Pranggggg
Suara pecahan benda terdengar sangat keras, membuat Salsabillah Khairunnisa Kirani, atau yang kerap dipanggil Sabillah, wanita berusia 25 tahun yang sudah tertidur itu langsung terbangun. Buru-buru dia turun dari tempat tidur, keluar kamar dan berlari menuruni anak tangga untuk melihat benda apa yang pecah itu.
Alih-alih takut jika yang melakukan itu seorang pencuri, tapi dalam pikiran Sabilla jika suaminyalah pelakunya.
Benar dugaanya, jika pelakunya adalah Adrian Mangku Kusumo, laki-laki tampan yang baru saja menikahi Sabillah siang tadi atas perjodohan kedua orang tua mereka.
Baru hitungan jam mereka sah menjadi suami istri, namun saat baru saja mereka tiba dirumah yang dihadiahi oleh orang tua Adrian itu, Adrian langsung pergi meninggalkan Sabillah setelah mendapat telepon dari seseorang tanpa mengatakan sepatah katapun pada Sabillah dia akan kemana, sepertinya telah terjadi sesuatu hingga membuat Adrian pergi dimalam pertama mereka.
Apakah Salsabillah sedih? Tentu tidak, karena bagi Sabillah pernikahan mereka hanyalah pernikahan diatas kertas yang telah mereka sepakati bersama tanpa diketahui kedua orang tua mereka, mereka akan berpisah setelah dua tahun menikah, dan sepakat tidak akan tinggal satu kamar ataupun melakukan hubungan suami istri, karena keduanya sama-sama memiliki pasangan.
Tapi Sabillah memutuskan hubungannya dengan kekasihnya yang merupakan seorang perwira kepolisian setelah ia tahu akan menikah dengan Adrian, karena meski bagaimanapun Sabillah tidak ingin mengkhianati orang tuanya, meski orang tuanya tak merestui hubungannya dengan sang kekasih, tapi Sabillah tetap menghormati keduaorang tuanya.
Orang tua Sabillah tidak ingin memiliki menantu dari seorang perwira, karena citra negatif yang dimiliki para oknumnya.
Tapi berbeda dengan Adrian, Adrian masih berhubungan dengan kekasihnya yang merupakan seorang perawat disebuah rumah sakit, yang bernama Ajeng.
"Ada apa sih, pulang-pulang ngancurin barang yang nggak bersalah, "kata Sabillah melihat ternyata guci besar milik mama Adrian, nyonya Ninawati Mangku Kusumo, yang pecah.
"Nggak usah ikut campur!" teriak Adrian, laki-laki berperawakan tinggi menjulang yang usianya terpaut satu hari dengan Sabillah itu menatap nyalang Sabillah seraya menuding wajah Sabillah yang masih berdiri disatu anak tangga dengan jari telunjuknya.
"Gara-gara kamu punya pacar polisi membuat orang tua kamu menjodohkan kita, dan Ajeng yang jadi korbannya," ucapnya menyalahkan Sabillah.
Ya, semua memang berawal dari permintaan orang tua Sabillah, Nyonya untuk menjodohkan Sabillah dan Adrian. Selain untuk memperkuat perusahaan, dan juga agar harta mereka tak kemana-mana karena baik Sabillah dan Adrian sama-sama anak tunggal. Sedang mantan kekasih Sabillah yang anggota itu, hanya memiliki pangkat rendah, dan berasal dari keluarga biasa, mungkin beda lagi ceritanya jika kekasih Sabillah berasal dari keluarga jenderal, atau berpangkat minimal bintang dua.
Dan orang tua Adrian yang tak merestui hubungan Adrian yang bernama Ajeng itu, langsung saja menyetujui ide orang tua Sabillah. Karena Ajeng juga berasal dari keluarga sederhana, dan Ajeng merupakan anak yatim piatu yang diurus oleh neneknya.
"Kenapa masih bahas masalah itu sih? Kita sudah sepakat jika pernikahan kita hanya sementara, kenapa jadi aku yang disalahkan?" cicit Sabillah tak ingin disalahkan Adrian.
Sabillah melangkah turun dari anak tangga, bersedekap dada.
