"Ellaaaaaaaaa!" Teriakan itu begitu memekakan telinga.
"Astaga, Ibu!" pekik seorang gadis yang merasa terkejut. Gadis itu masih meringkuk diatas ranjang dan menutup telinga dengan bantal.
Masih jam 4 pagi, tapi Ibunya sudah membangunkan Ella dengan suara 8 oktav yang menembus sampai ke rumah tetangga.
"Dimana tutup bapper-ware yang warna biru, Ella? Yang kemarin ibu bawa. Ibu harus kembalikan." Suara itu masih terdengar keras meski tak sekeras tadi.
Ella seketika terduduk di atas ranjang. Ia menepuk keningnya setelah berdiam diri selama 5 detik untuk mengingat dimana ia meletakkan tutup benda keramat yang selalu menjadi sumber masalah diantara ia dan ibunya.
"Mamp**s! Dimana aku meninggalkannya?" gumam Ella dengan mata sayup.
"Dimana Ella? Ibu harus kembalikan."
Ella segera melompat dari atas ranjangnya. Ia membuka pintu depan rumahnya dan berjongkok di depan kursi teras. Ia melihat ke arah kolong kursi dengan menundukkan kepalanya.
"Huuh! Untung saja masih ada di sini." Ia menghembuskan nafas lega karena benda yang ia cari bisa ia temukan.
Ella mengambil benda tipis berwarna biru dan berbentuk persegi itu. Kemarin malam, Ibunya membawa ayam panggang dari rumah majikannya. Dan Ella makan di teras. Ia mengunakan tutup itu untuk meletakkan tulang ayam untuk makanan kucing.
Selesai makan, Ella meletakkannya di kolong kursi agar tulang ayam itu bisa segera dieksekusi oleh si Bricko, kucing jantan yang biasa wira-wiri di depan rumahnya.
"Ada, Bu!" Teriak Ella sambil berlari.
"Nih!" Ella memberikan benda itu pada ibunya.
"Kalau hilang, gaji ibu bisa di potong, La!"
Ella mencebikkan bibirnya. "Katanya bos ibu baik banget, tapi kok malah potong gaji ibu cuma perkara tutup bapperware doang!"
Benda itu hanya kotak untuk menyimpan makanan. Harganya juga terbilang murah versi orang kaya seperti majikan ibunya.
Kalau bagi mereka, dari pada untuk membeli wadah seperti itu, lebih baik uangnya digunakan untuk biaya hidup yang lain.
"Tapi ini sudah yang ke sepuluh, Ella!"
"Lihat mereka! Sungguh naas karena tidak punya pasangan lagi akibat ulah kamu!"
Romlah menunjuk tumpukan kotak yang tidak ada tutupnya, atau tutup yang tidak ada kotaknya di rak piring.
Sebenarnya majikannya itu tidak mempermasalahkan hal tersebut, hanya saja ia yang merasa tidak enak hati karena terlalu sering tidak mengembalikannya dengan alasan tutupnya sudah hilang.
Ella nyengir kuda. Ia memang tidak pernah menghitung berapa banyak kotak bekal yang hilang akibat ulahnya.
Ibunya suka sekali membawa makanan dari rumah majikannya dan Ella sering sekali membagikan pada anak-anak yang bermain bola di lapangan samping rumahnya.
Terakhir kali, Ella ingat, tutup bapper-ware tertinggal di halaman belakang sekolah karena ia juga sering membawa bekal dan memakannya disana.
"Ibu mau berangkat kerja, kan?" tanya Ella agar masalah ini tidak berlanjut lagi.
"Belum. Ibu masih harus memasak sarapan untuk kamu."
"Gak usah repot-repot, Bu. Ella bisa beli di warung depan. Ibu duduk aja dulu sambil menunggu jam 5."
"Ella tidur lagi, Bu," pamitnya.
Romlah memang biasanya pergi bekerja dari jam 5 pagi dan pulang setelah makan malam. Ia tidak menginap di rumah majikannya karena tidak bisa meninggalkan Ella sendirian di rumah.
Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal di luar kota sementara suaminya sudah meninggal sejak Ella masih berusia 5 tahun.
"Jangan lupa, cuci baju dan sapu lantai, La."
"Beres, Ibu. Biasanya juga begitu!"
Ella, nama lengkapnya adalah Putri Cinderella. Bukan seperti cerita dongeng yang hidup bersama ibu tiri dan kedua saudara tirinya, tapi Ella hanya hidup berdua dengan ibunya.
