Melinda, 27 tahun bangkit dari kursi rias, saat seorang wanita bertumbuh tambun masuk ke dalam kamar barunya. Bibir ranum itu tertarik ke atas menyambut wanita paruh baya yang baru saja berstatus menjadi mertua, ibu dari Candra—suami yang begitu ia cintai.
"Mama!" Melinda berjalan ke arah sang mertua lalu meraih tangan tua dengan beberapa emas melingkar di sana, "ayo, duduk, Ma."
Rosa, wanita 50 tahun itu bergeming, membuat dahi Melinda mengkerut. Wajah dingin ciri khas wanita paru baya itu kembali terukir di sana. Iya, wajah saat pertama kali Melinda bertemu dengan Rosa.
"Langsung saja." Rosa dengan kasar menghempas tangan Melinda, "hingga detik ini aku sama sekali tidak pernah menyukaimu!"
Melinda menelan ludahnya kasar. Sejak awal hubungannya dengan Candra memang tidak pernah mendapatkan restu dari sang mertua, namun karena Candra bersikeras untuk menikahi Melinda, Rosa terpaksa memberikan restu kepada mereka.
"Apa maksud Mama? Bukankah Mama sudah merestui pernikahanku dengan Mas Candra?"
Rosa berjalan angkuh memutari tubuh ramping Melinda. Tidak ada lagi tatapan hangat dari mata bermanik hitam pekat yang sempat meluluhkan hati Melinda, yang statusnya gadis piatu.
"Bodoh?" Rosa menarik tubuh Melinda membawanya menatap cermin. Jari telunjuk tak begitu panjang menunjuk ke arah cermin, "lihat, apa dirimu layak mendapatkan Marga Pagalo di belakang namamu? Tidak ada satupun hal menarik darimu!"
Melinda linglung. Dia belum bisa mencerna satu persatu ucapan dari sang mertua, bukan bodoh, tapi ia hanya tidak percaya dengan takdirnya saat ini. Di mana sebuah sandiwara menghampiri layaknya film yang pernah ia tonton, apa ini artinya ia bukan menantu yang diinginkan?
"Jadi semua semu?" gumam Melinda, "semua ucapan Mama sudah menerima dan merestui pernikahanku dengan Mas Candra hanya sandiwara?"
"Ya." Rosa berkaca pinggang, senyum sinis dan tatapan nyalang ia tunjukkan tepat di hadapan Melinda.
"Aku seorang ibu. Tentu saja tidak ingin anak yang sudah aku besarkan membenciku hanya demi wanita sepertimu. Aku pikir dalam satu bulan Candra akan melihat kebusukan dan melepaskan dirimu, tapi dia justru semakin kamu ikat dengan buaian cinta. Dasar bandit!"
Melinda membeku. Sudut hatinya nyeri manakala ia mendengar kata bandit. Melinda yang sering disapa Meli ini berdarah Jawa, tentu saja kata bandit di telinganya terdengar begitu kasar.
Setelah mengumpulkan keberanian Melinda berani bersuara kembali, "Harusnya Mama tidak merestui kami, kenapa Mama justru membiarkan kami hingga sampai di titik ini, jika pada akhirnya Mama tidak mengharapkan aku?"
Rosa mencengkram dagu Melinda, "Tentu saja untuk memberikan pelajaran agar kamu sadar! Seharusnya kamu tidak berada di tengah-tengah keluarga ini."
"Candra anakku. Dia satu-satunya keluarga yang aku memiliki, harusnya dia mendapatkan yang terbaik!" Rosa membuang dagu Melinda dengan kasar setelah itu tangannya dikebas-kebaskan seperti habis menyentuh kotoran.
Kepala Melinda berdenyut nyeri, tapi tidak ia hiraukan, jemari lentik miliknya terkepal di sisi tubuh sembari meremas kain pakaian yang digunakan.
Melinda cukup sadar diri karena ia berasal dari keluarga sederhana, bisa dicintai seorang Candra yang berasal dari kalangan orang berada adalah satu anugrah.
