Suasana pagi hari Desa Matahari Terbenam sangatlah indah. Setiap pagi, burung-burung pasti berkicau dengan merdu dan riang gembira.
Pepohonan yang hijau menjulang tinggi ke atas langit. Embun pagi yang suci masih menetes jatuh membasahi tanah.
Di sebuah sekte kecil yang bernama Sekte Pedang Putih, di halaman belakang sekte tersebut, terlihat ada seorang pemuda berpakaian merah dengan usia sekitar empat belas tahun yang sedang berlatih ilmu pedang seorang diri.
Pemuda itu mempunyai tubuh tinggi langsing. Kedua alis matanya tebal dan membentuk golok. Bola matanya hitam bening. Hidungnya mancung dengan mulut yang sedikit kemerahan.
Pemuda yang dimaksud bernama Qiao Feng.
Qiao Feng adalah pemuda yang berasal dari tempat sekitar. Sejak berusia lima tahun, kedua orang tuanya telah mendaftarkan ia ke Sekte Pedang Putih.
Satu-satunya sekte yang terdapat di Desa Matahari Terbenam.
Alasan kenapa Qiao Feng didaftarkan sejak dini adalah karena kedua orang tuanya ingin dia menjadi pendekar yang sangat hebat. Di satu sisi lain, anak itu pun mempunyai cita-cita ingin menjadi pendekar nomor satu di negerinya.
Entah suatu kebetulan atau bukan, tapi Qiao Fen ini memang terhitung sebagai anak yang sangat cerdas dan berbakat dalam hal seni bela diri.
Bayangkan saja, di usianya yang sekarang baru empat belas tahun, dirinya sudah berada di tingkatan Pendekar Bumi tahap empat.
Itu adalah sebuah pencapaian yang sangat luar biasa. Apalagi bagi pemuda desa seperti dirinya.
Di Sekte Pedang Putih hanya terdapat sekitar dua puluh orang anak murid. Namun hal tersebut terbilang wajar, apalagi sekte itu hanya sekte kecil. Saking kecilnya, bahkan di sekte tersebut tidak ada yang namanya Wakil Ketua maupun para Tetua.
Yang ada hanya satu Ketua dan dibantu oleh dua orang anaknya.
Kembali ke halaman belakang, saat ini Qiao Feng baru saja menyelesaikan Jurus Pedang Besi. Itu adalah sebuah jurus yang diajarkan Ketua Sekte beberapa hari lalu.
Menurutnya, Jurus Pedang Besi merupakan jurus yang cukup hebat. Karena itulah Qiao Feng berniat untuk melatihnya sampai ke titik maksimal.
Dan hasil latihannya selama belakangan ini cukup memuaskan. Dia hampir saja menguasai jurus itu dengan sempurna.
Setelah merasa cukup, anak muda itu kemudian duduk bersila di atas rumput. Dia sedang mengumpulkan kembali tenaganya yang sudah terbuang.
Tidak lama setelah itu, terdengar suara lonceng yang dibunyikan sebanyak dua kali.
Qiao Feng segera bangkit berdiri. Itu adalah seruan dari Ketua Sekte supaya semua murid berkumpul di halaman untuk melakukan latihan pagi.
Dia kemudian berlari menuju ke halaman depan yang tidak seberapa luas. Tidak lama setelah dirinya tiba, anak murid yang lain pun segera berdatangan satu persatu.
"Selamat pagi murid-muridku semua," kata Ketua Sekte setelah semua murid berkumpul.
Ketua Sekte Pedang Putih itu bernama Hua Wei. Usianya sudah mencapai tujuh puluhan tahun. Walaupun sudah tua, tapi dia masih terlihat segar bugar.
Di sisi Ketua Hua Wei terdapat dua orang pria berusia empat puluhan tahun. Mereka adalah anak kembarnya yang diberi nama Hua Xu dan Hua Ming.
"Selamat pagi, Ketua," jawab semua murid secara serempak.
"Pagi ini kita akan meneruskan latihan yang kemarin,"
"Kami mengerti, Ketua,"
"Bagus. Ayo mulai,"
Para murid menganggukkan kepala. Mereka segera berlatih seperti pelajaran yang diberikan kemarin.
Hua Xu dan Hua Ming mulai memperhatikan dua puluh orang muridnya. Begitu juga dengan Hua Wei.
