NovelToon NovelToon

The Rose Of The South

Prologue

"Yang Mulia Putra Mahkota..."

Pemuda itu tidak mempedulikan suara yang memanggilnya dan terus berjalan melewati taman itu seorang diri. Matanya yang berwarna merah cerah menatap bintang-bintang di langit malam dengan tatapan sendu. Angin malam yang hangat membelai lembut wajahnya. Malam itu cuacanya jauh lebih hangat dari malam biasanya. Salju sudah mencair sejak beberapa hari yang lalu. Bunga-bunga di taman Istana juga mulai bermekaran, pertanda musim dingin sudah berakhir dan dimulainya musim semi.

"Yang Mulia Putra Mahkota Edward."

Pemuda itu menoleh ke arah datangnya suara yang memanggilnya. Dia belum terbiasa dengan sebutan itu. Baru beberapa hari yang lalu dirinya dimahkotai sebagai Putra Mahkota Schiereiland yang baru. Baru beberapa hari yang lalu dirinya kembali dari perang yang dimenanginya. Perang yang membuatnya menjadi Putra Mahkota. Perang yang merenggut nyawa kakaknya yang sangat dihormatinya, Putra Mahkota Phillip. Perang yang juga merenggut nyawa sahabat baiknya dan gadis yang dicintainya. Perang yang membuatnya tidak bisa tidur sepanjang malam selama berhari-hari karena dihantui perasaan bersalah dan menyesal.

"Ada apa?" Tanya Edward. Saat melihat pengawal pribadinya datang menghampirinya dengan membawa sesuatu yang ditutupi selimut, Edward kembali bertanya, "Apa itu yang kau bawa?"

Pengawal pribadinya itu adalah pria yang usianya sama dengan Raja Eustacius, ayahnya. Tapi pria itu membungkuk sangat rendah di hadapannya. Karena dia adalah Putra Mahkota Schiereiland, tentu saja semua orang harus bersikap seperti itu padanya.

"Apa yang kau bawa, George?" Tanya Edward sekali lagi.

George, pengawal pribadi Putra Mahkota yang baru, membuka selimut yang menutupi sesuatu yang dibawanya itu. Memperlihatkan bayi laki-laki yang tersenyum ceria saat menatap Putra Mahkota Edward dengan matanya yang berwarna hazel. Saat melihat mata itu, Sang Putra Mahkota tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

"Apakah Kris... Tunggu... Itu tidak mungkin kan?"

"Benar, Yang Mulia. Tuan Muda Smirnoff dan Jendral Irene adalah orang tuanya. Kami menemukan bayi ini di kediaman mereka. Diperkirakan bayi ini lahir beberapa bulan lalu saat Jendral Irene masih di medan perang. Tapi karena tidak memungkinkan merawatnya di sana, Jendral mengutus salah satu ksatria Schiereiland untuk membawanya ke rumahnya."

Edward mengambil bayi itu dari tangan George dan menggendongnya. Bayi laki-laki itu tampak senang. Tapi Edward menatapnya dengan penuh kesedihan.

"Maafkan aku... Orang tuamu mati karena aku. Mereka mati demi menyelamatkanku. Maafkan aku... Aku tidak tahu kalau Irene..." Edward tidak sanggup membendung tangisannya saat melihat bayi itu. "Maafkan aku... Maafkan aku..."

"Yang Mulia... Ini bukan kesalahan Anda. Tolong berhenti menyalahkan diri Anda." Kata George.

Edward menggeleng, "Tidak. Ini salahku. Kematian Phillip, Kris, Irene dan banyak lagi yang lainnya itu karena aku bukan pemimpin yang baik. Ayahanda memberikanku kepercayaan untuk memimpin perang kali ini, tapi aku gagal melindungi mereka. Kenapa hanya aku yang bertahan hidup? Andaikan saja aku bisa mengulang waktu..."

Andaikan saja Edward bisa mengulang waktu. Ada banyak hal yang ingin Edward ubah. Dia akan lebih mendengarkan saran Phillip saat di medan perang sehingga dia tidak perlu mengambil strategi yang salah yang menyebabkan kakaknya itu mati. Dia akan meminta Kris dan Irene untuk tidak ikut dalam perang itu sehingga Irene bisa melahirkan bayinya di kediaman mereka dengan aman dan nyaman. Bayi itu juga tidak perlu kehilangan orang tuanya. Tapi lebih dari semua itu, jika Edward dapat mengulang kembali waktu, Edward akan meminta Irene untuk kembali pada keluarganya di Nordhalbinsel. Meski Irene akan bersikeras untuk tetap berada di Schiereiland karena dia mencintai Kris. Meski itu artinya Edward tidak akan bisa bertemu dengan Irene lagi selamanya. Paling tidak gadis itu akan tetap hidup di Nordhalbinsel sebagai putri dari Grand Duke Winterthur. Irene mungkin akan tetap menikah dengan Kris, atau mungkin menikah dengan bangsawan dari Nordhalbinsel, tapi Edward tidak peduli. Yang dia inginkah adalah Irene tetap hidup dan menjauhi perang yang merenggut nyawanya. Edward akan melakukan segala cara agar Irene mau menerima permohonan Grand Duke Winterthur saat itu untuk kembali ke Nordhalbinsel. Tapi itu hanya lah harapan kosong. Manusia tidak dapat mengulang waktu.

