengus kasar. “Tidak adakah satu perempuan di dunia ini yang tidak membanting pintu mobil sewaktu marah? Pertemuan aku dengannya, Gusti.” Ia membenturkan kepalanya di sandaran kepala dan tak sengaja niatnya untuk gegas kabur dari sana menangkap Hetty yang kesusahan membuka gembok pintu gerbang sambil menggendong Bramasta.
“Baiklah... baiklah. Tidak ada Pranata, anak dan bekas pacarnya pun masih sanggup membuat masalah di kehidupanku meluas!”
Gegas dia keluar dari mobil, mengejutkan Hetty yang kembali meneteskan air mata.
“Kau tidak punya pembantu?” Kendranata meraih kunci dari genggaman Hetty seraya membuka pintu gerbang.
Hetty mengusapkan dagunya yang basah oleh air mata ke bahunya yang terangkat.
“Kamu kira hamil di luar nikah dan di usir dari rumah sama bapak yang di bangga-banggakan kembaranmu lebih mudah daripada membuang aib sebelum benar-benar tersebar luas?”
Mak Clekit. Fakta baru itu melenyapkan kesempatan Kendranata menjauh, dia menatap iba Hetty lalu menghela napas. Sial.
...ರ╭╮ರ...
Hetty mengusap kedua matanya yang lelah pada malam setelah bertemu Kendranata. Terduduk di tepi kasur tangannya mencengkram rambut. Ia mengingat adegan dalam setiap kenangan yang berputar diingatan.
“Hett... Hetty...” Tergesa Pranata berjalan menghampirinya dari ujung timur parkiran.
Hetty menoleh dan tersenyum, tahu siapa pria yang memanggilnya itu. Pranata, idaman wanita di seantero gedung kampus fakultas ekonomi.
“Nata, hei... Ada apa?”
Berdiri di hadapannya. Pranata datang di hidupnya saat ia membutuhkan perhatian khusus setelah mengalami patah tulang tangan. Senyum dan segala bentuk perhatian dari Pranata seyogyanya ia sepelekan sebab ada Rastanty yang ia ketahui sebagai pacar laki-laki itu. Tetapi Hetty muda yang gampang bergaul pikir kapan lagi bisa bercengkrama dengan akrab tanpa bersusah payah mencuri perhatiannya seseorang yang ramah dan terbuka, seru dan menyenangkan.
Hetty terbuai oleh Pranata yang lihai.
“Andai aku dulu tidak begitu bodoh dan tergila-gila saat mencintainya, nggak akan hancur begini.”
Menghela napas, Hetty beranjak dari tepi kasur, ia memandangi buah cintanya hasil dari cinta yang besar-besar kepada Pranata. Dengan perlahan ia membungkuk seraya mencium keningnya.
“Mama nggak pernah menyesali kamu hadir di hidup mama Brama, mama hanya sedih kamu tumbuh tanpa papa yang belum sempat melihatmu sekarang. Papa pasti senang melihatmu dan bisa meninggalkan Rastanty.”
Berdiri di hadapan jendela yang menampilkan pemandangan suasana malam halaman belakang, berlalunya waktu biasanya akan mengubah kenangan dan insiden yang membekas di ingatan seseorang. Tetapi malam itu Hetty justru mencoba memutar kembali insiden dan insiden yang melibatkan seluruh ragawi dan hatinya dengan Pranata.
Hetty mencoba meraba perasaan hatinya sekarang setelah duka menghujaninya tanpa henti. Rasa sakit di relung hatinya masih sama seperti waktu ia menjadi yang utama tapi tak benar-benar bisa memiliki seutuh jiwa.
Janji manis dari mulut lamis Pranata nyatanya tidak terbukti sama sekali sampai ajal menjemputnya, atau mungkin belum karena ia sudah dijemput ajal lebih dulu?
Hetty menertawai dirinya sendiri. Bodoh. Sudah jelas. Tidak ada kelegaan yang ia harapkan akan mengisi hatinya sampai detik ini. Tidak ada kepuasan lain selain tumpukan dosa yang membuntuti hari-harinya menuju tua. Tidak ada kebahagiaan yang romantis dari Pranata di kemudian hari yang sudah ia nanti-nanti. Semuanya musnah sebelum Pranata mengakhiri hubungan dengan Rastanty dan merajut mimpi yang benar-benar asli dengannya. Bukan palsu, bukan cuma saru.
Kini, alangkah semakin malangnya dia. Kendranata muncul, ikut mengobok-obok luka lama yang belum benar-benar kering.
*
*
*
“Pa... pa... mama...” Bramasta berceloteh tentang foto di meja lampu kamar setelah bangun tidur.
“Pa...pa... mama.”
Hetty mengerjapkan mata dengan malas, kantuk masih singgah dan teramat sangat susah ia membuka matanya. Tetapi seperti yang sudah-sudah, ia terbangun seraya mencium pipi gembul Bramasta.
“Pagi, Brama.”
