Bagi Lea Miranda-ibu rumah tangga yang berusia 37 tahun, menjadi wanita yang sempurna adalah dengan menjadi ibu dan istri yang baik. Oleh karena itu, ia yang dulunya bekerja sebagai manager di perusahaan Swasta, memilih resign setelah melahirkan anak keduanya keduanya.
Lea sadar, pekerjaannya itu membuat ia hanya memiliki sedikit waktu untuk suami dan anak-anaknya. Alhasil, ia pun melepaskan karirnya, demi keluarga kecil yang sangat ia cintai.
"Selamat pagi, Sayang." Lea menyapa anak-anaknya yang kini datang berlari ke dapur.
"Selamat pagi, Ma!" Kedua anaknya itu menjawab dengan serempak, membuat Lea terkekeh.
"Darrel, bantu adikmu cuci tangan," pinta Lea pada putra sulungnya yang berusia 10 tahun itu.
"Iya, Ma," sahut Darrel. Ia pun membawa adiknya yang bernama Jihan itu, gadis mungil yang kini berusia 4 tahun.
Lea membantu Bibi menyiapkan sarapan untuk keluarganya, kemudian suaminya datang, menyapanya dengan manis dan memberikan kecupan singkat di pelipis sang istri.
"Mas Arya kira-kira pulang jam berapa nanti?" tanya Lea sembari menyajikan sarapan ke piring suaminya.
"Malam ini sepertinya aku akan lembur, Sayang," kata Arya sembari duduk di kursinya.
Lea tampak kecewa mendengar jawaban sang suami, tapi ia mencoba memakluminya.
Arya Wiguna, suaminya yang berusia 39 tahun itu kini menduduki posisi sebagai Direktur di sebuah perusahaan swasta, di mana dulu Lea juga bekerja di sana. Baru enam bulan yang lalu sang suami diangkat menjadi Direktur, dan itu membuat mereka semua sangat bahagia.
Darrel kini bergabung di meja makan, begitu juga dengan Jihan yang kini bisa naik ke kursinya sendiri. Lea juga menyajikan makanan ke piring mereka.
"Habiskan, ya!" serunya, Darrel dan Jihan mengangguk.
"Kenapa kamu nggak mau menyuapi Jihan aja, Sayang? Dia makannya selalu berantakan," ujar Arya yang melihat putrinya itu makan sampai belopotan ke mana-mana.
"Nggak apa-apa, Mas, biar nggak manja dan belajar mandiri," pungkas Lea.
Meskipun mereka mampu untuk membayar baby sitter, tapi Lea enggan menggunakan jasa itu. Lea ingin mengurus anak-anaknya dengan tangannya sendiri.
Meskipun di rumah mereka juga ada pembantu, tapi untuk mengurus keperluan Arya, Darrel dan Jihan, selalu Lea lakukan sendiri.
"Pa, apa minggu ini kita akan jalan-jalan?" tanya Darrel sembari menatap sang Ayah. "Minggu lalu kita sudah nggak jadi jalan-jalan karena Papa sibuk." Lanjutnya dengan wajah yang merengut.
"Nanti Papa usahakan, ya," sahut Arya.
"Akhir-akhir ini Papa selalu sibuk," lirih Darrel lagi.
"Papa bekerja, Sayang," seru Lea dengan cepat. "Dan hasil kerja Papa juga untuk kita, jadi Mama harap, Darrel mengerti."
Lea menghela napas berat sembari melirik sang suami, ia pun dapat merasakan akhir-akhir ini suaminya memang selalu sibuk. Berangkat pagi-pagi sekali, dan pulang saat malam sudah begitu larut. Namun, Lea mengerti jika sekarang suaminya pasti lebih sibuk dari sebelumnya karena pangkatnya di kantor juga lebih tinggi.
Setelah sarapan, Lea mengantar sang suami sampai ke mobilnya, rutinitas setiap hari yang tidak akan ia lewatkan.
"Jika bisa ...." Lea berkata sembari membenarkan dasi sang suami. "Tolong usahakan ada waktu untuk anak-anak akhir minggu ini, kasihan mereka, Mas."
"Iya, Sayang, aku janji akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat mereka senang." Arya mengusap kepala sang istri kemudian mencium keningnya. "Aku berangkat dulu."
Lea menatap kepergian sang suami dengan wajah sendu, setelah itu ia kembali ke dapur, ia menatap putrinya itu yang masih belum selesai makan.
"Masih lama, Dek?" tanya Lea sembari mengelap pipi Jihan.
"Udah," jawab Jihan.