Satu tahun lalu, Melinda mendapatkan cemooh dan cacian dari Rosa karena ia tidak memenuhi kriteria menantu idaman Rosa. Namun, karena Candra terus mensupport dirinya dan memberikan cinta yang tulus akhirnya Melinda bertahan dan terus berusaha untuk dekat dengan sang mertua.
"Harusnya Candra mendapatkan gadis dengan status sosial sama. Bibit, bebet dan bobot setara dengan keluarga ini!" cetus Rosa mengembalikan kesadaran Melinda.
Rahang Rosa berkedut. Raut wajahnya mengeras menunjukkan kebencian.
"Sedangkan kamu? Tidak ada di dalam kriteria itu! Sebagai keluarga terpandang aku malu mengakui kamu sebagai menantu! Apalagi ayahmu sakit-sakitan. Aku sebagai besan, jijik!"
Mata Melinda terpejam, kakinya bergetar. Jika dirinya yang dihina ia akan bertahan meskipun harus menahan rasa sakit, tapi kali ini sang mertua sudah membawa nama ayahnya. Sebagai seorang putri satu-satunya dirawat hingga dewasa penuh dengan darah dan keringat dikorbankan tentu ia tidak terima.
"Jadi Mama mau bagaimana sekarang?" Tenggorokan Melinda tercekat lalu memberanikan diri untuk membalas tatapan sang mertua, "apa sekarang juga aku harus bercerai dengan Mas Candra?"
Rosa berdecak kagum, kali ini ia menemukan satu titik keburukan Melinda yang sejak dulu terlihat sangat polos dan sopan, "Sesuai dugaanku, kamu tak sepenuhnya baik. Lihatlah, baru menikah beberapa jam sudah terlihat sifatmu."
"Cerai? Jangan harap saat ini kamu bisa cerai dengan Candra! Sesuai yang aku katakan, kamu harus mendapatkan pelajaran terlebih dahulu." Rosa menyenggol tubuh ramping Melinda dengan sekuat tenaga membuat gadis itu tersungkur lalu meninggalkan kamar.
Tubuh Melinda yang kini bersentuhan dengan ubin dingin langsung beringsut. Hal apa yang barusan ia dapatkan hingga mengeluarkan tawaran kata cerai? Harusnya ia membicarakan masalah ini dengan Candra agar mendapatkan jalan keluar.
Melinda bangkit ia baru sadar jika sang suami belum juga masuk kamar. Di menit berikutnya saat Melinda berniat untuk mencari keberadaan sang suami, terdengar pintu terbuka diikuti suara begitu familiar di gendang telinganya.
"Oh, Sayang, maaf aku baru masuk kamar. Aku tadi harus mengantarkan Cici pulang terlebih dahulu."
Napas Melinda naik turun, dia sangat tahu siapa Cici. Iya, dia adalah wanita yang memenuhi standar kriteria menantu idaman sang mertua.
"Kamu nganterin dia pulang, Mas? Di malam pertama kita?"
Candra merasa bersalah, tapi mau bagaimana lagi yang meminta dirinya untuk mengantar Cici adalah sang mama. Lelaki lebih tua 3 tahun dari Melinda ini langsung membawa tubuh ramping sang istri masuk ke dalam dekapannya.
"Maaf Sayang. Aku tidak bisa menolak permintaan Mama. Lagi pula Cici sejak kemarin sudah ngebantuin Mama ngurusin pernikahan kita," ucap Candra penuh penyesalan.
Melinda tersenyum getir, baru saja ia ingin membicarakan masalah yang dihadapi, tapi melihat sikap Candra yang sejak dulu menganggap sang ibu seperti malaikat tentu saja akan membuat lelaki itu bimbang. Ia sama sekali tidak ingin membuat Candra dalam tekanan. Sudah cukup selama ini lelaki itu membela dirinya hingga sampai pernikahan.
Candra melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Melinda, "Sayang, kamu habis nangis. Ada apa? Apa aku membuat kesalahan? Maaf, lain kali sebelum pergi aku akan memberitahumu."
