"Berapa uang yang harus aku ganti untuk menukar waktumu?" tanya pria itu dingin. Tanpa menatapnya dengan benar.
Jleb
Seketika sakit hati Nahla mendengar pernyataan seorang pria, yang bahkan sejak dari awal pertemuannya sampai sekitar empat bulan ini belum pernah senyum padanya. Bahkan, selalu menyapanya dengan wajah datar.
"Maaf, tapi saya tidak bisa izin sesuka hati, jika tidak penting dan mendesak," tolak perempuan itu dengan sopan. Mencoba meminta pengertiannya.
"Kamu pikir anak saya tidak penting?" tandas pria itu menatap dingin.
"Bukan begitu maksudku Pak, tapi besok saya harus mengajar, lagi pula kenapa tidak Bapak saja yang ngantar, ini kan acara putri bapak dan sifatnya penting." Bukan maksud Nahla tidak sopan, tetapi ia merasa permintaan Pak Hanan sedikit berlebihan mengingat di antara dirinya dan putrinya tidak ada hubungan selain guru dan muridnya.
"Kenapa jadi kamu yang memerintah, ini semua juga atas permintaan Icha, kalau bukan tentu saja saya akan mempertimbangkan merekomendasikan kamu sebagai pendamping Icha," jelas Pak Hanan lugas.
"Sekali lagi maaf, Pak, saya tidak bisa. Lagi pula saya hanya orang luar," tolak Nahla tak enak hati. Sedikit kesal ternyata ayah dari si cantik Icha yang manis itu benar-benar kaku dan cukup ngeyelan.
Nahla hanya seorang guru les untuk Icha. Besok ada acara study tour ke luar kota bertepatan dengan pria itu ada urusan pekerjaan dengan klien besar. Tentu saja urusan yang mendesak itu tidak bisa diwakilkan. Namun, pria itu selalu mengusahakannya untuk putrinya. Sayang sekali hari itu Icha rewel dan meminta Bu guru Nahla menemaninya.
"Apa harus menjadi orang dalam dulu baru mau berangkat?" tandas pria itu menyorot tajam.
"Maksud Bapak?" tanya Nahla tidak paham. Menelan ludah gugup ditatap sedemikian intens oleh manusia pelit senyum itu.
"Menjadi istri saya," jawabnya tenang, jelas dan yakin.
Seketika Nahla melongo di tempat. Apa katanya, istri? Yang benar saja, jadi maksudnya Pak Hanan barusan melamarnya. Tentu saja tidak mungkin, ia bahkan tidak pernah tersenyum padanya barang seulas, bagaimana bisa tiba-tiba menikah. Sungguh pria itu random sekali.
"Hehe, Bapak becanda ya. Pak, maaf, sebelumnya saya permisi dulu," pamit Nahla merasa harus mengakhiri obrolan mereka yang sedikit aneh tetapi nyata itu.
Di mana-mana orang mengajak nikah itu akan meminta dengan lembut dan anggun. Bukan seperti ngajak perang apalagi debat. Dasar pria irit senyum bin kaku.
"Berhenti! Apa perkataan saya terlihat guyonan dan lucu sampai kamu tertawa. Perlu aku hubungi kedua orang tua kamu malam ini juga untuk membuktikan perkataanku ini," ucap pria itu serius. Terlihat tidak ada keraguan di wajahnya sama sekali. Membuat seketika Nahla mengerem langkahnya.
Ini orang ngomong apa sih, serius kah? Haruskah aku mengaminkan? Rasanya tidak mungkin sekali mengingat hubungan mereka bahkan tidak dekat sama sekali.
"Izin untuk satu hari saja memang tidak bisa, haruskah aku menikahimu dulu agar kamu bersedia menemani putriku?" jelas Pak Hanan sedikit meninggikan suaranya.
Semakin tidak jelas dan menyebalkan. Mentang-mentang punya duit atau bagaimana ini.