Bramasta meringis geli saat ibunya menciuminya yang masih beraroma minyak telon, ringisan gelinya yang menampilkan gigi-gigi kecil itu menjadi kekehan yang slalu sanggup menenangkan Hetty.
“Mama buat susu sebentar, Brama duduk manis sama papa.”
Celingukan Bramasta mencari Kendranata yang masih terngiang-ngiang di kepala. Mungkin benaknya sadar, bapaknya nyata, bapaknya ada, bukan sekedar foto dan video yang ia tonton saban ibunya kangen dengan Pranata.
Hetty menghela napas. Pasti cari si judes, kok bisa ya kembar tapi beda sifat. Aneh.
Hetty mengendikkan bahu, sekejap rasa jengkel mampir di paginya yang suram.
”Kendranata... Kendranata.” Meraih ponsel di meja dia menekan tombol panggilan dan menghubungi Dominic. Namun dering kedua, dia langsung mematikan.
“Gak... Gak...,” Hetty menggeleng, “sudah cukup aku merepotkan, Dominic. Lagian dia pasti lagi bulan madu.”
Hetty nyengir. Teringat akan sesuatu yang biasa terjadi jika ia dan Pranata bermesraan. Dominic pasti berceloteh tentang Rastanty yang menyapu halaman dan membersihkan lorong kost-kostan dengan tenang tanpa pernah menyangka kedekatan mereka tidak cuma sebatas teman biasa.
“Mereka berdua pasti kacau balau bulan madunya. Rastanty cupu, Dominic proaktif. Hah... lucu-lucu, tapi urus sendiri masalahmu, Hett... Hett... Ngapain mikir mereka.” Dipukulnya kepalanya sendiri seraya berkecimpung dengan urusan rumah.
*
*
*
Jam tujuh pagi lewat seperempat. Mobil bak terbuka yang membawa sayur mayur dan segala jenis bahan mentah masak memasak berhenti di depan rumah Hetty. Marsudi si pedagang sayur memencet klakson.
“Sayurrrrr....” teriaknya lantang.
Meninggalkan Bramasta di ruang keluarga, Hetty tergesa-gesa mengambil dompet di kamar seraya mencelat keluar dari rumah.
“Bayam, jagung, wortel, ayam, sama tempe mas. Satu-satu aja, ayamnya yang seperempat.” ucapnya seraya mengatur napas.
Marsudi memunguti pesanan Hetty sembari mendengus. “Tanggal tua ibu-ibu komplek pada pengiritan semua, Mbak. Daganganku masih banyak, nggak mau nambah to? Aku kasih murah wes, pepayanya manis lho ini, lima ribu aja buat Mbak Hetty.” ucapnya sembari memasukkan pesanan Hetty ke plastik hitam.
Marsudi meringis saat Hetty juga meringis sambil menunjukkan isi dompet.
“Tinggal merah selembar, mas. Masih buat beli susu.” akunya pedih.
“Wes ra popo, bayar besok-besok nggak masalah yang penting daganganku berkurang dan nggak busuk. Eman-eman ini.” Marsudi tersenyum paham sambil memasukkan pepaya california ke dalam plastik.
“Nambah apalagi? Gak cukup lho ini buat makan siang dan makan malam.” Marsudi merayu, pikirnya harus balik model walau pun di utang dulu.
Sekali lagi, Hetty menunjuk nugget, sawi putih, tahu, dan satu plastik apel seberat setengah kilo lalu meringis.
“Jangan bilang-bilang mama atau pembantu rumah ya mas kalo aku utang.” Hetty menguncupkan bibir. “Lagi sulit.”
Marsudi berdehem sambil mengulurkan dagangannya. “Pokoknya santai... Nggak cuma satu dua orang di komplek ini yang utang, dik. Tapi kalau mau gratis seumur hidup jadi istri mas Marsudi aja mau po?”
Amit-amit.
Hetty menggeleng kecil sambil meraih belanjanya. “Aku lunasi langsung mas, ini di bawa aja kembalinya kalo masih ada.” katanya tergesa-gesa sembari mengulurkan satu-satunya uang di tumpukan kangkung.
Tanpa mengucapkan terima kasih Hetty melesat ke rumah dan menutup gerbangnya buru-buru.
Marsudi terbahak. “Tak jamin besok dik Hetty terus nggak mau belanja di tempatku. Elah, nasib.” Uang seratus ribu itu ia tempelkan di keningnya tak kurang dari semenit sedan merah berhenti di belakang mobilnya.
“Kenapa mas?” tanya Kendranata sambil membawa plastik berisi susu, bubur ayam dan main baru untuk Bramasta.
Marsudi menunjuk rumah Hetty sambil menata sayurannya. “Itu tadi janda komplek saya tawarin sayuran gratis seumur hidup biar ndak perlu utang, eh di tolak langsung.” Marsudi menghela napas.
Kendranata menahan senyum sambil menepuk pundaknya singkat.
“Itu janda mantan adik saya.”
Marsudi menjejalkan uangnya sambil menatap Kendranata dengan kecut. “Pantesan, kalah rupo, kalah bondo.”
...ರ╭╮ರ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!