Melinda kelabakan ia langsung mengusap kedua matanya lalu mencari alasan yang tepat, "Gak, Mas. Aku hanya merindukan Ayah. Baru kali ini aku tidak di sampingnya."
Candra mengusap lembut pipi Melinda, "Maaf Sayang. Aku harus memisahkan kamu dengan Ayah. Tapi aku janji pasti akan adil, minggu depan kita nginep di rumah Ayah."
Tak ingin membuat sang suami cemas Melinda menganggu patuh.
"Senyum dong. Jadi apa aku sudah boleh belah duren?" tanya Candra menggoda Melinda.
Melinda menunduk malu membuat Candra semakin gemas. Perlahan-lahan Candra bermaksud untuk mengecup bibir yang sejak jaman pacaran sudah menjadi candu guna memulai ritual malam pertama.
"Candra, Nak!"
Candra dan Melinda tersentak setelah mendengar suara Rosa. Mereka menjauhkan tubuhnya satu sama lain dengan cangung.
"Mas, aku buka pintu dulu," pamit Melinda.
Sebelum membuka pintu Melinda menarik napas dalam-dalam. Ia tahu kedatangan sang mertua pasti ada niat tertentu. Benar saja setelah pintu dibuka, pemilik wajah ketus nan dingin itu langsung menerobos masuk ke dalam.
"Nak, gimana kamu sudah antar Cici sampai rumah kan?" tanya Rosa dengan wajah cemas.
Candra mengusap pundak sang ibu, "Mama tenang saja Cici sudah sampai rumah."
"Kamu benar-benar anak baik. Apa Mama ganggu kalian?" Rosa bersikap seolah bersalah atas kedatangannya.
Sementara Melinda yang masih berada di samping pintu, ia melangkah menghampiri sang suami dan sang mertua. Sekilas Melinda melihat tatapan nyalang sang mertua.
"Gak, Ma." Candra mengulas senyum, "tapi niat kami ingin bikin cucu buat Mama tertunda."
Rosa terkekeh geli mendengar kejujuran sang anak lalu menarik tangan Melinda yang kini berada di sampingnya, "Mel, engak apa-apa kan menunda sebentar. Kebiasaan Mama sebelum tidur ngobrol dulu sama Candra. Mama belum terbiasa menghilangkan kebiasaan itu."
Melinda sekilas melirik ke arah Candra meminta pendapat dari sang suami, meskipun di dalam hati Melinda ia tidak ingin mengizinkan sang suami menunda malam pertama mereka hanya beberapa jam saja.
Setelah mendapatkan anggukan dari sang suami Melinda berkata, "Ya Ma, enggak apa-apa."
"Terima kasih, kamu memang menantu Mama paling baik. Engga salah Candra memilihmu," puji Rosa.
Melinda tercengang, sikap yang sejak satu bulan lalu kembali lagi ditunjukkan sang mertua padanya, lalu apa arti dari sebelum ini? Begitu banyak pertanyaan di benak Melinda hanya saja ia sedikit bisa menyimpulkan jika kini sang mertua pasti sedang bersandiwara.
"Kalau gitu Candra mandi dulu. Mama bisa ngobrol sama Meli." Candra memberikan saran yang langsung mendapatkan anggukan dari kedua wanita beda generasi ini.
Setelah Candra masuk ke dalam kamar mandi, Rosa langsung membuang kasar tangan Melinda yang sejak tadi ia pegang, benar-benar jijik.
"Mama," panggil Melinda yang sempat terkejut.
"Apa? Kamu berharap aku benar-benar menginginkanmu! Jangan harap!" Rosa berkata ketus sembari berjalan ke arah sisi ranjang. Jari tuanya langsung mengacak-acak kelopak bunga mawar yang ditabur di atas ranjang.
Melinda ingin menghentikan apa yang mertuanya lakukan, tapi kalau sampai itu terjadi, dapat dipastikan masalah akan semakin besar. Ia memilih diam, hanya melihat apa yang dilakukan Rosa dengan ranjang pengantinnya.
Meski hatinya sakit, tapi ia akan mencoba memahami sang mertua, siapa hanya kesalahpahaman saja. Sudut hatinya berdoa, semoga kelak Rosa menerimanya dengan hati terbuka sebagai menantu dari keluarga ini.