Adrian semakin marah pada Sabillah yang berani menjawab ucapannya, sedangkan selama ini Ajeng yang masih menjadi kekasihnya saja tak pernah menjawab ataupun membantahnya. Dengan dada naik turun karena emosi, Adrian mendekatkan langkahnya pada Sabillah dan mencengkeram kuat dagu Sabillah.
"Dasar wanita pembawa sial, aku tidak akan mengampuni kamu jika terjadi apa-apa pada Ajeng, dan kamu harus bertanggung jawab atas apa yang dialami Ajeng sekarang."
Sabillah tak takut, dia menepis tangan Adrian yang mencengkeram kuat dagunya.
"Terserah apa yang mau kamu lakukan, aku nggak takut sama ancaman kamu," tantang Sabillah tak takut sama sekali, membalas tatapan elang Adrian padanya, "dan jangan pernah menyalahkan orang lain yang tak tahu apa-apa atas apa yang menimpa mu atau orang yang kamu sayang, apapun yang terjadi itu sudah takdir dari yang maha kuasa," imbuhnya membuat Adrian semakin geram.
Bughhh
Adrian menendang sofa diruang tamu membuat Sabillah berjengit kaget.
Wanita macam apa yang orang tuanya jodohkan padanya ini? Kasar, pembantah, dan tak ada sifat lemah lembutnya sama sekali padanya. Tak ingin lepas kontrol dan menimbulkan masalah lain, Adrian memilih masuk ke kamarnya yang ada dilantai bawah.
Sabillah menarik nafas dalam, dia berjongkok, membersihkan pecahan guci akibat ulah suaminya. Mereka tak memiliki art, karena tak ingin apapun yang terjadi pada keduanya, diketahui orang tua mereka.
Pukul empat pagi, ponsel Adrian berdering, laki-laki yang tidur dengan masih menggunakan celana bahan, dan kemeja putih yang ia kenakan saat ijab kabul itu mengerjapkan matanya, tangannya meraba-raba mencari ponselnya yang ia letakkan asal diatas kasur. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, matanya menyipit untuk melihat nama si penelepon.
Refleks dia segera mengangkat tubuhnya saat melihat nama yang menghubunginya di pagi buta ini.
"Ya halo," ujarnya.
" .... "
"Apa? Oke, aku segera kesana." Adrian segera mematikan panggilan itu, lalu bergegas bangun, dan menuju kamar mandi, agar matanya segar saat mengendarai mobil nanti. Setelah mandi, Adrian naik keatas lantai untuk mengenakan pakaiannya.
Meski mereka tidur terpisah, namun pakaian mereka tetap diletakkan dilantai dua, agar jika tiba-tiba mama Adrian ataupun mama Sabillah datang tak curiga jika keduanya pisah ranjang.
Ceklek, suara pintu dibuka, Sabillah membuka mata mendengar itu, tapi dia kemudian menutup matanya lagi pura-pura tidur. Adrian masuk dan langsung menuju lemari untuk mengambil pakaiannya. Saat membuka lemari, rahang Adrian mengeras karena pakaiannya tak ada didalam sana, Sabillah tidak merapikan pakaian miliknya dan masih anteng dan tertata rapih didalam koper.
Adrian hanya dapat menghela nafas, tak ingin menoleh pada Sabillah yang masih meringkuk dibalik selimutnya. Membangunkan Sabillah pun enggan, dia bahkan tak sudi menyebut nama wanita yang sudah sah menjadi istrinya tersebut dan sudah menghancurkan masa depan dia dan Ajeng.
Setelah menemukan pakaiannya, Adrian segera turun dan mengenakan pakaiannya. Tak berselang lama, terdengar suara dengungan mobil yang menyala, sepertinya Adrian sedang memanaskan mobilnya terlebih dahulu sebelum pergi, dan kemudian mobil suara mobil itu perlahan menjauh.
Sabillah melihat dari atas kamarnya, dia tak tahu kemana Adrian pergi, tapi yang pasti sekarang dia harus segera turun kebawah, merapikan kamar yang digunakan tidur suaminya, dan memunguti pakaian suaminya yang diletakkan sembarang, lalu memasukkanya ke mesin cuci.