Mereka bertiga sesekali berjalan ke halaman sekte, apabila ada murid yang melakukan kesalahan ataupun tidak sempurna gerak latihannya, maka ayah dan anak itu akan segera membetulkannya.
"Bukan begitu, tapi begini," kata Hua Xu memberikan contoh kepada murid yang melakukan kesalahan.
"Nah, seperti itu. Lanjutkan,"
Latihan terus berlanjut. Dari dua puluh orang anak murid Sekte Pedang Putih, yang gerakannya sudah sempurna hanyalah Qiao Feng dan Lu Tianyin.
Lu Tianyin adalah pemuda sepantaran Qiao Feng. Malah sebelum Qiao Feng mendaftarkan diri jadi anak murid Sekte Pedang Putih, Lu Tianyin sudah lebih dulu ada di sana.
Maka dari itu, ia dianggap menjadi salah satu seniornya.
Selama ini, Lu Tianyin dikenal dengan sikapnya yang angkuh. Ia selalu meremehkan murid-murid yang lain. Malah kadang kala, dia sering mencari masalah dengan mereka.
Tetapi karena dia adalah murid senior, maka tentu saja tidak ada murid yang berani melawannya.
Kecuali Qiao Feng!
Ya, hanya Qiao Feng saja yang berani memberikan perlawanan.
Karena hal itu, Lu Tianyin tidak menyukainya. Ia bahkan ingin sekali Qiao Feng pergi dari Sekte Pedang Putih.
Sayangnya hal tersebut terlalu tidak mungkin. Apalagi Ketua Hua sangat menyukainya.
Tanpa terasa, siang hari sudah hampir tiba. Latihan pagi pun segera dihentikan.
Semua murid kemudian duduk bersila. Mereka mulai bermeditasi untuk mengumpulkan tenaga dalam yang sudah terbuang.
Beberapa saat kemudian, setelah semua murid selesai bermeditasi, terdengar Ketua Sekte bicara lagi.
"Pengumuman! Sore hari nanti kita akan melakukan pertandingan penentuan," katanya dengan tegas.
"Penentuan apa, Ketua?" tanya seorang murid yang berdiri di barisan belakang.
"Penentuan untuk murid yang akan dikirim ke kota,"
"Apakah murid itu akan disuruh bertugas?" tanya murid yang lain.
"Tentu saja bukan," Ketua Hua tertawa kecil saat mendengar pertanyaan murid tersebut. Setelah mengambil nafas, dia segera melanjutkan ucapannya.
"Jadi, murid yang nanti bisa lolos dari sini, akan segera dikirim ke kota dan dimasukkan kembali ke sekte yang lebih besar. Sekte itu merupakan cabang dari Sekte Pedang Putih. Kalau nanti ada pertandingan penentuan dan murid tersebut lulus lagi, maka dia akan langsung di kirim ke sekte pusat. Sekte tersebut bernama Sekte Pedang Utara,"
"Di sana, para murid akan dilatih dengan sungguh-sungguh supaya dia bisa menjadi pendekar ataupun pahlawan yang hebat. Bukan cuma itu saja, bahkan murid itu pun bisa menjadi seorang tabib yang terkenal,"
Ketua Hua menjelaskan dengan nada sungguh-sungguh. Semua murid yang mendengarnya langsung terlihat antusias. Tentu saja, mereka pun ingin menjadi pendekar yang hebat dan mempunyai nama besar.
"Wah, hebat sekali,"
"Aku sudah tidak sabar ingin segera melangsungkan pertandingan penentuan itu,"
"Aku juga. Aku ingin menjadi pendekar besar seperti Ketua,"
Suara perbincangan di antara para murid mulai terdengar tiada hentinya. Mereka mulai membayangkan dirinya menjadi pendekar atau pahlawan yang hebat serta dikenal oleh semua orang.
"Sudah, sudah. Sekarang kalian istirahat saja dulu. Siapkan tenaga untuk pertandingan nanti," ujar Ketua Hua menyuruh semua murid untuk beristirahat.
"Baik, Ketua," jawab para murid secara bersamaan.
Mereka kemudian langsung berjalan menuju ke ruangannya masing-masing. Kini di sana sudah tidak ada siapa-siapa lagi, kecuali hanya Ketua Hua Wei dan dua orang anaknya.
"Kakak Xu, menurutmu siapa yang akan terpilih nanti?" tanya Hua Ming kepada kakaknya.
"Tentu saja Qiao Feng dan Lu Tianyin," jawabnya dengan cepat.