Nahla menghela napas sepenuh dada. Kenapa terdengar serius sekali. Membuat seketika langkahnya menjadi rumit.
"Akan aku pikirkan nanti, saya permisi Pak," pamit Nahla mengangguk sopan.
Sementara Icha hanya mengintip dari dalam obrolan kedua orang dewasa itu. Gadis enam tahun itu terlihat murung.
"Bagaimana bisa memikirkan nanti, acaranya itu besok, malam ini juga seharusnya sudah ada keputusan yang membuatku tidak menunggu. Karena besok aku harus berangkat pagi-pagi sekali," ujar Hanan kembali membuat hati seorang Nahla galau.
Perempuan itu terdiam beberapa saat, harus jawab apa? Apakah harus mengiyakan saja, bagaimana dengan tanggung jawabnya besok di sekolahan.
"Berikan nomor kedua orang tuamu, sepertinya kamu perlu bukti autentik," ujar pria itu menyodorkan ponselnya.
"Untuk apa?" tanya Nahla kebingungan.
"Untuk meminta izin dan restu pada orang tuamu, kalau kita akan menikah," ucapnya tenang, santai tetapi terlihat begitu serius.
Nahla tentu saja bingung, ngobrol saja bahkan tidak pernah, kenapa sekalinya keluar suaranya mengajak nikah. Seram sekali rasanya. Walaupun itu yang diinginkan Nahla sejak dulu, tanpa pacaran langsung menikah dengan seseorang yang tepat. Apakah pria itu yang tepat?
"Baiklah, saya akan mengabari selambatnya nanti malam," ucapnya sedikit galau.
"Masukan nomor orang tuamu di sini, nanti malam terlalu lama," ucap pria itu tak mau dibantah.
Ini orang maunya apa sih! Ini masalah hati dan kehidupan, kenapa terlihat menggampangkan sekali. Dia pikir menikah itu cuma tentang mereka berdua. Sudah ngeyelan, tidak tahu aturan juga.
"Tulis, saya tidak suka menunggu terlalu lama," ujarnya cukup mendesak.
Apakah pria itu serius? Ia bahkan tidak menanyakan perasaannya apakah bersedia atau tidak. Terdengar cukup ngeyel dan sangat misterius.
"Kenapa bengong, mana ponselmu?" ujarnya menengadahkan tangannya.
"Untuk apa Pak? Saya akan usahakan izin untuk besok," ucap Nahla seperti tak ada ruang gerak untuk berpikir.
"Oke, deal, datang pagi hari sebelum pukul enam, pastikan dengan senyum bahagia selama menjaga anakku."
Nahla mengangguk paham, ia pun berniat pamit karena hari sudah sore.
"Sebaiknya pulang setelah adzan, tidak baik waktu maghrib berada di jalan!" ucap pria itu terdengar memperingatkan.
Benar juga, gegara obrolan mereka yang ngalor ngidul belum jelas, membuat waktu keduanya tersita habis. Mau tidak mau Nahla mengiyakan.
"Pa, Miss Nahla tidak jadi pulang?" tanya Icha kegirangan. Entah mengapa putrinya itu sangat menyukai dan begitu dekat dengan Nahla. Beberapa kali seorang perempuan mencoba mendekat, tidak pernah membuatnya nyaman. Kenapa dalam waktu kurang lebih empat bulan saja perempuan itu makin akrab dengan anaknya.
"Jadi, tapi nanti, ajak Miss Nahla masuk Icha!" ajak pria itu beranjak lebih dulu.
"Miss, ayo, kata papa, nggak jadi pulang, besok jadi ngantar Icha kan?" ajak bocah itu menuntun gurunya masuk.
Perempuan dua puluh tiga tahun itu mengangguk sambil berjalan. Sebelumnya Miss Nahla tidak pernah masuk ke rumahnya hingga dalam apalagi sampai kamar Icha. Perempuan itu mentok di ruang tamu atau ke belakang numpang kamar mandi jika ada perlu.