Sembari menunggu mesin itu berputar, Sabillah kembali lagi ke kamarnya mendengar seruan dari sang pencipta, untuk menunaikan kewajibannya.
Hari berganti terang, matahari perlahan memancarkan cahayanya, Sabillah selesai membereskan rumahnya, dan sudah selesai memasak, beruntung sebenarnya dia mendapatkan mertua sebaik nyonya Ninawati yang sudah memberinya rumah yang siap pakai, dan dia tinggal membawa badan saja, ya hanya kelakuan anaknya saja yang tak sama dengan kedua orangtuanya.
Meski menjadi anak orang berada, Sabillah bukanlah wanita manja yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, dia pintar memasak, bahkan Sabillah juga bekerja dikantor, tapi bukan milik keluarganya. Sabillah mengambil cuti beberapa hari.
Meja makan kini sudah tersaji makanan yang entah siapa yang akan memakanya.
* * *
Jam sembilan pagi nyonya Ninawati datang, wanita bergaya hedon dengan pakaian hijab khas wanita pejabat itu sengaja datang ingin tahu yang terjadi pada rumah tangga anaknya yang belum genap 24 jam.
"Bill, Adrian kerja?" tanyanya menyelidik, dia mencium bau ketidak beresan dalam rumah tangga anaknya.
"Iya, Ma. Ada yang lupa belum Adrian kerjakan," kilah Sabillah, Sabillah gadis pintar, dia pasti bisa mengelak, tapi dia tak tahu jika mertuanya lebih pintar dan teliti.
"Rencanakan bulan madu kalian, Bill" ucap nyonya Ninawati tiba-tiba, membuat Sabillah membulatkan matanya, "sebelum kalian memutuskan mau bulan madu kemana, Mama akan menginap disini."
Sabillah mendesah, jika seperti ini, artinya dia harus tidur sekamar dengan Adrian.
Dirumah pengantin baru itu, hanya terdengar suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Penghuninya sedang menikmati santap malam mereka di meja makan yang panjang dengan sajian menu spesial masakan hasil tangan menantu idaman.
Muka si lelaki terlihat ditekuk dalam, sangat tak enak dipandang. Dia kesal, karena seharusnya dia pulang kerumah Ajeng, kekasihnya. Terpaksa harus pulang, sang mama menelepon, mengatakan jika sudah dirumahnya, dan menginap.
Dia makin tak mood, dikala sang mama memuji masakan wanita yang tak ingin dia anggap istri, memang enak, tapi dia yakin jika itu bukan hasil masakan wanita yang ia sebut penyebab penghancur masa depan kekasihnya.
Pasti beli di restoran, gumamnya. Dia bekerja sama dengan mamanya untuk menipunya.
"Gimana, masakan Sabillah enak kan, Adrian? Kamu beruntung bisa memperistri Sabillah, bukan cuma cantik, dia pekerja keras, dan bisa melakukan semuanya," kata nyonya Ninawati memuji kelebihan Sabillah.
"Bukan seperti-"
"Ma," potong Adrian, dia tahu apa yang ingin dikatakan mamanya. Nyonya Ninawati langsung bungkam, dia melirik Sabillah yang nampak cuek dengan obrolan mereka.
Adrian melanjutkan makanya, dua ingin cepat menghabiskan makananya, tak betah harus berlama-lama satu meja dengan wanita yang membuatnya muak.
"Adrian, tadi Mama sudah bilang pada Sabillah, jika Mama akan menginap disini sampai kalian menentukan akan bulan madu dimana?" Adrian langsung menatap mamanya dengan tatapan protes.
"Ma, nggak perlu ada bulan madu."
"Ini demi keharmonisan rumah tangga kalian."
"Ma, ada atau tidaknya bulan madu, tidak mempengaruhi kelanggengan pernikahan seseorang." Adrian menelungkupkan sendoknya, nasinya masih bersisa, tapi Adrian sudah tidak bernafsu makan lagi.
Sabillah dan nyonya Ninawati menatap punggung tegap itu yang meninggalkan mereka.