Hua Wei yang mendengar percakapan kedua anak kembarnya segera memperlihatkan senyuman hangat.
Memang, dalam hatinya, dia sendiri berpendapat bahwa yang akan lolos nanti adalah Qiao Feng dan Lu Tianyin. Sebab kedua orang anak muda itu adalah yang terbaik dari semua murid Sekte Pedang Putih.
Tapi hal itu tidak bisa menjadi patokan. Sebab meskipun mereka yang terbaik, toh masih ada murid-murid lain yang kemampuannya cukup lumayan.
"Sudahlah, kita istirahat saja dulu. Masalah siapa yang akan lolos, itu bagaimana nanti saja," ujar Ketua Hua kepada dua anaknya.
"Baik, Ayah. Kami mengerti," jawabnya secara bersamaan.
Mereka kemudian berjalan masuk ke dalam sekte dan melakukan beberapa persiapan untuk pertandingan penentuan nanti.
Setelah semua persiapan selesai, mereka pun segera istirahat di dalam ruangannya.
Sementara itu di ruangan anak murid, terlihat Qiao Feng sedang berkultivasi. Walaupun kondisi di sana ramai oleh suara rekan-rekannya, tapi dia tetap tidak peduli.
Di mana pun, kapan pun, kalau memang ada waktu, maka Qiao Feng pasti akan melakukan kultivasi.
Mungkin karena hal inilah dia bisa menjadi menonjol di antara teman sebayanya. Mungkin karena hal ini pula dia bisa memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari mereka.
Anak muda itu masih memejamkan mata. Di alam bawah sadarnya, ia mulai melihat ada setitik cahaya putih di kejauhan sana.
Qiao Feng berusaha untuk berjalan mendekat ke arah cahaya putih tersebut. Dia ingin melihat atau bahkan masuk ke dalamnya.
Sayang sekali, tinggal beberapa jarak lagi, tiba-tiba sesuatu telah menghantam tubuhnya dari belakang.
Bukk!!!
Qiao Feng merasakan sakit yang lumayan. Dia segera sadar dan langsung membuka matanya.
Begitu menoleh ke belakang, ternyata di sana ada Lu Tianyin dan satu orang rekannya.
Meskipun tidak banyak bertanya, tapi Qiao Feng tahu bahwa yang baru saja menghantam punggungnya itu tak lain dan tak bukan adalah kaki dari Lu Tianyin.
Dia telah menendangnya!
"Apa maksudmu, Lu Tianyin?" tanya Qiao Feng dengan nada tidak senang.
"Kenapa? Kau tidak suka?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Tentu saja. Aku tidak terima kau menendang punggungku begitu saja. Padahal aku tidak punya masalah apapun denganmu,"
Qiao Feng sudah sangat marah. Sebab kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi.
Anak itu sering mencari masalah dengannya. Bahkan hampir setiap hari.
Selama ini, Qiao Feng lebih memilih untuk mengalah. Tapi ternyata, hal tersebut justru malah membuat sifat Lu Tianyin yang semakin menjadi.
Karena alasan itu, sekarang Qiao Feng berniat untuk memberinya sedikit pelajaran.
"Kalau memang tidak terima, coba saja balas. Itu juga jika kau mampu," Lu Tianyin tertawa sinis. Ia tampak merendahkan Qiao Feng.
Siapa sangka, ketika dirinya masih tertawa, tiba-tiba anak itu merasakan ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras.
Blamm!!!
Lu Tianyin terdorong mundur sejauh dua langkah. Ia sempoyongan, hampir saja jatuh tersungkur ke atas tanah.
Ternyata sesuatu yang menghantamnya barusan itu adalah kepalan tangan Qiao Feng.
Sakitnya bukan main. Bahkan untuk sesaat, Lu Tianyin merasa kesulitan bernafas. Tapi karena dia tidak mau dipandang rendah oleh rekan-rekannya, maka ia bersikap seolah biasa saja.
"Anak sialan. Berani sekali kau ..."
Dia semakin marah. Pukulan balasan pun segara dilancarkan dengan cepat dan telak. Tapi Qiao Feng mampu menghindarinya dengan mudah.
Suara murid-murid yang lain segera terdengar. Mereka seperti kegirangan menonton pertarungan itu.
Ruangan para murid yang tadinya sepi, sekarang telah diramaikan oleh teriakkan dukungan.
"Berhenti!"