Ella punya Abang bernama Gatot Prakoso. Entah mengapa Romlah- ibunya mendapat ide untuk memberi nama pada mereka dengan memakai nama tokoh dalam sebuah cerita dongeng.
Yang pasti, Ella selalu protes dengan namanya yang tidak sesuai dengan jati dirinya. Ia juga tidak ingin menjadi gadis miskin yang kelak akan dicari dan dipersunting oleh pangeran karena ia meninggalkan sebelah sepatu kacanya.
Ella hanyalah seorang siswa SMA yang akan lulus tahun ini. Ia hanya beruntung karena mendapatkan beasiswa untuk bisa bersekolah di SMA Cahaya Bangsa yang hampir seluruh siswanya adalah anak orang kaya.
Saat tiba di sekolah, Ella mendapati sebuah buku latihan matematika milik seorang terletak diatas mejanya.
"Ratu Admajaya," gumamnya saat membaca nama pemilik buku itu.
"Kerjakan soal nomor 3 dan 5!" perintah gadis bernama Ratu yang kerap kali membuat Ella repot. Ratu selalu meminta Ella dengan sedikit memaksa agar mau mengerjakan sebagian tugas yang tidak bisa gadis itu cari jawabannya.
"Mau tidak?" tanya murid yang sedang berdiri disampingnya dengan melipat tangan di dada.
Ella mengangguk. "Akan ku kerjakan. Tunggu saja di kursi kamu."
Ella memberikan buku milik Ratu beberapa menit kemudian. Ia berjalan ke meja Ratu, tepatnya dua meja di belakang mejanya.
"Hei, Cinderella!"
Ella melihat ke asal suara. Seorang pria berseragam rapi dan duduk di meja paling pojok tengah menatapnya tak suka.
"Mulai besok, kamu tidak perlu mengerjakan tugasnya!"
Ratu seketika mendengus kesal. Murid bernama Prince itu merupakan murid paling disegani karena merupakan putra pemilik sekolah ini.
"Dia tidak keberatan, Prince!" balas Ratu dengan nada manja. Gadis itu memang menaruh hati pada laki-laki bernama Prince itu.
"Lagi pula, salahnya juga yang tidak mau ku ajak belajar bersama. Jika dia mau, dia pasti bisa mengajariku!"
"Padahal aku juga menawarinya untuk menjadi guru privatku, Prince. Dia kan pasti sangat butuh uang karena gaji ibunya pasti tidak akan cukup untuk biaya hidup mereka."
Ella memutar bola matanya. Entah kapan Ratu mengajaknya belajar bersama.
Sok manis! Seandainya dia bukan anak dari orang yang berpengaruh di sekolah ini, mungkin aku tidak akan mau menuruti perintahnya. Sayangnya, dia adalah anak kepala sekolah yang bisa dengan mudah membuatku hengkang dari sekolah ini hanya karena sebuah masalah kecil.
"Hei, Cinderella!" Prince tidak menanggapi pandangam genit yang Ratu tunjukkan padanya. Ia malah kembali memanggil Ella yang sudah duduk di kursinya.
"Apa lagi, Prince!" Ella kesal.
Prince memang bukan temannya. Mereka bahkan jarang bicara. Bukan karena pria itu sombong, tapi ia yang lebih memilih untuk tidak punya teman akrab. Baginya, di kelas ini tidak ada murid yang memiliki kasta setara dengannya.
"Jika sekali lagi aku melihatnya. Maka aku akan bertindak!"
"Dibu-lly, tapi tidak melawan!" gumam Prince yang tampak kesal.
Ratu memang sering merundungnya, menghinanya secara halus hanya untuk menunjukkan kalau Ella berbeda dari murid lainnya.
Bukan tidak bisa melawan, Ella hanya tidak ingin. Karena melawan berarti memancing keributan dan akan membuatnya tersandung masalah.
Tinggal satu semester lagi. Aku harus bisa bersabar agar beasiswa untuk kuliah masih bisa ku dapatkan.
Ella hanya ingin mengubah nasib keluarganya. Bersekolah setinggi mungkin dengan memanfaatkan prestasinya. Setidaknya ia bisa menjadi sarjana dan medapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Ia lelah dihina, ia lelah dipandang rendah karena pekerjaan ibunya hanyalah seorang asiaten rumah tangga.
Prince menutup pintu mobilnya dengan kasar dan segera masuk ke dalam rumah. Yang pertama ia cari bukan ayah atau bundanya. Tapi, asisten rumah tangga yang bertugas mengurusnya saat bundanya tidak ada di rumah.