"Yang Mulia..." George menyadarkan Edward dari lamunannya. Dia tidak tega melihat Putra Mahkota yang dilayaninya tenggelam dalam kesedihan seperti itu. George menatap Edward dengan tatapan serius seolah apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang sangat penting yang mungkin dapat merubah segalanya.

"Apa Yang Mulia pernah mendengar soal Jam Pasir Grimoire?"

...****************...

Chapter 1 : Le Début d'une Fin

Siang itu Sang Permaisuri sedang menikmati tehnya di dalam ruang kerjanya di Menara. Para murid penyihir diliburkan hari itu dan Menara ditutup untuk sementara, jadi hanya ada dirinya di dalam Menara. Saat dirinya merasa bosan berada di dalam Istana terus menerus, Menara adalah tempat pelarian yang sempurna baginya. Paling tidak, di Menara, dia memiliki otoritas tertinggi dan Raja tidak bisa ikut campur dalam urusan Menara.

Belum habis cangkir pertamanya, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya. Hal itu tentu saja merusak suasana hatinya. Tapi dia memang sedang menanti kedatangan seseorang yang dia kirim sebagai mata-mata untuk mengawasi Istana Putra Mahkota. Jadi dia mengizinkan orang itu masuk dengan membuka pintu menggunakan sihirnya.

Pintu terbuka lebar, memperlihatkan seorang wanita yang mengenakan tudung kepala yang membuat wajahnya tak terlihat jelas. Tapi Sang Permaisuri sudah tahu siapa orang itu. Itu adalah mata-mata yang dia kirimkan ke Istana Putra Mahkota. Dayang Putri Mahkota, Jane.

Wanita itu berlutut di hadapan Sang Permaisuri. "Saya menghadap Yang Mulia Permaisuri Selena."

"Silahkan bicara." Kata Selena tanpa benar-benar memperhatikan.

"Saya mendengar berita yang menarik pagi ini, Yang Mulia." Kata Jane.

"Apa yang lebih menarik dari berita kematian Putra Mahkota kesayangan kita semua?" Tanya Selena sambil tersenyum memperhatikan cangkir tehnya. Pengumuman terkait berita kematian Putra Mahkota semalam membuatnya sangat gembira sehingga dia merasa yakin tidak ada hal yang dapat merubah kegembiraannya hari itu.

"Yang Mulia Putri Mahkota sepertinya sedang mengandung bayi laki-laki."

Mendengar itu, cangkir teh yang sedang dipandanginya mendadak pecah berkeping-keping. "Apa? Bayi laki-laki!" Selena tampak histeris. "Kupikir selama ini mereka hanya berpura-pura dekat di hadapan umum. Tapi mereka punya bayi sebelum resmi menikah?"

Saat semuanya tampak berjalan dengan lancar bagi Selena, saat rencana yang sudah disusunnya selama bertahun-tahun hampir sepenuhnya terwujud, berita tentang kemungkinan adanya bayi laki-laki yang sedang dikandung oleh Putri Mahkota seolah meruntuhkan semuanya.

"Benar, Yang Mulia. Begitulah yang saya dengar." Kata wanita itu, tampak tenang saat mengatakannya meski Selena di hadapannya tampak siap meruntuhkan seisi Menara kapan saja.

Selena berdiri dari tempat duduknya dan menghirup napas panjang serta menghembuskannya perlahan. Belakangan ini cara tersebut selalu efektif untuk mengatur emosinya yang selalu meluap-luap. Putra keduanya lah yang mengajarkan cara mengatur emosinya. "Baiklah. Kau boleh pergi." Kata Selena.

Wanita itu membungkuk rendah sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.

"Argus!" Panggil Selena. Suaranya menggema ke seluruh Menara.

"Saya menghadap Yang Mul—“

Kata-katanya langsung terhenti saat teko teh yang tadinya ada di meja Sang Permaisuri dilemparkan ke arah pria yang baru datang itu. Tapi tentu saja Sang Permaisuri tidak berniat mengenainya, jadi teko teh itu menghantam pintu masuk dan hancur. Hal itu berhasil membuat Argus, yang sedang menggunakan sihir transformasi menjadi Jenderal Orthion, tampak terkejut dan tidak berani berkata-kata. Dia tahu suasana hati Sang Permaisuri sedang tidak baik.