Byurr ...
Satu genggam kelopak bunga mawar terlempar tepat di wajah ayu Melinda. Ia yang masih berusaha menata hati dan mengumpulkan banyak stok sabar terkejut dan mengangkat wajahnya.
"Kenapa? Kamu marah? Mau melawan seperti tadi?" cecar Rosa dengan nada menyindir. Dilihatnya mata Melinda yang melotot, ia harus bisa membuat gadis yang dinikahi anaknya ini menunjukkan sifat busuknya, hingga akhirnya tanpa susah payah ia menghasut, Candra akan menceraikan Melinda.
"Enggak, Ma. Maaf tadi aku merasa lelah jadi terbawa emosi. Meskipun Mama belum menerimaku sebagai menantu, aku akan berusaha menjadi yang terbaik," sahut Melinda dengan senyum yang dipaksakan.
Rosa kesal dengan jawaban Melinda yang sok bijak. Mau jadi menantu terbaik? Sampai Rosa mati pun ia tidak akan Sudi. Kebenciannya pada Melinda sudah mendarah daging.
"Cuihh, mimpi kamu! Harusnya yang kini berada di kamar ini Cici bukan kamu!"
Melinda mencoba untuk terus bersabar meskipun sudut hatinya kembali nyeri, "Ma, katakan saja apa yang harus aku lakukan agar Mama bisa menerimaku. Nasi sudah menjadi bubur, Mama juga tidak ingin aku berpisah dengan Mas Candra. Jadi mau bagaimanapun kita akan tetap tinggal satu rumah."
"Kamu ingin tau bagaimana caranya?"
Mendengar kalimat itu Melinda dengan polosnya mengangguk.
Seringai lebar terbit di bibir berwarna merah bata. Di menit berikutnya Rosa langsung menarik seprai yang masih tertata rapi, tak lama kemudian memeluk seprai itu sembari duduk di atas ubin.
"Meli, maafkan Mama Sayang. Mama tidak bermaksud ingin mengganggu malam pertamamu. Mama sungguh belum bisa menghilangkan kebiasaan yang sejak dulu Mama lakukan dengan Candra." Rosa mengeluarkan suara dengan intonasi tinggi tak selang beberapa menit ia mengeluarkan isak tangis.
Sesuai yang diharapkan Rosa, Candra yang tadi berada di kamar mandi mendengar suara Rosa. Lelaki bertubuh atletis itu langsung keluar dengan handuk melilit di pinggang.
"Ada apa ini?" Suara tegas Candra terdengar di setiap sudut ruangan membuat Rosa samar-samar menarik sudut bibirnya sementara Melinda seperti orang bodoh.
"Nak, ini salah Mama. Istrimu benar seharusnya Mama tidak mengganggu kalian. Mama sudah bersalah karena Mama menghancurkan ranjang kalian, tapi Ma ... Mama tidak sengaja dan membuat Meli marah. Ma ... Mama minta maaf, Mama bodoh, Mama sudah tua tidak begitu paham dengan situasi kalian yang masih muda," jelas Rosa dengan nada yang dibuat sesedih mungkin.
Candra sendiri masih belum terlalu percaya dengan apa yang dikatakan sang ibu. Hanya saja ia melihat air mata jatuh dari sudut mata tua itu hatinya seperti tercubit.
"Mas ... Mas, aku bisa jelasin. Ini tidak seperti yang kamu kira, tadi Mama—"
Belum selesai Melinda berbicara Candra langsung menyela, "Aku pikir kamu lelah, lebih baik kamu mandi dan bersihkan riasanmu. Aku akan menemani Mama dulu."
"Tapi, Mas. Aku bisa jelasin ini semua." Melinda mengiba.
Namun, semua nampak percuma, Rosa yang tak ingin sang anak dipengaruhi oleh Melinda ia kembali bersuara. "Mama sudah jelasin semua. Mama salah, Mel. Mama minta maaf, Mama salah."