"Sayang, Icha ada mukena besar nggak? Miss pinjam," pinta gadis itu dengan lembut.
"Hmm ... sebentar Miss, Icha bilang ke papa dulu aja."
Gadis kecil itu belum sempat beranjak ketika sebuah pintu dibuka tanpa permisi. Pria itu datang, masuk lalu menaruh mukena di atas ranjang putrinya.
"Pa, kok bisa tahu kalau tadi Miss Nahla mau pinjam," ujar Icha dengan celotehnya.
Pria itu hanya menanggapi dengan senyuman, selebihnya tanpa sepatah kata pun keluar begitu saja. Nampak datar dan jutek, padahal baru beberapa menit yang lalu mengajak dirinya nikah.
Icha dan Miss Nahla sholat di kamar. Usai menunaikan jamaah, perempuan itu membantu gadis kecil itu menyiapkan beberapa barang yang akan dibawa besok. Termasuk pakaian ganti dan baju renang.
"Icha, sampai ketemu besok ya, Miss harus pulang dulu," pamit Miss Nahla sedikit kebingungan hendak pamit pulang. Sementara pria itu ke mana. Tidak mungkin juga meninggalkan bocah kecil itu sendirian di rumah.
"Ayahmu mana? Apa dia di dalam, tolong sampaikan padanya kalau miss pamit," pinta Nahla bingung juga.
Icha menurut, gadis itu terlihat mengetuk pintu kamar ayahnya lalu masuk. Tak berselang lama, pria itu keluar dengan menggendong Icha.
"Maaf Pak, mau pamit," ucap Nahla sopan.
"Biar aku antar, ini sudah malam," jawab pria itu lugas.
"Tapi kan saya bawa motor Pak," tolak Nahla benar adanya.
"Anak gadis tidak baik jalan malam-malam, silahkan jalan di depan saya, nanti mobil saya buntutin kamu dari belakang," jawabnya tenang. Hanan juga harus memastikan keselamatan perempuan itu sampai rumah.
"Ayo!" ucap pria itu lagi seakan membuyarkan lamunan sesaat Nahla.
Perempuan itu beranjak, agak tidak nyaman kala pria itu benar-benar ingin mengikuti motornya. Seperti memberikan perlindungan, pria itu menerangi jalan dengan sorot mobilnya. Mengiringi motor di depannya yang berjalan dengan kecepatan sedang.
Suasana kanan kiri memang gelap, sebelumnya Nahla juga tidak pernah berkendara malam. Hanya beberapa kali kalau memang berkepentingan sampai petang. Beruntung ada mobil Pak Hanan yang cukup membantu.
Perempuan itu menghentikan motornya tepat di ujung sebuah halaman. Nampak mobil di belakangnya juga ikut berhenti. Perempuan itu turun dari motor, menghampiri mobil Pak Hanan.
"Sudah sampai Pak, sebelumnya terima kasih," ucap Nahla sopan.
"Rumah kamu yang mana?" tanya pria itu mengamati rumah di sekitar yang berderet layaknya sebuah perumahan.
"Itu kediaman saya, terima kasih sebelumnya," ucapnya lagi.
Nahla sedikit bingung saat pria itu tak kunjung pergi menyalakan mobilnya. Malah turun seorang diri. Icha sendiri ketiduran di mobil.
"Bapak mau ke mana?" tanya Nahla kebingungan.
"Ngantar kamu," ujarnya santai.
"Sudah sampai, sebaiknya pulang," usir Nahla agak takut jika ketahuan orang tuanya.
Nampak Bapak keluar rumah, disusul ibu di belakangnya, mungkin karena mendengar deru mesin motor anaknya pulang tetapi tak kunjung masuk. Orang tua Nahla tentu saja menatap ke arah kedua manusia yang tengah berbincang itu.
"Itu orang tua kamu?" tanya Pak Hanan cukup jelas.
"Iya," jawab Nahla mengangguk. Tanpa diduga, pria itu mendekat ke arah pintu, membuat Nahla panik saja. Perempuan itu berjalan cepat menyusul pria itu.