"Apa ini? Kau bilang budak itu sudah merayu Putri Mahkota. Tapi kenapa aku mendengar berita yang tidak ingin kudengar?" Sang Permaisuri meluapkan amarahnya. Matanya melotot seperti hampir keluar saat menatap Argus.

Argus berlutut. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya juga tidak tahu akan—“

"Cukup. Aku tidak ingin mendengar permintaan maafmu. Bawa budak itu ke sini."

"Maksud Anda, Dylan?"

"Ya. Budak Istana Utara itu. Cari dia dan bawa ke hadapanku sekarang juga. Kita harus tahu bayi siapa yang dikandung oleh Putri Mahkota sebelum rapat pengangkatan Putra Mahkota yang baru."

...****************...

Dua hari sebelum rapat pengangkatan Putra Mahkota. Dua hari setelah pengumuman kematian Putra Mahkota Xavier...

Berita kematian Putra Mahkota Nordhalbinsel menyebar luas hingga ke Istana Wisteria di Westeria.

Istana Wisteria merupakan istana tempat Ratu Westeria tinggal. Istana megah yang terletak di tengah danau berair jernih itu terbuat dari logam mulia seperti emas dan perak, namun juga dihiasi tanaman-tanaman merambat di dinding dan langit-langitnya. Tanaman-tanaman itu terkadang menghasilkan bunga dan buah. Bunganya sangat wangi dan menempel di pakaian orang-orang di Istana sehingga para pelayan tidak pernah memakaikan parfum pada pakaian keluarga kerajaan. Buah-buahan yang tumbuh dari tanaman-tanaman itu pun menjadi makanan penutup yang dapat dinikmati kapan pun. Konon Ratu Westeria hanya perlu membuka genggaman tangannya ke arah langit-langit aula istana, lalu sulur-sulur di atasnya akan menghasilkan buah dan jatuh tepat di atas telapak tangannya.

Setelah pernikahan resmi Putri Eugene dan Pangeran Jeffrey, Pangeran Yi menarik kembali rencananya untuk mengambil alih Westeria. Sebagai gantinya, Kaisar Orient menandatangani persekutuan perdagangan untuk mempererat ikatan antara Kerajaan Westeria dan Kekaisaran Orient. Beberapa hari sebelumnya, Ratu Elizabeth mundur dari takhtanya karena alasan yang dirahasiakan dan memutuskan untuk pergi dari Istana Wisteria setelah menduduki posisi Ratu selama lebih dua puluh tahun. Tidak ada yang benar-benar mengetahui alasannya meninggalkan takhta, tapi Putri Eugene tahu. Mantan Ratu memintanya untuk merahasiakan hal itu demi kebaikan Kerajaan. Putri Eugene pun akhirnya naik takhta menjadi Ratu Westeria yang baru.

Ratu Eugene memimpin dengan bijaksana dan adil meski usianya baru sembilan belas tahun. Sesekali Sang Ratu akan meminta pendapat suaminya yang masih bergelar Pangeran Nordhalbinsel untuk beberapa urusan kenegaraan. Mereka saling membantu satu sama lain dan berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik. Kehidupan baru mereka di Istana Wisteria terasa sangat tenang dan penuh kebahagiaan seperti akhir bahagia dalam sebuah dongeng.

Tapi pagi itu mendatangkan perubahan dalam kehidupan damai mereka. Pagi itu, setelah mendengar berita tentang kematian Putra Mahkota Nordhalbinsel dari pengawal pribadinya, Theana, Ratu Eugene buru-buru membubarkan rapat paginya dan pergi ke kamar Pangeran Jeffrey. Saat melihat suaminya sedang terduduk sedih di atas tempat tidurnya, Ratu Eugene segera memeluknya dan berusaha menenangkannya. Itu adalah pertama kalinya dia melihat suaminya terlihat sangat sedih dan hancur.

"Kau sudah mendengarnya juga?" Tanya Ratu Eugene dalam bahasa Nordhalbinsel yang sempurna sambil memeluk erat Pangeran Jeffrey.

Pasangan beda kerajaan itu selalu menghargai perbedaan di antara mereka. Perbedaan bahasa tidak pernah menjadi penghalang. Ratu Eugene sudah mempelajari bahasa Nordhalbinsel sejak masih kecil dan melancarkan kemampuan berbahasanya dengan cara sering berkirim surat menggunakan bahasa Nordhalbinsel dengan Putra Mahkota Xavier. Dan meski pun Pangeran Jeffrey baru mempelajari bahasa Westernia, bahasa resmi yang digunakan di Westeria, Sang Pangeran belajar dengan cepat dan sebisa mungkin selalu menggunakan bahasa Westernia jika bicara dengan Ratu Eugene, meski Sang Ratu akan menanggapinya dengan bahasa Nordhalbinsel.