"Maafkan Adrian, ya Sabillah. Kamu harus sabar."
Sabillah mengangguk. Iya, dia harus bersabar sampai dua tahun lagi.
* * *
"Dasar wanita ular, pintar cari muka. Kamu ngadu ke mama kalau kita tidak sekamar? Iya?" tuduhnya dengan suara tertahan, takut sang mama mendengar pertengkaran mereka.
Sabillah yang baru muncul dari mengambil selimut di ruang wardrobe, mendengus.
"Manusia kalau lahir tidak diadzanin ya begini. Selalu berpikir buruk dengan orang lain," sahut Sabillah acuh, tanpa melihat Adrian. Dia merapikan sofa, bersiap akan tidur disana.
Adrian makin kesal, Sabillah selalu saja menjawab ucapannya. Bukan tipe istri patuh pada suami.
"Beli masakan direstoran mana kamu? Pintar juga mencari rumah makan enak," Adrian nampak menyindir.
Sabillah dengan santai merebahkan tubuhnya di disofa.
"Kalau aku memberi tahu, nanti kamu mencontek," jawab Sabillah menutup tubuhnya dengan selimut, dia malas jika harus berdebat. Sabillah membuka selimutnya lagi, menatap Adrian.
"Tapi kalau tidak suka sama masakanya, halal kok untuk dilepehin," lanjutnya. Adrian mengepalkan tanganya semakin dibuat geram.
"Kenapa tidak tidur dikasur? Tujuan kamu ngadu ke mama, supaya bisa tidur satu ranjang dengan ku, kan? Biar aku menyentuh kamu dan ide bulan madu itu, itu pasti ide kamu," tuduh Adrian masih terus saja bicara, sengaja memancing amarah Sabillah.
Sabillah sontak membuka selimutnya kasar, menatap nyalang Adrian.
"Percuma menjelaskan pada manusia minim akhlak, dan pikirannya dipenuhi kebencian macam Anda ini tuan Adrian terhormat. Kasihan sekali mama anda yang punya sifat begitu baik seperti malaikat, tapi memiliki anak yang sifatnya seperti keturunan iblis," kata Sabillah. Mata Adrian membelalak.
"Jika memang kamu benci saya, jangan bicara lagu, cukup diam. Anggap saya tidak ada, dan biarkan waktu berlalu sampai dua tahun kedepan," lanjut Sabillah dengan dada naik turun, dia hampir terpancing emosi, untuk meredamkanya dia kembali menutup tubuhnya dengan selimut.
Berbalik kini Adrian yang emosi, dia sudah berjalan hendak menghampiri Sabillah, tapi bunyi kencang handponenya membuatnya menghentikan langkah, dan berbalik mengambil hape, mengangkat cepat panggilan setelah tahu siapa yang menghubunginya.
"Iya," jawab Adrian panggilan itu dengan suara sangat lembut. Dia melirik kearah Sabillah sekilas, lalu berjalan menuju balkon.
Didalam selimut, diam-diam Sabillah menguping, tapi sayang suara Adrian perlahan menjauh.
"Maaf, malam ini aku tidak bisa kesana." Masih terdengar samar oleh Sabillah.
Cuma Sabillah tidak menyangka saja jika Adrian bisa bicara selembut itu, dua hari menjadi istri laki-laki itu, Adrian selalu bicara keras padanya, selalu bernada emosi, jika melihat Sabillah bawaannya marah-marah terus.
Kemudian, tak terdengar apa lagi yang suaminya itu bicarakan, Sabillah mencoba memejamkan mata, hari ink dia begitu lelah. Tak lama iapun terpejam dengan sendirinya tak ingin memikirkan Adrian juga.
* * *
Tak sengaja Sabillah terbangun, samar dia masih mendengar suara orang bicara. Sabillah mengangkat tubuhnya, mencari sumber suara. Sabillah melihat pintu balkon terbuka.
Apa Adrian masih bicara ditelepon juga? Betah sekali dia. Sabillah melirik jam yang menempel di dinding, pukul dua dini hari.
"Iya tante, aku akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Ajeng. Beri aku kesempatan tante, aku masih sangat menyayangi dan mencintai Ajeng."