Di tengah-tengah pertarungan antara Qiao Feng dan Lu Tianyin yang mulai seru, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat dikenal mereka.
Suara Ketua Hua!
Di pintu masuk, terlihat dia sedang memandang kepada semua murid dengan tatapan setajam pisau. Kalau sudah seperti ini, maka para murid pun tidak ada lagi yang berani memandang wajahnya.
Semua murid menunduk. Keheningan kembali menyelimuti ruangan tersebut.
"Qiao Feng, Lu Tianyin, apa yang sedang kalian lakukan?" tanyanya dengan tegas.
"Dia yang memulai, Ketua. Saat itu aku sedang berkultivasi, tapi Lu Tianyin tiba-tiba menendangku dari belakang," jawab Qiao Feng sambil tetap menundukkan kepala.
"Benarkah apa yang telah dikatakan olehnya?" tanya Ketua Hua kepada Lu Tianyin.
"Aku ... aku tidak bermaksud ..."
Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Anak muda itu kebingungan. Ia tidak menyangka bahwa hal ini akan sampai di telinga Ketua Hua. Karenanya, Lu Tianyin tidak bisa menjawab ketika ditanya.
"Lu Tianyin, ikut aku!" ujar Ketua Hua sambil membalikkan badan dan melangkah pergi dari sini.
Lu Tianyin tampak tidak terima. Tapi apa mau dikata, ini adalah perintah. Mau tidak mau, dia harus menurutinya.
"Awas saja nanti!" katanya mengancam Qiao Feng.
Lu Tianyin kemudian melangkah keluar mengikuti Ketua Hua.
Setelah kepergiannya, keadaan di ruangan itu pun kembali khidmat. Para murid kembali beristirahat. Ada pula yang melakukan kultivasi seperti layaknya Qiao Feng saat ini.
###
Sore hari sudah datang. Semua murid Sekte Pedang Putih, saat ini sudah berada di halaman depan.
Yang pertama ada di sana adalah Lu Tianyin. Hal itu wajar, sebab tadi, setelah ia membuat masalah, Ketua Hua telah memberikan hukuman kepadanya.
Dia menyuruh muridnya tersebut untuk berdiri di tengah panas terik matahari.
"Lu Tianyin, kau istirahat dulu selama sepuluh menit. Setelah itu segera kembali kemari," kata Ketua Hua kepadanya.
"Baik, Ketua," dia membungkuk hormat, lalu kemudian segera berteduh.
Keadaan para murid sekte sudah berada dalam sikap sempurna. Mereka sedang menunggu Ketua Hua bicara.
"Murid-muridku, seperti yang telah aku katakan sebelumnya. Sore ini, kita akan mengadakan pertandingan penentuan," katanya mengawali pembicaraan lebih serius.
"Yeay!!!"
"Hore ..."
Suara sorak-sorai dari para murid terdengar bersahutan. Mereka menyambut pertandingan penentuan dengan perasaan riang gembira.
Walaupun masing-masing murid tahu bahwa dirinya sendiri belum tentu lolos, tapi setidaknya dalam pertarungan nanti, mereka bisa menilai sampai di manakah kemampuannya.
"Apakah kalian sudah siap?" tanya Ketua Hua lebih jauh.
"Siap," jawab murid serempak.
"Baik. Kalau begitu, kita mulai pertandingan penentuan ini,"
Ketua Hua kemudian menoleh ke arah anak kembarnya. Dia menyuruh mereka untuk membantunya dalam mengawasi pertandingan nanti.
"Kau tenang saja, Ayah. Kami pasti akan mengawasi semua murid yang bertarung," jawab Hua Xu meyakinkan ayahnya.
Setelah beberapa saat kemudian, Ketua Hua mulai memanggil sepuluh orang muridnya. Mereka kemudian dibagi menjadi tiga kelompok.
Begitu masing-masing murid sudah berhadapan, dia segera memulai pertandingannya.
"Mulai!"
Murid yang disuruh untuk tampil pertama segera bertarung. Berbagai macam jurus khas dari Sekte Pedang Putih mulai digelar.
Pertama kali, pertarungan itu hanya pertarungan tangan kosong. Setelah lewat dua puluh jurus, Ketua Hua segera melemparkan pedang kayu kepada murid-murid itu.
Pertandingan pun segera dilanjut dengan adu ketangkasan dengan pedang kayu!
Suara bertemunya antara pedang kayu mulai meramaikan suasana. Keadaan di halaman depan Sekte Pedang Putih itu dilengkapi pula oleh dukungan murid-murid yang lain.