"Iya, Ratuku. Pembawa berita mendatangiku pagi ini. Mereka bilang mayatnya tidak dapat ditemukan. Ini sulit dipercaya." Kata Pangeran Jeffrey dalam bahasa Westernia, namun masih dengan aksen bicara khas orang-orang Utara. Sang Pangeran tidak dapat menyembunyikan kesedihannya dari nada suaranya. Dia berusaha keras untuk tidak menangis di hadapan istrinya dan membuat istrinya ikut bersedih, tapi itu tidak berhasil.

"Aku turut bersedih, Suamiku. Mendiang Putra Mahkota Xavier adalah orang yang sangat baik. Beliau lah yang telah membantuku selama ini sampai aku bisa menjadi Istrimu dan menjadi Ratu Westeria."

Pangeran Jeffrey mengangguk menyetujui. "Kakakku itu adalah panutanku. Aku selalu mengaguminya sejak dulu. Terakhir kami bertemu adalah saat di Montreux sebelum aku memutuskan untuk menikahimu. Aku tidak tahu bahwa itu akan menjadi terakhir kalinya aku melihatnya. Padahal kudengar dia akan segera menikah setelah sekian tahun pernikahannya tertunda. Padahal kupikir aku bisa menemuinya lagi dan berbahagia di hari pernikahannya. Aku tak menyangka bukan surat undangan pernikahan yang kuterima melainkan berita kematiannya."

"Suamiku..." Ratu Eugene menatap Pangeran Jeffrey dengan serius seolah akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Ratu Eugene tahu ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan perihal apa yang ingin dia bicarakan dengan suaminya itu, tapi sepertinya takkan ada waktu lain. Dan dia harus segera menyampaikan apa yang mengganjal di hatinya semenjak dia mengetahui tentang berita kematian Sang Putra Mahkota Nordhalbinsel.

Melihat tatapan itu di mata Istrinya, Pangeran Jeffrey tampak memperhatikan sepenuh hati.

"Aku dengar setelah kematiannya, Perebutan takhta sebagai Putra Mahkota akan kembali terbuka."

Pangeran Jeffrey mengangguk. "Itu benar. Selain aku, ada dua puluh satu orang putra Raja yang akan memperebutkan posisi itu. Mereka bahkan akan saling membunuh untuk mendapatkan posisi Putra Mahkota. Sejak dulu Istana Nordhalbinsel adalah tempat dimana para putra Raja akan saling membunuh untuk mencapai posisi Putra Mahkota. Bahkan ayahku sendiri berhasil memperoleh posisinya setelah membunuh saudara-saudaranya yang lain."

"Itu mengerikan sekali. Kau tidak akan ikut serta dalam perebutan takhta, bukan? Maksudku, aku tidak akan melarang apapun keinginanmu. Tapi jika itu membahayakan nyawamu, aku tidak akan membiarkannya." Ratu Eugene menatap Pangeran Jeffrey dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Ketakutannya terhadap kehilangan orang yang sangat dia cintai tampak jelas di matanya.

Pangeran Jeffrey mengecup kening istrinya itu dan berkata, "Untuk apa aku melakukannya, Ratuku? Aku sudah merasa sangat bahagia dengan menjadi pasanganmu. Aku sangat bahagia tinggal di Westeria bersamamu. Tidak ada hal lain yang kuinginkan."

Ratu Eugene tersenyum bahagia mendengarnya dan mencium suaminya itu. Lebih dari apa pun, Ratu Eugene mencintai Pangeran Jeffrey. Dia tidak ingin suaminya kembali ke Nordhalbinsel dan ikut serta dalam perebutan takhta jika hanya akan membuatnya kehilangan pria yang dicintainya itu. Lebih dari apapun, dia sangat takut akan hal tersebut. Ratu Eugene tahu dia bersikap egois jika melarang suaminya kembali ke Nordhalbinsel terlebih karena yang meninggal adalah kakaknya, orang yang sangat berarti bagi mereka berdua. Tapi kini setelah mendengar kata-kata suaminya, dia menjadi lebih tenang.

"Suamiku, sebenarnya kemarin malam aku mendapatkan surat ini." Ratu Eugene memperlihatkan sepucuk surat tanpa nama pengirim dan tanpa stempel. "Tapi orang yang memberikannya melalui Theana mengatakan aku baru boleh membukanya setelah mendengar berita duka dari Nordhalbinsel. Saat itu aku masih belum mengerti apa yang dimaksudkan dengan berita duka."

"Siapa pengirimnya?"

"Aku tidak tahu. Tidak tertulis nama pengirimnya dan Theana sepertinya mendapatkannya dari orang lain, bukan pengirim aslinya.  Aku ingin kita membacanya bersama."

Ratu Westeria dan pasangannya itu bersiap membaca surat tersebut. Tapi saat membuka lipatan kertas yang ada di dalam amplop, tidak ada apa pun di sana. Tidak ada satu tetes pun tinta di atas kertas itu. Kertas itu bersih tanpa noda sedikit pun. Hanya kertas kosong yang ada di hadapan mereka.