"Kalau begitu tunggu sebentar, setelah ini kita mandi." Jihan mengangguk.
Sementara Lea kini menyiapkan bekal Darrel untuk di bawa ke sekolah, setelah itu ia ke kamar putranya itu untuk memeriksa apakah dia sudah siap atau belum.
"Semua bukunya sudah dimasukin ke tas, Darrel?" tanya Lea.
"Sudah, Ma," jawab Darrel yang kini memasang sepatutnya.
Lea memeriksa tas Darrel. "Kamu lupa bawa kamus," kata Lea, ia pun mengambil kamus bahasa inggris dari laci kemudian memasukkannya ke dalam tas Darrel.
Setelah semuanya siap, ia pun segera mengantar Darrel ke sekolahnya.
Selama dalam perjalanan, Darrel kembali menyinggung ayahnya yang sangat sibuk akhir-akhir ini.
"Rasanya aku sampai lupa kapan terakhir kita jalan-jalan," lirih Darrel sedih.
"Akhir minggu ini kita akan jalan-jalan, Mama janji," ucap Lea meyakinkan
"Beneran?" Darrel menatap ibunya penuh harap, dan Lea langsung mengangguk pasti.
Setelah mengantar Darrel, ia segera pulang untuk mengurus Jihan.
Mengurus anak bukanlah sesuatu yang mudah, tapi Lea sangat menikmati perannya itu. Ia menikmati setiap detik ia yang habiskan untuk mengurus Darrel dan Jihan, meskipun terkadang mereka membuatnya kesal, emosi dan sebagainya.
Teman-teman Lea juga banyak yang menyayangkan keputusannya yang berhenti bekerja, apalagi Lea adalah wanita yang cerdas, pekerja keras dan semua orang menyukainya. Maka dari itu, tidak sulit baginya meraih posisi sebagai manager di tempatnya bekerja dulu.
Lea sama sekali tidak menyesali keputusannya yang berhenti bekerja demi menjadi wanita yang lebih sempurna, yaitu menjadi Ibu rumah tangga.
Setelah mengurus Jihan, kini Lea membersihkan kamar anak-anaknya, setelah itu ia membersihkan kamarnya sendiri.
"Kamu nggak berubah ya, Mas." Lea tersenyum saat melihat foto pernikahannya dengan sang suami, di mana mereka berdua tersenyum sangat lebar dengan mata yang berbinar di foto itu.
Saat itu, Arya hanya lah karyawan kontrak di perusahaan yang sekarang. Tapi Lea tidak mempermasalahkannya, ia dengan begitu setia menemani sang suami merangkak dalam karirnya maupun hidupnya dari nol sampai ke titik yang sekarang.
Lea mengambil ponselnya kemudian menghubungi sang suami, tapi tak ada jawaban. "Apa dia masih sangat sibuk?" gumamnya.
Ia pun mengirimkan pesan pada suami tercintanya itu.
"Kamu mau aku anterin makan siang, Mas?"
...🦋...
Sementara di sisi lain, Arya hanya melirik ponselnya yang menyala, sebelum akhirnya seorang wanita yang duduk di pangkuannya menangkup pipi Arya, memaksa pria itu menatapnya saja.
"Dia bersamamu hampir 24 jam di rumah," ujar wanita itu. "Jadi, fokus sama aku aja saat aku di kantor,"
Arya terkekeh sebelum akhirnya mengecup sudut wanita yang merupakan kekasih gelapnya itu. "Iya, Sayang, maaf."
"Kamu wangi, Chealse." Arya memuji wanita yang masih duduk dipangkuannya. "Aku jadi makin nyaman sama kamu, Sayang."
Seketika Chealse terkekeh, ia semakin bergelanyut manja pada suami orang itu. "Setiap hari, aku dandan dan pakai parfum itu cuma buat kamu, Mas," kata Chelsea dengan santainya. "Cuma buat kamu."
"Aku tahu." Arya kembali menarik wajah Chealse, ingin kembali mencumbu bibir wanita itu untuk melepaskan rindunya. Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Membuat Arya langsung mendorong Chealse turun dari pangkuannya.
Chelsea merengut, tapi Arya langsung memberinya kecupan singkat di bibir wanita itu, kemudian ia berkata, "Tunggu aku nanti sore."
Tentu saja Chelsea langsung mengangguk sambil tersenyum sumringah.
"Masuk!" teriak Arya pada seseorang yang mengetuk pintu.
Asisten Arya yang bernam Ruby ity masuk, dan ia menatap Chelsea penuh curiga, apalagi ini bukan pertama kalinua ia memergoki Chelsea ada di ruangan Arya.