"Bu, tolong ambilkan jus jeruk!" pinta Prince yang langsung duduk di meja makan.
Seorang wanita berusia 50an tahun mendekat dan meletakkan segelas jus jeruk di depannya.
"Ini, Mas."
Wanita itu berbalik setelah melihat Prince tidak memberi perintah apapun lagi.
"Katakan padanya untuk melawan saat ditindas."
Ucapan Prince membuat asisten rumah tangganya itu berbalik. "Maksudnya apa, Mas?" Romlah tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Prince.
"Katakan pada anak Ibu kalau dia tidak perlu takut untuk melawan." Prince sengaja mengadukan hal ini pada Romlah karena ia sudah bosan melihat Ella terus saja mengalah.
"Semua murid di sekolah itu sama. Gak ada yang berbeda. Jadi, dia gak perlu takut, Bu."
"Di-dia diganggu lagi?" tanya Romlah yang merasa khawatir pada putrinya.
Ella memang tidak pernah cerita padanya kalau putrinya itu sering mengalami hal buruk saat di sekolah. Romlah hanya selalu mendengar cerita Prince yang selalu kesal pada Ella yang selalu diam saja saat diganggu.
"Dia tidak pernah cerita pada ibu, Mas."
Prince tersenyum miris. "Hanya karena mengejar beasiswa dia mengorbankan perasaannya."
Romlah merasa begitu terpukul. Menurutnya, apa yang Prince katakan memang benar, Ella terlalu memaksakan diri untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah.
"Dia takut dikeluarkan dari sekolah, padahal dimana pun ia sekolah, ayah akan tetap membiayai pendidikannya, Bu."
"Ella bukan gadis yang akan menerima pemberian orang lain tanpa memberikan balasan, Mas," jawab Romlah yang mengenal betul siapa putrinya.
"Ella pasti memikirkan nilai dan prestasinya yang tidak boleh merosot. Sesuai dengan apa yang sudah ia janjikan pada Bapak."
Ya, sebagai ucapan terima kasih atas niat Rion-ayahnya Prince, Ella menjanjikan bahwa prestasinya tidak akan turun. Ella berjanji akan belajar lebih giat lagi untuk meraih juara umum.
"Tapi, saya akan coba bicara padanya, Mas."
Prince Altair Danadyaksa, anak kedua dari pasangan Orion Danadyaksa dan Bintang Alkhaleena. Dia memang pendiam dan lebih tenang dalam menyikapi segala masalah. Tapi, kesabarannya ada batasnya. Ia paling tidak suka jika ada penindasan dan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan didepannya.
"Ratu menghubungi bunda, Prince."
Prince seketika menatap wajah Bintang yang duduk tepat di depannya. Mereka baru saja selesai makan malam.
"Sepertinya bunda semakin akrab dengannya," balas Prince dengan nada dingin.
Bintang tersenyum kecil. "Bukan begitu, Nak. Dia hanya mengirimkan pesan chat kalau katanya kamu cuek padanya hari ini."
"Berlebihan," gumam Prince tak suka. Gadis itu selalu mencari perhatian dengan menghubungi bundanya.
"Kamu sama dia gak pacaran kan, Nak?" tanya Bintang.
"Ya gak lah, Bun!" balas Prince. "Mana mungkin aku pacaran sama dia."
"Prince, jangan kesal sama bunda, dong! Bunda kan cuma nanya." Rion membuat Prince diam.
"Sayang, aku sedang bicara dengannya. Biarkan saja kalau dia mau meluapkan kemarahannya. Aku mau lihat."
"Bunda, please! Ini yang terakhir kali bunda membahas Ratu."
"Abaikan saja chatnya. Dia bukan siapa-siapaku."
"Justru bunda senang kalau kamu belum pacaran dan gak memikirkan untuk pacaran dulu."
"Bereskan sekolah dulu, baru fikirkan pacaran."
"Aku gak akan kasih restu sebelum aku punya pacar." Queen akhirnya ikut bicara. Anak pertama yang sudah berusia 22 tahun itu bahkan belum punya pacar.
Prince tersenyum mengejek. "Siapa yang mau dengan gadis kaya dan smart seperti kakak, kak?"
"Cowok-cowok udah pada down duluan!"
Queen mengangguk pelan. "Kadang kaya juga gak menjamin kita bahagia, Prince."
"Kamu benar, saat kenalan sama cowok dan aku menyebut mana Danadyaksa, seketika mukanya langsung berubah."