"Tidak ada tulisan apa pun." Kata Ratu Eugene, tampak sangat kebingungan.

Tapi tidak demikian dengan Pangeran Jeffrey. Meski sudah menetap di Westeria semenjak menikahi Putri Eugene yang kini sudah menjadi Ratu, Pangeran Jeffrey tetap lah seorang Pangeran dari Nordhalbinsel. Dia sudah hidup di Nordhalbinsel cukup lama sehingga cukup mengetahui rahasia-rahasia yang ada di Kerajaan yang dikenal dengan sihirnya itu.

"Sepertinya aku tahu cara membacanya, Ratuku." Kata Pangeran Jeffrey. "Aku pernah mendengar tentang Pena Grimoire. Salah satu benda sihir peninggalan Klan Grimoire yang terkenal sebagai Klan penyihir tertua di Nordhalbinsel. Pena itu memiliki sihir yang membuat hanya orang yang diizinkan membaca surat itu yang dapat membacanya. Dan kau harus mendekatkan kertas itu ke api."

Ratu Eugene menuruti perkataan suaminya. Sang Ratu pergi menjauh dari Pangeran Jeffrey dan mendekat ke perapian di kamar itu. Api dari perapian itu menjalar dan perlahan membakar kertas di tangannya. Pengawalnya, yang diperintahkannya untuk mengawasi dari jauh, terkejut melihat api itu. Para pengawal hendak mendekat ke arah Ratu mereka untuk menyingkirkan api itu, tapi Pangeran Jeffrey mengisyaratkan kepada mereka untuk tidak melakukannya.

"Jangan mendekat. Api itu tidak berbahaya. Api itu hanya membakar sihir pada tintanya dan menunjukkan isi tulisan di kertas itu." Kata Pangeran Jeffrey, menjelaskan kepada para pengawal dengan bahasa Westernia agar mereka semua mengerti apa yang dikatakannya.

Para pengawal mengangguk patuh padanya seperti halnya mereka akan patuh jika perintah itu datang dari Ratu mereka.

Api di kertas itu tidak menyakiti Ratu Eugene dan tidak terasa panas. Ratu Eugene terkejut saat melihat kertas bersih yang dia pegang sebelumnya kini dipenuhi tulisan. Tulisan itu adalah tulisan yang sangat dia kenal karena Sang Pengirim Surat pernah menjadi teman surat-menyuratnya sejak lama. Tulisan yang sangat indah sehingga dia yakin tidak ada orang lain yang dapat menirukan tulisan tangan itu. Tulisan tangan itu adalah milik Putra Mahkota Nordhalbinsel yang dikabarkan telah meninggal dunia.

...****************...

Salam Hormat Saya kepada Yang Mulia Baginda Ratu Eugene dari Kerajaan Westeria.

Saya mendengar berita bahwa Anda baru saja dinobatkan menjadi Ratu Westeria yang baru, Saya ucapkan selamat atas penobatan Anda. Semoga Kerajaan Westeria selalu damai dan indah serta mendapat berkah dari Dewi Langit.

Mohon maafkan ketidaksopanan saya karena menulis surat ini dengan sangat terburu-buru. Saya, Putra Mahkota Nordhalbinsel, membutuhkan bantuan dari Ratu Westeria. Saya memohon agar Baginda Ratu dapat datang ke Nordhalbinsel dan memberikan dukungan serta restu kepada tunangan saya, Lady Eleanor Winterthur untuk menjadi Ratu Sementara Nordhalbinsel.

Saya harap Baginda Ratu dapat merahasiakan isi surat ini dari semua orang termasuk dari Pangeran Jeffrey. Saya mempercayai Anda.

Hormat Saya,

Xavier

...****************...

Chapter 2 : L'eau et Le Vent de L'est

Di saat yang sama...

Jauh di timur di seberang samudra, di Kekaisaran Orient, Kaisar Qin sedang bersantai bersama selir-selirnya dan dayang-dayangnya serta para wanita penari. Berbeda dengan ketiga kerajaan, Kekaisaran Orient memiliki wilayah kekuasaan terluas dengan laut yang menyimpan banyak kekayaan maritim, tanah yang sangat subur, tambang batu bara serta tambang logam mulia dan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Langit selalu cerah sepanjang tahun. Iklim tropis yang hangat dan lembap. Siang dan malam memiliki durasi waktu yang sama. Dan tidak pernah ada salju. Itulah sebabnya Orient sering disebut sebagai Tanah Surga.

Jadi siang itu, meski di tiga kerajaan lain musim semi baru tiba sehingga udara masih sedikit dingin, di Orient cuaca sangat cerah dan hangat. Kaisar menikmati minuman segar yang terbuat dari madu murni dan potongan berbagai buah-buahan yang tumbuh di Orient. Dayang-dayang yang cantik jelita mengipasinya dan memijat tubuh kekarnya yang mulai menua. Selir-selir muda belia berparas rupawan bagaikan dewi berlomba-lomba menarik perhatiannya dengan memuja-mujinya. Sementara para wanita penari berpakaian minim meliuk-liukkan tubuh elok mereka dengan lihai dan bermain mata dengannya.