Namun, Chelsea dan Arya bersikap seolah mereka sedang membicarakan pekerjaan.
"Terima kasih, Pak Arya, ini sangat membantu," kata Chealse sembari mengedipkan matanya pada sang kekasih.
"Sama-sama," jawab Arya. "Oh ya, ada apa, Ruby?"
"Ini laporan yang Pak Arya inginkan, sudah saya kerjakan semua, Pak." Ruby memberikan sebuah berkas pada Arya yang langsung diperiksa oleh pria itu. Sementara Chelsea yang bekerja di bagian administrasi itu kini kembali ke meja kerjanya.
Sebelum memulai kembali pekerjaannya, Chelsea menyalakan ponsel dan terlihat wallpaper di ponsel itu adalah foto dirinya dan Lea.
Ia membuka pesan yang juga datang dari Lea.
^^^Lea^^^
^^^"Aku akan mengantar makan siang untuk Mas Arya nanti, Cheal, kamu mau dibawakan juga?"^^^
Seketika raut wajah Chealse berubah mendung, tatapannya pun begitu sayu.
Lea, dia adalah sahabatnya sejak masa kuliah dulu. Mereka selalu bersama, bahkan tak jarang juga sering pergi liburan bersama.
Mereka berdua juga melamar di perusahaan yang sama, tapi sepak terjang Lea jauh di atas Chelsea.
Lea dan Chealse juga menikah di tahun yang sama, tapi sayang sekali pernikahan Chelsea hanya berlangsung selama dua tahun karena suaminya melakukan KDRT.
Lea selalu jauh lebih beruntung dari Chelsea, dan itu membuatnya merasa iri.
Sebenarnya ada rasa bersalah dalam hatinya karena ia telah bermain dengan suami Lea di belakang sahabatnya itu, tapi setiap kali Chealse teringat bagaimana Lea hidup nyaman, ia merasa tak masalah jika hanya menjadi selingkuhan Arya. Lagi pula, baginya tidak ada yang salah dengan cinta mereka.
Me
"Nggak susah, Lea,"
Setelah mengirim pesan itu, Chealse kembali fokus pada pekerjaannya.
...🦋...
Saat jam makan siang tiba, Lea menjemput Darrel dari sekolah, setelah itu mereka langsung ke kantor Arya.
Sesampainya di kantor, Lea langsung disapa dengan hangat oleh teman-teman kerjanya yang dulu. Termasuk Ruby, teman Lea yang kini menjadi sekretaris Arya.
"Penampilannya nggak pernah berubah ya, Bu, meskipun sudah jadi emak-emak dengan dua bocil super," kekeh Ruby.
Seketika Lea ikut tertawa.
Penampilannya memang tidak berubah, meski ia sudah memiliki dua anak dan sebentar lagi akan memasuki usia kepala empat. Lea tetap menjaga penampilannya.
"Kalau sudah tuaan dikit kayaknya akan berubah," sahut Lea. "Oh ya, Mas Arya ada di ruang kerjanya, kan?"
"Iya, masuk aja." Ruby mempersilakan dengan mudah. "Suamimu pasti senang tuh didatangi anak istri." Lea kembali tertawa kecil, setelah ia ia masuk ke ruang kerja sang suami.
Sementara dari kejauhan, Chelsea memperhatikannya dengan tatapan nanar.
Hatinya seperti sesak melihat senyum lebar Lea, apalagi saat wanita itu berbicara tentang Arya, Chealse merasa cemburu.
Sementara itu, Arya langsung menyambut istri dan anak-anaknya itu dengan hangat. Bahkan, ia langsung mencium Lea, seolah Lea masih menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya.
"Mas, malam ini aku sama anak-anak mau ke rumah Papa," kata Lea sembari menyajikan makan siang. "Kamu nanti nyusul ke sana, ya. Papa sakit," imbuhnya dengan cemas.
"Sakit apa, Sayang?" tanya Arya.
"Mama bilang sih cuma demam sejak tadi pagi, tapi aku nggak tenang kalau nggak liat keadaan mereka secara langsung."
"Ya udah, kamu langsung ke sana aja setelah ini. Nanti malam aku nyusul."
"Papa beneran mau nysusul?" tanya Darrel tiba-tiba. "Nggak akan lembur lagi? Biasanya setiap malam Papa lembur, aku sama Jihan sering ketiduran saat menunggu Papa."
Arya langsung terhenyak mendengar apa yang diutarakan putranya itu, hatinya tercubit.