"Selamat malam, Pak, Bu!" sapa Hanan sopan, ramah, dan full senyum. Sungguh berbeda sekali saat bertegur sapa atau berbicara dengan Nahla yang bahkan tidak pernah menatap, atau tersenyum sedikit saja.
Seingat Nahla, sampai detik ini bahkan pria itu belum pernah tersenyum padanya. Jutek, dan terlihat sedikit sombong.
"Malam," jawab orang tua Nahla kompak.
"Saya mengantar Nahla, Pak, Buk, maaf, kalau jam mengajar putri saya sampai malam," ucap pria itu ramah.
Pria itu menyapa dengan sopan, mengulurkan tangan pada Ayah dan ibu Nahla.
"Owh ... wali murid dari siswinya Nahla? Terima kasih sudah mengantar anak saya. Mari silahkan masuk dulu, kebetulan Ibu baru saja menggoreng pisang teman ngopi!"
Pak Hanan yang disuruh masuk, tetapi kenapa Nahla yang grogi. Bahkan takut kedua orang tuanya salah arti.
"Sudah malam, Pak, Bu, Pak Hanan ini sudah harus pulang, kasihan Icha sudah menunggu di mobil," ucap Nahla mendahului pria itu. Menghentikan mulut Hanan yang hampir berkedut mengeluarkan suaranya.
Perempuan itu menatap ayah dari anak didiknya dengan senyum manis tertahan. Yang diajak senyum melirik dingin.
"Benar sekali, Pak, sudah malam, lain kesempatan saja saya cicipi. Berhubung Nahla sudah pulang dengan selamat sampai rumah, saya pamit, Bu, Pak," ujarnya mengangguk sopan.
"Terima kasih sekali lagi, hati-hati di jalan!" ucap Bapak mengangguk. Mengiringi kepulangan Hanan yang beranjak pamit.
Seketika Nahla bernapas lega melihat kepulangan pria yang terlihat dingin itu. Bahkan, mulai mode kaku lagi saat berhadapan dengannya.
"Jangan lupa besok pagi, kurang dari pukul enam sudah sampai," pesan Hanan sebelum beranjak.
Nahla hanya mengangguk dalam, sedikit kesal atas sikapnya teramat tidak jelas itu. Perempuan itu mengantarnya hingga mendekati mobilnya. Baru beranjak setelah mobil melaju.
"Acie ... dianterin Mas duda!" ledek Ayah begitu Nahla mendekati pintu masuk.
"Jangan mulai Pak, Nahla capek," tegur gadis itu masuk dengan wajah lelah.
"Akhirnya kamu laku juga Ndok, Ibu pikir kamu tidak tertarik dengan pria."
Nahla menatap wajah lelah, orang tuanya kenapa konyol sekali. Menganggap Nahla tidak suka laki-laki. Bukan anti, lebih kepada tidak ingin main hati.
Balada mempunyai orang tua sedikit somplak dan gaul, sering kepo akut dengan urusan anaknya. Terutama semua cowok yang masuk, mengenalnya, atau bahkan bertamu. Semua akan Ayah ospek sampai lulus.
"Kok bisa sampai malam begini, memangnya ada les tambahan?" tanya Ibu penuh selidik.
"Hmm ... iya Bu," jawab Nahla berdusta. Tidak mungkin juga harus berkata jujur tentang ajakan nikah dan perdebatan random antara dirinya dan Pak Hanan. Bisa-bisa langsung habis diinterogasi sebelum tidur.
Tuh kan jadi bohong aku, gegara Pak Hanan ini. Bikin orang kebat kebit saja. Meresahkan sekali.
"Kok wajah kamu merona, hayo ... kalian pacaran ya?" tuduh Ibu senyum-senyum menggoda.
"His ... Ibu ini apaan sih, mana mungkin Pak Hanan suka sama saya, la wong dia itu kaya, berpengaruh, tidak mungkin," sanggah Nahla cepat. Tidak ingin membahas tentang pria itu lagi membuat Nahla berlalu ke kamar.