Semua terlihat senang dan menikmati suasana sampai akhirnya putra kedua Kaisar, Pangeran Yi datang dengan membawa pasukannya. Para penari mendadak menghentikan tarian mereka dan menyingkir dari jalan yang dilalui Pangeran Yi dan pasukannya. Para dayang tampak kebingungan, tangan mereka yang masih sibuk mengipasi Kaisar, bergetar hebat saat melihat pasukan Pangeran Yi. Para selir menjauh sedikit, memberikan ruang bagi ayah dan anak itu untuk bicara.

Kaisar membenarkan posisi duduknya. Pangeran Yi berlutut di hadapan ayahnya, diikuti oleh pada pengikutnya yang bersujud di hadapan Kaisar. Kekaisaran Orient menganggap Kaisar setara dengan Dewa dan memujanya.

"Wahai Ayahanda, Matahari Kekaisaran, Penguasa Tujuh Samudra dan Putra Langit, Saya datang untuk menyampaikan berita yang saya dengar dari wilayah Utara." Ucap Pangeran Yi. Suaranya lantang namun tetap tenang dan penuh hormat.

Pangeran Yi sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, namun wajahnya dan tubuhnya tidak terlihat demikian. Orang-orang di Orient terkenal memiliki penampilan yang lebih muda dari usianya. Rakyat percaya hal itu karena leluhur mereka pernah meminum darah naga sehingga mereka awet muda.

"Utara? Kerajaan Musim Dingin Abadi itu? Negeri Es itu?" Gumam Kaisar.

"Benar, Ayahanda."

"Apa yang kau dengar, Putraku?"

"Saya mendengar berita bahwa Putra Mahkota dari Negeri Es itu sudah mati dan Raja mereka dalam keadaan sekarat." Kata Pangeran Yi. Dia terdengar sangat bersemangat saat mengatakannya.

"Lalu bagaimana dengan pewaris lainnya, Putraku? Bukankah Raja mereka memiliki banyak putra?"

"Pewaris lainnya adalah Putra dari seorang Penyihir, Ayahanda. Tapi saya rasa dia tidak memiliki pendukung sebanyak yang dimiliki Putra Mahkota yang telah mati itu karena Si Penyihir bukan Ratu. Raja yang sekarat itu tidak pernah mengangkat Ratu baru setelah kematian Ratunya."

Ada jeda panjang sebelum Kaisar menanggapi perkataan putra keduanya itu. Kaisar Qin adalah pria yang penuh perhitungan. Dia tidak suka menolerir kesalahan dan tidak suka membuat kesalahan. Tapi putra keduanya itu sudah pernah membuat kesalahan sebelumnya dengan gagal merebut Westeria dari Ratu Tunggal mereka. Sang Putra saat itu berdalih dengan mengatakan bahwa kegagalannya diakibatkan Sang Ratu menjalin hubungan diplomatis dengan Negeri Para Penyihir, Nordhalbinsel.

"Lalu bagaimana dengan Putri Mahkota?" Tanya Sang Kaisar. "Tidakkah mendiang Putra Mahkota memiliki anak yang kelak akan menjadi penerusnya?"

Pangeran Yi tersenyum lebar mendengar ayahnya menyebut soal Putri Mahkota. Gadis itu sudah lama dia incar, tapi tidak bisa dia dapatkan karena statusnya sebagai tunangan dari Putra Mahkota. "Hanya gelarnya saja Putri Mahkota, sebenarnya mereka belum resmi menikah, Baginda Kaisar yang Agung." Ucapnya. Kini dia mulai masuk ke inti pembicaraan. Maksud sesungguhnya dari kedatangannya dengan menghadap Kaisar. "Kudengar tunangan Putra Mahkota yang telah mati itu adalah wanita tercantik di dunia. Saya sangat penasaran dan saya ingin memilikinya, Ayahanda. Wanita itu akan menjadi wanitaku dan Negeri es itu akan menjadi milik Ayahanda jika itu yang Ayahanda kehendaki."

Kaisar kembali terdiam, berpikir. Kerajaan Nordhalbinsel memang tidak seluas Kekaisaran Orient, tidak juga subur dan indah seperti Kerajaan Westeria. Tapi Kerajaan Nordhalbinsel memiliki para penyihir yang akan sangat berguna jika dikuasai. Mereka juga memiliki kuasa penuh atas Kerajaan Schiereiland semenjak Raja Vlad membunuh Raja Edward, penguasa Schiereiland yang sebelumnya. Memiliki Nordhalbinsel artinya memiliki dua wilayah kekuasaan sekaligus, Utara dan Selatan. Jika putranya berhasil, maka wilayah kekuasaan mereka akan semakin luas dan akan lebih mudah untuk merebut kekuasaan Westeria yang selama ini berlindung dibalik militer kuat dari Nordhalbinsel.