Selama ini, dia memang kadang lembur, tapi tidak setiap malam.
Waktu lembur yang selalu menjadi alasan Arya sebenarnya adalah waktu yang ia habiskan bersama Chealse, sahabat istrinya sekaligus kekasih gelapnya.
Arya sendiri tidak tahu bagaimana hubungan mereka bisa terjalin, hanya saja ia merasa sangat nyaman saat ada di dekat Chealse yang selalu memberinya perhatian lebih, sementara istrinya sudah mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya untuk anak-anak mereka.
Sudah satu tahun ia dan Chealse menjalin hubungan gelap itu, dan semuanya terasa begitu indah bagi Arya. Dia merasa jatuh cinta kembali.
"Malam ini Papa nggak akan lembur, Sayang."
Setelah menemui Arya, Lea menyempatkan diri menemui Chealse di meja kerjanya.
"Nggak makan siang, Cheal?" tanya Lea.
Chealse yang sedang sibuk dengan komputer di depannya langsung mendongak. "Aku udah makan," kata Chealse sembari menunjuk kotak makan di sisi mejanya.
"Oh, masih bawa bekal?" kekeh Lea sembari membuka kotak makan itu. "Masih banyak isinya."
"Iya, aku nggak selera makan akhir-akhir ini," ujar Chelsea. "Makanya aku masak sendiri makanan kesukaanku."
Lea mengambil sedikit gorengan di kotak makan Chealse dengan santai, kemudian memakannya. "Hem, seperti biasa. Ini selalu enak," kata Lea.
"Bawa aja semua, aku udah nggak mau makan," kekeh Chealse.
Tadinya, ia membawa makanan itu untuk diberikan pada Arya. Tapi istri sah Arya sekaligus sahabatnya ini justru datang membawa makan siang, membuat Chealse merasa kesal tapi ia harus menahannya. Bahkan, ia juga harus tersenyum lebar pada Lea seolah tidak apa-apa.
"Harus dipaksa makan, Cheal, nanti kamu sakit loh." Lea meletakkan kotak makan itu di depan Chealse. "Lagi pula ini jam makan siang, kerjakan nanti aja pekerjaanmu itu."
Chelsea hanya terkekeh dan mengangguk, ia pun memakan makanan itu, dan sekali lagi Lea mengambil gorengannya dengan santai.
"Aku pergi dulu, ya. Ayah mertuaku sakita, aku mau ke sana."
Lagi-lagi Chealse hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara, ia menatap Lea yang kini pergi dengan membawa kedua anaknya.
Ia menghela napas panjang, kemudian melempar kotak makan itu ke tempat sampah dengan kesal.
...🦋...
"Padahal Papa cuma demam, kenapa kamu harus repot-repot ke sini?"
"Aku nggak bisa tenang kalau nggak liat Papa secara langsung." Lea menarik selimut dan menyelimuti ayah mertuanya itu dengan benar.
Hari sudah malam, dan Lea tetap di rumah mertuanya karena menunggu Arya yang katanya akan menyusul.
"Tekanan darah Papa bagaimana?" tanya Lea kemudian, ia cemas ayah mertuanya itu sakit tekanan darahnya tinggi lagi.
"Normal, ini cuma demam biasa."
Pak Jaya, Ayah mertua Lea itu tersenyum mendapatkan perhatian dari menantu yang sudah ia anggap putrinya sendiri. "Oh iya, Arya di mana? Apa dia nggak akan ke sini?"
"Katanya mau nyusul, Pa, paling sebentar lagi datang."
Lea melirik jam dinding di kamar itu, sudah jam 9, pikir Lea. Seharusnya pekerjaan Arya sudah selesai jika memang pria itu tidak lembur.
"Lea, makan dulu, Nak!" Terdengar suara Ibu mertuanya memanggil dari luar.
"Makan gih!" seru Pak Arya. "Kamu makin kurus, Lea, pasti anak-anak menguras waktu dan tenagamu."
"Namanya anak-anak ya pasti menguras waktu dan tenaga, Pa," kekeh Lea. "Ya sudah, aku keluar dulu. Papa istirahat, ya."
Pak Jaya mengangguk, ia menatap Lea sambil tersenyum, merasa sangat beruntung putranya bisa menikahi wanita yang hebat seperti itu.
Lea memang sudah tidak punya orang tua lagi, ayahnya meninggal saat ia masih remaja. Sedangkan ibunya meninggal tiga tahun yang lalu, maka dari itu Lea kini mencurahkan seluruh perhatiannya pada ayah dan Ibu mertuanya, sebagai pengganti kedua orang tua kandungnya.