"Mama ... Kenapa Mama—"
"Meli cukup! Sekarang kamu ikuti apa yang aku katakan!" Candra langsung mengambil baju ganti tak butuh waktu lama ia selesai mengenakannya lalu membawa Rosa keluar dari kamar.
Sebelum benar-benar keluar kamar Rosa menerbitkan senyum kemenangan.
Sementara Melinda, tubuhnya perlahan-lahan ambruk, otaknya sama sekali tidak bisa mencerna kejadian barusan.
"Kenapa semua jadi begini?" Melinda bertanya-tanya.
Dulu Melinda berharap bisa memiliki mertua yang bisa ia jadikan teman sekaligus ibu sambung untuknya. Namun, nyatanya harapan itu tinggal harapan. Rosa yang sudah ia anggap bisa menerima ternyata membencinya dengan alasan bukan menantu kriteria.
Apakah nasibnya harus seburuk ini? Melinda menangis dalam batin, harapan untuk disambut di keluarga baru nyatanya justru disambut dengan bendera peperangan, harapan untuk disayang nyatanya ia tak diinginkan.
Dalam tangisnya kini Melinda teringat sosok ayah yang begitu mencintai dirinya. Seandainya sang ayah tahu keadaan di keluarga ini bagaimana perasaan lelaki yang kini tengah mengidap penyakit TBC itu?
"Tidak Meli, kamu tidak bisa menyerah begitu saja. Bagaimana jika Ayah tau masalah ini dan dijadikan beban. Ayah selalu ingin kamu bahagia," gumam Melinda berusaha bangkit dan memberikan motivasi pada dirinya sendiri.
Melinda menguatkan dirinya ia ingin menunggu sang suami untuk menjelaskan duduk perkara yang terjadi. Namun, waktu terus berlalu sang suami tak kunjung masuk ke dalam kamar, pada akhirnya kantuk menyerang, Melinda pun terlelap.
Entah karena terlalu bosan lama menunggu Candra kembali ke kamar atau ia yang terlalu lelah, Melinda ketiduran, di atas ranjang pengantin yang belum sempat dipakai, hingga esok pagi.
Melinda merasa ada percikan air jatuh di wajahnya. Masih dalam keadaan setengah sadar ia berpikir apa sedang hujan? Karena ia ingat saat berada di rumahnya dan jika hujan datang gentengnya bocor.
Dengan malas-malasan Melinda membuka kelopak mata. Gadis yang baru saja berubah status menjadi seorang istri itu sama sekali tidak menyangka jika Rosa kini berada di kamar sembari membawa baskom berisikan air.
"Ma ... Mama." Nada suara Melinda terbata-bata, ia terkejut sekaligus benaknya mengingat jika kini ia berada di rumah sang mertua.
"Bangun!" seru Rosa membuat Melinda langsung bangun dari ranjang, kepalanya sedikit pusing tapi tak ia hiraukan.
"Bangun dari mimpimu yang kini menjadi keluarga Pagalo, Melinda!"
Melinda tidak menyangka jika kata bangun itu bukan ia harus bangun dari tidurnya, tetapi ia diminta untuk sadar posisi. Benak Melinda mengingat kejadian semalam dimana sang mertua sudah terang-terangan tidak menginginkan dirinya.
Mengingat kejadian semalam, kini Melinda bertanya-tanya kemana suaminya? Kenapa tidak membangunkannya?
"Malah bengong. Ikut aku!" perintah Rosa membuat Melinda tersentak.
Melinda kini mengamati tubuhnya, piyama tidur tipis yang digunakan saat ini tidak memungkinkan untuk ia keluar dari kamar, "Ma aku ganti baju dulu."
"Untuk apa? Lagipula siapa yang tertarik dengan tubuhmu ini!"
"Tapi Ma—"
"Apa pelajaran semalam belum bisa membuatmu sadar jika aku bisa melakukan apa pun dan Candra tentu akan membelaku?" Rosa memotong ucapan Melinda.
Tenggorokan Melinda tercekat, ia sama sekali tidak bisa menolak permintaan sang mertua, jika itu terjadi tentu saja kesalahpahaman yang belum selesai akan bertambah jika sang mertua bertindak. Apalagi ia belum bertemu sang suami.