"Baiklah." Kata Kaisar akhirnya. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Putraku? Kali ini jangan buat kesalahan seperti yang kau lakukan di Barat."

Pangeran Yi tidak dapat menahan kegembiraannya. Dia tersenyum puas saat membayangkan gadis utara yang cantik jelita itu akan berada di tempat tidurnya. Lagi pula jika dirinya berhasil menggeser posisi kakaknya dan menjadi penerus takhta ayahnya, dia lah yang akan menguasai wilayah itu. Orient, Nordhalbinsel dan Schiereiland semua akan berada di bawah kekuasaannya lalu merebut Westeria dari tangan Ratu belia mereka akan semudah merebut permen dari anak kecil.

"Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya, Baginda Kaisar. Untuk itu, kali ini saya ingin meminta bantuan dari Naga Kembar." Ucapnya.

Kaisar berjengit. Tampak jelas keterkejutan di wajahnya. Jika putra keduanya itu meminta sepuluh ribu pasukan dan dana perang, dia akan dengan mudah mengabulkannya jika itu demi mendapatkan Nordhalbinsel dan Schiereiland sekaligus. Tapi yang dimintanya adalah kekuatan yang dimiliki oleh para Naga.

Seperti halnya Nordhalbinsel, Orient juga mempercayai legenda empat Naga yang membantu Ratu Agung Zhera di masa lalu. Ada beberapa perbedaan cerita dari legenda yang dikisahkan di utara, tapi paling tidak intinya sama. Itulah sebabnya, sejak awal pemerintahan, Kaisar-kaisar di masa lampau memburu anak yang terlahir istimewa. Mereka akan menguji anak itu untuk tahu apakah anak itu adalah salah satu Naga yang terlahir kembali. Mereka bahkan akan mengumpulkan anak-anak yang terlahir dengan Mata Naga untuk mencari keberadaan Naga di seluruh pelosok Negeri. Tapi Naga bukan dianggap sebagai ancaman di Orient. Mereka dipuja sebagai sayap Kaisar untuk membuat militer mereka tak terkalahkan. Di masa pemerintahan Kaisar Qin, Sang Kaisar berhasil menemukan dua Naga, mereka adalah Naga Air dan Naga Angin atau yang dikenal sebagai Naga Kembar. Naga-naga itu dimanjakan dan diperlakukan layaknya dewa. Tapi di saat yang bersamaan, mereka juga diperlakukan sebagai senjata rahasia Orient.

"Naga Kembar? Mereka adalah abdi setiaku. Aku tidak akan mengizinkanmu menggunakan kekuatan mereka sembarangan." Titah Kaisar.

"Saya tidak akan mengecewakan Ayahanda. Saya rela dipenggal di hadapan seluruh rakyat Orient jika kali ini saya gagal. Oleh karena itu, mohon izinkan putramu ini untuk membawa Naga Kembar bersama saya." Pinta Pangeran Yi.

Kaisar baru akan angkat bicara, saat tiba-tiba dua orang pemuda dan pemudi memasuki aula Istana. Sang Pemuda adalah remaja muda berusia belasan tahun, tidak diketahui secara persis usianya karena orang-orang di Orient selalu tampak awet muda. Perawakannya langsing dan tinggi. Parasnya sangat indah sehingga orang bisa mengira dirinya adalah seorang gadis jika tidak mengenakan pakaian pria. Gerak-geriknya kalem dan pembawaannya tenang seperti air mengalir. Kulitnya putih bersih seperti kelopak bunga lotus putih. Rambutnya hitam panjang, seperti halnya gaya rambut pria bangsawan lainnya di Orient. Namun yang membuatnya berbeda adalah bola matanya. Jika biasanya orang-orang di Orient memiliki warna mata hitam, pemuda itu memiliki mata biru jernih seperti air danau. Dia mengenakan sejenis hanfu sewarna dengan matanya yang merupakan pakaian adat dari salah satu suku yang ada di Orient.

"Saya bersedia ikut ke Utara, Wahai Matahari Kekaisaran." Ucapnya. Dia menggunakan bahasa yang sama dengan Kaisar, namun dengan aksen yang sedikit berbeda karena berasal dari suku di wilayah pedesaan.