Di meja makan, lagi-lagi Darrel bertanya tentang ayahnya yang tak kunjung datang, dan bocah itu juga mengungkit kembali perubahan sikap sang Ayah selama ini.
"Sibuk, lembur, nggak ada waktu, banyak pekerjaan." Darrel menghela napas berat. "Ayah temanku juga Direktur, tapi masih bisa mengantar jemput dia hampir setiap hari. Katanya, pulangnya juga jam 7 atau jam 8."
"Biar nanti Nenek bicara sama ayahmu, Sayang," kata Bu Irma. "Biar dia bisa mengatur waktu untuk kalian."
"Nggak usah, Nek," tolak Darrel. "Mama sama Darrel sudah sering minta Papa sesekali nggak lembur, tapi katanya banyak pekerjaan penting."
Lea menatap wajah Darrel dengan sendu, putranya itu tampak sudah sangat kecewa pada sang Ayah yang mengingkari janjinya lagi dan lagi. Lea tak bersuara, ia tak lagi mencoba memberi pengertian pada Darrel bahwa sang Ayah sedang sibuk karena pada kenyataannya ia juga merasa Arya sudah sangat berubah.
Setelah selesai makan malam, Lea mengajak kedua anaknya pulang.
"Besok aku akan ke sini lagi, Ma," kata Lea sembari memeluk Ibu mertuanya itu.
"Boleh, tapi kalau kamu sibuk, nggak usah dipaksa. Apalagi kamu liat sendiri, Papa baik-baik aja."
Lea menghela napas berat, sebelum akhirnya mengangguk.
"Kalau begitu aku pulang dulu, Ma, Jihar juga udah ngantuk kayaknya."
"Hati-hati."
Ibu Irma menatap membantu dan cucunya itu yang kini masuk ke mobil, tak lupa ia melambaikan tangan pada mereka sambil tersenyum lebar.
"Kalian boleh tidur kalau udah ngantuk," kata Lea sembari melirik Jihan yang sejak tadi menguap. Anak-anaknya itu duduk di belakang.
"Iya, tidur di sini, Dek!" Darrel menepuk pahanya sembari sedikit bergeser agar Jihan bisa rebehah. Adiknya itu langsung merebahkan diri dengan meletakkan kepalanya di pangkuan sang Kakak, pemandangan itu membuat hati Lea menghangat.
"Di rumah nggak ada roti," gumam Lea yang teringat persediaan roti di rumahnya sudah habis. "Darrel, Mama mau mampir ke toko roti dulu, ya." Ia melirik Darrel yang kini bersender dan memejamkan mata. "Oh, sudah tidur juga rupanya."
Lea pun mengambil arah pulang yang berbeda karena toko roti yang masih buka di jam seperti ini hanya toko Crystal Bakery.
Saat sampai di toko roti itu, Lea hendak turun dari mobil tapi tiba-tiba pandangannya tertuju pada dua orang yang baru keluar dari toko tersebut.
"Mas Arya? chealsea?" Kening Lea berkerut dalam, dadanya terasa begitu sesak apalagi melihat suami dan wanita yang ia anggap sahabat itu bergandengan tangan dengan sangat mesra.
Tiba-tiba tubuh Lea panas dingin, kaki, lutut dan kedua tangannya gemetar.
Air mata Lea jatuh begitu saja saat melihat Arya berciuman dengan Chealse sebelum akhirnya mereka masuk ke dalam mobil.
Lea hampir terisak melihat pemandangan itu, tapi ia segera menutup mulutnya, tak ingin membuat kedua anaknya terganggu. Ia menoleh, dan air mata semakin deras melihat Jihat dan Darrel yang tidur dengan tenang.
Kedua anaknya itu selalu menagih waktu dan janji Arya, tapi ayah mereka selalu mengatakan sibuk bekerja. Dan sekarang Lea tahu kesibukan Arya yang sebenernya.
Lea langsung menunduk, menyembunyikan wajahnya di setir. Ia juga membekap mulutnya sendiri agar tak bersuara.
Namun, Darrel tiba-tiba membuka mata karena ia memang belum tidur sama sekali. Bocah itu juga melihat dengan jelas apa yang dilakukan sang Ayah dengan wanita yang mereka kenal sebagai teman Ibunya, wanita yang mereka panggil Tante Chill.
Darrel mengerti apa yang terjadi, tapi ia tak menangis, dan memilih berpura-pura kembali tertidur agar ibunya tidak tahu bahwa ia juga merasakan sakit yang luar biasa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!