"Iya, Ma. Aku ikut," ucap Melinda lalu mengikuti langkah Rosa keluar dari kamar. Wajahnya masih sembab, bahkan rambutnya masih awut-awutan, ia hanya sempat meraih jedai dan mengikat rambut dengan asal.
Setelah sampai di beranda pintu, bola mata Melinda membulat sempurna. Ia melihat pembantu dan satpam berbaris memegang senjatanya masing-masing. Apa maksud ini semua?
"Kalian tentu tau siapa wanita ini kan? Mulai hari ini dia akan membantu kalian untuk menjaga dan merawat rumah ini." Suara Rosa terdengar seperti ultimatum untuk para bawahannya.
Melinda menunduk, percaya atau tidak statusnya saat ini sebagai seorang menantu sudah tidak ada artinya lagi ia sudah disamakan dengan seorang pembantu. Ia harus mempersiapkan tenaganya untuk membantu dan merawat rumah yang terbilang cukup luas dan mewah ini.
Pagalo, marga ini cukup terpandang, kekayaan yang didapat dari bisnis perternakan dan warisan turun-temurun menjadikan keluarga ini tidak akan kekurang bahkan hingga tujuh turunan. Jadi tak heran ada 3 pembantu dan 2 satpam dipekerjakan di rumah ini.
Mina, sebagai kepala pembantu sekaligus juru masak rumah ini, lalu dua yang lainnya ada yang memiliki tugas mencuci pakaian, menyetrika baju, dan menjaga rumah ini agar terlihat lebih bersih dan kinclong. Itu informasi yang baru saja Melinda dapatkan.
"Ini adalah rumahmu, sebagai menantu kamu harus bisa membersihkan rumah keluargamu kan!" ucap Rosa dengan nada tegas.
"Jadi untuk hari ini kamu gantikan tugas mereka, untuk membersihkan rumah ini," imbuh Rosa memberikan perintah pada Melinda.
"Baik Ma," jawab Melinda yang sejak tadi diam mendengarkan ucapan Rosa.
"Lalu apa yang kau tunggu, kerjakan! Dasar bodoh! Dungu!" cibir Rosa.
Melinda langsung mengambil perlengkapan pembersih tanpa menghiraukan cibiran dari Rosa lalu bergegas mengerjakan apa yang di perintahkan mertuanya.
Sudah hampir dua jam Melinda membersihkan rumah itu, ia merasa tenaganya terkuras habis, sejak tadi ia menyapu dan mengepel, tapi tak kunjung selesai, masih ada halaman rumah yang belum ia kerjakan. Hembusan napas berat keluar dari hidung mancung itu, Melinda menghentikan aktivitasnya sebentar bermaksud untuk merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
"Jangan manja! Segera selesaikan pekerjaanmu!" seru Rosa saat melihat Melinda sedang meregangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan.
"Nyonya, biar saya saja yang membersihkan halaman luar. Kelihatannya Nyonya muda sudah kelelahan," tawar Mina pembantu rumah tangga yang sudah bekerja selama puluhan tahun di keluarga Pagalo. Wanita paru baya itu tidak tega melihat Melinda diperlakukan semena-mena.
"Kamu sudah tua. Harusnya kamu bersyukur ada yang ngebantu," tolak Rosa.
"Tapi, Nyonya. Ini tugas saya, Nyonya muda sudah bersih-bersih sejak tadi. Tidak masalah jika sisanya saya kerjakan," tawar Mina lagi.
"Kamu boleh membantu dia, tapi setelah itu kamu bisa langsung keluar dari rumah ini dan ambil uang pesangon."
"Tidak apa-apa. Biar saya saja yang menyelesaikan semuanya. Mama benar, sebagai menantu aku harus bisa membersihkan rumah ini, karena rumah ini juga istanaku di mana aku dan suami tinggal," tutur Melinda mencoba untuk melerai ia tidak ingin karenanya ada yang kehilangan pekerjaan.