Sementara itu, pemudi di sampingnya tampak jauh berbeda darinya. Meski disebut Naga kembar, mereka tidak memiliki hubungan darah apa pun. Tapi mereka adalah saudara kembar di masa lalu. Sang Pemudi sepertinya berusia lebih muda beberapa tahun dari pemuda di sampingnya. Garis wajahnya lembut dan kulit putihnya bersemu seperti buah persik, hampir transparan sehingga pembuluh darahnya hampir terlihat. Perawakannya kecil, namun tidak terlihat rapuh. Dia memiliki wajah yang kecil dengan rambut berwarna perak yang tergerai panjang di balik punggungnya. Matanya yang bulat menatap Kaisar dan Pangeran Yi bergantian. Mata itu berwarna kelabu dingin. Dia mengenakan sejenis kimono panjang berwarna merah muda dengan bordiran bergambar naga yang merupakan pakaian adat dari suku asalnya.

Saat dia bicara, angin segar bertiup lembut ke seisi ruangan, menerbangkan kelopak-kelopak sakura yang baru saja bermekaran. "Begitu pun dengan saya." Katanya.

Saat kedua naga itu datang, semua orang bersujud pada mereka. Bahkan Kaisar membungkuk penuh hormat pada mereka.

"Shuu, Kaze, apa kalian yakin?" Tanya Sang Kaisar pada Naga Kembar.

Shuu Sang Naga Air dan Kaze Sang Naga Angin saling bertukar pandang. Mereka dapat berkomunikasi tanpa menggerakkan bibir mereka sehingga tidak ada yang tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka kemudian mengangguk satu sama lain.

"Kami yakin, Wahai Putra Langit." Kata Shuu. Senyuman lembut nan menenangkan menghiasi wajahnya.

"Kali ini putra Anda akan memberikan hal yang luar biasa baik untuk kekaisaran ini." Ucap Kaze. Matanya berkilat penuh semangat saat mengatakannya.

"Baiklah, kalau begitu. Putraku, pergilah bersama Naga Kembar dan rebut Negeri Es itu." Titah Sang Kaisar.

...****************...

Hari Rapat Pengangkatan Putra Mahkota Nordhalbinsel

"Ayah... hentikan. Kumohon." Tangis Eleanor.

"Wolfgang! Cukup! Dia adalah putramu. Satu-satunya yang akan menjadi pemimpin keluarga di masa depan."

Grand Duke Winterthur tidak memedulikan perkataan putrinya maupun istrinya. Pedangnya dan pedang milik Elias saling beradu tanpa henti. Meski sudah lama tidak memegang pedang, Grand Duke tidak kesulitan melawan putranya. Justru Elias lah yang terlihat kesulitan melawan ayahnya.

Pagi itu begitu sampai di Istana Putra Mahkota, Wolfgang Winterthur memanggil putranya untuk berduel dengannya. Mereka sudah melakukan duel pedang selama tiga jam tanpa istirahat di dalam kamar Eleanor di Istana Putra Mahkota. Eleanor memerintahkan para pengawal dan pelayan untuk pergi dari kamarnya karena tidak mau ada yang mengetahui tentang hal ini. Jika orang di luar Istana Putra Mahkota tahu bahwa Grand Duke sedang murka, mereka akan curiga dan mencari tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya.

"Jika dia memang pantas menjadi pemimpin keluarga di masa depan, seharusnya dia menjaga saudarinya dengan baik." Kata Grand Duke.

"Ayah, ini salahku, bukan salah Elias. Aku akan memperbaiki semuanya jadi kumohon hentikan."

Dengan satu gerakan, pedang milik Elias terlepas dari tangannya. Gerakan berikutnya, yang terjadi dengan sangat cepat, dapat membuat siapa pun lawannya langsung mati di tempat. Tapi gerakan Grand Duke berhenti begitu saja. Eleanor berhasil menghentikannya dengan sihir.

"Sekarang kau berani menggunakan sihirmu pada Ayahmu? Apa kau mempelajari sihir itu untuk melawan Ayahmu sendiri?" Wolfgang Winterthur tampak murka.

"Maafkan aku ayah, tapi ayah sendiri yang akan menyesal jika Elias mati di tangan ayah."

"Kita semua akan mati tepat setelah semua orang tahu bayi siapa yang ada di kandunganmu itu!”

"Bayi ini akan menjadi putra Winterthur."

"Ayahnya adalah seorang Budak Istana Utara yang hina!”

"Ayahnya adalah seorang pria yang sangat aku cintai."

"Apa cinta itu bisa membuat keluargamu bertahan hidup selama bertahun-tahun? Setelah semua yang kulakukan untuk menjaga keutuhan keluarga ini, kau menghancurkannya begitu saja karena perasaanmu yang kekanak-kanakan itu!" Wolfgang Winterthur biasanya selalu menatap lembut putrinya yang paling berharga, tapi kini, tak satu pun dari rasa kasihnya mengalahkan murka yang dia rasakan begitu tahu bahwa putrinya justru berselingkuh dari Putra Mahkota bahkan mengandung bayi dari selingkuhannya itu. "Gugurkan kandunganmu dan bersikaplah seolah tak pernah terjadi apa pun. Pilihanmu hanya ada dua, nyawa keluargamu atau nyawa anak haram itu."

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!