Beberapa jurus kemudian, lima pertarungan tersebut telah selesai. Lima orang menjadi pemenang. Lima orang lagi menjadi pihak yang kalah.
Setelah pertarungan pertama selesai, Ketua Hua segera memanggil murid-muridnya yang lain. Termasuk juga Qiao Feng dan Lu Tianyin sendiri.
Murid-murid yang sebelumnya sudah bertarung, sekarang sedang beristirahat sambil tetap menyaksikan jalannya pertandingan penentuan yang diadakan oleh gurunya tersebut.
Begitu pertarungan dimulai, sepuluh orang murid tersebut langsung saling serang satu sama lain.
Gerakan mereka cukup gesit. Para murid itu mengeluarkan kemampuannya masing-masing. Ketua Hua bersama dua orang anak kembarnya terus memperhatikan jalannya pertarungan dengan seksama.
Di antara lima pertarungan yang sedang berjalan, yang paling menarik adalah pertarungan Qiao Feng dan Lu Tianyin.
Kedua remaja itu bertarung dengan sungguh-sungguh. Karena mereka terhitung sebagai murid yang paling berbakat, maka hanya sebentar saja, mereka sudah bisa menyelesaikan pertarungannya tersebut.
Tidak lama setelah itu, para murid yang lain pun segera menyelesaikan pertarungan masing-masing.
Karena masih ada waktu yang cukup banyak, akhirnya Ketua Hua pun segera melanjutkan kembali pertandingan penentuan ini. Sepuluh murid yang tadi menjadi pemenang, sekarang sudah mulai bertarung lagi.
Pertarungan yang berjalan di halaman depan semakin seru. Sebab yang sekarang bertarung adalah para murid sekte menonjol.
Sekitar dua puluh menit kemudian, pertarungan kedua pun selesai juga. Lima orang kembali terpilih. Tentu saja Qiao Feng dan Lu Tianyin termasuk di dalamnya.
Ketua Hua memandang ke sebelah barat. Ia melihat matahari yang sudah berada di sana. Tetapi karena menurutnya masih ada waktu cukup, akhirnya orang tua itu memutuskan untuk terus melanjutkan pertandingan penentuan tersebut.
Di pertarungan yang ketiga ini, dengan cepat pula segera keluar dua orang pemenang. Lagi-lagi, yang masuk ke babak berikutnya adalah Qiao Feng dan juga Lu Tianyin.
Sampai sejauh ini, dua orang remaja itu belum juga mengalami luka. Mereka masih tampak baik-baik saja.
Bahkan keduanya seolah-olah tidak merasa lelah. Padahal mereka telah melewati pertarungan yang lumayan panjang.
Ketua Hua menyuruh tiga orang pemenang untuk istirahat selama lima belas menit. Setelah waktu yang ditentukan tiba, dia segera memanggil lagi tiga murid yang masuk ke bebek akhir itu.
Dengan cepat, tiga orang murid yang dimaksud sudah berdiri di tengah-tengah halaman.
Mereka adalah Qiao Feng, Lu Tianyin dan satu lagi yang bernama Kim Cun.
Ketiga anak muda itu mempunyai postur tubuh yang hampir sama. Mereka pun mempunyai wajah yang tampan. Yang membedakan di antara ketiganya adalah watak.
Di antara mereka, yang paling keras kepala dan susah diatur adalah Lu Tianyin. Malah bukan cuma di antara tiga orang itu, mungkin di antara dua puluh murid yang ada pun, dia tetap merupakan murid yang paling keras kepala.
"Kalian bertiga, dengarkan ucapanku baik-baik," Ketua Hua berbicara dengan nada serius.
"Baik, Ketua," tiga murid di depannya segara menjawab secara serempak.
"Ini adalah pertarungan terakhir. Di sini, kalian tidak akan bertarung melawan murid yang lain. Melainkan akan langsung bertarung melawanku,"
Ketiganya kaget setengah mati. Mata mereka terbelalak besar.
Bagaimana mungkin dirinya bisa menghadapi Ketua Hua? Bukankah untuk mengalahkannya, terlalu tidak mustahil?
Ketua Hua sendiri seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh tiga muridnya itu. Maka dengan cepat dia segera bicara.
"Jangan khawatir. Aku tidak menuntut kalian untuk menang," katanya menjelaskan.