"Belum apa-apa udah takut duluan," ucap Queen sambil tertawa.
"Huuust!" Bintang menengahi obrolan kedua anaknya itu. "Kalian gak boleh berfikir seperti itu. Harusnya kalian bersyukur karena hidup dalam kemudahan ."
"Kita gak kekurangan secara materi. Kita juga punya waktu untuk berkumpul."
"Ada banyak orang yang kehidupannya masih kekurangan, Nak. Harusnya kalian tahu itu!"
"Jodohin Queen sama CEO dong, ayah!" pinta Queen seperti orang yang kehilangan harapan.
Rion tertawa. "Yang lebih kaya dari kita banyak. Tapi, sumber kekayaan mereka tidak banyak orang tau."
"Sedangkan kita, perusahaan menggunakan nama Dandyaksa sehingga orang-orang tahunya kita adalah pemiliknya."
"Tapi kan memang kita pemiliknya, ayah!" sahut Queen tertawa.
"Iya, tapi kan masih ada hak orang lain disana."
"Siapa?"
"Ya siapa aja. Terserah ayah mau memberikan pada siapa." Rion tertawa membuat kedua anaknya kesal.
"Seandainya kalau kami berjodoh dengan seseorang yang tidak setara dengan kita, bagaimana ayah?"
Semua orang seketika menatap Prince yang bertanya dengan serius membuat mereka merasa curiga.
"Kenapa pertanyaan kamu kayak begitu, Prince? Kamu naksir cewek?" tanya Queen penasaran.
Prince kelabakan. "Ya, ya kan aku cuma nanya, Kak!" balasnya gugup. "Pertanyaanku gak salah, kan ayah?"
Rion menggeleng. "Gak salah, Prince."
"Yang menjadi syarat utama selain satu keyakinan adalah orang itu membuat kalian semakin dekat dengan keluarga dan menjadikan kalian orang yang lebih baik lagi."
"Tidak masalah dia miskin. Tidak masalah tidak punya rumah, asalkan mau bekerja dan tidak malas, terutama untuk kamu Queen."
"Ayah dan Opa tidak serta merta mendapat warisan dan ongkang-ongkang kaki di rumah."
"Kami juga memeras keringat dan bekerja siang malam untuk bisa memajukan perusahaan."
Sementara itu, di rumah Ella juga sedang terjadi perdebatan sengit antara ibu dan anak.
"Prince kesayangan ibu itu mengadu apa?" tanya Ella tak suka. Sejak dulu ia memang merasa ibunya begitu menyayangi Prince. Ella terkadang merasa cemburu karena memang sejak kecil Ibunya sudah bekerja disana dan mengurus Prince semantara dirinya tinggal di rumah bersama kakak laki-lakinya.
"Dia gak mengadukan apapun, Ella!" Marah Romlah karena Ella berkilah mengenai perlakuan Ratu padanya pagi tadi.
"Dia cuma kecewa karena kamu hanya diam saja saat disuruh-suruh."
"Bu, Aku bukan dia. Dia bisa melawan siapapun. Bahkan gak ada yang berani melawannya apalagi membuat masalah dengannya."
"Kalau aku seberani dia. Kalau aku menantang murid disana, yang ada aku yang akan dikeluarkan dari sekolah, Bu!"
"Sekarang, ibu istirahat aja. Gak perlu memikirkanku. Aku bisa mengatasi semua masalahku sendiri, Bu!" ucap Ella tegas.
"Ibu bekerja saja dan jangan dengarkan ocehan Prince lagi."
Ella masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk di meja belajarnya. Mengacak rambutnya dan menenggelamkan wajahnya diantara kedua tangannya.
Apa selama ini Prince selalu mengadukan semua hal yang terjadi padaku di sekolah? Kenapa dia terlalu peduli? Dan Ibu, dia malah percaya omongan Prince begitu saja.
Prince, sebenarnya kamu mau apa? Menyuruhku melawan, kamu fikir punya pengaruh apa di sekolah?
Anak-anak lain tidak tahu kalau Ibu bekerja jadi ba-bu di rumah kamu saja aku sudah sangat bersyukur.
"Kerjakan tugasku!"
"Dan jangan sampai Prince tahu!"
Ella memegang buku latihan milik Ratu yang sengaja diletakkan dengan kasar ke dadanya. Ia menghela nafas berat karena Ratu masih melakukan hal yang sama namun kali ini dilakukan tidak di depan Prince.
"Tugasku juga belum selesai," jawab Ella sambil memberikan kembali buku milik Ratu.