"Dasar bandit, jangan banyak bicara selesaikan!" ujar Rosa merasa muak dengan ucapan Melinda.
"Iya, Ma."
Melinda kembali mengayunkan sapu guna membersihkan tiap ubin, sementara Rosa langsung pergi meninggalkan Melinda dan masuk ke dalam kamar, Rosa mulai lelah karena sejak tadi menjadi mandor yang terus memberikan Melinda sebuah kata mutiara.
Beberapa saat berlalu bagian dalam rumah selesai, kini Melinda gegas membersihkan bagian halaman.
Layaknya wanita lain lekuk tubuh Melinda tidak begitu mengecewakan, ia termasuk dalam kategori pemilik tubuh proporsional dimana setiap daging tubuh dengan pas di bagian tertentu. Maka tak heran saat ini dua satpam yang berjaga di pos memiliki nafsu untuk menjamah Melinda saat mereka melihat wanita dengan piyama tidur tipis menggoyangkan pantatnya mengikuti alunan sapu yang ia pegang.
Saat mendengar suara deru mobil masuk halaman Melinda sepintas melihat kedua satpam itu karena lupa dengan apa yang kini ia gunakan, wanita itu tersenyum ramah. Namun, hal berbeda ditunjukkan Candra yang kini baru saja turun dari mobil.
Candra langsung membuang sapu yang dipegang Melinda lalu mengenakan jaket yang ia gunakan di tubuh sang istri.
Hal itu sama sekali tak membuat Melinda tersentak dari penglihatannya dimana dari dalam mobil itu selain Candra ada sosok wanita turun dari sana.
"Apa kamu tidak bisa menjaga tubuhmu dari lelaki lain, Meli?" Suara Candra berintonasi sedang itu kini mengalihkan fokus Melinda yang awalnya melihat wanita bernama Cici yang tadi turun dari mobil kini ke tubuhnya yang sudah dibalut jaket sang suami.
"Maaf, Mas. Tadi aku buru-buru karena diminta Ma—" Melinda menggantungkan kalimatnya ia tidak mungkin memberitahu Candra jika sang mertua meminta dia untuk bersih-bersih, bukannya takut pada sang mertua, tapi ia takut jika sang suami tidak akan mempercayainya.
Melihat dahi Candra mengkerut Melinda melanjutkan kembali kalimatnya, "Maksudku, aku terbiasa di rumah bangun pagi terus beres-beres. Eh ... tadi aku bangun kesiangan jadi lupa enggak ganti baju dan mandi, malah pegang sapu."
"Lain kali jangan kamu lakukan lagi, di sini lelaki gak hanya aku saja. Ada yang bukan mahram kamu, jadi kamu harus menjaga kehormatanmu," ucap Candra.
"Iya, Mas, maaf. Em ... Mas dari mana kenapa sama dia?" tanya Melinda yang penasaran.
Candra langsung menoleh ke arah Cici yang sejak tadi berjarak beberapa meter di belakangnya, "Tadi aku sama Cici habis lari pagi. Dan kami mampir ke perternakan dan pasar."
Melinda bergeming. Suaminya lari pagi dengan wanita lain sedangkan dirinya diperlukan seperti pembantu, takdir macam apa ini?
Belum sempat Melinda berkata-kata, tiba-tiba dari dalam rumah Rosa keluar menyabut kedatangan Cici dan Candra.
"Kalian sudah pulang? Titipan Mama ada kan?" Rosa berjalan menghampiri Cici.
"Ada Tan, ini deppa tori pesanan Tante." Cici menyerahkan barang yang ditenteng sejak tadi.
"Ya sudah, Ayo masuk." Tangan kanan Rosa menarik tangan Candra sementara tangan kirinya menarik tangan Cici lalu mengajak keduanya masuk.
Sementara Melinda ditinggalkan begitu saja. Air mata Melinda tanpa terasa menetes saat menatap punggung ketiga orang yang kini bersamaan masuk ke dalam rumah.
"Apa artinya aku? Jika Mama menganggap aku pembantu, apa kamu menganggap aku angin lalu, Mas?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!