Degh.
Ada sedikit yang mengganjal dihati Sabillah mendengar obrolan Adrian. Tapi Sabillah coba menepis itu.
"Iya tante, Adrian secepat mungkin menceraikan wanita itu."
Sabillah tersenyum miris, sepertinya, suaminya itu tak sudi menyebut namanya. Dan Sabillah juga bisa menangkap, jika mereka akan bercerai, sebelum dua tahun seperti yang telah mereka sepakati.
"Bagaimana, apa kalian sudah menentukan kemana kalian akan bulan madu?" tanya nyonya Ninawati pada Sabillah dan Adrian saat sarapan pagi.
"Belum, Ma. Biar Sabillah yang menentukan," jawab Adrian tanpa melihat Sabillah. Melempar masalah pada Sabillah.
"Sabillah sudah tentuin tempat yang akan kami jadikan tempat bulan, madu, Ma," jawab Sabillah, dia tahu jika Adrian pasti akan melempar masalah ini padanya.
"Oh ya? Kemana sayang?"
"Raja Ampat," jawab Sabillah tanpa ragu. Adrian sukses dibuat mengangkat kepalanya mendengar tempat yang dijadikan Sabillah untuk mereka bulan madu, dia mendengus dalam hati, jika wanita ini hanya akan mengantarkan nyata kesana.
"Kamu serius, sayang?" Sabillah mengangguk yakin. Membuat Adrian tersenyum mencibir.
Bukan tanpa alasan Sabillah memilih raja Ampat sebagai tempat bulan madunya, ia sudah memperhitungkan segalanya dengan matang, ia yakin Adrian tidak akan berangkat bersamanya, maka dia memiliki banyak alasan jika nanti mama Adrian menanyakan keberadaan mereka.
"Baik sayang, Mama akan siapkan semuanya, kalian tinggal berangkat saja," kata wanita yang selalu bergaya nyentrik dengan lipstik berwarna terang itu.
Nyonya Ninawati terlihat lebih mudah dari usianya, meski dia suka bermake-up tebal, wajah aslinya sebenarnya lebih cantik dibanding saat ia memakai make-up, dia suka saja berdandan hedon.
Awalnya pilihan Sabillah berbulan madu ke raja Ampat itu mendapat penolakan dari kedua orangtuanya karena masalah keamanan, tapi Sabillah bisa menyakinkan mereka jika Sabillah sangat ingin berbulan madu kesana.
"Mama khawatir kamu kesana, pulang bukannya bawa cucu, tapi tinggal-" Sintya tidak bisa melanjutkan kalimatnya, dia begitu takut.
Pipinya saja kini sudah ditetesi air asin.
Coba mama izinin aku nikah sama, mas Reihan. Mama pasti nggak khawatir tentang keselamatan Sabillah, Ma. Gumam Sabillah.
"Mama tenang saja, Sabillah akan baik-baik saja," sahut Sabillah mengusap bahu sang mama, "ada Adrian yang menjaga Sabillah."
"Tapi perjalanan kesana cukup bahaya sayang."
"Adrian sudah menjamin itu, Ma. Doakan saja, kami baik-baik saja sampai pulang nanti, makanya Adrian tidak ikut kesini, dia sedang meeting bersama orang suruhanya untuk menjaga keamanan saat kami diperjalanan nanti." Bohong Sabillah, dan itu membuat Sintya terharu.
"Benar kan kata Mama, Adrian itu laki-laki yang tepat untuk menjadi suami kamu, coba kalau kamu menikah dengan polisi itu, kamu nggak akan bisa bulan madu kesana, mentok-mentok paling mewah, Bali. Dia nggak sanggup bayar orang buat jaga keamanan kalian, yang ada dia dibayar buat kaga keamanan orang lain."
Sabillah menghela nafas, mamanya selalu saja mencela keburukan Reihan. Padahal dia tidak tahu saja kelakuan menantu pilihannya itu bagai devil, dan dia makan hati karena Adrian lebih mementingkan kekasihnya dibanding dia yang sudah sah menjadi istrinya.