"Kamu jangan coba-coba membohongiku," gumam Ratu dengan merapatkan kedua bibirnya.
"Untuk apa aku berbohong. Aku memang belum menyelesaikannya."
Ratu marah dan wajahnya mulai memerah. Ia tak percaya kalau Ella yang pintar itu belum menyelesaikan tugasnya. Dan ia tak suka gadis itu tidak lagi mau menuruti perintahnya.fñ
Ia menarik Ella ke belakang gedung sekolah. "Kalian awasi situasi!" perintah Ratu pada kedua temannya yang bernama Lyla dan Cleo.
Ella mengikuti langkah kaki Ratu yang menarik ujung lengan bajunya. Setelah mereka berada di belakang gedung sekolah, Ratu melepaskannya begitu saja.
Ratu menggosokkan kedua tangannya seolah baru saja menyentuh benda yang menjadi kotor.
"Kamu jangan coba-coba membohongiku! Atau aku akan mempermalukanmu di depan murid-murid lain." Ratu mengancam dengan mendorong bahu Ella sehingga tubuhnya terhuyung ke belakang.
Ella memperbaiki letak kaca matanya dan poni yang menutupi keningnya. Untung saja rambutnya yang panjang itu ia kucir kuda sehingga tidak perlu khawatir akan terlihat berantakan.
"Periksa saja jika tidak percaya."
"Oh! Mulai berani ternyata!"
"Jangan besar kepala karena Prince membela kamu! Dia hanya kasihan." Ratu menatap remeh.
"Berikan buku latihan milikmu!" Ratu menengadahkan telapak tangannya di hadapan Ella.
Cuit! Cuit!
Mereka mencari suara siulan yang baru saja terdengar. Dan keduanya melihat seorang murid perempuan berjalan mendekat. Mulutnya terus bergerak karena mengunyah permen karet.
Ratu membulatkan matanya saat menyadari gadis itu adalah El Nara Putri Alvarendra. Yang tak lain dan tak bukan adalah sepupu Prince.
"Nara ..."
"Se-sedang apa kamu disini?" tanya Ratu sedikit gugup. Selama ini, Ratu selalu bersikap manis di depan keluarga Prince.
"Terserah padaku mau melakukan apa. Tidak ada urusannya denganmu." Nara berdiri di samping Ella. Ia melihat wajah Ratu yang terlihat panik.
"Kenapa mukanya panik, Kak?" tanya Nara sengaja membuat Ratu salah tingkah.
"Ya elaaaah! Santai aja kaliiiii!" Nara mendorong bahu Ratu sama seperti yang Ratu lakukan pada Ella tadi.
"Aku gak akan ngadu ke Pak Faisal, kok! Tenang saja!" Nara tersenyum licik. Ia menyebut nama kepala sekolah yang merupakan ayahnya Ratu.
"Lain kali, permalukan dia di depan umum!" bisik Nara sambil menyeringai.
Supaya aku bisa memberikan pelajaran paling berharga untuk tukang tindas seperti kamu. Lanjut Nara dalam hatinya.
"Kamu mendukungku?" tanya Ratu tak percaya. Dalam keluarga Prince, Nara adalah salah satu anak yang paling usil, jahil, tidak bisa diam dan akalnya sangat banyak.
Nara mengangguk. "Sekarang pergilah! Karena aku sedang janjian dengan Prince untuk bertemu di sini!"
Ratu membulatkan mata. Prince tidak boleh melihatnya bersama si Cinderella cupu ini di belakang sekolah atau pria pujaannya itu akan berburuk sangka padanya.
"P-Prince akan kesini?"
Nara mengangguk. "Cepat pergi!" Nara melihat jam tangannya. "Dia akan sampai beberapa menit lagi." Padahal Nara sedang berbohong. Untuk apa ia bertemu dengan Prince kalau dia bisa bertemu pria itu di rumahnya.
Ratu segera keluar dari tempat itu. Di belakang gedung sekolah itu terdapat taman kecil yang jarang di datangi murid-murid saat masih pagi begini. Karena biasanya jam-jam seperti ini murid-murid sedang berada di kelas, parkiran atau kantin sekolah.
Nara memanjangkan lehernya untuk memastikan kalau Ratu sudah menjauh.
Nara menatap tajam ke arah Ella yang menunduk. Nara tahu betul siapa Ella. Di sekolah ini, hanya dia dan Prince yang tahu siapa orang tua Ella sebenarnya.