"Nduk, ibu belum selesai ngomong, kok ditinggalin." Ibu mengekor ke kamar. Berasa disidang dihadapkan dengan ayah dan ibu juga belum percaya.
"Beneran Ibu, Bapak, Nahla nggak pacaran, sekarang izin menutup pintu mau tidur," ujarnya sopan.
"Tunggu!" Koor kedua orang tua itu bersamaan.
"Apalagi Bu, kamu yakin dia tidak ada perasaan?"
"Ya nggak tahu, Bu," jawab Nahla logis.
"Kalau kamu suka nggak sama Pak Hanan?" tanya Bapak ikut-ikutan.
"Nggak Bu, Pak, Nahla capek mau tidur."
"Dia itu sopan sekali, beda dengan teman kamu lainnya, Bapak suka."
Haduh ... Bapak nggak tahu sopannya di depan Bapak aja. Aslinya nyebelin, nyeremin,
sombong, dan bahkan tidak pernah tersenyum.
"Bapak, Ibu, Nahla belum mau mikirin itu, lagian umur Nahla juga belum expired, jadi jangan khawatir tidak laku."
"Eh ya, besok Nahla ada acara nemenin Icha ke Lembang Park and zoo. Jadi, pagi-pagi udah berangkat," pamit gadisnya ibu berharap tidak makin heboh.
"Owh ... boleh itu, sama Pak Hanan?" sahut Ibu langsung mengiyakan.
"Tidak Bu, beliau ada acara penting jadi tidak bisa menemani Icha. Pak Hanan memintaku untuk menemani putrinya."
"Owh ... begitu," jawab Ayah dan Ibu kompak.
Perempuan itu mengusap dada lega setelah pintu tertutup. Bahkan Nahla menguncinya dari dalam agar bisa tidur nyenyak tanpa gangguan.
Rasanya perempuan itu seperti baru tertidur begitu mendapati ponselnya berdering cukup nyaring. Itu bukan suara alarm yang Nahla stel sebelum subuh. Melainkan deringan panggilan dari Pak Hanan di jam tiga dini hari.
"Astaghfirullah ... ini orang apaan sih, jam segini telpon-telpon," gumam Nahla menatap layar ponsel dengan kesal. Menggangu waktu istirahatnya saja yang masih satu jam ke depan.
Sengaja mendiamkannya karena malas, eh, tetiba malah beralih ke vidio call. Orang itu ngadi-ngadi sekali sepertinya. Jam segini vidio call? Belum juga cuci muka, bagaimana ceritanya wajahnya yang manis itu bisa terlihat masih acak-acakan.
[Angkat telpon saya, itu Icha yang mau ngomong, dia udah bangun dan nggak mau tidur lagi gegara takut kamu nggak datang]~ Papa Icha.
Nahla membuka pesan dengan perasaan enggan. Selesai membaca langsung berubah pikiran begitu mengetahui bocah kecil itu yang menghubungi dirinya. Kilat menyambar hijab untuk menutupi rambutnya yang berantakan. Peduli apa dengan wajahnya yang baru bangun tidur, langsung menyapa dengan senyum ramah.
"Iya Icha sayang, kenapa bangun sepagi ini. Jangan khawatir Miss Nahla nanti akan datang setelah subuh, sekarang Icha bisa tidur lagi," ucap perempuan itu menyakinkan.
"Beneran Miss nemenin Icha, kan?"
"Iya, iya, nanti miss pasti datang. Sekarang tutup dulu teleponnya ya?"
"Siap Miss, Icha mau bobok lagi," pamit gadis kecil itu menurut. Namun, baru beberapa detik handphone itu kembali berdering. Membuatnya mau tidak mau mengangkatnya kembali.
"Iya Icha, kenapa lagi sayang?"
"Ghem!" Suara di sebrang sana nampak seorang pria.
Mati aku!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!