Keberangkatan Sabillah dan Adrian berbulan madu dihantarkan oleh kedua orang tua Adrian dan Sabillah. Mereka tersenyum bahagia melihat Sabillah bergandengan mesra dengan Adrian.
"Kita berhasil menjodohkan mereka ya, Jeng. Meski awalnya mereka menentang, akhirnya mereka saling jatuh cinta juga," ucap mama Sintya pada sang besan.
"Pernah dengar kata pepatah, pilihan orang tua tidak pernah salah? Nah ini dia, pilihan kita tidak salah. Aku baru tahu, Sabillah wanita yang sempurna, bukan hanya cantik dan pintar, tapi dia juga jago masak. Hal yang jarang bisa dilakukan wanita karier seperti Sabillah, kamu hebat mendidik Sabillah, jeng. Terima kasih loh," sahut Nyonya Ninawati memuji kelebihan Sabillah.
"Iya, aku juga nggak tahu anak itu kenapa? Padahal dirumah dia kalau mau minta apa tinggal tunjuk, tapi apa-apa dilakuin sendiri."
"Oh ya, pantes dia mau aku carikan pembantu tidak mau, dia sudah terbiasa mandiri rupanya."
* * *
Sabillah menatap nanar bangku kosong disebelahnya, benar dugaanya jika ini akan terjadi, Adrian tidak akan pergi bulan madu bersamanya, dan memilih menemani kekasihnya.
Satu minggu Sabillah berada disana, ditemani teman lelaki yang Sabillah sewa, dan pintar mengedit gambar.
Selama disana juga, nyonya Ninawati tak bisa menghubunginya, karena faktor sinyal.
"Untung aku punya sahabat pinter kayak kamu, Do. Jadi aku nggak harus pusing-pusing mikirin beginian," kata Sabillah memperhatikan foto ediitan Edo, begitu epic, sempurna, tidak terlihat jika itu hanya sebuah ediitan.
Edo adalah sahabat Sabillah sejak kecil sekaligus teman kerja dikantornya.
"Kasihan banget sih, lo Bill. Cakep, kaya, wanita karir, dapet jodoh laki-laki oon begitu, coba lo ajuin sama orang tua lo, buat jadiin gue menantunya," kata Edo terkekeh, dia kasihan melihat nasib sahabatnya ini.
"Ini kali ya yang dikatakan nggak ada manusia yang sempurna. Hidup lo tuh hampir sempurna, Bill. Tapi enggak sama pasangan lo."
"Jangan pernah bilang dia jodohku ya, dia bukan jodoh ku, aku masih tetap berharap berjodoh dengan mas Reihan."
Sabillah menyandarkan kepalanya di kursi beroda yang ada dikamarnya. Menatap deburan ombak yang saling bekejaran dengan riangnya melalui jendela kamarnya yang langsung memperlihatkan pemandangan indah pantai berpasir putih.
"Kalian masih berhubungan?"
Sabillah menggeleng. "Sejak aku memutuskan menerima perjodohan itu, aku memutuskan hubungan denganya, aku nggak mau kami saling menyakiti," Sabillah menoleh kearah Edo yang duduk disebelahnya. "Aku nggak bisa menjamin kesetiaan disaat aku menikah dengan laki-laki lain. Apalagi perjanjian pernikahan kami hingga dua tahun, itu begitu lama, kita manusia tidak bisa menentukan nasib kita sedetik kedapan, apalagi dua tahun."
"Kenapa bisa selama itu sih, Bill?"
"Sampai si Adrian itu mendapatkan warisan dari kedua orangtuanya, dan dua tahun waktu yang cukup untuk kami mengajukan gugatan, dengan alasan keturunan dan hal lain sebagainya, jadi tak akan ada yang curiga jika pernikahan kami, hanya pernikahan diatas kertas," jawab Sabillah sambil menghela nafas.
Edo hanya menganggukkan kepala, tak bisa berkomentar apa-apa perihal nasib jodoh sahabatnya ini.
Dilain sisi, disaat Sabillah sedang berusaha sendiri agar kebohongan mereka tidak ketahuan oleh orang tua mereka, Adrian sang suami dengan setia menemani seorang wanita cantik yang sudah lima tahun bertahta dihatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!