Bahkan Ratu saja tidak tahu kalau ibunya Ella adalah salah satu asisten rumah tangga di rumah Prince.
"Susah banget buat ngelawan dia?" tanya Nara mengejek Ella.
"Sesekali balas, dong Kak!" ucapnya kesal. "Apa perlu ku ajarkan ilmu bela diri?" tanyanya.
Ella menggeleng. "Aku hanya tidak ingin."
"Terserah!" Nara berdecak kesal.
"Jika tidak bisa memu-kul dengan keras, tarik saja rambutnya yang seperti ekor kucing anggora itu." Nara mengajari Ella untuk menjadi pre-man sekolah.
"Aku bukan kamu, Nara!"
"Kita sama, Kak!"
"Beda Nara."
"Sama Kak. Aku memang keponakan Om Rion, tapi kakak ingin lihat berapa banyak surat cinta dari sekolah ini yang dikirimkan pada orang tuaku?"
Ella menahan senyumnya. Nara selalu membuat masalah, tapi dia tidak pernah dikeluarkan dari sekolah ini.
Nara pernah membuat sudut bibir murid laki-laki berdarah dengan kepalan tangannya hanya karena bersiul menggodanya yang saat itu sedang berjalan ke kantin.
Nara pernah menyiram murid yang sedang pacaran di belakang sekolah dengan air. Dan ada banyak kelakuan anti mainstream yang gadis itu lakukan.
"Tidak ingin, kan?"
"Mamaku saja sampai bosan keluar masuk ruangan kepala sekolah, kak. Papaku sampai tidak mau datang lagi."
"Tapi aku tidak menyesal karena aku merasa bahagia. Tidak ada yang berani menindasku dan berbuat semaunya padaku."
"Iya ... iya ..." jawab Ella malas menanggapi ocehan Nara.
"Datang ke rumahku sore ini. Akan ku ajari caranya memukul samsak!" Nara mengerling dan berlari meninggalkan Ella.
"Aku ke kelas dulu! Aku lupa kalau hari ini jadwal piketku."
Ella tertawa. Ia berjalan keluar dari tempat yang tidak terlalu luas itu karen terhimpit oleh gedung sekolah dan pagar pembatas.
Ella mundur selangkah saat tubuhnya hampir menabrak tubuh seorang murid laki-laki.
Ia tidak perlu melihat wajahnya karena name tag di seragam itu cukup membuatnya deg-degan.
Prince Altair Danadyaksa.
"Liat ke depan! Kamu gak akan menemukan uang koin di bawah sana, Cinderella."
"Atau sepatu kacamu hilang sebelah!" Prince tertawa kecil.
Ella menghela nafas. Ia menatap wajah Prince. Pemuda yang berhasil mendapat perhatian lebih dari ibunya bahkan disaat pria itu masih kecil dulu.
Prince tersenyum tanpa menunjukkan giginya. "Jangan takut menatap siapapun, karena semakin kamu percaya diri, maka semakin tidak ada yang berani berbuat sesukanya padamu."
Ella menggeser tubuh dan melangkahkan kakinya. Tapi, Prince ikut bergeser sehingga tubuh Ella kembali hampir menabrak tubuh pria itu.
"Kamu mau apa, Prince!"
"Berjanjilah untuk tidak bersikap seperti gadis lemah!"
Ella membuang muka. "Akan ku usahakan!"
"Terserah! Yang penting aku sudah memberi tahumu. Ratu semakin hari menjadi-jadi. Dan kamu semakin lemah."
"Kemarin tugas. Sekarang tugas lagi. Besok mungkin dia akan memintamu membersihkan sepatunya."
Tenyata Prince tahu apa yang Ratu lakukan padanya beberapa menit lalu.
"Dia tidak akan berani."
Prince menyeringai. "Dia bukan kamu, Ella."
Ratu bukan gadis yang bisa berfikir panjang untuk menimbang dan memikirkan resiko dari perbuatannya. Dia akan melakukan apa yang ada di otaknya saat itu juga.
Prince membiarkan Ella pergi untuk segera masuk ke dalam kelas. Jam pelajaran memang akan segera di mulai.
Prince tak akan kenal lelah untuk membuat Ella mengerti kalau diamnya gadis itu malah akan semakin membuatnya diperlakuan tidak baik.
Sekolah ini memang milik orang tuanya. Tapi, ia juga tidak bisa asal melaporkan perbuatan Ratu tanpa bukti.
Dan dia juga tidak membenarkan adanya perundung-an terhadap salah satu murid yang dilakukan oleh murid lainnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!