Tiga murid itu langsung menghela nafas lega. Ternyata ketakutannya tidak sampai terbukti.
"Kalian hanya perlu menyerangku sebanyak mungkin. Yang akan aku nilai dalam pertarungan ini ada tiga. Pertama, dari segi serangan kalian. Kedua, dari segi pertahanan. Dan ketiga, dari kematangan kalian dalam bergerak," kata Ketua Hua melanjutkan kembali bicara.
"Apakah kalian mengerti?"
"Kami mengerti, Ketua,"
"Bagus. Kalau begitu, silahkan dimulai,"
Hua Xu dan Hua Wei langsung melemparkan pedang kayu kepada ketiganya. Sedangkan Ketua Hua, segera mengambil ranting kayu yang terdapat di sana.
Sekarang kedua belah pihak yang akan berhadapan sudah sama-sama siap.
Beberapa saat kemudian, tiga murid itu langsung menyerangnya secara bersamaan.
"Jangan setengah-setengah. Keluarkan saja seluruh kemampuan kalian," ujar Ketua Hua memberitahu kepada muridnya.
Tiga orang remaja itu menganggukkan kepala. Setelah mendengar perintah tersebut, tentu saja mereka tidak bisa menolak.
Maka dari itu, beberapa saat kemudian, ketiganya segera mengambil langkah mundur. Lalu dengan cepat kembali menyerang Ketua Hua.
Tiga Jurus Pedang Besi segera digabungkan. Gulungan sinar kuning kecokelatan telah mengelilingi seluruh tubuh orang tua itu.
Serangan tiga anak remaja tersebut terbilang cepat. Apalagi, pada dasarnya Jurus Pedang Besi adalah salah satu jurus pedang yang berbahaya.
Maka tidak heran apabila pertarungan di halaman depan tersebut berlangsung semakin seru dan menegangkan.
Ketua Hua tersenyum sepanjang jalannya pertarungan. Dia bangga melihat tiga anak remaja yang mampu menggempurnya tanpa henti.
Walaupun mereka belum bisa mengalahkan dirinya, tapi orang tua itu tetap merasa bangga. Sebab dia bisa mendidik dan menciptakan para murid yang memang berbakat!
"Ayo, serang dan jangan pernah menaruh belas kasihan!" teriaknya kembali memberikan semangat kepada muridnya.
Di satu sisi lain, tujuh belas orang murid Sekte Pedang Putih yang ada di sana, saat ini mereka sedang memperhatikan pertarungan dengan mata melotot dan tanpa berkedip.
Murid-murid itu juga merasa bangga karena rekan mereka ternyata ada yang memiliki kemampuan hebat.
Suara dukungan segera keluar dari mulut mereka. Sorak-sorai semakin ramai.
Di arena pertarungan, murid yang paling banyak menyerang dan menggempur Ketua Hua adalah Qiao Feng.
Anak muda itu menyerang dengan ganas. Gerakannya lebih lincah dan matang daripada dua rekan di sisinya.
Tebasan pedang dilancarkan berkali-kali. Hawa pedang menerbangkan debu di sekitar sana.
Ketua Hua melayani tiga batang pedang kayu itu dengan sebatang ranting kayu.
Kalau ranting itu berada di tangan orang biasa, sudah tentu sejak awal sudah hancur lebur. Sayangnya, ranting itu berada di tangan Ketua Hua.
Ketua dari Sekte Pedang Putih!
Trakk!!!
Suara berat terdengar. Tiga pedang kayu bertemu dengan ranting miliknya di tengah jalan. Yang hebatnya lagi, tidak lama setelah benturan tersebut, pedang kayu yang digenggam oleh murid-muridnya langsung patah menjadi dua bagian.
"Ba-bagaimana bisa ..." Qiao Feng berkata gugup.
Dia tidak percaya bahwa pedang kayu itu bisa patah hanya dengan ranting pohon yang kecil.
"Hebat, hebat. Kemajuan kalian benar-benar pesat," kata Ketua Hua memuji tiga orang murid terbaik itu.
Qiao Feng dan yang lain masih berdiri mematung sambil memandangi pedang kayu di tangannya.
"Sudah, jangan terus melamun. Pergilah beristirahat. Sebentar lagi aku akan mengumumkan siapa saja yang akan dikirim ke sekte cabang," ucap Ketua Hua kepada mereka.
"Baik, Ketua," mereka menjawab serempak. Kemudian segera berjalan ke pinggir untuk beristirahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!